{ 03 } Mission

884 Words
Karena banyak yang nggak tahu dimana sih klik love itu? Jangan lupa Klik tanda bentuk jantung terlebih dulu sampai berubah jadi warna putih, untuk pengguna Handphone agar masuk ke dalam library kalian  Untuk pengguna komputer cukup klik tulisan ADD menjadi ADDED yaa :D Nikmati dan jangan lupa Appreciate juga karyaku yaa , Terimakasih:* Selamat membaca :)   { 03 }  . . . "Kau pasti tahu ‘kan tentang desas-desus pembunuh yang sampai saat ini berkeliaran di Jakarta?" Bertanya cepat. Manik itu membulat kaget, seolah mulai mengerti alur pembicaraan mereka. "Pembunuh yang berhasil menghabisi kriminal ataupun petinggi di kota ini. Sayang, polisi-polisi itu sampai sekarang belum menemukannya."   Masih diam, Liam berusaha meresapi pernyataan Ari. Tapi tidak bisa, obat itu mulai bereaksi padanya. Pandangan Liam mengabur, telinga itu hanya bisa mendengar suara samar. "Kau beruntung.” Menghentikan ucapan, Ari memperdekat jarak mereka berdua. Mencoba tersenyum kecil namun terpaksa. "Tidak---mungkin." Mata itu memandang shock. "Akulah orang yang kau cari selama ini. Komandan Tertinggi, Aiden William Abhivandya." Mengangkat dagu Liam singkat. Membiarkan laki-laki itu mematung tak percaya. Semakin shock, Ari menjauh, memperlihatkan sebuah jarum suntik yang sengaja Ia siapkan pada kotak obat, Liam sama sekali tidak tahu untuk apa jarum suntik itu ada di sana sehingga dia aman menyembunyikannya. "Kau beruntung karena jarum ini hanya akan melemahkan seluruh syarafmu selama beberapa jam. Kau tidak akan bisa bergerak, dan pikiranmu sedikit terganggu." "Ari--tidak mungkin kau!" Liam berteriak kacau. Berusaha memberontak tapi tidak bisa. Pandangan wanita itu berubah sendu, "Kau tahu, kalau saat ini ada seseorang yang ingin membunuhmu. Aku menerima permintaan itu,” Berbicara tanpa menghiraukan Liam yang bersusah payah mencoba bergerak. Jarum suntik itu Ia simpan pada kantong baju khusus, mengeluarkan sebuah pistol yang disembunyikannya sejak tadi. "Tapi aku tidak mau," Liam berhenti bergerak, manik coklat itu memandangnya. "Kau tahu kenapa?" Ari kembali mendekat, mengecup puncak kepala suaminya singkat. Wanita itu tersenyum kecil. "Karena kau sudah merebut hatiku Tuan Aiden William, meskipun kau tidak tahu siapa diriku yang sebenarnya. Tapi bisa menikah denganmu sudah cukup bagiku.” "Ari, kumohon---hentikan candaanmu!" Liam memandangnya panik, resah, dan takut. Takut kalau wanita itu akan pergi jauh. "Sekarang aku akan membunuh orang yang berani meminta hal seperti itu pada ayahku. Akan kubunuh dan kubuat dia menghilang dari dunia ini." Merasakan tangan dingin Ari menyentuh pipinya, “Obat itu sebentar lagi akan bereaksi, mungkin kau tidak akan bisa mengingat perkataanku tadi,” Menjauhkan tubuhnya, perlahan Ari mengambil tas yang sejak tadi tersimpan di sofa yang lain. Menyimpan kembali pistol di tangannya. "Tenang saja. Aku akan menjauh dari kehidupanmu, karena kau akan mengincarku suatu saat nanti. Aku tidak boleh tertangkap sebelum menyelesaikan semua tugasku." Mengabaikan teriakan-teriakan Liam. "Ari! Kembali! Kumohon! Apa yang kau katakan tadi!! Sial!!!!" Air matanya turun. Wanita itu menangis lagi- “Kuharap kita bisa bertemu lagi nanti." Melangkahkan kakinya, mengambil handphone di tas kecilnya. Menghubungi seseorang. . . . . Panggilan terangkat- "Kepolisian Pusat Jakarta di sini." "Cepatlah datang ke rumah Komandanmu, atau dia akan mati sebentar lagi." Peringatan singkat Ari berikan. Sukses membuat orang diseberang sana panik, "A-apa maksudmu?!" "Selamatkan dia atau aku akan membunuhnya sekarang, Sofia." "Ke-kenapa kau tahu namaku?! Tunggu dulu!!" Mendengus pelan, "Kau tidak perlu tahu." Mengucapkan kalimat tadi, Ari langsung mematikan panggilan. . . . Wanita itu memandang ruang tamu sekali lagi, Ia menunduk pelan. "Ari!" Menulikan pendengarannya. "Aku akan melindungimu. Apapun yang terjadi." Bergumam kecil, Ia melangkahkan kaki keluar dari rumah itu. Dirinya tidak bisa membunuh Liam. Karena itu membunuh orang yang menjadi kliennya adalah satu-satunya cara. . . . "Ayah, hari ini aku tidak berhasil membunuh William." "Jangan katakan kau gagal?" "Tidak, biarkan aku mengambil tugas ini sampai selesai." "Apa Ayah bisa mempercayakan itu padamu?" Sebuah seringaian kecil muncul dari wajahnya, "Tentu saja. Berikan tugas ini sepenuhnya padaku, jangan pernah melibatkan orang lain. Jika Ayah berani menyentuh Aiden William sebelum aku bisa membunuhnya. Jangan harap aku akan menerima pekerjaan darimu lagi." "Mengancam, hm? Baiklah, akan Ayah percayakan tugas ini padamu. Jangan sampai kau mengecewakanku." Mengepalkan salah satu tangannya kuat, membulatkan diri saat mengucapkan kalimat terakhirnya. "Tapi sebelum itu ada yang aku inginkan." "Katakan." Menarik napas dalam, entah permintaannya ini akan dikabulkan atau tidak, "Aku ingin beristirahat selama beberapa bulan dari pekerjaan ini, sekaligus memikirkan cara untuk membunuh laki-laki itu. Ayah tahu kalau anggota kepolisian yang terlatih sepertinya sangat kuat untukku. Jadi biarkan aku mengambil waktu untuk berlatih." “Kau tahu kan kalau klienku tidak suka menunggu. Berapa bulan kau membutuhkan waktu?” Meneguk ludahnya, menahan gugup. “Nyawaku menjadi taruhannya di sini. Aiden William merupakan Komandan bintang empat yang tidak boleh diremehkan. Berbeda dengan korbanku selama ini. Dia spesial.” Ayahnya terdiam, memberikan jeda yang singkat. Menimbang kembali permintaan Ari. Membenarkan perkataan wanita itu. Mengingat seberapa kuat dan berbahaya-nya Aiden William. Hanya Ari yang bisa menandingi kekuatan laki-laki itu, bahkan sekarang pun dia masih ragu apa putrinya mampu membunuh William. "Baiklah. Ayah akan memberimu waktu. Jangan lupakan tugasmu Ari." "Baik, Ayah." Sambungan terputus. . . . Ari menyandarkan tubuhnya, duduk di dalam mobilnya. Wanita itu menghela napas panjang. Setidaknya untuk saat ini Liam akan baik-baik saja. Menutup manik sekejap, jantungnya yang berdetak cepat tadi perlahan-lahan mulai kembali normal. Air mata yang sempat jatuh segera Ia hapus. Mendengar sirene kepolisian semakin mendekat, wanita itu menghidupkan mobilnya cepat. Memasang wig yang tersimpan di dekatnya dan memakai kacamata besar. 'Misiku belum selesai,' Berujar dalam hati. Maniknya menatap lurus ke depan. Membulatkan keputusan sekali lagi. 'Mulai hari ini aku yang akan menjagamu dari jauh, Liam. Sampai saat itu tiba,' Tangannya yang memegang setir, turun perlahan. Membelai perutnya yang masih kecil. Ari tersenyum kecil, 'Aku akan melindungi buah hati kita sampai saat itu tiba.' Dirinya mungkin seorang pembunuh profesional. Tapi jika menyangkut sang suami dan calon buah hati mereka. Ari tetaplah seorang istri serta ibu yang akan selalu menjaga kedua orang yang berharga baginya. Apapun caranya. Meski harus membunuh sekalipun.    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD