Bab 2

2491 Words
Mungkin sejatinya tidak ada cinta yang benar-benar mati, ia hanya diam menyusun rencana untuk hadir kembali.. Zalika Mahira.. Nama itu entah mengapa bisa terus berputar-putar mengisi kepala laki-laki yang biasa dipanggil Dewa. Dia bukan seorang laki-laki yang baru merasakan puber untuk pertama, tapi rasa yang kali ini dia rasakan mengapa begitu berbeda. Padahal sudah sekian lama dia menutup diri rapat-rapat agar tidak terserang rasa yang sulit diartikan ini. Lalu mengapa setelah selama 5 tahun rasa yang dulu pernah dia rasakan kembali lagi. Apa ada yang salah dengan gadis belia itu? Atau kah dia yang salah saat ini. Tidak. Dia tidak boleh salah mengartikan lagi. Dulu dia boleh terlalu tergila-gila oleh seorang wanita hingga hidup dan matinya hanya diserahkan untuk wanita itu. Tapi tidak untuk sekarang ini. Dia punya Tuhan yang memang jauh harus lebih dicintai dibandingkan seorang wanita. "Dewa.." Ibunya mengampiri Dewa yang tengah duduk di ruang kerjanya dengan setumpuk buku menghiasi meja itu. Dari kedua matanya, Ibu memperhatikan dalam-dalam penampilan anaknya. Dari wajahnya Dewa yang biasanya selalu terlihat dingin dan datar, kini keningnya terdapat beberapa kerutan. Seorang ibu tidak akan bisa dibohongi oleh anaknya sendiri, dia tahu ada hal yang sedang Dewa pikirkan saat ini. "Bu, belum tidur?" Tanya Dewa memecah kesunyian. "Gimana ibu mau tidur, wong anak ibu saja masih sibuk tengah malem begini" kekehnya. Dia duduk disebuah sofa sambil menatap wajah lelah anaknya. Sudah 35 tahun dia melahirkan Dewa, dan baru malam ini dia sadar bahwa anaknya sudah tidak muda lagi. Sampai kapan anaknya itu betah untuk sendiri? Sendiri dalam arti tidak ingin memiliki hubungan kembali dengan seorang perempuan. Dia ingin melihat Dewa bahagia sebelum usia menjemputnya. "Masih banyak yang harus kamu tanda tangani?" Tanya sang ibu. "Kurang lebih 500 buku lagi" "Sudah toh mas, jangan terlalu di paksa. Tubuh mu juga butuh istirahat" "Bu, aku bukan anak kecil lagi. Aku tahu batas kemampuan tubuh ku" ucap Dewa yang masih sibuk menanda tangani buku-buku itu. "Kamu benar-benar toh. Ibu nggak suka kamu begini. Kalau bukan ibu yang nasihati kamu siapa lagi? Istri, kamu udah nggak punya. Anak mu begitu modelnya" Perempuan yang dipanggil ibu oleh Dewa merasa sudah sangat lelah. Mau sampai kapan dia bisa memperhatikan putranya ini. Dan mau berapa lama lagi dia menunggu Dewa bangkit dari keterpurukannya. "Yang sudah lalu ya dibiarin berlalu toh mas. Jangan terus kamu pendam. Nanti kamu juga yang susah" "Bu, mas nggak ngeliat kebelakang. Tapi mas mencoba untuk tidak jatuh ke lubang yang sama. Mas bukannya nggak mau maju kedepan. Karena kaki mas saat ini masih bersimpuh dihadapanNya memohon ampun, lantas bagaimana mas bisa bergerak?" Dia diam untuk merenungi semua masa lalu kelamnya. Tidak seharusnya tengah malam begini dia harus menggali masa lalunya itu. Karena kapan dia bisa bangkit jika sudah membahas seperti ini, dirinya akan ingat kembali kemasa itu. "Kamu itu loh yang nggak mau bergerak. Memangnya kamu pikir tidak bisa bertobat kepadaNya jika kamu bergerak menuju masa depan?" "Nggak segampang itu bu" dia lama-lama bisa gila jika terus disudutkan seperti ini. Perubahan dalam diri seseorang itu tidaklah mudah. Semua butuh proses yang panjang. "Aku butuh waktu" "Berapa lama lagi waktu yang kamu butuh? Apa seumur hidup mu? Cobalah untuk berpikir jernih. Karena orang yang berpikiran jernih tidak akan pernah melihat dan sedikitpun menoleh ke belakang. Pasalnya, angin akan selalu berhembus ke depan, air akan mengalir ke depan, setiap kafilah akan berjalan ke depan, dan segala sesuatu bergerak maju ke depan. Maka dari itu, janganlah pernah melawan sunah kehidupan" jelas ibunya tidak mau dibantah lagi. "Sudahlah bu, ibu istirahat saja. Mas lagi nggak mau diganggu" "Pikirkan baik-baik kata-kata ibu" Dewa kembali diam saat dirinya sudah sendiri dalam keheningan malam. Detik jam begitu kencang terdengar seperti menertawakan nasibnya saat ini. Kasihan.. Dia terlihat sangat sempurna dimata semua orang. Siapa di Indonesia yang tidak mengenalnya. Seorang pengusaha muda yang juga sukses dengan karya-karya tulisannya. Dewa melanjutkan bisnis hotel yang pernah dijalankan ayahnya dulu. Tapi disamping itu dia juga memiliki keahlian tersendiri dalam merangkai kata menjadi sebuah karya yang dapat dinikmati oleh orang banyak. Bukan hanya sastra yang berhasil dia tulis, namun juga cerita kehidupan pahit yang pernah dia jalani tak luput dari tulisannya. Kata demi kata yang tertuang didalam sebuah cerita itu bagaikan jeritan hatinya selama ini. Karena menurutnya hanya pada kertas lah dia mampu bercerita akan segala hal yang sulit dia ungkapkan dengan lisan. Seberkas kenangan manis.. Lewat kata-kata ini aku kembali bernostalgia.. Mengingat betapa manisnya bulan april kala itu.. Kenangan dan impian tersimpan rapih.. Masih ingat kah kau? Seberkas kenangan manis yang pernah kita buat.. Membekas manis dan juga menyakitkan.. Bibirnya tersenyum simpul, sebait puisi baru saja dia buat hanya dengan mengingat masa lalunya. Sekejab mata namun mempengaruhi semua sistem syarafnya. Dewa sadar dia tidak bisa untuk melangkah jauh. Namun dia juga tahu, dia sudah terlalu dalam jatuh. Sulit.. Memang begitulah hidup. Bahkan sejak dalam gumpalan darah saja semua sudah ada perjuangannya. Antara bisa melihat indahnya dunia. Atau harus kembali ke sang Pencipta. ~***~ Tubuh Dewa mematung ketika melihat siluet tubuh gadis itu. Bahkan dia tidak sadar jika matanya tengah menatap sesuatu yang tidak halal baginya. Walau dalam keadaan ruangan yang samar-samar karena minim cahaya, tapi Dewa tahu gadis itu memiliki kaki yang indah. Kaki putih dengan celana pendek sebatas paha. Lalu tshirt putih yang sudah tipis hingga mencetak dalaman sang gadis yang berwarna hitam membuat pikiran Dewa melayang kemana-mana. Tidak dipungkiri dia laki-laki dewasa, dia tahu bagian mana saja yang bisa membangkitkan sesuatu dalam dirinya. Walau pada kenyataannya yang dia hadapi saat ini hanya seorang gadis kecil yang baru saja lulus sekolah menengah atas. "Eheem..." suara yang dia buat tidak membuat gadis itu melihat kearahnya. "Eheeem.. sedang apa kau?" ulangnya sekali lagi dengan intonasi yang lebih kuat. "Hmm.. nyam..nyam.." tubuh gadis itu berbalik menghadap Dewa sembari mengusap sudut bibirnya dengan tangan. Ya Tuhan ternyata dia tertidur sambil berjalan, batin Dewa. Kedua mata gadis itu menutup rapat, dia masih tidur begitu pulas walau dalam posisi berdiri. Keseimbangan dari gadis ini begitu baik sampai bisa berjalan cukup jauh dari letak kamarnya. "Hey.. tidurlah dikamar" Diam. Masih tidak ada respon darinya. Lalu Dewa mendekati gadis itu, menepuk bahunya pelan. "Zalika. Tidurlah dikamar...!!" Bentaknya. "Hm.." tangan Zaza menggaruk punggungnya dengan cepat. "Irwan.. kamu ganteng banget..nyanyinya yang bagus dong" rancaunya tak jelas. Dewa tertegun melihat wajah Zaza. Bisa-bisanya gadis cantik mengigau seperti ini. Biasanya gadis cantik selalu tidur bagaikan princess tapi tidak bagi Zaza. Tapi itulah kelebihannya dimata Dewa, Zaza adalah laki-laki yang memakai tubuh perempuan namun berhati berlian. "Za..!! Zalika...!!!" Teriaknya. "SETAN....!!!!" Zaza histeris melihat wajah Dewa yang begitu dekat dengannya saat ini. Wajah marah Dewa dengan mata yang menyeramkan sangat membuat Zaza ketakutan. Dia merasa tadi bermimpi bertemu dengan Irwansyah artis top dangdut tapi mengapa yang muncul setan. "Setan? Siapa yang kamu bilang setan? Saya?" "Maaf pak.. maaf. Abis bapak buat saya kaget aja" tunduknya merasa malu. "Bapak ngapain dikamar saya?" Cicitnya pelan. "Kamar mu? Buka mata mu lebar-lebar, apa kamu tidur dikamar?" Mata Zaza membulat dengan mulut yang terbuka. Dia kembali pada penyakit lamanya. Tidur sambil jalan. Benar-benar memalukan, runtuk Zaza. Bagaimana bisa penyakit kampungannya itu dibawa ke ibukota begini. "Kembali kekamar sana. Kunci pintu agar kamu tidak tidur sambil jalan lagi" alibi Dewa. Padahal kenyataannya dia takut dirinya yang tidak bisa mengkontrol nafsu sesaatnya itu. "Iya pak.. maaf..." Zaza lari terbirit-b***t takut dimarahi lagi. Namun sesampai didalam kamar setelah menutup pintu, Zaza berusaha menormalkan debaran jantungnya. Dia bingung, kenapa tiba-tiba jantungnya sangat cepat berdetak. Apa dia sakit? "Aduh piye iki. Kok aku deg-degan begini?" Gumamnya. Zaza memposisikan tubuhnya untuk tidur karena pagi masih sangat lama. Tapi matanya seperti berperang saat ini. "Itu tadi siapa ya? Kok aku belum pernah liat?" Selama 2 hari Zaza memulai bekerja disini, yang dia kenal hanya nenek saja. Selain itu dia hanya ingat ada Gill atau yang nenek sering panggil dengan nama Angkasa. Ada Ray yang tidak mentah dan tidak mateng juga. Dan beberapa pelayan rumah lainnya. Lalu siapa dia? ~***~ Adzan subuh sudah terdengar sangat jelas, namun Zaza kembali merapatkan selimutnya. Dia malas untuk bergerak dan membuka matanya. Udara dingin pagi hari sudah menyelinap masuk melalui fentilasi udara kamar yang dia tempati. Karena itu dia urungkan niatnya untuk melakukan sholat subuh. Pikirnya dalam hati, tidak ada ibunya ini. Sudah pasti tidak akan ada yang berani memarahinya. Tok.. tok.. "Za, bangun. Kamu mau ikut sholat berjamaah nggak?" Panggil pakde Danu. "Nggak...!!!" Teriaknya. "Za, sholat berjama'ah pahalanya lebih banyak loh" Dengan malas Zaza membuka pintu dan dilihatnya tubuh pakde sudah siap dengan baju koko serta sarung. Lalu ada sebuah peci hitam ditangannya. "Ayo sholat dulu. Jangan jadi perempuan malas.." Berat hati Zaza menerima ajakan pakde Danu. Langkahnya tersendat-sendat dengan wajah yang menahan kantuk terlihat jelas. Tangannya menggenggam kuat mukena yang dia bawa menuju sebuah mushola kecil dibelakang rumah mewah ini. Nampak terlihat dimata Zaza ada nenek disana yang tersenyum. Entah kearahnya atau ke pakde. Yang jelas nenek sangat bahagia. "Pagi Zaza sayang. Sudah wudhu belum? Wudhu dulu sana.." Gadis itu menunduk malu ketika tak sengaja dia bertatap muka dengan Dewa yang baru saja selesai mengambil wudhu. "Wudhu yang benar..." ucap Dewa saat melewati tubuh Zaza. Awalnya Zaza tidak terima dengan ucapan laki-laki itu. Dia bukan anak kecil lagi yang tidak bisa berwudhu dengan benar. Tapi mengapa dia menasehati Zaza seperti itu? Setelah Shaf dirapihkan, mereka mulai sholat subuh dengan khusyuk. Beberapa pelayan serta security memenuhi shaf laki-laki sedangkan shaf perempuan tak kalah penuh dengan pelayan wanita yang memang tinggal dirumah besar itu. Zaza begitu menikmati sholatnya kali ini. Dia merasa ada yang berbeda. Tapi dia tidak tahu apa yang membuatnya beda. Bukannya bacaan sholat dan doanya sama. Lantas apa? Selepas sholat, Zaza kembali kedalam kamar. Dia duduk bersila menutup kedua matanya sambil menormalkan debaran jantungnya yang tak kunjung reda. Cara seperti ini sering dia lakukan disekolah. Ketika pikirannya sudah tidak bisa terpusat pada satu titik pemikiran maka jalan meditasi Zaza lakukan. "Aduh..kok nggak hilang sih???" Kesalnya. Ketika dia kembali lagi memusatkan pikirannya, pintu kamarnya dibuka oleh nenek. Nenek melihat Zaza tanpa berkomentar apa-apa. Dia mulai mencerna apa yang Zaza lakukan. "Za..." panggilnya. "Kamu ngapain?" "Nek..aku cuma lagi... tenangin pikiran" jawab Zaza pelan. Dia takut dimarahi sang nenek. Bukannya membantu didapur tapi dia masih saja duduk didalam kamar. "Tenangin pikiran? Begitu caranya?" "Iya nek. Memang gimana lagi?" Nenek menggelengkan kepalanya melihat tingkah aneh Zaza lalu berjalan pergi. "Memangnya ada yang salah ya?" Tanya Zaza pada dirinya sendiri. Karena penasaran, dia mengikuti langkah kaki nenek yang sudah sibuk didapur memberikan instruksi kepada beberapa pelayan. "Nek.." panggil Zaza. "Kok nenek pergi? Ada yang salah sama Zaza?" Nenek hanya tersenyum sembari menggelengkan kepalanya. Langkah kakinya mendekati Zaza lalu menarik tubuh gadis belia itu untuk duduk dikursi. "Nggak papa kok Za, nenek cuma bingung melihatnya. Kamu tahu dari mana itu bisa menenangkan pikiran?" "Tahu waktu sekolah nek, temen Zaza ada yang bilang begitu. Namanya meditasi" "Meditasi??" Sahut Dewa yang sudah tepat berdiri tak jauh dari mereka. Dewa sudah rapih dengan pakaian kerjanya. Pagi ini dia ada meeting dengan beberapa pemegang saham lain untuk membahas perkembangan hotel mereka. "Iya..." jawab Zaza takut. Dewa melipat kedua tangannya didada sembari mendengarkan lanjutan dari jawaban Zaza. “Coba kamu lanjutkan, saya mau mendengarkan” “Lanjutin ceritanya pak?” Tanya Zaza takut-takut. "Iya, memangnya apalagi? Sekarang saya tanya, apa dengan cara seperti itu kamu bisa menenangkan pikiran mu?" Tanya Dewa sarkatis. Zaza mengangguk menatap Dewa dan nenek secara bergantian. Tapi yang ditatap oleh Zaza hanya bisa menggelengkan kepala tak percaya. "Za. Dengarkan nenek. Kenapa kamu bisa percaya begitu?" "Karena teman ku yang bilang" "Jadi kalau teman mu bilang minum racun bisa buat sembuhkan sakit, kamu percaya?" Dewa nampak kesal dengan wajah polos Zaza yang sibuk melihat dirinya. "Bisa pak. Sembuhkan sakit hati" jawab Zaza. Dia berusaha mencairkan suasana tapi sepertinya dia gagal. Karena baik Dewa maupun nenek tidak ada yang tertawa. "Sangat tidak lucu cara bercanda mu, nona" Dewa melangkah pergi meninggalkan nenek dan Zaza yang masih sama-sama diam karena kepergian Dewa. Didepan pintu rumah, pak Danu sudah menunggu Dewa dengan senyum ramahnya. Tapi ketika Pak Danu melihat wajah kesal Dewa, dalam dirinya muncul banyak pertanyaan. Apa keponakannya melakukan kesalahan lagi? "Besok bapak ajarkan Zaza lagi.." "Apa dia melakukan kesalahan lagi pak?" Tanya pak Danu takut-takut. Dia mengikuti langkah Dewa menuju mobil yang sudah siap terparkir dihalaman. "Ya. Dia salah, karena telah percaya sesuatu selain Tuhan.." Pak Danu diam seketika. Apa benar Zaza begitu buruk dimata bosnya ini? "Nek.. kenapa sih sama bapak itu?" "Maksud kamu Dewa?" "Jadi namanya Dewa? Eh maksud Zaza pak Dewa" tunduknya. "Dia putra nenek satu-satunya. Buah cinta kakek sama nenek" "Oh gitu" "Memangnya kenapa sama dia?" Nenek membelai sayang rambut bergelombang milik Zaza. "Dia tua..." jujurnya. Zaza diam karena nenek tiba-tiba saja tertawa didepannya. Apa ada yang aneh dengan kata tua? "Iya dia tua karena dia terlalu sering berpikir" "Masa nek? Terus kenapa tadi dia kayak nggak suka waktu Zaza ngomong soal meditasi?" "Begini nenek jelasin. Kamu bilang tadi melakukan meditasi untuk menenangkan pikiran? Bukannya itu sama saja menyekutukan Tuhan?" "Kok gitu?" "Kamu sudah besar Zaza, harusnya kamu tahu mana yang benar mana yang tidak. Jika kamu mau menenangkan pikiran mu, ambil wudhu lalu sholatlah. Berdoa padaNya. Ungkapkan semua gelisah hati dan pikiran mu. Bukannya kamu memejamkan mata dengan posisi seperti itu" "Jadi itu nggak boleh ya nek dalam Islam? Kok Zaza gak tahu" "Karena Zaza nggak tahu makannya nenek kasih tahu. Sepantasnya kita umat islam untuk berupaya mengambil manfaat melalui cara yang sesuai dengan sunnah (tuntunan Nabi Muhammad sholallah alaihis salam). Daripada meditasi, kita diperintahkan khusyuk dalam sholat. Kita juga bisa memperoleh ketenangan melalui tilawah (membaca) mentadaburi (memahami) Al Qur'an. Seperti firman Allah dalam surat Al-Anfal ayat 2-3, yang artinya: 2. Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan Hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. 3. (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka. Paham nggak kamu?" "Belum nek. Jadi kayak yang di tv itu nggak boleh ya? Yoga kayak gitu masuk meditasi juga kan? Padahal banyak banget sekarang orang yang mengklaim yoga bisa menenangkan pikiran selain bisa menyehatkan badan juga" "Nenek juga kurang paham masalah itu. Kalau kamu penasaran, kamu bisa tanya sama Dewa. Dia suka sekali membaca dan menulis. Jadi nenek yakin dia lebih paham. Tapi yang nenek tahu ada sebuah hadits yang menyebutkan. "Barang siapa yang meniru kelompok manusia tertentu, maka ia termasuk golongan mereka" Jadi kamu bisa simpulkan sendiri maknanya" jelas nenek. Dia berjalan meninggalkan Zaza yang masih diam. Pikirannya kembali berputar, jadi selama ini yang sering dia lakukan adalah salah. Ternyata kadang manusia selalu mengikuti apa yang orang lain katakan, padahal sesungguhnya belum tentu semua itu benar. "Aku harus tanyakan sama si pak Dewa" Walau takut-takut Zaza mengucapkan nama Dewa, tapi dia tidak mau mati penasaran atas apa yang telah dia kerjakan selama ini.   ~***~ Tidakkah kamu merasa penasaran dengan kemungkinan yang akan kamu temui sendainya kamu mengambil jalan yang tidak pernah kamu lalui selama ini? Sekali dalam hidupmu, tidakkah kamu ingin merasa berani dan menantang ketakutan terbesar dalam hidupmu? ----- continue..
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD