Bab 3

2583 Words
From the way you smile To the way you look You capture me Unlike no other From the first hello Yeah, that's all it took And suddenly We had each other And I won't leave you Always be true One plus one, two for life Over and over again So don't ever think I need more I've got the one to live for No one else will do And I'm telling you Just put your heart in my hands I promise it won't get broken We'll never forget this moment It will stay brand new 'Cause I'll love you Over and over again Sebuah irama lagu dari terdengar dari sebuah ruangan. Dengan sedikit sinar yang menerangi, Zaza nampak kesulitan melihat siapa kah gerangan orang yang tengah bernyanyi dengan irama piano yang begitu sendu. Dia hanya ingin memastikan bukan maling yang berada didalam rumah majikannya ini. Bayangkan saja tengah malam dimana seharusnya semua orang terlelap, orang ini seperti tidak tahu diri bernyanyi dengan seenaknya. "Kamu siapa?" Tanya Zaza sambil mengayunkan tangkai sapu kearah laki-laki itu. Dia sedikit waspada takut laki-laki ini dapat berbalik dengan cepat lalu menyerangnya. Posisi tubuh laki-laki itu memang membelakangi Zaza sehingga dia menerka-nerka akan wajah itu. Namun ketika tubuh itu berbalik menghadapnya, dia menjadi kikuk harus berbuat apa. Pancaran mata cokelatnya membius tubuh Zaza hingga lemas tak bertulang. Paras tampan dengan dagu yang membelah membuat Zaza tak berkedip melihatnya. Ditambah sinar dari mata laki-laki sudah membiusnya sejak awal pertama kali mereka bertemu. Semuanya sangat sempurna dimata Zaza. Laki-laki itu kembali lagi.. Bukannya memang ini rumahnya? Waktu itu dia hanya pergi sementara bukan selamanya. "Kau lagi. Ada apa?" "Maaf pak saya pikir maling" jawab Zaza jujur. Tubuh laki-laki itu mendekati Zaza, dia ingin memastikan apa benar perempuan ini bilang dia adalah maling. Mulut perempuan ini sangat tidak bisa dijaga tutur bahasanya. Padahal yang menjadi tuan rumah disini adalah dirinya, mengapa gadis ini bergaya seperti pemilik rumah. "Kau bilang saya maling?" Zaza mengangguk pasrah. Mau bagaimana lagi, dia harus mengakui semua kata-katanya barusan. "Maaf pak.." "Kamu panggil saya bapak? Lihat baik-baik.” Ucap Gill tepat didepan wajah Zaza. “..Apa saya sudah mirip bapak-bapak?" Zaza menelan ludahnya kembali. Mulutnya memang lancang berbicara tanpa dipikir terlebih dahulu. Jelas-jelas laki-laki ini adalah seorang penyanyi yang sering dilihat Zaza di televisi. Masa bisa dia panggil 'Bapak' Sungguh Zaza tidaklah bodoh. Laki-laki ini masih sangat muda. Bahkan mungkin seumuran dengannya. "Maaf.." Cicitnya lemah. Kedua tangannya saling bertautan sambil menundukkan wajahya karena telah salah berbicara. "Maaf mu tidak berguna.." ketusnya. Dan dia kembali duduk untuk memulai memainkan pianonya. "Kau suka lagu apa?" Zaza diam, dia tidak yakin jika dia yang sedang ditanya. "Eh bodoh. Aku tanya pada mu. Kau suka lagu apa?" Zaza mendekat dan berdiri disisi piano. Dia menatap mata cokelat itu dan meyakinkan jika benar dia yang ditanya. "Aku suka... dangdut.." "You gila...!! Mana bisa aku lagu dangdut !!" Kesalnya, sambil jemarinya sibuk mencari nada yang tepat. "Kalau kamu memang artis yang multi talenta harusnya kamu bisa melakukan apapun selama itu masih berhubungan dengan musik" Jelas Zaza tak mau kalah.                 Gadis ini berpikir apa laki-laki didepannya menjadi seorang artis karena hasil yang tidak benar. Contohnya memberikan sejumlah uang untuk perusahaan rekaman yang mau mengorbitkannya. Sangat lah licik cara seperti ini, batin Zaza. "Jadi kau meragukan saya? Meragukan seorang Gill?" "Iya.." jawab Zaza. Dia melipat kedua tangannya dan menantang Gill dengan tatapan yang sangat-sangat membuat Gill kesal. "Akan ku buktikan padamu.." Dentingan piano mulai dimainkan oleh Gill. Awalnya dia bingung harus menyanyikan lagu dangdut apa. Karena refrensi lagu dangdutnya sangat sedikit. Namun karena dia tidak ingin dianggap remeh oleh gadis didepannya ini, mau tidak mau dia mencoba hal baru yang belum pernah dia lakukan. Tinggg.... mengalunlah sebuah lagu yang terlintas dikepalanya saat ini. Memandangmu... Walau selalu... Tak kan pernah beri... Jemu di hatiku... Suara bariton milik Gill membuat Zaza terpukau. Dia tidak menyangka ternyata Gill mampu melakukannya. Dan nyatanya Zaza kagum pada laki-laki ini. Menyapamu... Walau selalu... Masih terasa merdu... Bagai dawai jumpa... Dalam setiap bait lagu yang tengah Gill nyanyikan, mata cokelatnya terus mengunci pandangan Zaza. Hingga membuat gadis itu menjadi salah tingkah. Pipinya bersemu merah menahan rasa yang tiba-tiba saja hadir. Mencari apa yang aku cari... Merangkai rindunya hatiku... Lalu ketika bagian reff tiba, Zaza ikut menyumbangkan suara merdunya. Tidak ada yang tahu ternyata Zaza merupakan seorang bintang panggung disekolahnya. Bulan bawa bintang menari... Iringi langkahku... Malam hadir bawa diriku... Berjumpa denganmu... Dua hati satu tujuan... Melangkah bersama... Cinta hadir bawa diriku... Menyentuh indahnya... Diakhir lagu, Gill tersenyum kepada Zaza. Mereka sama-sama kikuk harus bersikap seperti apa. "Ternyata kamu bisa nyanyi juga" sahut Gill. "Hanya sekedar bisa, nggak diperdalam" kekeh Zaza. Tangan Gill terulur begitu saja merapihkan anak rambut Zaza yang menutupi wajah cantiknya. Mereka kembali bertatapan tanpa suara sedikitpun. Tubuh Gill bergerak maju mendekati wajah Zaza yang masih setia berdiri disampingnya. Zaza bingung harus bersikap seperti apa, selama ini dia tidak ada seorang laki-laki yang berani dekat dengannya. "Tidur sana, jangan sampai nenek melihat mu belum tidur" Ucap Gill ketika melihat Zaza menjadi salah tingkah karena sikapnya. "Kamu juga. Nanti nenek marah lagi" Nasihatnya tak mau kalah. "Jadi kamu perhatian sama aku?" "Memangnya ada yang salah?" Tantang Zaza. "Tidak. Kita kenalan dulu secara benar, aku Angkasa Gilli Bahuwirya, kalau didepan nenek panggil aku Kasa. Jangan panggil aku Gill, nanti kamu dimarahi nenek" jelas Gill. "Aku Zalika Mahira, panggil aja Zaza.." Mereka berjalan beriringan keluar dari ruangan itu. Sekali-kali mereka tertawa karena kepolosan dari perkataan yang keluar dari bibir Zaza. Bahkan tidak ada lagi rasa canggung diantara keduanya. Gill mengucapkan terima kasih karena Zaza sudah mau berteman dengannya dan menyuruh Zaza untuk langsung beristirahat. Namun saat Gill ingin kembali kekamarnya, seorang laki-laki menatapnya dengan tatapan yang tidak bisa diartikan.  Tubuh tinggi tegap dengan mata hitam pekat menghentikan langkah Gill untuk beristirahat. "Aku tidak ingin ribut" ucap Gill malas. "Saya tidak pernah mengajak kamu ribut !!" Bentaknya. "Oke. Lalu kenapa dengan tatapan anda?" "Saya memiliki mata, apa saya tidak boleh menatap apapun?.." laki-laki itu kembali masuk kekamarnya meninggalkan Gill dengan tatapan kesal. Bukan kali ini saja dia tidak akur dengan laki-laki yang seharusnya dia panggil ayah. Tapi sudah sejak kecil memang Gill tidak pernah mau memanggil Dewa dengan sebutan ayah. "Harusnya ibu lihat seperti apa dia !!!" Gumam Gill. ~***~ Selepas sholat subuh, Zaza sudah terlihat sibuk dengan beberapa pelayan didapur. Hari ini tugasnya memasak sarapan untuk keluarga ini. Pakde Danu yang melihat Zaza, tersenyum bahagia. Ternyata keponakannya mampu beradaptasi dengan cepat. Dan tidak terlihat canggung sama sekali. Banyak sekali perubahan baik yang telah Zaza tunjukkan hingga membuat pakde Danu bangga pada gadis belia itu. "Pakde, tunggu dulu ya. Zaza belum selesai buat sarapannya." "Memangnya kamu buat apa?" Beberapa pelayan lain tersenyum melihat tingkah laku Zaza yang begitu polos. "Zaza buat nasi goreng sama omellet. Tapi nggak tau deh enak apa nggak." Kekehnya. "Ok, pakde tunggu.." Cukup lama Zaza bergulat dengan peralatan dapur hingga akhirnya jadilah sebuah sarapan sederhana yang berhasil dia buat. Nenek memang sengaja tidak ikut turut campur membuat sarapan pagi ini, ia tersenyum kepada Zaza setelah melihat kepuasan dari wajah gadis itu. Dia yakin Zaza bisa. "Wah.. kamu berhasil?" "Belum tau nek, kan rasanya belum tentu enak" "Nenek nggak nilai rasanya, yang nenek nilai usaha kamu" kata nenek sembari duduk disalah satu kursi dimeja makan. Tak lama berselang, Gill turun dari lantai atas dengan pakaian santai. Terlihat laki-laki itu tidak akan kemana-mana hari ini. "Pagi nek.." "Tumben kamu, mau ngeremin telor dirumah hari ini?" "Iya nek, istirahat kali. Kan kata nenek tubuh aku butuh istirahat" "Gitu dong, itu baru Angkasa nya nenek" Zaza terkekeh pelan melihat wajah Gill yang mendadak ingin muntah dengan kata-kata nenek barusan. "Dicoba, masakannya Zaza.." jelas nenek pada Gill. Gill menatap ngeri nasi goreng dihadapannya beserta omellete yang terlihat tak berbentuk. "Ini apaan?" Tangannya menarik omellete itu keatas dan memperhatikannya. "Kok bentuknya nggak karuan begini" "Hus, jangan begitu. Dicoba dulu" bentak nenek. Gill menurut saja, dia tidak ingin mencari keributan dipagi hari dengan neneknya. Baru satu suapan masuk kedalam mulutnya, rasanya sangat susah menelan omellete tersebut. "Asin bener..." jujurnya. Air putih yang tersedia dimeja langsung diminumnya hingga tandas. "Haus kamu?" Tanya nenek. "Seret nek, kebanyakan garam..." kekeh Gill. Namun Zaza sama sekali tidak tersinggung. Dia sadar masakannya memang belum sempurna. Dan dia sangat butuh banyak belajar dalam hal ini. Ketika Gill tengah asik mengomentari masakan Zaza, Dewa turun dari atas dengan pakaian yang rapih. Bulu-bulu halus yang biasanya berada dirahangnya, dicukur rapih. Ada apa dengan Dewa? "Makan dulu mas.." nenek mengambilkan nasi goreng dan omellete kedalam piring makan Dewa. Laki-laki itu tidak menjawab, dia hanya sibuk membuka koran dan membacanya. "Kamu mau ke hotel hari ini? Ibu dengar kamu buka hotel baru di Makassar?" "Iya. Hotel yang memang aku inginkan" jelasnya. Karena tidak ada berita yang menarik, dia menutup koran tersebut dan mulai memakan sarapannya. Tidak ada komentar pedas yang keluar dari mulut Dewa. Bahkan Gill menatap ayahnya itu tidak percaya. Bagaimana bisa dia memakan semuanya dengan begitu nikmat? Tanpa membutuhkan air untuk diminum. "Kenapa?" Tanya Dewa bingung melihat tatapan nenek dan Gill. "Kamu suka mas sama sarapannya?" "Iya, enak" Gill membuka mulutnya semakin lebar. Apa dia tidak salah dengar, 'enak'. Disuapnya lagi nasi goreng itu kedalam mulutnya. Dirasakan benar-benar masakan Zaza pagi ini. Ya Tuhan, rasanya begitu tidak karuan. Seperti bentuknya. Ada asam, asin, pedas, bahkan sayuran yang dimasukan kedalam nasi goreng itu terlihat belum begitu matang. "Mau ibu tambahkan nasinya?" "Boleh..." ucap Dewa. Gill semakin menggelengkan kepala. Dalam pikirannya dia mulai bertanya, apa nasi goreng yang ayahnya makan berbeda dengan nasi goreng yang ada dipiringnya? Setelah ditambah satu piring nasi goreng lagi, Dewa kembali sibuk memakannya. Nenek menatap Zaza yang berdiri tak jauh dari meja makan sedang menunduk takut. "Kamu nggak papa kan mas?" Tanya nenek. "Memangnya mas kenapa?" tatapnya kearah nenek dengan bingung. Nenek menggelengkan kepalanya, dia benar-benar bingung. Ada apa dengan anaknya itu? "Terima kasih untuk sarapannya." Ujar Dewa sembari melihat Zaza yang masih menunduk. "Masakan mu enak" ucap Dewa kembali sambil meneguk air putih hingga tandas. Zaza mengangkat wajahnya tak percaya. "Bapak yakin? Saya kan nggak bisa masak" cicit Zaza. "Menurut saya memasak merupakan aktivitas yang banyak dilakukan oleh para wanita sejak turun temurun. Sekilas kalau dilihat aktivitas ini mungkin sangat remeh-temeh. Tetapi pada prakteknya tidak akan semudah itu. Orang yang mengaku bisa masak pun terkadang suka dihampiri rasa tak percaya diri ketika masakannya harus dicicipi orang lain. Maka tidak heran jika para pengamat seni menempatkan masakan sebagai karya seni yang paling berharga di antara semua karya seni lainnya. Jadi bagi saya kamu sudah berhasil melakukannya. Dan saya menghargai itu. Saya memakan habis makanan yang sudah susah payah kamu buat. Untuk rasanya bukan hal utama, seiring berjalannya waktu kamu bisa memperbaikinya. Karena hal utama yang sudah kamu lakukan adalah niat baik untuk membuat sarapan. Dan kamu sudah melakukannya dengan baik" jelas Dewa panjang lebar. Nenek, Gill, dan Zaza menatap Dewa dengan bingung. Apa masakannya membuat Dewa menjadi gila seperti ini? "Sudah bu, Dewa pergi dulu" Nenek hanya mengangguk dan kembali bingung dengan tingkah Dewa. Setelah Dewa pergi, nenek menghampiri Zaza dan menatap gadis itu dengan lekat. "Kamu nggak pakai pelet kan nak?" Zaza menggeleng pelan. Dia tadi hanya melakukan semuanya dengan ikhlas. Lagi juga dia tidak memasak sendiri, banyak pelayan lain yang membantu. Jadikan mungkin saja memang enak masakannya.. "Biasanya Dewa mana mau makan kalau bukan nenek yang masak" Zaza diam. Jadi hanya dirinya yang bisa membuat Dewa memakan masakannya. Selain nenek.. "Hebat kamu..." histeris nenek. "Cuma kebetulan itu nek" potong Gill. "Kebetulan gimana? Kamu nggak liat wajah ayah mu berseri-seri begitu" Gill membenarkan perkataan neneknya. Bahwa ayahnya pagi ini begitu berseri-seri. Mungkin ini efek dari nasi goreng yang Zaza buat. Atau efek dari diri gadis itu sendiri? "Besok kamu masak lagi ya." Perintah sang nenek yang disambut angggukan bingung dari Zaza. ~***~ "Kita mau kemana sih?" Rengek Zaza. Tadi dia sedang membersihkan halaman depan, namun Gill menculiknya. Dan sekarang dia dan Gill sedang menuju suatu tempat yang Zaza tidak tahu sama sekali lokasinya. Maklum saja, dia belum pernah keliling Jakarta. Yang dia tahu hanya kampungnya di Jawa. Dalam hati Zaza berdoa agar Gill tidak berniat jahat padanya. Bagaimana jika ditengah jalan dia diturunkan begitu saja? Yang pasti dia tidak akan bisa pulang. "Nanti juga tahu.." Hampir satu jam mereka terjebak kemacetan dijalan hingga akhirnya mobil Gill terparkir sempurna didepan sebuah toko alat musik yang cukup besar. "DESE LAMA BANGET SIH..." maki Ray saat melihat Gill baru turun dari mobil. Namun saat dia melihat Zaza ikut turun dari mobil Gill, Ray menatap Gill bingung. "Eh, ngapa ye bawa gadis itu?" "Dia sahabat gue sekarang" ujar Gill. Dia masuk kedalam toko itu diikuti oleh Ray dibelakangnya. Sedangkan Zaza masih nampak terpukau dari luar. Melihat banyak ornamen antik menghiasi toko tersebut membuatnya terkagum-kagum. "Heh.. yey.. masuk. Nanti eike yang di omelin si bos.." Ray menarik tangan Zaza dan membawanya masuk. Lagi-lagi Zaza kembali dibuat terpukau. Dia melihat Gill tengah memegang sebuah gitar listrik dengan wajah yang menurut Zaza sangat-sangat tampan. "Yey suka sama si bos?" Bisik Ray. Zaza tidak menjawab hanya mengedip-ngedipkan matanya pada Ray. Bulu matanya yang hitam dan lentik seperti menghipnotis Ray. "Ya Tuhan, mata mu indah banget" jujur Ray. Mendengar hal itu, Gill menatap Ray tidak suka. "Lu ngomong apaan banci??" teriak Ray. "Bos, jangan panggil eike banci dong" sahut Ray sembari menggigit-gigit jemari tangannya. Zaza terkekeh melihat persahabatan Ray dan Gill. Dia tidak percaya ada didunia ini yang memiliki persahabatan tanpa melihat kekurangan sahabatnya. "Za, kemarilah.." Gill memberikan gitar yang tadi dia pegang kepada Zaza. "Coba pakai" "Aku nggak bisa..." Dia menarik Zaza untuk duduk disampingnya. Lalu tangan Gill memeluk tubuh Zaza dan membantu gadis itu dalam mempelajari permainan gitar. Gill tidak tahu bagaimana perasaan Zaza saat ini. Jantungnya berdetak tidak karuan, apalagi hembusan napas Gill mengenai kulit lehernya. "Hm.. biar aku belajar sendiri saja" kata demi kata yang keluar dari bibir Zaza sangat tidak normal. Karena dia sedang menahan sesuatu, menahan suatu rasa yang dia tidak tahu apa itu. "Ya sudah.." jawab Gill. Dia meninggalkan Zaza yang masih diam terpaku. "Dia memang gitu. Nggak peka" ujar Ray. Ray bisa menyadari ada ketertarikan Zaza terhadap Gill, namun Gill seperti menepis semua itu. "Ayo kita jalan lagi..." "Kok gitarnya dibawa..??" Gill tidak menjawab dan lebih memilih tersenyum kepada Zaza. Ternyata yang Zaza tidak tahu, laki-laki itu sudah membelikan gitar itu untuk Zaza karena Gill tahu gadis ini menyukainya. Mereka bertiga mengendarai mobil yang sama. Dan sekarang Ray yang bertugas menjadi supir untuk Gill dan Zaza. Mobil sedan mewah itu berhenti disebuah restaurant yang cukup terkenal di daerah jakarta selatan. Gill berjalan terlebih dahulu disusul Zaza dibelakangnya. Namun tiba-tiba saja Gill berhenti mendadak hingga Zaza membentur tubuhnya. "Gill, kenapa sih?" Zaza melihat Gill yang masih saja diam dengan pandangan tepat menuju satu titik dimana ada laki-laki dan perempuan yang tengah berbincang disana. "Pak Dewa.." nama itu meluncur begitu saja dari mulut Zaza. Dia mencoba menerka-nerka ada apa dengan pak Dewa sampai-sampai Gill terlihat sangat marah. "Kita pindah tempat aja..." "Loh kenapa pindah?" Tanya Ray yang baru saja masuk. "Ini bukan tempat kita" Gill menarik tangan Zaza untuk mengikutinya, tapi karena tarikannya begitu kuat membuat Zaza menjerit kesakitan. Karena Jeritan Zaza, Dewa sempat melihat kehadiran Zaza dan Gill disana. Dari tatapan datar laki-laki itu sangat sulit diartikan apa yang tengah dia pikirkan. Yang jelas ada satu sinar yang bisa ditangkap dari matanya. DIA GAGAL "Sorry saya harus pergi..." "DEWA..." Panggil perempuan yang duduk bersamannya tadi. ~***~ Akhlak yang paling mulia adalah menyapa mereka yang memutus silaturahim, memberi kepada yang kikir terhadapmu, dan memaafkan mereka yang menyalahimu. (HR Ibnu Majah) ---- Continue Siapa mau lagi?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD