Raga terlonjak kaget saat Tama tiba-tiba saja duduk di sampingnya, menarik turun masker di wajahnya setelah sempat celingukan memperhatikan sekeliling.
"Selamat-selamat," desahnya seraya duduk bersandar dan mengusap peluh di kening lalu tanpa sengaja melihat secangkir kopi hitam yang masih penuh milik Raga dan mengambilnya begitu saja tanpa permisi.
"Eh—" Raga protes tapi terlambat karena Tama sudah terlanjur menyerumputnya dan— BRUUTTT!!!
Tama menyemburkannya ke lantai begitu saja lalu menatap kesal Raga yang menyeringai. "Eh, gila! Pahit banget nih kopi."
Raga menarik cangkir kopinya lagi dan meletakkannya di tempat semula, mengambil sebungkus gula kemasan dan membukanya lalu menaburkannya di dalam kopinya.
"Ah, sial. Pantas aja rasanya pahit. Belum kamu kasih gula?!" dengus Tama.
"Siapa suruh situ langsung main tarik sembarangan. Kena getahnya kan kamu!!" kekehnya lagi.
Tama menghela napas panjang dan berdiri dari duduknya untuk memesan teh hangat. Setelah sempat mendapat kedipan genit dari Mbak Sulis, penjaga kantin, seperti biasanya, Tama kembali duduk di tempatnya tadi di bawah tatapan Raga.
"Kamu kenapa, seperti dikejar-kejar setan aja."
"Aku tadi ketemu seseorang yang tidak terduga," desahnya. "Ternyata mereka ada di Jakarta juga."
"Siapa sih?" Raga memajukan duduknya, bertanya penasaran. "Wanita?"
Tama mengangguk, "Dramaqueen."
"Oh, pantas. Cantik gak?" pancing Raga.
"Banget." Tama memijit pelipisnya lalu menoleh ke Raga yang menyunggingkan senyuman devil. "Eh ralat, maksudnya cantik aja."
"Halah, bilang aja cantik banget. Susah amat." Raga mendengus dan menyerumput kopinya perlahan. "Kamu menghindarinya hanya karena dia memiliki sifat yang terlalu berlebihan tapi mengaku kalau dia cantik banget?"
Tama tidak menjawab hanya tersenyum tipis saat Mbak Sulis mengantarkan tehnya dan tidak lupa mengedip dulu sebelum berbalik pergi.
"Mungkin, tadi hanya kebetulan aja. Setelah ini aku harap tidak lagi bertemu dengannya—" Tama melipat lengannya di d**a, membalas tatapan ingin tahu Raga. "Yang tadi itu nyaris aja ketahuan.”
"Ck. Untuk apa juga kamu tadi menghindar. Apa yang salah sebenarnya dengan wanita yang memiliki sifat seperti itu? Hidupmu yang membosankan ini pasti lebih semarak dibandingkan bersama Clara dan hubungan kalian yang monoton itu."
Tama langsung kesal. "Loh, kok dibanding-bandingkan dengan Clara?”
"Memangnya kenyataannya begitu," decak Raga. Tama menendang kursi Raga sampai bergetar karena jengkel. "Kamu gak mau maksa Clara supaya hubungan kalian cepat diresmikan?"
Ujung-ujungnya hal ini lagi yang ditanyakan Raga ketika mereka memiliki kesempatan ngopi bareng di kantin rumah sakit.
"Dia masih sibuk dengan kegiatan modelnya. Belum siap banting setir jadi ibu rumah tangga."
Tama hanya menjawab seadanya, mengabaikan Raga yang menatap sesaat dari balik kacamatanya. Tama menggidikkan bahu dan kembali meminum tehnya perlahan. Biar di paksa kalau kekasihnya itu belum siap, memangnya dia bisa apa.
"Kamu harus tegas Tam. Sudah tujuh tahun dan hubungan kalian masih begini-begini aja.” Raga menyesap kopinya dan melihat Tama yang tersenyum kecut mendengarnya dan teringat dengan semua perjuangannya selama ini.
"Aku gak punya pilihan. Dia masih sibuk dengan kariernya."
"Buat dia memilih."
Raga memajukan duduknya, melipat kedua lengannya di atas meja memandangi Tama lekat supaya tidak lagi bisa mengelak. Raga sudah seperti kakak kandungnya sendiri meski mereka tidak memiliki hubungan darah sama sekali. Dia kakak, sahabat, mentor dan penasihat yang baik walaupun lebih banyak kurang ajarnya.
"Kamu terlalu lembek di hadapan Clara hingga membuatmu berada di bawah kendalinya. Malu sama tato." Tama memutar bola mata mendengarnya. "Umurmu sudah hampir tiga puluh empat tahun dan Mamamu sudah was-was dengan hubungan kalian yang tidak ada kejelasannya itu. Nggak kasihan apa sama beliau di rumah sendirian. Seharusnya ya beliau itu sudah gendong cucu."
"Kamu memang cocok jadi tukang kompor," sindir Tama membuat Raga terbahak.
"Aku sudah berencana melamarnya," katanya cepat dan mengalihkan tatapan ke keramaian di luar.
"Seriusan?" tanya Raga yang langsung menghentikan tawanya membuat Tama menoleh seraya mengangguk.
"Setelah dia berada di Jakarta, aku akan melamarnya."
Raga mendesah dan meletakkan tangannya di kepala, "Akhirnya kamu mengambil keputusan seperti ini. Walaupun menurutku, hubungan kalian terlalu monoton." Tama sama sekali tidak merasa seperti itu. Mungkin karena dia terlalu cinta. "Kalian tidak pernah kencan dengan cara yang menyenangkan. Apa kamu gak bosan selalu ngintilin kegiatannya dia ke butik, agensi, atau syuting iklan atau fashion show. Kencan model apa itu?" Entah kenapa malah Raga yang terlihat kesal bukannya Tama. "Hanya ketemu beberapa kali setahun, ngobrol hanya lewat video call itu pun kalau dia gak sibuk. Pembicaraan kalian hanya seputar kariernya dia. Nggak ada seninya sama sekali."
"Jangan ngedumel. Aku bisa bertahan selama tujuh tahun dan itu tidak masalah bagiku."
"Dasar lembek!!" ejeknya lagi.
Tama mengepalkan tangan dan mengarahkannya ke wajah Raga. "Aku suka dengan sikapnya yang dewasa. Umurnya baru dua puluh tujuh tahun tapi karier modelnya luar biasa membanggakan. Aku harus mengimbanginya dan menurutku wajar kalau aku memanjakannya apalagi kalau dia selalu bergantung padaku." Tama tersenyum membayangkan wajah Clara.
"Tapi dia lebih sering melakukan semuanya sendiri tidak perlu mengandalkanmu karena dia wanita yang mandiri. Kita tahu kalau dia sangat ambisius dan aku yakin baginya kamu hanya selingan," sindir Raga seraya merapikan rambutnya dengan tangan membuat senyuman Tama hilang. "Aku harap lamaranmu nanti membuahkan hasil. Kalau sampai dia menundanya lagi sebaiknya kamu cari yang lain, mungkin wanita dramaqueen yang tadi."
Tama mengerutkan kening dan meninju lengannya, "Nggak deh!!"
"Kemakan omongan sendiri nanti." Tama mendengus. "Heran deh, kamu kok betah banget sama hubungan yang seperti ini."
"Maybe—" Tama terdiam sebentar memandangi teh dalam cangkirnya yang sisa setengah. "Selama ini hanya dia yang aku lihat."
"Bukan," sela Raga. Tama menoleh kesal. "Itu karena kamu menolak keras melihat yang lain."
"Memangnya salah kalau aku percaya padanya dan setia seperti ini. Aku ini jenis lelaki yang langka."
"Dan yang langka itu biasanya cepat punah."
"Sialan!!!" umpat Tama seraya duduk tegak. "Udahlah. Aku akan buktikan kalau Clara tidak seperti itu. Aku sudah mengatur dengan sempurna acara lamaranku nanti jadi kamu hanya tinggal menunggu kabar kalau kami akan segera menikah."
"Yeah, semoga." Raga mengusap dagunya.
"Tunggu saja telpon dariku nanti setelah melamarnya."
"Aminin aja deh." Raga menyesap lagi kopinya dengan songong.
Tama mengusap tengkuk yang terasa pegal karena pertemuannya dengan Jelita tadi dan bersyukur bisa menghindar.
"Aku memang tidak mau mencari wanita yang lain. Wanita di luaran sana itu terlalu agresif dan banyak tingkah. Aku nggak suka." Lalu melipat lengan di atas meja. "Clara itu sempurna. Cantik, anggun dan tahu bagaimana bersikap. Sama sekali gak pencicilan."
"Kamu bisa ngomong seperti itu karena memang cintanya sama dia. Dan juga, kamu belum berhadapan langsung dengan wanita yang sifatnya berbanding terbalik dengan Clara."
"Aku nggak butuh wanita yang terlalu heboh. Bikin pusing."
"Wanita heboh itu bikin hidup berwarna tahu."
Tama memutar bola mata. "Memangnya selama ini hidupku suram,"
"Ya kira-kira begitu," kekeh Raga.
Semakin diladenin pasti Raga akan semakin menjadi-jadi. Tama mencoba mengalihkan pembicaraan, "Nanti sore aku mau langsung ke gym untuk latihan. Ada pertandingan yang harus aku mainkan. Kamu datang gak?"
"Nggak. Ada janji. Nggak bosan apa hidupmu hanya seputar rumah sakit dan gym? Sekali-sekali nongkrong di diskotek." Raga menggelengkan kepala. "Insyaf jadi preman jalanan malah jadi petinju musiman. Kamu pantas banget kalau disebut dokter gadungan."
"Ajaranmu sesat," desis Tama membuat Raga tertawa membahana. "Eh, bukannya bulan ini jadwalnya Rama pulang ya?" tanya Tama saat tiba-tiba teringat dengan sahabatnya yang menetap di Paris sama seperti Clara.
"Iya, tapi aku belum dapat kabarnya lagi. Nggak bisa ditebak keberadaannya kecuali dia nongol sendiri.”
Tama mengangguk setuju, "Iya juga sih.”
"Urus aja tuh Clara-mu," sindir Raga lagi dan senang melihat wajah kesal Tama.
"Dia pasti bahagia banget dapat calon suami sepertiku yang setia." Tama berucap bangga seraya menyisir rambutnya ke belakang.
Raga mendengus, mendorong mundur cangkir kopinya yang hanya menyisakan ampasnya dan memandangi Tama. "Tam, aku tanya sama kamu. Bagaimana seandainya Clara yang ternyata selingkuh di Paris sana?
Perlahan senyuman sombong yang tadi nampak di wajahnya memudar mendengar pertanyaan itu. Sejujurnya, dia tidak tahu jawabannya. Kemungkinan itu selalu ada meski selama ini Tama memberi Clara kepercayaan yang besar tapi membayangkan ada lelaki lain yang—
Tama berdiri dari duduknya dengan wajah pias membuat Raga terdiam melihatnya.
"Aku harus kembali ke ruangan."
Kemudian berlalu begitu saja meninggalkan Raga yang menghela napas panjang.