DRAMAQUEEN 02

2486 Words
"Jel, kamu tahu gak?" "Nggak tahu!!" balas Jelita cuek dengan tatapan fokus ke depan, memastikan mobil yang dikendarainya masih berada di jalur aman karena jalan pintas yang mereka lalui untuk sampai ke rumah Pretty berpenerangan minim juga sepi dan hujan masih menderas di luar walaupun tidak sederas beberapa jam yang lalu. Wajar aja sih karena saat ini mereka pulang larut malam setelah menghadiri birthday party dengan tema ala Marilyne Monroe lengkap dengan dandanan yang dibuat semirip mungkin dengan wanita yang menjadi simbol seks itu. "Kamu bilang jalan pintas ini ramai tapi kok sepi dan gelap begini sih?" "Kalau pagi ramai ada pasar kaget di sini." Jelita menoleh dengan sebal. "Kalau malam ya pasarnya tutup." Jelita memutar bola matanya. "Kamu tahu nggak Jel, kalau kamu itu b**o," tembak Pretty langsung membuat Jelita menoleh dengan mata melotot. "Dicarikan lelaki yang bisa dibilang di atas rata-rata tapi malah nggak doyan? Itu b**o kan namanya. Ya seperti kamu begini." "Eh, sialan!!!" desis Jelita kesal. "Aku punya alasan sendiri!!" "Nah itu dia. Aku sama Kanjeng nggak ngerti deh sama kamu dan alasanmu itu." Pretty membersihkan bekas coklat di tangannya dengan tisu seraya menoleh ke Jelita yang diam mendengarkan. "Kamu cari calon suami yang model bagaimana sih kalau yang seperti Ikhsan aja kamu hindarin. Seharusnya ya, kamu itu pasrah aja sudah dinikahkan sama dia dari pada jadi perawan tua." "Aww—" pekik Pretty saat Jelita menoyor kepalanya. "Kanjeng ada cerita apa aja sama kamu?" "Hmm, apa ya. Curhat banyaklah pokoknya satelah tadi pagi kamu lari seperti wanita yang mau dikawinkan paksa dengan kakek-kakek. Bikin malu banget. Itu juga si Akbar mau-maunya aja dimanfaatkan." "Enak aja!! Akbar itu ngerti kalau aku tuh belum siap." Pretty mendengus mendengarnya. "Apa sih alasannya? Kalian bahkan belum mencoba untuk saling mengenal.” Jelita hanya diam tidak menjawab sampai Pretty mendengus. “Kanjeng titip pesan, dia gak akan maksa kamu pulang dan ketemu lelaki itu lagi kalau memang kamu belum siap tapi kamu harus memberikan alasan yang masuk akal." "Beneran Kanjeng bilang begitu?" Jelita bertanya balik. "Iya sih terpaksa sambil terisak." "Ah nggak yakin. Pasti Mami lagi menyusun rencana lain," decak Jelita. "Dasar anak banyak tingkah—" DUKK-CIIIIITTTTT. "Eh-eh kenapa mobilnya goyang-goyang." Pretty panik. "Ah sial!!" Jelita yang tadinya kaget langsung menghentikan mobilnya. "Kamu sih kebanyakan ngomong!!" desis Jelita seraya melepas Seatbelt-nya begitu juga Pretty. "Loh, kenapa aku yang disalahin sih kan kamu yang nggak mau dinikahkan. Sepertinya ini tuh balasan karena kamu nggak mau nurutin keinginan Mamimu deh." "Sinting!!!" desis Jelita, keluar dari mobil untuk melihat apa yang terjadi dan mengacak rambutnya yang dia blow saat merunduk dan melihat ban depan mobil. "Ah sial, ban mobil pakai bocor di saat seperti ini!!" Pretty berdiri di samping Jelita sambil memeluk tubuhnya sendiri dengan tangan dan menggelengkan kepala melihat ban mobilnya lalu mengedarkan pandangan dan reflek memeluk sebelah lengan Jelita sambil bergidik sendiri dan berbisik. "Jangan noleh ke belakang." "Hah, ada apaan?" tanya Jelita heran, menolehkan kepalanya ke belakang. "OH MY GOD! Demi kerang ajaib. Kenapa kita pas banget berhenti di depan kuburan—Hmmp." Pretty reflek membekap mulut Jelita,buru-buru mendorongnya untuk masuk lagi ke dalam mobil. "Apes banget malam ini," desis Pretty dengan kesal. Jelita masih saja melihat ke arah kuburan yang ada disebrang jalan. "Mungkin kita diingatkan kalau pada akhirnya kita semua akan tidur dan menetap di sana." Pretty langsung menarik syal bulu Jelita sampai memekik dan menghadap ke arahnya. "Nggak usah sok ceramah agama begitu. Ini bagaimana nasib kita?" Pretty memang pada dasarnya takut banget sama ghost. Kalau preman dia bilang sih nggak terlalu karena ada wonder woman yang bisa menghajar mereka sampai mampus. "Loh pacarmu Stevanus mana? Telpon dong dianya saat kita dalam keadaan mengenaskan begini." "Dia tadi siang mendadak pergi ke Singapura." "Ihh alasan aja kali itu padahal dianya mau selingkuh." "Ah, kamu sirik aja karena nggak punya pacar makanya nuduh sembarangan begitu.Kamu telpon aja si Ikhsan itu siapa tahu mau bantuin." "Ogah!!" tolak Jelita langsung dan mencari ponselnya sendiri disertai helaan napas panjang. "Mau nelpon Akbar nanti tunangannya ngamuk. Ya udah deh terpaksa gak punya pilihan lain." "Siapa? Ikhsan?" "Bukan!!" geram Jelita. "Papi Superman yang selalu bisa diandalkan." Pretty merebahkan punggungnya di sandaran kursi dan mendengus. "Setelah membuat Kanjeng kesal, kamu dengan seenaknya minta bantuan tengah malam begini. Kalau aku sih nggak sudi bantuin!!" "Bisa diam nggak, kamu mau aku lempar ke kuburan sana!!" Semburnya dengan raut wajah kesal seraya menempelkan ponsel di telinga. Prilly bergidik melihat gapura pemakaman yang menyeramkan itu. "KANJEEEEEEEEEENGG!!!!" Pekik Jelita saat panggilannya diangkat. Papi Superman pasti sudah tidur. "Siapa ya?" Balas Kanjeng pura-pura lupa. Jelita cemberut. "Ih kok lupa sih sama anak gadisnya sendiri." "Nggak ingat tuh." Jelita manyun dengan wajah memelas. "Kanjengg, tolongin Incess dong." "Tolongin apa?" "Mobilnya Pretty bannya bocor di tengah jalan pas di depan kuburan lagi. Hiiii. Incess takut nih Kanjeng," Rengeknya seraya menggigiti kuku. Pretty menunggu dengan harap-harap cemas mencoba mengabaikan kalau di sana ada kuburan. Ya anggap ajalah di sana gapura sekolahan. "SUKURINNNN!!!" Jelita menjauhkan sedikit ponselnya dengan manyun saat mendengar pekikan senang Maminya. "Itu balasannya karena gak mau ketemu Ikhsan!!!" "Nggak ada hubungannya!!" "Memangnya gak ada taksi lewat?" "Gak ada. Jalanan sepi. Nanti di share lokasinya sama Pretty." "Ah kamu ini nyebelin banget. Ya udah tunggu situ." "Jangan lama-lama ya Kanjeeeengg. Aku kangen kasuuuuurr. Kanjeng memang yang terbaik deh." Jelita sumringah. "Kalau Mami gak lupa ya." TUT!! Jelita ternganga lalu memegangi kepalanya dengan tangan. "Gimana?" tanya Pretty. "Ya nunggulah. Share lokasinya." Pretty langsung mengangguk dan Jelita merebahkan punggungnya di jok kursi saat dilihatnya sorot lampu mobil di kejauhan dari spion. Tanpa aba-aba Jelita langsung keluar dan berdiri di pinggir jalan menunggu. Untungnya hujan sudah reda hanya menyisakan genangan air di mana-mana. Jelita tersenyum saat mobil di kejauhan terlihat dan melambaikam kedua tangannya di udara. "HELOOWW, ADA MARILYN MONROE KW SEDANG KESUSAHAN DI SINI. AYO BERHENTI. AYO!!" Teriaknya saat mobil sport hitam mengkilat itu perlahan mendekat tapi laju mobilnya tidak juga melambat. Sampai akhirnya. BYUUUUUUURR!!!! Jelita ternganga memandangi mobil sport itu lewat begitu saja setelah mencipratkan genangan air ke gaunnya membuatnya nampak seperti tikus kejebur got. "WOOOIIIII GILAAAAAA!!!! KUDANIL, ULAT BULU, JANGKRIK, LALAT, KODOMO, MONYET, BADAK, BUAYA!!!" Teriaknya keki menyebut sederet nama hewan seraya mengepalkan tangan ke arah mobil itu dan sempat melepas sebelah heels-nya dan melemparnya dengan sekuat tenaga tapi tidak bisa mengenai mobil sialan itu yang sudah semakin jauh. "BUAHAHAHAHAHA." Di belakangnya Pretty tertawa membahana membuatnya menoleh seraya menghentakkan kaki. Rambutnya basah dan syal bulu-bulunya lepek juga kotor dan sepatu cantiknya hilang sebelah. "Tambah cantik," katanya lagi lalu tertawa. "Zaman sekarang orang sinting semua ya. Mau minta tolong malah buat Marilyn Monroe jadi kucel begini." Jelita merentangkan tangan dan melihat keseluruhan penampilannya yang basah membuat Pretty makin tertawa membahana. "Kamu sih Nyai, makanya jangan kualat sama orang tua," sindir Pretty lagi. Tidak lama kemudian, ada mobil lain yang berhenti tepat di balakangnya. Pretty terdiam dan Jelita tanpa aba-aba langsung berbalik karena tahu kalau itu pasti Supermannya. "Kanjeeengg ihhh—" Lalu suaranya menghilang di terbangkan angin malam dan bunyi krik krik khas hewan malam terdengar. Jelita cengok dengan dandanan yang sudah buruk rupa saat bertatapan dengan— "AHHH KANJEEEEENG!!!!" Pekik Jelita lagi seraya menutupi wajahnya dengan tangan dan berjongkok di sana diiringi dengan tawa membahana Pretty di belakangnya. "Ayo aku antar pulang, Jelita." Laki-laki itu mendekat lalu ikut berjongkok di depannya. "Tadi kamu habis ngelenong di mana?" "AAAAAAKKHHHH!!!!" Jelita menjerit lagi. Ikhsan tidak bisa menahan senyuman di wajahnya. Jelita merutuki nasibnya yang malam ini apes banget. Kanjeng benar-benar memanfaatkan kesempatan. *** "Clara." "Jelita.” Dua wanita cantik itu saling berjabat tangan saat bertemu untuk pertama kalinya seraya melempar senyuman. Jelita memang menghubungi Clara untuk menjadi model parfum varian terbarunya yang akan segera di launching dan karena parfum ini sangat spesial untuknya, dia juga ikut andil dalam pemotretan tersebut bersama Clara. "Terima kasih banyak sudah bersedia menjadi model untuk parfumku ini disela jadwal liburanmu." Mereka duduk santai di sofa saling berhadapan dengan jamuan yang tadi sebelumnya disiapkan oleh Pretty. "Kapan sampai di Indonesia?" Clara mengibaskan rambutnya ke belakang sebelum menjawab. "Kemarin sore mendarat di Jakarta. Aku memang nggak lama sih di Indonesia dan karena kebetulan ini hanya pemotretan yang tidak membutuhkan banyak waktu jadi aku nggak masalah." Jelita mengangguk. "Pasti lelah?" "Nggak juga. Excited malah karena kangen dengan yang ada di sini." Jelita tersenyum, memperhatikan Clara dengan seksama, "Masih muda dan sudah menjadi model Internasional yang sangat professional di Paris sana." Clara tersenyum mendengar pujian itu. "Beruntung banget yang jadi kekasihmu." "Hmm, mungkin. Semua keberhasilan pasti ada konsekuensinya dan menjalani hubungan LDR kadang bisa menciptakan banyak masalah." Jelita tertawa pelan. "Bener sih. Kalau begitu sambil menunggu timku untuk mempersiapkan semuanya, silahkan duduk santai dulu sambil dinikmati sajiannya dan kita akan membicarakan pembayarannya nanti." "Tidak masalah. Oh ya, Aku sudah nyoba sample parfumnya. Segar banget dan benar-benar feminim. Aku suka varian yang baru ini." Jelita tersenyum. "Terima kasih banyak.” "Aku senang bisa menjadi modelnya." "Aku juga senang bisa bekerja sama denganmu." Lalu mereka mengobrol akrab seperti teman lama dan membicarakan banyak hal. Ada perasaan kagum dalam diri Clara untuk wanita yang ada dihadapannya ini karena benar-benar cantik dan memiliki selera tinggi walaupun dia mendengar kalau Jelita Maharani belum menikah sampai saat ini. Entah apa alasannya. "Kekasihmu dokter?" tanya Jelita tidak percaya saat mereka sampai dipembahasan yang agak pribadi. "Wow, yang satu dokter dan yang satu model. Keren banget." "Aku mencoba untuk menjalani hubungan beberapa tahun ini bersamanya." "Semoga saja dia segera melamarmu supaya tidak didahului para model luar negeri yang seksi dan menggoda itu." Clara tertawa menanggapi lalu menggelengkan kepala dan berucap serius. "Menikah belum ada dalam rencanaku beberapa tahun mendatang." "Oh ya?" Jelita menaikkan alisnya. "Sayang sekali, padahal kamu sudah memiliki kekasih. Jangan jadi sepertiku yang terlalu larut dalam perkerjaan dan gagal membina hubungan dengan lelaki di luar sana dan ujung-ujungnya harus pasrah jika dijodohkan. Itu semacam kegagalan kecil yang sekarang membuatku susah." Clara tersenyum. "Aku punya alasan sendiri kenapa membuat keputusan seperti itu." "Kekasihmu pasti sangat pengertian.” Jelita menduga kalau Clara terobsesi dengan kariernya yang sekarang lagi ada dipuncaknya. Alasan apalagi yang mendasarinya untuk tidak menikah. Clara tersenyum tipis, "Aku harap dia mengerti."  *** Sayang, aku harus pulang karena siang ini ada pemotretan. Kelihatannya kamu capek banget jadi aku nggak tega bangunin. Jemput aku ya jam satu. Nanti aku share lokasinya. Love you, sayang. Your Clara. "Dia bahkan masih bekerja di saat liburan seperti ini," desah Tama yang menghela napas, melihat ke arah jam dinding di mana waktu sudah menunjukkan jam dua belas siang membuatnya terbengong sesaat lalu loncat dari tempat tidur dan melesat ke kamar mandi. Untung saja hari ini dia tidak ada jadwal harus ke rumah sakit. Satu jam kemudian, Tama memarkirkan mobilnya di salah satu bangunan megah tiga lantai, melihat sekilas jam tangannya lalu mengeluarkan ponselnya berniat menelepon Clara. "Sayang, kamu di mana?" "Naik aja ke lantai dua. Tadi agak lama meetingnya. Aku masih harus pemotretan beberapa kali lagi." "Nggak apa-apa sayang. Aku nyusul ke atas." "Makasih." Tama tersenyum, mematikan sambungannya dan dengan langkah santai masuk ke dalam bangunan yang membuatnya tercengang. Interior outletnya begitu berkelas dan sangat nyaman. Setelah berhadapan dengan pramuniaga yang ada di sana, dia di suruh langsung naik ke lantai dua dan mencari pintu bercat pink. Tama melangkahkan kakinya lebih cepat saat melihat pintu itu di kejauhan karena ingin melihat Clara bekerja. Saat akan memegang pegangan pintunya, seseorang dari arah berlawanan mendahuluinya membuatnya kaget. Mereka berdiri saling berhadapan. Tama merasa pernah melihat lelaki di hadapannya ini yang menatapnya seksama tapi dia lupa di mana. "Mau masuk?" Tanyanya. "Iya. Sekalian aja kalau gitu." Laki-laki itu mengangguk, membuka pintunya dan mereka masuk ke dalam bersisian dan berhenti di ambang pintu karena di dalam agak ramai. Tama sempurna membeku saat melihat tempat photoshoot tidak jauh di depannya meski dari arah samping dan melihat sesuatu yang tidak pernah diduganya. Dua wanita cantik sedang melakukan pengambilan gambar dengan gaun panjang mereka. Wanita yang satu memakai gaun kuning sementara yang satu lagi memakai gaun pink dan masing-masing membawa parfum di tangannya. "Yak kalian ganti pose," teriak si fotografer. "Oke. Clara dan Jelita siap ya. Satu, dua, tiga." Kilatan blitz memancar ke seluruh ruangan. Tama hanya bisa bengong sebengong-bengongnya. Dunianya sempit seketika. Tama tidak pernah menduga kalau dia akan melihat Clara dan Jelita dalam satu frame untuk iklan parfum terbaru. "Cantik banget Jelita." Tama menoleh ke samping dan melihat senyuman di sudut wajah lelaki itu tanpa mengalihkan tatapannya dari wanita bergaun pink di depan sana. "Kamu siapanya Jelita?" Lelaki di sampingnya menoleh dan mereka saling berhadapan. Entah Tama sadar atau tidak dengan sesuatu yang tadi ditanyakannya. Tama hanya bingung. Apa ini kebetulan atau kah— Kenapa sepertinya, Jelita sedang berputar di dalam dunianya? “Memangnya penting kalau aku memberitahumu.” Jawaban Laki-laki itu membuat Tama bungkam. *** Apa mungkin sosok Tama tadi hanya halusinasinya? Entah kenapa, beberapa hari ini pikirannya selalu tertuju ke lelaki itu padahal mereka tidak pernah bertemu lagi untuk waktu yang cukup lama. Membiarkan saja foto mereka di dompetnya menguning di makan zaman, hanya jadi kenangan. Walaupun mereka memang tidak pernah mengukir cerita di sana. Hanya kebetulan dan Jelita sadar kalau dia d***o banget masih menyimpannya. Dia hanya berpikir terlalu sayang untuk dilupakan. Duh, galau. "Nggak ada harapan," gumam Jelita seraya memegangi kepalanya. Pusing. "Masih kok. Nyatanya aku ada di sini bukannya mengejar cinta wanita yang lain." Jelita tersentak, mengangkat kepalanya dan bertemu tatap dengan Ikhsan yang duduk santai di sofa kantornya setelah semua photoshoot itu selesai. "Sejak kapan kamu di situ?" Tanya Jelita. Ikhsan diam hanya tatapannya saja yang tidak teralihkan lalu memajukan tubuhnya sedikit membuat Jelita reflek mundur. "Kamu membuat parfum apa gas hilang ingatan?" Jelita manyun dan merebahkan punggungnya di sofa. Dia lupa kalau saat melamunkan sosok Tama yang tadi sepertinya sempat dia lihat ada di dalam gedung kantornya ini, dia sedang bersama Ikhsan. “Kenapa kamu segitu yakinnya menjalin hubungan denganku padahal kita baru bertemu?" "Kamu tidak akan mengerti dan aku tidak akan menjelaskannya sekarang di saat kamu bahkan berusaha menghindariku beberapa kali. Jadi, apa pembelaanmu?" Jelita memijit pelipisnya. "Aku butuh waktu." Ikhsan mengerutkan alisnya. "Aku belum siap." Ikhsan melipat lengannya di d**a. "Aku butuh berpikir dulu." Ikhsan menaikkan alisnya. "Aku—" "Apa kamu butuh berpikir dulu sampai umurmu tiga puluh lima tahun baru memutuskan untuk menerimaku?" Jelita melotot. "Hmm, padahal dalam jangka waktu selama itu kamu bisa berojolin satu anak." "Kamu ini nyebelin ya!!" sembur Jelita. Helaan napas Ikhsan terdengar. "Baiklah. Aku tidak akan memaksa. Berapa lama waktu yang kamu butuhkan?" "Tiga bulan," jawab Jelita. "Dua bulan." "Dua bulan setengah." "Satu bulan." Jelita cemberut. "Satu bulan setengah." "Dua minggu." "Kalau begitu sekembalinya aku dari Paris." Ikhsan diam. "Aku akan memberi jawaban dan kamu harus menerima keputusanku." Ikhsan tidak mengatakan apapun sementara Jelita menunggu dengan tidak sabar. Disaat Ikhsan masih saja memandanginya, dia berdiri dan berjalan ke arah meja kerjanya. "Aku harus kembali bekerja. Kalau kamu mau pu—" "Baiklah." Ikhsan berdiri, mencekal lengan Jelita yang melewatinya sehingga mereka berdiri berhadapan. “Aku sudah di sini jadi ikut aku makan siang. Kali ini aku tidak mau ditolak." MAMPUSSS!!! Jelita menjerit dalam hati dan sempat berpapasan dengan Akbar yang hanya diam memandanginya seraya melambaikan tangan padahal wajahnya sudah memelas tadi.  ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD