Bina Punya Mereka

1016 Words
"HAHAHA ...." Haekal tertawa sangat kencang mengingat semua itu. "Dulu gue kira, lo itu orangnya kalem gitu, Bin. Ternyata lo urakan juga!" Ia memukul-mukul pahanya saking tidak bisa menahan tawa. "Gue kira lo itu orang jahat." Bina membalas singkat. "Wah, jahat banget lo, Bin." Reaksi Haekal kembali berlebihan. "Ya elo, ngikutin gue sampai komplek!" Bina mendengus. "Gue kan mau mastiin kalau lo pulang dengan selamat!" "Mana ada orang asing yang saling peduli?" Haekal berdehem, menetralkan suaranya yang sedikit serak karena terlalu banyak tertawa. "Sebenarnya kita itu bukan orang asing." "Maksud lo?" Tanya Bina karena penasaran dengan apa yang dimaksud Haekal. "Gue udah sering lihat lo. Dari awal daftar ulang, ospek univ, sampai ternyata kita satu jurusan." "Wah, lo selalu perhatiin gue, ya?" Mata Bina memincing. Haekal mengangguk. "Iya. Karena dulu itu lo sendirian mulu. Baru gue lihat lo deket sama Ayu waktu ospek jurusan." "Ya kan gue belum ada temen waktu itu." "Lo itu lucu, Bin. Kayak nggak masalah gitu nggak ngobrol sama orang walau orang itu seharian full ada di samping lo." "Kapan gue gitu?" "Pas ospek univ. Seharian di Graha Matahaya, gue liat lo sama sekali nggak ngobrol." Bina kemudian tekekeh mendapati kebenaran itu. Memang benar, Bina tidak suka berbasa-basi terhadap orang asing. "Nggak ada gunanya juga, sih. Toh, belum tentu kalo waktu itu gue langsung akrab sama orang-orang, orang itu masih akrab sama gue sampai sekarang." Bina menarik napas. "Awalnya sok akrab, minta nomor w******p, tapi ternyata cuma buat lihat-lihatan story." Bina memutar bola matanya, merasa jengah dengan manusia-manusia seperti itu. "Tapi kalau gue nggak kayak gitu kan, Bin?" Haekal menaik-turunkan kedua alisnya. Langsung saja tampolan mendarat di lengan kirinya. "Eh, Bin." Haekal beralih menatap mata Bina lekat-lekat. "Dulu kita kalo ngobrol pake saya-kamu, tapi sekarang kok berubah, sih." "Karena kita udah akrab." Jawab Bina dengan singkat. "Seakrab apa?" Tanya Haekal kemudian. Bina memincingkan matanya menatap matahari yang mulai muncul setelah tadi sempat mendung. "Kita itu seakrab Upin dan Ipin." Ucap Bina kemudian. "Upin Upin mulu, dah." Bahu Haekal merosot. Ia kira, perumpamaan yang Bina katakan adalah perumpamaan indah ala-ala pujangga dalam puisinya. "Lo pernah lihat kartun Upin Ipin nggak sih, Chan? Di sana itu nyeritain kalau Upin sama Ipin nggak bisa dipisahin." Jika sudah membahas kartun tentang anak kembar itu, jiwa-jiwa fangirl Bina mulai memberontak. "Ada satu episode di mana Ipin mengkhayal kalau Upin itu udah gede terus ninggalin dia buat kerja ke kota. Awalnya Ipin ngerasa biasa aja, tapi akhirnya dia kesepian." "Jadi, kalau gue pergi, lo bakal kesepian?" ucap Haekal begitu Bina selesai berbicara. Bina mengangguk. "Bukan cuma lo doang, Ayu sama Mark juga. Tapi karena gue lebih deketnya ke elo, jadi level kesepiannya sedikit lebih tinggi." Haekal hanya bisa tersenyum mendengar penuturan yang sepertinya memang jujur dari mulut Bina. "Lo ingat nggak? Pas lo nggak masuk dua minggu gegara operasi, selama itu gue kesepian, tau nggak sih! Walau ada Ayu sama Mark yang selalu bareng gue, tapi tetep aja rasanya beda!" Nadanya meninggi, sampai air mata menggenang di pelupuk netra gadis itu. Haekal masih belum berucap apa-apa, sedangkan Bina berusaha mengatur napasnya. "Ibaratnya, lo itu Ipin dan gue Upin. Gue pengen ngelindungin lo." "Hah. Gimana, Bin?" Haechan menginterupsi tidak terima. "Gue kan cowok, harusnya gue yang ngelindungin lo. Gue Mail, lo Susanti." "Tapi gue maunya Upin sama Ipin. Nggak mau Mail. Dia itu pelit!" "Berarti gue Upinnya dan lo Ipin!" "Tapi gue lebih tua dari lo, Chan!" "Apa salahnya?" "Ya gue maunya lo jadi Ipin!" "Iya, deh. Terserah lo." Dalam hati Haekal, gue diam-gue ganteng. Perdebatan tentang siapa yang menjadi Upin atau Ipin akhirnya selesai. Keheningan terjadi. Mereka hanya menatap kendaraan yang berlalu-lalang sambil menikmati angin sepoi di trotoar Jl. Surabaya dengan pikirannya masing-masing. "Bin ...." "Hm?" "Kenapa perumpamaan yang lo pakai itu Upin Ipin? Kenapa nggak Spongebob sama Patrick aja? Kan mereka yang paling bener-bener sahabatan." "Karena kita itu manusia. Bukan sponge apalagi bintang laut." Haekal hanya terkekeh, masih menatap wajah Bina dari samping. Sejatinya ada yang ingin laki-laki itu ucapkan tentang perasaannya selama ini pada perempuan bernama Bina Sabrina. Harusnya ini adalah waktu yang tepat, mengingat mereka sekarang hanya sedang berdua, ditambah suasana semilir yang menenangkan. Tetapi, menyadari bahwa dirinya dan Bina sepertk Upin dan Ipin, akan lebih baik jika Haekal tidak akan pernah mengungkapkan perasaannya. Atau mungkin, ia akan mencari waktu lain yang lebih tepat. Haekal tidak menginginkan hal lebih, misalnya berpacaran dengan Bina, karena hal itu mungkin saja akan membuat persahabatan mereka menjadi rusak jika ada permasalahan dalam hubungan pacaram. Ia hanya ingin perasaannya di dengar oleh sang penguasa hatinya. Laki-laki itu lalu menggenggam tangan Bina, membawa ke pangkuannya. Bina menoleh, mendapati Haekal dengan wajahnya yang hangatㅡsehangat matahari siang ini. Perasaannya lagi-lagi berkecamuk. Bina mulai takut akan perasaannya itu. Tetapi ia juga tidak yakin perasaan apa yang sebenarnya ia rasakan. Mungkin itu adalah perasaan takut kesepian karena sebentar lagi Haekal akan pulang ke Surabaya. "Nggak papa deh gue jadi Ipin," ucap Haekal akhirnya menerim untuk menjadi Ipin alih-alih Upin. Namun, sepertinya perdebatan tentang perkara Upin dan Ipin belum berakhir. "Tapi gue nggak akan biarin lo ngelindungin gue. Karena Upin dan Ipin itu saling ngelindungin." Ucapnya pasti Bina tersenyum, mengusap puncak kepala bocah tengik itu. Haekal memang terkadang menyebalkan, tetapi rasa sebal itu bisa langsung hilang karena Haekal juga sangat menggemaskan. Memiliki Haekal dalam hidupnya, sama saja Bina merasa memiliki teman hidup, yaitu seorang Haekal Surya. "Haekal, jadi sahabat gue selamanya ya," ucap Bina dalam hati dan yang pasti dengan harapan tinggi. Dan satu lagi, Bina tidak pernah main-main dalam mengucapkan harapannya itu walau hanya dalam hati. Rasanya tidak perlu memiliki banyak teman lagi ketika Bina sudah memiliki Haekal. Selama ini juga begitu, bahwa satu-satunya orang yang paling akrab selain keluarganya adalah Haekal. Haekal segalanya bagi Bina dan Bina tidak mau bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana ia menjalani hidup tanpa laki-laki itu, laki-laki yang bahkan selalu membuatnya tertawa walau tak jarang tingkahnya amat terasa menyebalkan. Haekal itu cerdas. Cerdas membuatnya selalu tertawa, juga sangat hobi membuatnya menahan amarah namun setelahnya Bina akan bahagia. Pokoknya seperti di cerita kartun Upin dan Ipin, bahwa Bina dan juga Haekal tidak bisa dipisahkan, dan semoga tidak akan terpisahkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD