Prolog (Revisi)

1221 Words
Pagi dengan matahari yang bersinar adalah awal yang sangat menyenangkan. Ditambah dengan keadaan semalam yang baru saja hujan. Menambah kehangatan di pagi hari. Yang mana mampu membangunkan lelaki di kasur besarnya itu. lelaki yang baru saja mengucek matanya dan bangkit dari kasur seraya melirik sekitar. Membiarkan piyama dan celana tidurnya yang tergeletak di lantai, lelaki itu berdecak karena tidak dibangunkan. Menatap sekitar sekali lagi, ia yakin kalau kamarnya baru saja ditinggalkan oleh seseorang. Terlihat dari jendela yang terbuka ditambah dengan lampu tidur yang sudah dimatikan. Berjalan lesu, ia akhirnya memilih keluar dari kamar. Menuruni tangga kecil dengan tangan yang menyugar rambut, lelaki itu tidak berniat memakai pakaiannya yang sudah teronggok di lantai seperti kain tak terpakai. Hanya mengandalkan boxer yang menutupi kakinya, David—lelaki yang baru saja membuka pintu kamarnya itu mengernyit kala mendengar suara ribut dari arah dapur. “Bunda! Kan kata Daddy juga jangan masak dulu!” Seru seseorang yang sangat David kenal suara siapa. Lelaki itu lantas kembali melangkah menuju dapur mini yang sengaja ia buat di lantai dua. Dan saat kakinya sampai, David hanya bisa tersenyum dan tidak melerai anak perempuannya yang tengah sibuk memerintahkan sang istri agar tidak memasak. Bersedekap d**a, David memilih menonton alih-alih melerai keributan pagi itu. “Gak papa, Sayang. Cuman masak roti selai sama telur aja kok. Gak buat Bunda capek,” kata wanita yang hanya bisa David lihat punggungnya. Wanita yang kini tengah asik dengan wajan yang berisi telur. Seakan tidak mendengarkan apa yang anaknya katakan. “Jangan Bunda! Kan ada Mbok Surti. Mbok bisa masak sarapan enak kok,” jawab anak perempuannya lagi dengan nada tidak yakin. Tawa langsung menguar dari bibir wanita itu. Yang mana membuat David juga terkekeh pelan. “Kan Bunda juga cuman masak sarapan. Gak akan kenapa-napa, Sayang.” “Bohong! Kemaren aja Bunda gak keluar kamar. Kata Daddy Bunda gak enak badan. Kenapa sekarang juga masak? Daddy juga udah bilang sama Nan buat gak bolehin Bunda masak kalau nanti Bunda masuk ke dapur.” David mengangkat sebelah halisnya kala anaknya membawa namanya dengan nada santai. Biasanya gadis itu tidak akan mau memakai namanya jika sedang membujuk wanita yang dipanggil Bunda itu. David menggeleng-gelengkan kepalanya kala anaknya terus berusaha agar wanita itu keluar dari dapur. Namun bukannya keluar, wanita itu malah mengangkat anak keduanya dan memasak dengan Kinan yang kini berada digendongan. Yang jelas membuat David sangat geram. Tak mau sesuatu terjadi, David memilih langsung mendekat. Tidak lagi diam mematung dan memperhatikan interaksi anak dan istrinya. “Turunin Kinan,” titah David dengan suara mutlak. Yang jelas tidak ingin wanita yang sedang terperanjat kaget itu membantah atau tidak menuruti perkataannya. “Daddy! Daddy, masa Bunda masih masak? Padahal Daddy kan udah larang. Iya, kan?” Adu gadis kecil yang baru saja David sebut namanya. Kinan Fernando Archer. Gadis berusia lima tahun yang masih berada di sisi kanan istrinya. “Ra, turunin Kinan,” titah David lagi yang merasa jika wanita itu tidak juga mendengar apa yang dikatakannya tadi. “Kenapa sih, Mas? Lagian Kinan gak berat banget—“ “Aku bilang turunin,” ujar David yang kali ini berhasil membuat wanita itu menghembuskan napasnya dan mneurunkan Kinan setengah hati. Tubuhnya berbalik dan menatap David engan tatapan jengkel. Yang mana malah dibalas ndegan senyuman manis dari David. Membuat wajah muak istrinya kembali muncul. “Udah, kan?” Katanya dengan nada kesal. “Kamu tahu, kan kalau—“ “Kayanya Mas harus mandi. Sekarang udah jam tujuh. Jangan sampe telatnya Mas juga karena aku,” ujar wanita itu dengan nada merajuk. David menghembuskan napas geli. Bisa-bisanya wanita ini merajuk di saat-saat seperti ini? David berjongkok, mensejajarkan tingginya dengan sang anak yang masih tak mnegerti dengan apa yang dikatakan orang tuanya itu. Mengelus kepala anak perempuannya dengan lembut, David lalu membisikkan sesuatu pada gadis kecil itu yang mana beberapa detik kemudian gadis itu mengangguk dan pergi dari dapur. Saat akan bangkit kembali, David tidak sengaja melihat istrinya yang memiringkan kepala seakan ingin mendengar apa yang baru saja ia bisikkan pada Kinan. Merasa perlu menjahili istrinya sesekali, David mendekatkan bibirnya pada telinga wanita itu. “Kinan bangunin Abang, ya. Soalnya Daddy harus hukum Bunda yang ngeyel,” bisik David dengan kalimat yang sama saat ia berbisik pada Kinan. Sontak saja wanita yang sedang mematikan kompor itu berbalik dan menemukan David yang sudah di depannya. Wajah lelaki yang baru bangun tidur itu membuat Zira berjaga-jaga. Merasa jika akan ada hal yang berbahaya untuknya. Namun usahanya sia-sia karena sang suami sudah merengkuh pinggangnya dan mengangkatnya ke atas pantry. Memberikan kecupan—sepertinya bukan kecupan—karena durasinya tidak hanya satu detik. Tapi satu menit. Belum lagi lelaki itu kini mencium kedua matanya dan beralih pada lehernya. “Saya gak pernah larang kamu untuk gendong si kembar kalau kamu gak lagi isi, kan?” bisik lelaki itu dengan tangan yang kini mengelus perur ratanya. Yang berhasil membuat Zira melupakan amarahnya dan mendorong David agar menjauh. Sebab matanya tak sengaja melihat pergerakan dari tangga yang menandakan jika anak-anaknya akan segera sampai dapur. “Ra..” “Ada anak-anak,” jawab Zira singkat. David mencebik, namun sesaat kemudian ia mengeluarkan senyumnya karena mata jelinya tak sengaja melihat rona merah pada wajah istrinya. *** “Dadah, Bunda!” Zira tersenyum dan membalas ucapan dari kedua anaknya yang tertelan pintu kelas. Melirik jam tangan, Zira tersenyum kembali karena sekarang sudah waktunya ia kembali ke kantor dan mengerjakan apa yang harus ia kerjakan. Bruk. “Eh?” “Aduh.. maaf ya, Bu. Saya gak lihat ada Ibu tadi,” ucap seorang perempuan dengan hijab lebarnya yang melekat di kepala. Zira berjongkok dan membantu perempuan itu untuk mengambil buku-buku yang jatuh. Sepertinya itu buku anak-anak. Terlihat dari sampul buku yang juga pernah Zira pasangkan pada buku kedua anaknya. “Ibu gak papa?” tanya Zira saat keduanya sudah selesai mengambil buku yang berserakan. “Tidak apa-ap—Zira?” Zira yang awalnya menunduk langsung mendongkak dnegna kedua halis yang hampir menyatu. Matanya membulat kala menyadari seseorang yang baru saja ia tabrak bukanlah seseorang yang asing. “Lho, Mbak Meira?” Tebak Zira yang mendapat anggukan. Zira langsung tersenyum dan mennayakan kabar. “Alhamdulillah baik. Kamu gimana? Abis anter si kembar ya?” Zira mengangguk dan menunjuk pada kaca yang menampilkan postur anak-anaknya sebab duduk di paling belakang. “Alhamdulillah baik, Mbak. Mbak guru di sini?” “Iya. Kebetulan temanku yang punya TK butuh bantuan. Jadi aku bantu selagi senggang. Kamu masih kerja? David gimana—ah, maksud aku..” “Baik kok, Mbak. Mas David juga baik. Iya, aku juga masih kerja. Gak enak kalau di rumah terus rasanya,” jawab Zira dengan senyum manisnya. Wlaau tak bisa dipungkiri jika saat ini hatinya tengah merasakan panas yang ia sendiri tidak tahu apa penyebabnya. Apa karena perempuan di depannya ini? “Maaf. Mbak salah—“ “Salah apanya? Hak Mbak kok mau tanya keadaan Mas David. Eh, maaf ya, Mbak. Zira gak bisa lama-lama. Soalnya harus ke kantor. Kerjaan lumayan numpuk,” ujar Zira tak enak hati. Yang mana membuat wanita itu mengangguk kecil. “Sekali lagi maaf ya, Zira.” “Iya, Mbak gak papa. Maafnya simpen buat nanti lebaran, Mbak,” kelakar Zira dengan tawa kecil sebelum akhirnya pamit pergi. Kenapa? Kenapa hatinya merasa sangat kesal dan tak suka? Apa karena wanita sempurna yang lembut dan sangat baik itu adalah mantan suaminya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD