Chapter 1 (Revisi)

1650 Words
Meja kayu yang rapi dengan banyak dokumen yang menumpuk menjadi pemandangan pertama bagi sosok yang datang dengan wajah lesu. Melangkah lebar dengan kakinya yang panjang, lelaki dengan gelar tertinggi di kantor itu menghela napas. Tangannya menyugar rambut ke belakang. Duduk di kursi hitam yang menjadi kursi kebanggaannya, tangannya dengan cepat menyambar satu persatu map di depannya. Papan kayu berwarna hitam yang bertuliskan ‘David Fernando A’ itu memberitahu tentang siapa sebenarnya lelaki yang kini duduk di kursi hitam seraya mengurut kening. “Jangan dipaksain kalau emang capek,” ujar seseorang yang baru saja masuk ke dalam ruangan lelaki itu. Membuat Dvaid mendongkak dan tersenyum kecil. Ia menatap wanita yang kini tengah berjalan mendekat itu dengan senyum menggoda. Kemeja putih yang tertutup jas hitam khas perempuan dan juga jilbab berwarna biru yang menutupi kepalanya tampak begitu memikat. Belum lagi wajahnya yang kini terlihat lebih baik dari minggu-minggu lalu sebab memakai make-up. “Cantik,” goda David ketika wanita itu sudah duduk berhadapan dengannya. “Gak usah ngomongin hal yang gak penting. Makan, abis itu tidur. Nanti aku bangunin kalau sekiranya udah agak lama,” jawab wanita dingin. David kembali tersenyum. Tangannya yang semula berada di atas keyboard langsung menggenggam sebelah tangan wanita itu dan menatap mata berwarna coklat yang beberapa hari ini selalu memandangnya dengan tatapan dingin dan kesal. “Kamu masih marah gara-gara kejadian tadi pagi?” Tanya David yang menurut wanita itu malah lebih ke arah memancing keributan. Tidak menjawab adalah hal yang paling tepat menurutnya, wanita itu langsung menarik tanganya dan menyodorkan kotak bekal yang sudah ia bukakan. “Makan,” titahnya dan beranjak pergi. David yang melihat itu hanya bisa menghela napas. Ia melihat ke arah kotak bekal yang terisi penuh dengan segala makanan, buah-buahan dan juga cemilan ringan. Ada tiga kotak bekal. Satu berukuran sangat kecil dan duanya lagi berukuran sedang. Yang kecil berisi sambal buatan wanita itu yang David akui sangat enak. Dan satu kotak bekal sedang berisi buah-buahan kesukaannya yang terdiri dari, anggur, apel, pir, dan beberapa buah persik (plum). Sedangkan kotak terakhir berisi nasi, ayam bakar, beberapa potong sosis, sayur dan cemilan ringan. Menghela napas, David melihat isi kotak bekal itu dengna tatapan miris. Wanita itu sangat berbeda. Berbeda dengan kedua wanitanya yang pernah singgah di hati David. Dua wanita yang selalu menjadi pertengkaran antaranya dengan perempuan tadi. Menutup kembali bekal itu, David memilih membawanya keluar. Ia tidak mungkin makan sendiri sedangkan istrinya tengah mengurus segala urusan perusahaan yang katanya harus di selesaikan sekarang. David sangat bersyukur karena wanita itu sempat bercerita sepanjang malam—ketika keadaan mereka masih baik-baik saja. Memasuki lift khusus, David hanya bisa berdoa semoga saja wanita itu masih di tempatnya dan belum beranjak ke kantin. Karena jika memang sudah berada di kantin, akan sangat merugikan bagi David. Sebab jarak antara ruangannya dengan ruangan wanita itu saja sudah jauh, belum lagi harus ke kantin yang kembali naik lift. Begitu bunyi lift terbuka, David langsung keluar. Kedua mata abunya melihat sekitar yang tampak kembali sibuk. Memang sekarang waktu istirahat sudah habis. Dan orang-orang pasti sangat sibuk dengan tugasnya masing-masing. Tapi, apa harus sesibuk ini? “Den!” Panggil David pada salah satu pegawai kantor yang lewat. Lelaki dengan kemeja birunya itu langsung berhenti dan membalikkan badan. “Ada apa, Pak?” Tanyanya sopan. “Zira masih ada di ruangannya?” Tanya David dengan nada harap yang begitu tinggi. “Saya kurang tahu, Pak. Tapi tadi saya lihat Ibu Zira pergi bersama Ibu Sinra.” David berdecak kesal mendengar hal itu. Berterimakasih sebelum kembali berjalan, Davi sanagt yakin jika istrinya dibawa oleh orang lain ke kantin. Tak ingin membuang waktu dan membuat masalah semakin melebar, David memilih menelepon istrinya. Sayangnya ponsel yang sangat ia butuhkan itu tertinggal di atas meja. Menepuk keningnya keras, David melihat sekitar kembali. Mungkin saja ada yang punya nomor istrinya. Sebab David tak hapal berapa nomor istrinya. “Kamu punya nomor Zira?” Tanya David to the point pada seorang gadis yang berada di kubikelnya. “Saya gak punya, Pak. Aurora biasanya punya,” jawab gadis itu seraya menunjuk wanita yang tengah sibuk di depan computer. David mengangguk dan berjalan menuju gadis lain yang tadi disebutkan namanya, Aurora. “Saya pinjam ponsel kamu, dan tolong telepon Zira sekarang,” ujar David yang jelas membuat Aurora terkejut bukan main. Gadis itu mnegangguk dan buru-buru mengambil ponselnya di dalam tas. Mendial nomor yang sering ia hubungi beberapa hari terakhir. Dan saat terhubung, Aurora segera memberikannya pada David. “Halo, Aurora? Ada apa?” David menggeram kecil. Bisa-bisanya wanita ini berbicara lembut pada pegawai lain dan bersikap dingin padanya? “Kamu di mana?” Tanya David yang sedetik kemudian langsung mendapat suara panggilan diputus secara sepihak. “Ini hape kamu kenapa, sih? Kok langsung di matiin?!” Tanya David pada Aurora dengan kesal. “Di-di matiin, Pak?” Tanya Aurora takut. “Iya! Ck, telpon lagi,” titah David seraya menyodorkan ponsel yang sudah terkunci itu. “Ditolak, Pak,” cicit Aurora dengan nada kecil. David mendengkus sebal. Mengeluarkan dompetnya, David keluarkan uang seratus ribu dan memberinya pada Aurora. “Bayaran kuota yang sudah saya pakai. Terima kasih,” ujar David sebelum akhirnya pergi berlalu begitu saja. Rasanya akan sangat sia-sia untuk menyusul istrinya. Dan hanya satu cara saja yang bisa David lakukan sekarang. Semoga saja cara ini berhasil. Karena jika tidak berhasil juga, maka masalahnya dengan wanita itu tidak akan selesai sampai rumah. Dan David benci ketika wanita itu menolak pulang bersamanya dan hanya ingin pulang sendiri.     ***       “Makasih ya, Ma. Baksonya ternyata enak. Zira seneng banget. Dari kemarin pengen bakso tapi gak ada yang lewat depan rumah.” “Sama-sama, Nak. Nanti kalau emang mau makanan yang di kantin lagi,  bilang aja sama Mama. Biar bisa makan di kantin dengan tenang. Untung tadi David juga gak nyusul kamu ke sana, kan?” Zira—wanita yang berjalan dengan langkah pelan itu mengangguk. Namun di hatinya ia tidak bisa menahan rasa takut jika nanti ia bertemu dengan lelaki yang menjadi suaminya itu. “Kalau gitu, Mama balik ke ruangan, ya! Kamu langsung istirahat dulu aja. Jangan pikirin kerjaan dulu. Muka kamu pucet gitu, padahal udah ditutup pake make-up, kan?” Zira menyengir lebar dan mengangguk sebelum akhirnya pergi. Wanita itu berhenti mlangkah kala melihat pintu ruangannya terbuka. Mengerutkan kening, Zira merasa ada hal yang tak beres. Wanita muda itu melirik sekilas ke arah kaca yang bisa memantulkan keadaan ruangannya saat ini. Matanya membulat kala melihat pria yang baru saja mereka bicarakan tengah duduk anteng di sofa dengan kaki yang saling menumpu. Di tangannya terdapat kotak bekal yang Zira bawa. Merasa tanda alarm di kepalanya berbunyi, buru-buru Zira berfikir dan mencari hal yang bisa mengalihkan kemarahan lelaki di sana. Sebab jika tidak, Zira tidak yakin siangnya akan berjalan dengan lancar dan baik. “Ibu Zira, ya? Tadi Pak Dave nanyain Ibu sama saya. Kayanya beliau ada di dalam ruangan Ibu,” ujar seorang pegawai lelaki yang menepuk bahu Zira sekali. “Ah, makasih Dentra. Apa Pak Dave gak nanya apa-apa sama kamu lagi?” “Gak, Bu. Cuma tadi saya lihat muka Pak Dave kayanya khawatir gitu, Bu. Bawa kotak bekal juga. Mungkin karena takut Ibu belum makan..?” Bukan! Itu dia pasti marah gara-gara sikap saya, Den! Zira hanya bisa mengangguk dan pergi setekah mengucapkan terima kasih. Wanita itu melirik sekali lagi ke arah ruangannya yang terlihat lebih terang dari ruangan lainnya. Berdehem pelan, Zira hanya bisa berdoa agar tidak terjadi hal yang menyakitkan nanti. “Dari mana kamu?” Pertanyaan yang terlontar dari mulut lelaki itu. Pertanyaan yang tidak bisa Zira jawab, karena jika lelaki ini tahu dirinya pergi kemana, sudah pasti akhirnya tidak akan baik. “Mas ngapain ke sini?” Tanya Zira dengan nada lembut. Ia tidak bisa mengeluarkan nada dinginnnya walau masih kesal dengan perbuatan suaminya ini pagi hari tadi. Benar, David dan dirinya adalah pasangan suami istri. David yang notabenennya adalah atasan Zira di kantor, kini menjadi suaminya sekaligus ayah dari anaknya nanti. Lelaki yang tengah mengusap wajahnya dengan tangan itu adalah lelaki yang berhasil membuat Zira jatuh cinta dalam waktu setahun berhubungan sebagai suami istri. Lelaki yang selama setahun ini sangat bersikap baik pada Zira. Lelaki yang selama ini selalu bisa memberikan apa yang Zira mau. Namun tidak dengan satu hal, hatinya. “Udah makan?” Tanyanya dengan nada khawatir. Zira tersenyum dan terpaksa menggeleng. Siapa yang tidak akan merasa senang diberi harapan seperti ini? Siapa yang tidak akan merasa nyaman jika perlakuan lelaki ini selalu berada di luar batas? Siapa yang tidak akan merasa senang jika lelaki ini terus memperhatikan? “Makan bareng aja. Saya juga belum makan.” “Mas belum makan?” “Kamu kira saya sudah makan dengan kotak bekal yang masih penuh?” Zira meringis dan mengangguk pelan. “Mas gak marah?” “Hah? Saya yang marah?” Tanya lelaki itu dengan tangan yang menunjuk ke dadanya sendiri. “I-iya.. kan Mas jadi gak makan siang.” “Harusnya saya yang tanya, kamu masih marah gara-gara kejadian pagi tadi?” Zira tidak menjawab dan memilih duduk di dekat David. Tangannya yang berada di meja langsung ditarik oleh David dan diganggam dengan hangat. “Kamu harus tahu kalau saya gak mungkin larang kamu masak kalau kamu gak lagi kaya gini, kan? Saya gak pernah larang kamu lakuin apapun sebelum kamu kaya gini, kan? Saya gak mau ada apa-apa—“ “Aku ngerti. Maafin Zira ya, Mas.” David tersenyum dan mengangguk, tangannya terangkat dan menarik kepala wanita itu agar bisa ia peluk dengan hangat di d**a bidangnya. Mengusap kepala wanita itu dengan tangannya, Dvaid bisa merasakan aroma lain dari tubuh wanita ini. “Kamu habis makan bakso, kan?” Mampus! “Dan kamu makan bakso tanpa makan nasi dulu? Bagus, Zira!” “Mas—itu, aku…” “Bohongnya pinter banget, sih! Diajarin siapa, hm?” David menarik hidung bangir hidung wanita itu dengan tangannya. Harus banget sikap kamu kaya gini?  Tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD