Chapter 2 (Revisi)

1996 Words
Zira membuka pintu ruangannya kala seseorang mengetuk. Matanya membulat kala melihat siapa yang kini tengah berdiri di depannya membawa seorang anak kecil. Sosok cantik yang memakai dress dengan jas dokternya itu menatap Zira dnegan tatapan antusias. Sampai-sampai Zira lupa jika orang itu membutuhkan kursi untuk duduk. “Halo, Tante!” Sapa wanita yang berdiri di depan Zira seraya melambaikan tangan anaknya yang masih sangat kecil itu. “Ya ampun! Kak Nita! Masuk, Kak. Aku sampe lupa gak suruh Kakak masuk.” Nita—atau lebih tepatnya adalah Anita. Wanita dengan wajah oriental dan mata bulat manis itu adalah teman dekat David sejak di rumah sakit. Wanita yang dulu pernah mencintai suaminya namun tak mendapat balasan itu kini tengah duduk bersama dengan Zira. Wanita yang menjadi sosok penguat suaminya kala masalah menerjang David. Wanita ini juga yang meyakinkan David untuk menikah dengannya dan memikirkan dengan baik apa yang harusnya lelaki itu lakukan. Wanita yang secara tidak langsung sangat berjasa di kehidupan suaminya. “Ini Jingga?” Tanya Zira antuasias. Anita mnegangguk. Wanita itu lalu membuka topi pink yang sejak tadi menutupi rambut kecoklatan milik anaknya. “Cantik banget, Kak!” “Iya, kan? Pertama aku lihat aja udah gemes banget,” ujar Anita dengan senyum yang tak pernah luput dari wajahnya. Anita sudah menikah. Dan suami dari wanita itu adalah Daniel Graha. Lelaki yang lagi-lagi adalah teman dekat David. Lelaki yang sayangnya juga pernah mencintai istri pertama David. “Gimana tes kesehatannya, Kak? Maaf ya, Kak. Aku belum sempet ke rumah Kakak.” “Santai aja kali. Aku juga paham kok gimana posesifnya tuh anak,” ujar Anita dengan tangan yang menepuk pipi anaknya. Zira meringis saat mengerti dengan maksud Anita. “Jingga sehat, sih. Katanya udah biasa juga sama kondisi rumah kita. Cuman perlu beberapa waktu buat menyesuaikan kondisi aku sama Danielnya aja. Mungkin karena biasanya di panti banyak orang kali, ya? Jadi waktu datang ke rumah nangis. Kaya nyari temen buat main.” Zira mengangguk paham. Fyi, Jinga adalah anak angkat Anita. Wanita itu divonis tidak bisa mengandung karena kecelakaan beberapa bulan lalu. Sempat terpuruk dengan keadaaan, wanita itu langsung bangkit kala salah satu panti asuhan yang biasa dijadikan tempat donasi oleh David menemukan seorang bayi berumur 4 bulan di depan pintu panti. Sehari setelah mendengar kabar dari David, Anita langsung mengurus surat dan segala keperluan untuk mengadopsi. Hingga beberapa hari yang lalu akhirnya Ajeng menjadi anak Anita. Bayi mungil yang sangat manis itu diyakini hasil hubungan gelap yang tidak diterima dalam anggota keluarga. Dan Jingga juga bukan anak asli Indonesia. “Mungkin karena biasanya dia main sama anak panti yang lain kali, ya?” Anita mengangguk pelan. “Iya. Tapi beruntungnya dia udah sering ketawa. Kalau diajak ngobrol sama Daniel juga udah mulai kasih tanggapan. Kemarin aja dia ketawa seneng banget waktu dibawa jalan-jalan sama Daniel.” “Alhamdulillah ya, Kak.” “Bersyukur banget aku, Ra. Kaya gak pernah sekalipun kebayang bakal punya anak dan nimang anak kaya gini. Pengen nangis kalau ingat masalah itu.” “Jangan dong, Kak. Nanti kalau Kak Graha ke sini terus liat istrinya nangis, bisa-bisa aku yang kena,” kelakar Zira yang malah mendapat dengkusan dari Anita. “Eh iya, ngomong-ngomong kapan kamu—eh? Ra, ini?” Zira membulatkan matanya kala tangan Anita diam di atas perutnya. Mengusap perlahan dengan mata yang penuh tatapan tanda tanya. Zira meringis kecil dan mengangguk pelan. Wanita itu lalu menyengir kala Anitalah yang kini membulatkan mata. “Kamu hamil?!” Pekik wanita itu tanpa sadar. Zira lagi-lagi meringis. “David udah tahu?!” “Udah,” cicit Zira kecil. Anita menganga dengan mata yang perlahan berkaca-kaca. Terharu karena setelah sekian lamanya ia berhenti bekerja dan memilih menjadi dokter khusus di rumah sakit, ia akhirnya bisa merasakan sebuah tonjolan di perut seseorang. Benar, Anita dulunya adalah dokter kandungan. Wanita itu memutuskan berhenti bekerja full time dan memilih bekerja jika memang da yang ingin konsultasi khusus saja. Dan tentunya orang-orang tertentu. “Ra, ini beneran?! Kamu tahu gak, David selalu nanyain kapan kamu bisa hamil sama aku! Dia bahkan nanyain kapan masa suur kamu setiap ketemu sama aku! Ya Tuhan! Aku beneran gak nyangka. Udah dikasih tahu sama keluarga kamu? Bundanya David udah tahu? Tante Sinra udah tahu? Dia pasti seneng banget!” Oceh Anita kelewat senang. Namun Zira hanya mampu menanggapinya dengan senyum tipis. “Eh, aduh… maaf ya, Ra. Aku terlalu bersemangat banget. Gak nyangka ternyata membuahkan hasil juga. Udah satu tahun, kan?” Zira lagi-lagi hanya mnegangguk pelan. Ia dan David memang sudah menikah selama setahun. Dan bukan hanya kali ini saja dirinya diketahui hamil. Namun baru kali ini Anita mengetahui jika diirnya hamil. Karena yang sebelumnya, Anita tidak tahu. Lebih tepatnya Zira yang tidak memberitahu pada siapapun, termasuk suaminya sendiri. Ia tidak mau memberi kabar yang belum pasti halnya. Sekalipun ia harus menanggung trauma yang sangat besar karena menyimpan semua hal itu sendirian. “Gimana? Udah dikasih tahu sama yang lain?” “Belum, Kak. Nanti bakal Zira kasih tahu sama yang lain kalau waktunya udah pas,” jawab Zira dnegna nada yang terdengar sedikit bergetar. Wanita itu menyengir lebar kala Anita yang mendengkus pelan. “Kok ditunda-tunda gitu, sih? Padahal kan kabar baik. Harus disegerakan!” Titah Anita penuh semangat. Zira hanya mengangguk. Tidak memberikan respon yang jelas dengan mengatakan iya atau yang lainnya. Wanita itu seperti tengah memendam sesuatu yang tidak bisa Anita lihat. Dan Anita merasakan hal itu. Hanya saja ia tidak ingin berspekulasi lebih. “Gimana mau ngasih tahu sama yang lain kalau gua aja tahunya pas dia muntah-muntah pagi.”       ***         David menutup berkas terakhir yang dia sudah revisi. Menutup mata seraya menghela napas. David lalu melempar map itu ke atas mejanya yang sudah seperti meja makan. Kotor dan tidak ada tempat kosong sedikitpun. Lelaki yang sudah bekerja kurang lebih lima jam itu akhirnya bisa mengistirahatkan tubuhnya yang sangat lelah. Pikirannya akhir-akhir ini sering sekali susah focus. Apalagi jika berurusan dengan hal-hal yang tidak baik. Belum lagi hubungannya dengan Zira sedikit memburuk. Di umurnya yang menginjak 31 tahun ini, entah kenapa David merasa sedikit lebih sering merasa khawatir. Dan ia tidak tahu apa penyebabnya. Menikahi sosok Zira yang tidak lain dan tidak bukan adalah sekretarisnya dulu, membuat David sedikit tahu bagaimana sosok wanita itu. Tapi perkiraanya mengenai bagaimana sikap gadis itu ketika di kantor dan ketika sudah menjadi istri sangat berbeda jauh. Wanita itu seakan berubah 180 derajat dengan yang biasa David temui di kantor. Seakan dibukakan mata hati oleh keputusan Mamanya, entah bagaimana bisa David terkagum-kagum dengan sikap Zira. Perempuan yang jarak umurnya saja sudah lebih dari 6 tahun itu sangat tidak bisa David jabarkan sehebat apa perannya. Zira tidak pernah paham dengan apa yang sebenarnya ia rasakan. Ia tidak pernah berfikir jika hubungannya dengan Zira akan semanis ini. Padahal David sudah merencanakan masa depan tanpa wanita itu dan berusaha membuat hidup nyamannya dengan kedua anaknya berjalan dengan lancar. Namun lagi-lagi David mendapat kejadian yang tidak pernah David lihat. Wanita itu jauh dari yang David bayangkan. David bahkan masih ingat bagaimana hari-hari pertama perempuan itu menjadi Ibu tiri sekaligus istri kedunya. “Bangun, Pak.” David mengerang kecil yang tidak bisa bangun karena merasa matanya sangat berat. Wajahnya yang menyentuh bantal itu tiba-tiba diangkat. Membuat cahaya matahari menusuk matanya yang mau tak mau membuat David akhirnya membuka mata. Dan betapa terkejutnya ia mendapati sosok Zira yang tengah tersenyum seraya mengangkat tangan meminta David bangun dan memeluk wanita itu. “Mau ngapain kamu?” “Bangun. Udah pagi. Kalau habis solat subuh itu jangan tidur lagi. Mau sarapan sama apa? Nanti Zira buatin.” David yang memang saat itu masih berfikir pendek dan merencanakan hal yang tidak benar menganggap perlakuan manis wanita itu karena ingin berlama-lama dengannya. Dan hal yang menyakitkan tentu saja ia lakukan. “Gak perlu. Saya mau langsung ke kantor,” jawab David acuh dan bangkit. Menolak adalah hal yang paling baik untuknya. Yang sialnya malah dibalas dengan kecut oleh wanita itu. “Ya udah, sih kalau emang gak mau sarapan. Susah banget jawab pake nada biasa aja. Kaya lagi nolak orang yang suka minjemin uang aja,” gerutu Zira dengan wajah yang menatap David dengan tatapan kesal. Hal yang tidak pernah David bayangkan jika gadis itu bisa bereaksi seperti itu. Kalimat yang sama sekali tidak pernah David pikirkan akan dikeluarkan Zira ketika itu. wanita yang sama sekali tidak mengingikannya itu selalu bersikap manis padanya jelas membuat David menaruh rasa curiga yang tinggi. “Kenapa malah kamu yang marah sama saya?” “Harusnya Bapak itu bilangnya pake nada manis. Udah baik Zira tadi minta peluk. Biasanya Bapak terus yang meluk tiap malem sampe Zira gak bisa napas. Sekarang malah—“ “Bisa gak kamu hilangkan kata Bapak? Bukannya Mama kamu sudah mengajarkan untuk memanggil saya dengan sebutan lain? Apa sesusah itu? geli saya denger kamu manggil saya Bapak,” jujur David seraya mengusap lengannya yang kini tengah merinding. “Kalau gitu, peluk Zira pagi-pagi gak akan buat Mas merinding, kan?” “Makin merinding saya dengernya.” Brak. “Ngeri gua liat lo senyum-senyum sendiri, anjir!” David yang tak sadar sampai melamun itu menatap jengah sosok yang kini duduk di hadapannya seraya tersenyum senang. Lelaki yang tidak pernah David inginkan keberadaaanya di saat-saat seperti ini. Selain sering merusak suasana, lelaki ini pasti punya tujuan lain mendatanginya seperti sekarang. “Ngapain lo di sini?” Tanya David dengan nada ketus. Daniel Graha. Lelaki dengan kemeja merahnya itu memandang David dengan sneyum miring. “Gimana? Saran dari gua sama Anita? Lancar gak? Udah isi Zira?” David menghela napas kecil, lelaki itu mengangguk walau menunjukkan wajah datarnya. “Eh serius?! Cepet banget?” “Sebelum lo kasih saran itu juga, Zira udah hamil.” “Hah?” David menghela napas dan mengeluarkan hasil pemeriksaan Zira yang ia dapatkan beberapa hari lalu. Di mana hal yang tidak pernah David ketahui jika wanita itu tengah berbadan dua. “Udah 16 minggu?!” “Hem.” “Anjir! Terus ngapain lo minta saran sama Anita sama gua?!” “Gua aja baru tahu itu 4 hari yang lalu.” “Kecolongan lo?” “Gak. Emang dianya yang gak ngasih tahu gua.” Graha terdiam sesaat. Lelaki itu menatap David dengan halis yang mengkerut dalam. “Maksud lo?” “Bukan apa-apa. Ngapain lo ke sini? Mana Anita? Kagak mungkin lo mau ke sini kalau kagak ada yang nemenin.” Graha tertawa. “Ada di ruang Zira kayanya. Dia bilang sih mau ke sana dulu. Mau ke sana?” David menghela napas pelan dan mengangguk. Ya, setidaknya dnegan keluar dari ruangan mungkin otaknya akan kembali jernih dan bisa menyelesaikan semua pekerjaanya dengan cepat. Kedua lelaki itu menjadi perhatian sepanjang perjalanan. David yang memang jarang sekali keluar dari ruangannya kecuali ada hal penting dan sosok Graha yang sudah lama tidak berkunjung membuat beberapa karyawan terdiam sesaat saat keduanya lewat di depan. “Tapi kok lo bisa gak tahu? Lo gak peka apa gimana? Atau gak ada tanda-tandanya? Kaya—“ “Gua gak tahu. Tapi kayanya emang dia yang gak ada tanda-tanda. Banyak banget anehnya. Tapi bukan dia yang ngerasain. Gua yang jadi korban,” curhat David seraya memasukkan tangannya ke dalam kantung celana. Graha yang mendengar hal itu langsung tertawa keras. Ia sangat paham dengan apa yang David maksud. “Lo yang muntah?” Tanya Graha dengan suara yang tertahan dengan tawa. “Untungnya kalau itu bukan gua.” “Zira?” Tanya Graha tidak percaya. David mengangguk lemah. “Anji—“ “Belum, Kak. Nanti bakal Zira kasih tahu sama yang lain kalau waktunya udah pas,” ujar seseorang dari dalam ruangan. David terdiam. Begitupun Graha yang baru akan mengumpat. Kedua lelaki itu diam sesaat sebelum akhirnya berencana masuk ke dalam. “Kok ditunda-tunda gitu, sih? Padahal kan kabar baik. Harus disegerakan!” David tertawa kecil seraya membuka pintu ruangan istrinya. Lelaki itu menghela napas melihat wajah Zira yang terkejut dengan kedatangannya. “Gimana mau ngasih tahu sama yang lain kalau gua aja tahunya pas dia muntah-muntah pagi.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD