Chapter 3 (Revisi)

2081 Words
"Gimana mau ngasih tahu sama yang lain kalau gua aja tahunya pas dia muntah-muntah pagi." Anita dan Zira langsung menolehkan kepala ke arah suara. Kedua perempuan itu menatap David yang datang bersama dengan Graha. Kedua lelaki itu terlihat berbeda daripada biasanya. Graha yang sadar akan ada situasi tidak mengenakkan langsung mendekati sang istri dan duduk di sebelahnya. "Jingga rewel?" Tanyanya mengalihkan topik. Anita yang sadar langsung tersenyum dan menggeleng. "Gak, dong. Kan ada Tante Ila!" Jawab Anita dengan suara kecilnya. Zira yang melihat itu langsung tertawa kecil. "Bahagia ya, deket sama Tante?" Canda Zira seraya menjadi pipi Jingga dengan gemas. "Oh iya. Berhubung aku udah tahu kamu hamil, gimana kalau kamu periksa kandungannya sama aku aja? Sekalian main," ajak Anita semangat. Wanita satu anak itu menatap Zira penuh harap. Namun bukannya mendapat anggukan yang tak kalah semangat, Zira malah menatap David. Meminta persetujuan dari suaminya. Perempuan berbadan dua itu tidak mau memutuskan hal yang sudah David ketahui secara sepihak. Apalagi lelaki itu sangat over dalam segala hal setelah mengetahui bahwa dirinya tengah mengandung. Belum lagi David sering membatasi pekerjaan yang ia kerjakan termasuk bagaimana konsultasi dan seberapa jauh rumah sakit atau klinik tempatnya periksa. "Tapi bukan di klinik atau rumah sakit tempat lo kerja. Itu terlalu jauh," jawab David memperbolehkan dengan syarat. "Gak masalah! Mau di rumah juga gak papa! Gua malah lebih seru kalau di rumah. Sekalian kita main," ucap Anita dengan mata berbinarnya. Zira menghela napas lega. Setidaknya untuk hal yang satu itu David masih memperbolehkannya. Karena jika tidak, sudah pasti dirinya akan berdiam diri selama beberapa bulan ini dengan segala kebosanan yang melanda. "Eh iya, Ra. Gimana David selama tahu kamu hamil? Over gak? Dia 'kan udah kaya orang yang gak jelas. Panikkan lagi." Zira mengangguk semangat. "Iya, Kak. Aku aja--" "Stop! Gua ini sangat baik hati dan tidak sombong. Gua gak punya aib, jadi jangan sebarin hal yang nggak-nggak!" Seru David memotong pembicaraan Zira yang baru akan mengungkapkan apa yang selama ini lelaki itu lakukan padanya. Zira tidak boleh seperti Anita yang akan dengan tegas memberitahu apa yang Graha lakukan dan membuat lelaki itu akhirnya merubah diri. David tidak mau kejadian dirinya sama dengan diri Graha yang penuh kesedihan dan merana itu. "Gak usah gaya! Aib lo udah kek gunung Everest ada di dalam otak gua!" Bangga Graha seraya menatap wajah David licik. Membuat lelaki itu mencebik dan menatap wajah Graha dengan kesal. "Kalau ngomongin aib jangan depan gua sama Graha. Lah, tiap lo galau datangnya ke kita berdua doang!" Zira tertawa. Perempuan itu seakan mengakui apa yang dikatakan Anita dan juga Graha. Sepasang suami istri itu memang tempat curhat bagi suaminya. Belum lagi jika lelaki itu sudah sangat pusing, sudah pasti rumah mereka akan menjadi tempat bagi David untuk bernaung dan berteduh. Sudah semacam tempat sakral yang sangat dibutuhkan oleh lelaki itu. "Btw, Zira sekarang udah mau 4 bulan, ya? Ada rencana 4 bulanan gak? Siapa tahu lo butuh orang buat sebarin beritanya. Kan gua--" "Gak!" Jawab Zira spontan. Wanita itu menatap horor pada Graha seraya menggelengkan kepala tanda apa yang Graha katakan adalah sesuatu yang tidak  baik untuk didengar. Dan lagi, apa yang Graha katakan cukup membuat Zira terguncang kecil. "Kenapa?" Adalah pertanyaan yang dilontarkan oleh David. Kening lelaki itu juga mengernyit tidak terima. "I-itu.. " "Maunya tujuh bulanan aja ya, Ra? Pake adat Jawa kan?" Tanya Anita dengan suara yang dibuat keras. Agar David tidak bertanya lebih banyak lagi pada Zira. "Tapi 'kan bisa buat 4 bulanan sama 7 bulanan. Kalau dilangsungin dua-duanya juga gak masalah, kan?" Tanya David curiga. Zira menelan salivanya tidak bisa menjawab. Ia menggenggam kedua tangannya yang kini mendingin. Ketakutan itu semakin jelas di mata wanita satu itu. Drrt. Drrt. Drrt. "Ada telepon, tuh!" Tunjuk Graha pada ponsel David yang bergetar. Lelaki itu mendengkus dan mengangkat panggilan yang masuk seraya sedikit menjauh. Sedangkan Zira yang melihat David sudah bangkit dan menjauh langsung menghela napas lega. Walau nantinya akan ditanyakan kembali saat pulang, setidaknya Zira bisa memilih banyak kalimat agar tidak terlalu tampak saat berbohong. Di saat ia merasa tenang, tangannya tiba-tiba digenggam oleh Anita. Wanita satu itu menatapnya dengan tatapan lembut. "Aku gak minta kamu untuk percaya sama ucapan kita. Tapi, Ra. Sebaiknya kamu kasih tahu semuanya sebelum fatal. David paling gak suka sama orang yang sembunyiin sesuatu dan ketahuan dari orang lain. Kalaupun memang situasinya gak mendukung, coba untuk buat situasinya baik dulu. Coba cara apapun. Dan jangan sampe dia emosi." Tangan Zira semakin dingin dan gemetar. Haruskah ia katakan semuanya? Tentangnya dan juga perasaanya pada David? Apa benar lelaki itu akan mendengarkan dan meminta maaf? Atau menyadari kesalahannya? Bagaimana jika situasinya berbalik dan malah Zira kembali yang disalahkan? Apa yang harus ia lakukan jika itu terjadi? Bagaimana-- "Kamu harus percaya sama apa yang kamu rasain dan David tunjukin. Aku yakin dia sayang sama kamu." Zira juga seyakin itu. Tapi, bagaimana menjelaskannya? "Gua harus balik ke atas. Lo mau di sini atau pulang? Gua saranin lo balik. Kerjaan istri gua masih banyak!" Sindiran David pada Graha yang malah selonjoran di sofa. Mendengar kalimat sinis dari David, bukannya merasa sadar dan segera angkat kaki, Graha malah bersandar pada sofa dan semakin menyamankan tempat duduknya. "Gua gak paham kenapa gua jadiin lo temen, Niel." Graha tertawa kencang. Yang mana membuat anaknya yang baru akan terlelap di pangkuan sang istri langsung terkejut dan menangis. "Daniel! Bisa gak sih suaranya kecilin?!" Sentak Anita dengan nada geramnya. Graha menyengir lebar dan hanya mampu menggaruk tengkuknya. Tidak bisa menjawab karena terlalu lepas tertawa. "Kalau butuh hal lain, telepon aku aja. Siap sedia 24 jam!" Zira tersenyum mendengar bisikan dari Anita saat wanita itu akan berdiri. Ia mengangguk dan menggenggam tangan Anita dengan tangannya yang berkeringat dan dingin. Membuat mata Anita membulat terkejut mendapati tangan Zira sedingin itu. Ia menatap Zira penuh penjelasan. Bukannya menjawab Zira malah tersenyum semakin lebar. "Makasih ya, Kak," ucap Zira lirih tanpa suara. Anita menghela napas dan hanya bisa mengangguk. Rasanya akan sangat rumit jika ia tahu di sini dan David yang dalam keadaan tak baik. Sebenarnya ada apa antara David dengan Zira? "Kita pulang, ya! Jaga baik-baik pola makan sama pola tidur kamu. Jangan kecapekan. Selalu makan buah yang banyak. Jangan lupa air putih juga," pamit Anita dengan petuah yang biasa ibu-ibu katakan. "Aku juga ke atas dulu, ya. Kalau butuh sesuatu, jangan langsung naik. Telepon aja. Aku nanti yang ke sini." Deg. Aku? Sejak kapan David memanggil dirinya sendiri dengan kata aku? Sejak kapan lelaki itu juga mengecup keningnya dengan hangat sebelum berangkat pergi? Kenapa rasanya sesak dan bahagia di saat bersamaan?         ***           Zira POV Menikah. Satu kata yang mungkin orang lain rasakan kebahagiaannya. Berbagi rasa, semangat, pekerjaan dan juga masa depan. Sebuah ikatan sakral yang tidak bisa diganggu gugat dengan cara yang mudah. Dan biasanya mereka yang menikah—kebanyakan—memiliki rasa satu sama lain. Tapi, bagaimana jadinya jika menikah tanpa persetujuan sama sekali? Merasa tertekan karena harus menerima semuanya sendiri? Itu yang aku rasakan. Awalnya. Sibuk dengan segala hal mengenai rumah tangga, mengurus suami dan anak serta bekerja di salah satu perusahaan yang sama. Yang mana seharusnya tidak diperbolehkan. Tapi, entah mungkinkah karena permintaan dari yang di atas, semuanya seakan baik-baik saja. Kami—aku dan David—menikah karena kewajiban yang harus segera dilakukan oleh seseorang. David membutuhkan seorang ibu bagi anak-anaknya. Dan itu adalah kewajibannya setelah sepeninggal sang istri pertama, Megan Dribin. Dan aku, memiliki kewajiban menjadi ibu dari kedua anak lelaki itu karena permintaan sosok yang menyelamatkan dirinya dari keterpurukan. Bukan keterpurukan yang sangat besar, hanya keterpurukan dari sebuah kata pengangguran. Aku dulu mengira jika menikah dengan David hanya perlu melakukan tugas sebagai sosok ibu yang baik. Awalnya seperti itu. Tapi ketika kata sah terucap dengan keras, perubahan terjadi sangat besar. Aku bukan hanya harus melakukan tugas sebagai ibu. Tapi juga sebagai istri. Benar-benar hal yang di luar dugaanku. Hal yang benar-benar tidak pernah sekalipun aku lakukan selama hidup. Melayani seorang David yang sama sekali tidak aku ketahui bagaimana sifat lelaki itu secara keseluruhan, kebiasaannya ketika bangun tidur dan masih banyak lagi hal-hal yang tidak pernah aku bayangkan akan langsung aku ketahui sehari setelah menjadi pasangan suami istri. David baik. Dia juga cukup pengertian. Tapi itu David lakukan karena aku yang menjadi ibu bagi anak-anaknya. Aku tidak pernah merasa sangat berharap pada lelaki yang kini berstatus sebagai suami itu. Sampai satu hari, aku sadar jika ini adalah waktunya aku bersama dengannya—dalam artian yang sesungguhnya. Saat di mana aku yakin jika aku sedang mengandung. Saat di mana aku sangat yakin jika itu adalah awal mula hubungan kami akan membaik. Harapan yang begitu besar sudah aku bangun padanya. Dan itu terjadi tahun lalu. Aku tidak bekerja dan memilih untuk diam di rumah. Mempersiapkan segala hal yang akan menjadi kejutan baginya. Mendekor kamar, membuat sebuah perayaan yang sangat aku nantikan sebagai wanita. Hal yang tidak pernah dibayangkan oleh diriku sendiri akan mendapat hal yang sangat mengejutkan secepat ini. Kehamilan yang tentu saja akan sangat didambakan setiap ibu. Apalagi aku pernah berharap saat aku menikah, jarak antara waktu pernikahan dengan masa kehamilanku tidak jauh. Agar aku tidak berlama-lama dan akhirnya memilih untuk menunda. Namun, bagai sebuah tebing yang dihancurkan sebuah rudal, harapan dan keyakinanku pada sosok David hancur. Hari itu, tepat pukul 5, David pulang. Tapi tidak sendiri. Dia bersama dengan Graha dan juga Anita. Sepertinya mereka ingin kumpul bersama. Itu bukan masalah bagiku. Dan akan menjadi hal yang lebih baik menurutku, saat itu. Tapi, seakan tembakannya mulai dilayangkan, aku tidak pernah berfikir akan mendengarka kata-kata itu sebelum aku sadar jika aku belum memberitahu perihal diriku pada David. “Ken, mau punya adik gak?” Tanya Graha saat itu ketika Kenan—anak lelaki pertama David turun dan mendatangi Graha. Anak lelaki itu tentu saja menggeleng. Karena aku juga pernah bertanya tentang hal itu pada Kenan. Dan menurutku itu adalah hal yang wajar. Sebab Kenan memiliki adik kembar dan sering terjadi pertengkaran di antara mereka. Membuat anak lelaki itu enggan memiliki adik lagi. Berbanding terbalik dengan Kinan yang tampak antusias. “Abang emang suka gak mau! Tapi Nan mau dong, Om!” Seru Kinan menjawab. Graha tertawa. Tawa yang menunjukkan bahwa ia merasa gemas dengan apa yang si kembar katakan. Dan itu juga yang aku rasakan saat melihat bagaimana Ken dan Kinan saling beradu argument tentang adik. “Tuh, Dave. Yang cepet buatnya! Anak-anak lo pada mau,” ucap Anita bercanda. Dan itu membuatku semakin bahagia karena apa yang Anita katakan tidak akan lama lagi terwujud. “Mana bisa! Gak dulu, deh. Males gua ngurus bayi. Ntaran aja. Kayanya juga butuh waktu buat penyesuaian.” Penyesuaian? Kata yang tidak bisa aku dengar dengan baik ketika saat itu. jawaban yang sangat diluar dugaan. Kenapa lelaki itu tidak mengatakannya sejak pertama menikah? Tidak ada yang bisa aku katakan saat itu. Kedua tanganku langsung mendingin. Saking tidak bisa percaya dengan apa yang David katakan, aku malah bertanya padanya. Yang berhasil membuatku melakukan tindakan gila setelahnya. “Lho? Emang kenapa kalau punya anak langsung? Lagian jarak umur si kembar juga kan udah bagus,” ucapku saat itu yang diangguki Anita. “Emang kamu mau urus bayi? Aku sih gak. Nanti aja. Masih banyak waktu juga. Kamu juga masih muda.” “Ya, mau dong. Kan anak aku nantinya.” “Gak usah dulu, deh. Nanti aja. Kayanya kamu juga belum sanggup.” Jawaban yang benar-benar menusuk. Sampai rasanya mulutku kelu untuk menjawab dan kembali beradu argument. Aku terlalu takut jika lelaki itu akan berbuat di luar pemikiranku. Aku tidak mau lelaki yang menjadi suamiku melakukan hal yang kasar. Aku tdiak mau traumaku tentang kekesaran kembali terjadi dan bertambah buruk. Dan yang bisa aku lakukan saat itu hanya bisa tersenyum dan mengangguk. Seolah mengiyakan apa yang David katakana. “Lo jahat, Dave! Jangan gitu banget, dong. Zira juga udah…” Tidak bisa mendengar lagi. Semua percakapan lain yang terlontar dari mulut David dan juga Graha seakan tidak terdengar sama sekali. Aku hanya bisa tersenyum dan memeluk perutku dengan kuat. Tidak mau membuat sosok di dalam tubuhku diketahui oleh orang lain. “Lho, Ra, kenapa? Kamu sakit perut?” Tanya Anita yang berhasil membuatku kaku. Aku terpaksa mengganguk dan pamit ke belakang. Dengan tangan gemetar dan juga rasa sakit yang entah sejak kapan menjalar di perut, aku masuk ke kamar. Menghancurkan semua dekorasi yang sudah aku siapkan. Membuangnya ke dalam tempat sampah dan juga menutupnya dengan sangat baik. Tidak ada yang bisa aku pikirkan saat itu selain membuat sosok di dalam tubuhku menghilang. Dia belum boleh lahir. Dia beum boleh hadir. Dan itu pertama kalinya aku menghilangkan nyawa seseorang. Aku menggugurkannya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD