2. Belum berhasil

1544 Words
"Hah!" Arafi menghela nafas berat sambil melempar ponselnya pelan ke arah ranjang. Ini sudah email ke sembilan dan semuanya menolak lamaran kerja beserta CV yang ia kirimkan. Padahal apa yang kurang? Walaupun dia belum memiliki pengalaman, tapi nilainya saat lulus ditambah organisasi yang ia ikuti selama kuliah harusnya lebih dari cukup untuk membuatnya diterima di salah satu perusahaan. Namun hingga saat ini, di saat teman almamaternya yang lain memamerkan seragam kantor atau id card mereka, Arafi masih harus mencari pekerjaan kesana kemari dengan susah payah. Ini sudah bulan ke dua, dan dia masih belum berhasil mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan jurusan yang diambilnya semasa kuliah. "Raf, sholat jumat engga?" tanya Duta dari arah luar kamar. Secara spontan, Arafi mendengkus pelan. "Engga, Abang aja yang sholat!" serunya dari dalam kamar. Kemudian tidak ada lagi suara yang Arafi dengar. Dia merebahkan dirinya di kasur. Harus sampai kapan dia menumpang di rumah Duta dan Andin? Meskipun mereka memang belum dikaruniai keturunan, tetap saja menumpang di rumah mereka selama lebih dari sepuluh tahun sama sekali bukan hal yang baik. Itulah kenapa Arafi sangat ingin mendapatkan pekerjaan agar ia setidaknya berani mengontrak satu petak kamar untuk dirinya sendiri. Tring Arafi buru-buru bangkit dan memindai kasurnya untuk menemukan gawai yang tadi ia lempar. Sebuah pesan masuk dari salah satu kakak tingkatnya membuat Arafi sedikit berharap. Tapi kemudian helaan nafas kecewa kembali keluar darinya saat Kakak tingkatnya itu mengabari posisi di kantor tempat kerjanya yang seminggu lalu kosong kini sudah terisi, padahal Arafi berharap bisa mendapatkan posisi di perusahaan itu walaupun hanya sebagai karyawan biasa. Dia berpikir, haruskah ia dengan gelar yang ia punya kembali menjadi seorang pramusaji di restoran tempatnya magang dulu? Sebenarnya Arafi tidak masalah, hanya saja upah yang didapatkan dari sana tidak seberapa dan kerjaannya yang juga cukup berat. Belum lagi Arafi tidak tahan dengan kelakuan Manajernya di sana yang selalu melakukan flirting pada karyawan wanita secara terang-terangan. "Raf? Kamu di dalam?" Arafi menegakan tubuhnya, "Iya, Teh. Kenapa?" "Makan dulu, yuk! Udah mateng nih," ajak Andin dari luar kamar. Arafi bergegas keluar dan menemui kakak iparnya itu di meja makan. "Wah cumi, enak nih, Teh!" seru Arafi semangat. Andin tertawa pelan mendengar antusias yang ditunjukan Arafi. "Iya, Teteh lagi pengen makan cumi. Kemarin liat di grup masak, kayaknya enak jadi Teteh coba masa sendiri. Cobain deh terus bilang apa yang kurang?" Arafi mengangguk dan langsung menyendokkan nasi berserta lauk secukupnya ke atas piringnya. Arafi mengunyah perlahan, meresapi rasa dari masakan yang masuk ke mulutnya. "Hmmm enak ini, Teh. Teteh emang jago kalau soal masak," pujinya. Andin tersenyum malu, "Kamu bisa aja. Makan yang banyak kalau gitu," suruhnya. Arafi tersenyum lebar dan langsung menyantap makanannya dengan semangat. "Engga sholat jumat lagi, Raf?" tanya Andin pelan saat nasi dan lauk di piring Arafi sudah habis. Arafi tidak langsung menjawab dan memilih meminum air dari gelasnya. "Nanti aja, Teh," jawabnya. Lalu Arafi bangkit berdiri. "Makasih, Teh, makanannya. Arafi masuk dulu ya, mau bikin lamaran lagi," ucapnya lalu berjalan ke arah kamar. Andin menghela nafas pelan. Sudah beratap tahun adik sepupu dari suaminya itu tidak pernah lagi beribadah? Setiap kali Duta menasehati nya, Arafi hanya akan mencari-cari alasan dan kemudian menghindari seperti sekarang. Membuat Duta dan Andin akhirnya menyerah, membiarkan Arafi semakin jauh dari Tuhannya. ** "Duh sorry bro! Belum ada posisi kosong nih, gue tadi udah nanya ke HRD katanya kemarin baru aja buka lowongan besar-besaran pas gue belum masuk sini." Arafi tersenyum tipis dan mengangguk, "Iya, engga apa-apa. Belum rejeki gue berarti," balasnya. Lalu setelah berbasa-basi sedikit, pria di depannya pamit untuk kembali ke kantor. Arafi menghela nafas berat. Ternyata mencari pekerjaan lumayan sulit sekalipun ia mempunyai gelar dan nilai yang memuaskan. Dia bahkan tidak tahu lagi harus mencari kemana sedangkan hampir semua perusahaan yang ia kirimi lamaran tampak kurang puas dengan dirinya dan akhirnya menolak. Minuman di gelasnya sudah hampir habis saat seseorang datang menghampirinya. "Kak Rafi kan?" tanya seorang wanita. Arafi mengerutkan keningnya, merasa tidak mengenali sosok di depannya ini. Wanita itu tersenyum maklum dan mengulurkan tangannya. "Saya Zaskia, adik kelas Kakak waktu SMA. Saya... sahabat dekatnya Orin," katanya. Wajah Arafi langsung berubah saat satu nama yang selama ini ia kunci rapat dalam hatinya kembali terdengar. Entah kenapa, rasanya masih aneh saat mendengar nama gadis itu. Seakan dia baru saja pergi kemarin dan membuat luka di hati Arafi kembali berdarah. "Oh iya, saya ingat," balas Arafi. Dia lalu mempersilahkan wanita itu duduk tapi ditolak. "Saya masih ada kerjaan, Kak. Tadi saya cuma mau nyapa dan mastiin kalau ini beneran Kakak," katanya. Rafi mengangguk dan tersenyum ramah. "Oh iya, sebenarnya saya mau bilang ini sejak lima tahun lalu. Tapi keadaannya engga pernah sempat, jadi mumpung saya ketemu Kakak disini, saya mau bilang hal yang dulu belum sempat Orin bilang ke Kakak," ucap Zaskia. Arafi tiba-tiba berdebar, dia tidak tahu apa kaya yang tidak sempat Orin ucapkan padanya. Tapi ia yakin bahwa apapun kata itu, akan membawa efek yang tidak biasa bagi Arafi. Terlihat Zaskia tersenyum sendu, "Orin suka sama Kakak dari dulu. Dia bahkan seneng waktu diijinin kakaknya buat lihat Kakak tanding basket bahkan sampai dianterin Kakak pulang waktu itu. Orin itu pemalu dan cenderung engga percaya diri, makanya dia cuma bisa suka sama kakak diam-diam dan membawa perasaannya ke kakak sampai dia pergi." Arafi mematung. Ini diluar dugaannya. Ia pikir, hanya dirinya yang menyukai gadis itu. Tapi ternyata, Orin juga diam-diam menyukainya. "Cuma itu yang mau aku bilang ke Kakak. Semoga Kakak selalu bahagia," ujar Zaskia sebelum akhirnya ia pamit untuk meninggalkan cafe. Sedangkan Arafi bahkan tidak menanggapi Zaskia yang pamit padanya tadi. Dia terlalu terkejut dengan fakta yang baru ia dapati setelah lima tahun dan setelah kepergian gadis itu. Orin menyukainya.. Adik kelasnya yang banyak disukai orang itu menyukai pria yatim piatu dan dari kasta rendah seperti nya. Arafi menjatuhkan kepalanya di meja. Di tengah kekalutan nya karena belum juga mendapatkan pekerjaan hampir lima bulan setelah wisuda, dia malah mendapati fakta yang sama sekali tidak pernah terpikirkan olehnya. Dia kira, dia hanya punguk yang merindukan bulan. Tanpa tahu bahwa bulan juga selama ini diam-diam merindukannya. Maka setelah lepas dari keterkejutannya, Arafi segera bangkit dan membayarkan pesanannya tadi lalu mengendarai motornya ke suatu tempat. Tempat yang sudah lama tidak pernah ia datangi lagi karena takut hatinya akan rindu. Dia hanya pernah mendatangi tempat ini beberapa kali saja selama lima tahun ini, selebihnya ia terlalu sibuk belajar agar bisa lulus dengan baik dan membuat Duta dan Andin bangga. Arafi memarkirkan motornya, melepas helm dan berjalan perlahan menyusuri komplek pemakaman yang tampa sepi dan hanya terlihat pengurus makam yang sedang membersihkan salah satu makam yang tidak jauh dari tempat Arafi berhenti. Dia tersenyum, berjongkok dan mengusap batu nisan di depannya dengan pelan. "Aku tadi engga sengaja ketemu temen kamu. Kalau engga salah, dia yang dulu jingkrak-jingkrak sama kamu di gerbang sekolah kan?" Arafi mulai bermonolog. Kilau langit senja menjadi background yang cocok untuk adegannya berbicara bersama gadis yang baru saja ia ketahui perasaannya. "Dia bilang, kalau kamu juga dulu suka sama aku. Apa bener itu?" tanyanya. Kembali tangannya terangkat mengusap batu nisan yang tampak terawat, di atas gundukan tanah yang kini ditumbuhi rumput hijau itu pun tersebar bunga segar yang Arafi tebak baru ditebar kemarin. Bukti bahwa walaupun sudah berjalan lima tahun, Orin tetap menjadi kesayangan banyak orang. "Aku bodoh. Harusnya sebagai lelaki aku maju buat deketin kamu tanpa berpikir soal status atau apapun. Kalau aja dulu itu aku lakuin, pasti semuanya engga akan kayak gini. Seenggaknya kita bisa saling ngasih tahu perasaan kita, Rin. Seenggaknya aku engga akan semakin menyesal pas tahu ternyata kamu juga suka sama aku," lirih Arafi. Kepalanya tertunduk, tapi ia berusaha agar tidak menangis. Lima tahun lalu ia berjanji untuk tidak lagi menangisi Orin agar gadis itu bisa melangkah tanpa bebas menuju kehidupannya yang baru. Setidaknya, hanya itu yang bisa ia lakukan untuk gadis yang dicintai nya. "Kamu tahu, aku masih selalu inget kamu. Aku bahkan engga pernah bisa buat suka sama orang lain setelah kepergian kamu," ujarnya dengan wajahnya sendu. "Aku harus gimana? Sedangkan kamu bahkan engga pernah sudi datang ke mimpi ku, padahal aku kangen kamu. Aku kangen banget sama kamu." Arafi tersenyum miris. Sebanyak apapun ia bicara, hanya desau angin yang menjawabnya. "Apa kamu marah karena aku engga do'ain kamu? Itu karena aku...aku.. aku engga tahu harus berdoa ke siapa. Aku... Engga tahu apa Tuhan benar-benar ada. Karena selama ini, Tuhan engga pernah mau denger doaku. Engga pernah ada doa ku yang terkabul. Jadi aku harus apa supaya kamu engga marah dan mau dateng ke mimpi ku?" Arafi menutup wajahnya dengan kedua tangan. Dia pernah mendengar bahwa doa dari manusia yang hidup adalah berkah bagi mereka yang mati. Tapi Arafi bahkan tidak pernah mendoakan kedua orang tua dan kakaknya. Karena dia tidak percaya. Karena dia tidak tahu pada siapa dia harus berdoa agar doa nya di dengar. Arafi tidak tahu pada siapa dia meminta agar permintaan nya dikabulkan. Karena dulu, semua do'anya terbengkalai begitu saja. Bahkan ia harus kehilangan seluruh anggota keluarganya dan bahkan Orin juga. Jadi pada siapa dia mengadu agar tidak lagi tersakiti oleh takdir? Atau dia memang terlahir dengan takdir yang sangat buruk hingga semua orang terdekatnya terkena sial? Ah! Jika dipikir-dipikir lagi mungkin itu yang benar. Keluarga nya dan Orin meninggal, sedangkan Duta dan Andin belum juga punya momongan. Jadi benarkah bahwa Arafi adalah pembawa sial? **
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD