3. Mimpi pertama

1559 Words
"Kenapa sedih? Orang populer dan baik kayak Kakak, engga seharusnya sedih sendirian." Arafi mendongak, matanya mengerjap-erjap merasa tidak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang. "Orin? Itu kamu? Beneran kamu?" Ia bangkit, tangannya terulur berusaha menggapai gadis pujaannya yang tampak cantik dengan gaun putih menjuntai dan rambut yang tergerai indah. Dalam benak, Arafi berpikir. Secantik inikah Orin dulu? Sepanjang inikah rambutnya? Dan apakah semanis ini senyum yang dia punya? Kenapa rasanya Arafi kesulitan mengingat semua itu? Padahal seharusnya ia tidak boleh melupakan segala sesuatu tentang Orin. "Iya, ini aku. Masa baru sebentar aja udah lupa sih? Ah aku kecewa!" Arafi buru-buru menggeleng, "Engga. Aku engga pernah lupa. Aku cuma..cuma kaget karena kamu di sini," ujarnya terbata. Gadis itu tersenyum kian lebar. Gaun yang dikenakannya berkibar tertiup angin yang entah datang darimana. "Aku tahu kok. Kak Rafi selalu ingat aku, buktinya sekarang ada di sini juga buat nemuin aku kan?" Kepala Arafi mengangguk seperti orang bodoh. Bahkan sejak tadi senyum tidak pernah hilang dari bibirnya. "Aku kangen sama kamu, Rin. Aku pikir kamu engga akan pernah muncul di depanku karena aku ini pecundang," ujarnya lirih. Orin menatap sendu pria di depannya. Tangannya terangkat seakan mengusap wajah Arafi, tapi Arafi tidak bisa merasakan apapun. "Jangan sedih, Kak. Kakak sudah hidup dengan baik selama ini. Jangan putus asa, jangan menyerah. Semua kesulitan yang Kakak alami akan segera usai, asal Kakak selalu punya keyakinan dalam diri Kakak," katanya lembut. Arafi tersenyum haru. Ia melangkah maju, mencoba menggapai gadis cantik di depannya tapi justru jarak kian jauh ia rasakan. "Jangan mendekat. Sekalipun Kak Rafi lari ke arahku, aku engga akan bisa Kakak sentuh," larang Orin. Wajahnya tetap tersenyum ke arah Arafi yang tampak kecewa. "Tapi aku mau sentuh kamu, sekali aja," mohon Arafi. Orin menggeleng, senyum lembutnya tampak bersinar, membuat Arafi begitu ingin merengkuhnya. "Itu hanya akan menyakiti diri Kakak sendiri. Jalanin hidup sebaik mungkin, Kak. Jangan pernah berpikir bahwa Kakak tidak akan bisa mencintai orang lain lagi selain aku, karena kenyataannya hubungan apapun yang ada di antara kita sudah terputus sejak lama." Arafi rasanya ingin membantah ucapan Orin, tapi mulutnya seakan terkunci. Ia hanya bisa mengangguk pelan meski bukan itu yang ingin ia lakukan. "Aku sudah datang menemui Kakak, selanjutnya jangan pernah menyerah lagi. Jangan pernah bersedih lagi, karena Tuhan menyiapkan seseorang untuk menemani hidup Kakak selanjutnya. Hiduplah dengan baik bersama dia, dan jangan pernah sia-siakan segala kebaikan yang Kakak dapat nantinya." Orin tersenyum, tangannya terangkat dan melambai. "Selamat tinggal, Kak Arafi. Terimakasih karena sudah mengingatku hingga kini." Arafi menggeram, dia berusaha menggerakkan kakinya untuk mencegah sosok Orin pergi tapi tidak bisa. Tubuhnya baru bisa digerakkan setelah Orin benar-benar lenyap dari pandangannya. "Aaaarrggghh!" Arafi berteriak frustasi, tangannya memukuli udara berharap rasa kalah dalam dirinya menghilang. Kali ini, ia benar-benar merasakan kehilangan yang kedua. Rasa sakit yang sama yang pernah ia rasakan lima tahun lalu, kini kembali membuatnya hancur dan merasakan sesak teramat di dadanya. "Seseorang yang akan menemani hidupku? Haha," Arafi tertawa miris sambil menggelengkan kepalanya. "Omong kosong macam apa itu Orin?" ** "Hah! Ternyata mimpi," Arafi terkekeh kecil sambil mengusap wajahnya. "Memangnya lo berharap apa, Raf? Lo berharap tadi itu bukan mimpi dan Orin bener-bener nemuin lo? Konyol!" Ia bangkit dari kasur yang ditempatinya, bergegas menuju kamar mandi untuk mencuci muka. Baru saja ia keluar kamar mandi, seruan Duta dari luar memanggilnya untuk sarapan bersama. "Kirain belum bangun," ujar Duta saat melihat Arafi sudah tampak segar dan bergabung bersama dirinya dan Andin di meja makan. "Udah, Bang. Harus ke tempat kerja hari ini," jawabnya. Mendengar itu, Andin menatap Arafi dengan semangat. "Kamu sudah dapat kerja?" tanyanya. Arafi mengangkat wajah, bertatapan dengan kakak iparnya. "Bukan kerjaan yang sesuai sama jurusanku, Teh. Tapi kerja di cafe yang dulu waktu aku masih kuliah, daripada engga kerja sama sekali jadi aku pikir mending kerja apa aja dulu," jawabnya dengan senyum kecil. Duta mengangguk, "Engga apa-apa, Raf. Kerjaan apapun jenisnya kalau halal tetap berkah kok. Abang dulu juga sempet jadi kenek angkot waktu pertama merantau, siapa yang tahu nasib seseorang kan? Walaupun Abang cuma PNS tapi bisa hidup berkecukupan itu sebuah pencapaian yang baik," hibur Duta. Arafi tersenyum ke arah Abangnya itu. Dia sudah pernah mendengar cerita betapa sulit hidup Duta dulu karena berasal dari keluarga yang kurang mampu. Bahkan keluarga Arafi jauh lebih terpandang daripada keluarga Duta, tapi nasib orang siapa yang tahu. Arafi yang dulu memiliki segalanya, kini justru kehilangan segalanya. Sedangkan Duta yang dulu kesulitan kini bisa bangkit dan mencukupi hidupnya sendiri dan istrinya, bahkan hidup Arafi juga. "Kalau gitu kamu makan yang banyak ya, biar hari pertama kerjanya jadi semangat," sahut Andin. Tangannya menyodorkan mangkuk berisi lauk ke hadapan Arafi. Arafi kali ini tertawa, "Dari kemarin Teteh nyuruh aku makan yang banyak terus. Nanti aku jadi gendut dan engga kece lagi, malah tambah engga dilirik perusahaan besar, Teh," candanya. Duta ikut tertawa, dia menepuk-nepuk pipi istrinya pelan. "Kamu engga lihat badan Abang mu ini? Dulu Abang itu cungkring banget, sekarang jadi melar karena disuruh ngabisin makanan terus. Apalagi kalau Teteh kamu ini lagi nyobain resep baru, beeuh semua yang dia bikin harus habis," selorohnya. Arafi tertawa mendengar cerita Abangnya. Sedangkan Andin hanya merengut karena suaminya membongkar kebiasaannya itu. "Tapi masakan Teteh emang enak. Kenapa engga buka rumah makan aja, Teh?" tanya Arafi sambil menyiapkan makanan ke mulutnya. Andin tersenyum kecil dan menggeleng. "Masak itu coba hobi doang, Teteh ngelakuinnya karena memang itu kesukaan Teteh. Tapi kalau sampe buka rumah makan sih, Teteh engga PD," akunya. Arafi menautkan alisnya, dia sempat berpandangan dengan Duta yang juga kurang setuju dengan ucapan istrinya. "Kenapa engga PD? Masakan Teteh beneran enak kok, Rafi bilang gini bukan karena mau nyenengin hati Teteh tapi karena emang kenyataannya gitu," ujarnya yakin. Duta dan Andin tertawa bersamaan mendengar ucapan Arafi dan juga wajah serius pria itu. Arafi justru menatap bingung ke arah sepasang suami-istri yang malah menertawakan ucapannya. "Iya, Teteh percaya kok kalau kamu ngomong jujur. Tapi kalau mau buka usaha kan juga butuh modal, Raf. Udah gitu banyak resikonya, kalau kita cuma modal nekat tapi ternyata engga berhasil, ya kita kehilangan uang modal secara sia-sia. Belum lagi kerugian yang lainnya," jelas Andin. Arafi tersenyum mendengar penjabaran Andin. Dia yang memiliki background bisnis jelas mengerti apa yang tadi dikatakan oleh Andin. Yang namanya usaha memang tidak bisa hanya modal nekat, harus banyak perhitungan agar tidak salah langkah dan berakhir gulung tikar. ** "Wah saya merasa tersanjung karena karyawan terbaik yang sekarang sudah bergelar sarjana Manajemen, masih mau jadi pramusaji di sini!" Arafi tersenyum kaku mendengar sindiran halus dari Manajer cafe tempatnya bekerja. Dulu sesaat sebelum ia keluar dari cafe ini, dia sempat mengalami cekcok dengan Braga, Manajernya itu karena Arafi memergoki Braga sedang memaksa salah satu pegawai baru untuk ikut dengannya-yang Arafi yakin bahwa tempat yang akan mereka datangi tidak jauh dari motel atau hotel- dan Arafi nekat mengadukan kelakuan b***t itu ke atasannya langsung. Sialnya, Arafi tidak mengerti kenapa iblis ini masih tetap berada di sini. "Tadinya saya keberatan buat nerima kamu, karena bagaimanapun di sini sudah terlalu banyak karyawan. Tapi saya lupa kalau kamu anak kesayangan Bos, jadi ya saya terpaksa menerima kamu lagi," ujar Braga dengan nada pongah. Arafi mencibir dalam hati. Terpaksa katanya? Memangnya dia yang punya cafe sampai harus berkata bahwa ia terpaksa menerimanya? Kalau saja Arafi tidak membutuhkan pekerjaan, dia juga tidak mau kembali bekerja di sini. "Maaf, Pak. Saya permisi mau ganti pakaian dulu, sebentar lagi cafe sudah mulai buka kan?" pamit Arafi. Dia bisa melihat raut kesal yang ditunjukan Braga padanya. "Wah kamu bahkan belagak seperti kamu yang paling tahu tempat ini ya? Saya Manajer kamu, dan saya sedang bicara tapi kamu berani-beraninya main ijin mau pergi?" tudingnya tidak suka. Tangan Arafi terkepal di samping tubuhnya. Kalau saja..kalau saja dia bukan bawahannya pria di depannya ini, pasti sudah sejak tadi ia menghajar wajah menyebalkan nya itu. "Maaf, Pak," ujar Arafi pelan. Braga mendengkus, "Sudahlah, sana pergi! Lihat muka kamu yang sok ganteng itu cuma bikin saya mual," hardinya. Arafi melempar senyum formal ke arah atasannya itu. Lalu tanpa berbicara apapun dia berjalan meninggalkan ruangan yang terasa menghimpit dadanya sedari tadi. Tangannya mengusap loker yang ternyata masih ada nama dirinya. Ini sudah lebih dari setahun lalu saat dia mengundurkan diri, tidak di sangka bahwa loker ini masih memiliki namanya. "Ini loker aku yang pake setelah kamu keluar, aku sengaja engga lepas nama kamu di sana supaya jadi kenang-kenangan." Arafi menoleh saat sebuah suara yang tidak asing terdengar. Ia tersenyum saat mendapati Wulan berdiri di belakangnya, teman kerjanya dulu di sini. "Ternyata kamu masih di sini," Arafi tersenyum, mengulurkan tangan ke arah Wulan. Gadis itu membalas dengan senyum lebar dan menggapai tangan Arafi. "Aku engga nyangka kamu bakal balik ke sini. Aku pikir engga akan bisa ketemu kamu lagi," katanya dengan nada ceria. Arafi tertawa pelan mendengar ucapan Wulan. "Pengennya sih engga balik kesini lagi, saya malas ngeliat buaya buntung yang ada di sini. Tapi gimana lagi, saya butuh pekerjaan jadi terpaksa balik lagi," seloroh Arafi. Wulan tertawa nyaris terbahak mendengar apa yang diucapkan oleh Arafi. Dia tahu siapa buaya buntung yang dimaksud. "Aku juga heran, kok bisa-bisanya bos piara buaya kayak dia," bisik Wulan. Ia masih menyayangi pekerjaannya sehingga tidak ingin sampai sangat buaya mendengar ejekannya. Arafi ikut tertawa, dia menggelengkan kepala dengan tatapan geli. "Udah ah, saya mau ganti baju dulu. Bisa-bisa belum mulai kerja udah dipecat duluan kalau masih ngomongin buaya," ujarnya lalu beranjak ke arah toilet meninggalkan Wulan yang masih tertawa. **
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD