7. Pertemuan tak terduga

1547 Words
Udara malam mulai terasa sangat dingin di tubuh Arafi yang hanya mengenakan jaket jeans tipis, apalagi ia sudah mengendari motor mengelilingi Jakarta terlalu lama karena tidak tahu lagi ingin kemana. Pikirannya masih kalut, ia memiliki keinginan untuk tinggal terpisah dari Abangnya tapi ia kemudian sadar diri bahwa dirinya tidak memiliki tabungan yang cukup untuk mengontrak satu petak kamar. Mungkin bisa kalau untuk mengontrak, tapi dia pasti akan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan bulanannya dan juga biaya sewa di bulan berikutnya. "Hah! Jadi orang miskin memang sebuah musibah paling nyata," gumamnya di tengah terpaan angin. Ia membelokan motornya ke sebuah gang yang menjadi jalan penghubung untuk sampai di rumahnya. Baru beberapa meter berjalan, Arafi menemukan sebuah mobil terparkir di pinggir jalan dengan seseorang yang sedang berada di depan mobil menghadap kap mobil yang terbuka. Sepertinya mobil itu mogok, pikir Arafi. Ia memarkirkan motornya, berinisiatif menawarkan bantuan pada orang itu yang tampak kesulitan. "Mobilnya kenapa, Pak?" tanya Arafi ramah. Pria di depannya tampak sedikit terkejut, mungkin tidak menyangka bahwa ada orang lain di gang yang sepi seperti sekarang. Namun saat pria itu berbalik, mata Arafi membulat karena ia mengenal sosok di depannya ini. "Profesor Abrar?" tanyanya tidak percaya. Pria paruh baya di depannya juga sama terkejutnya dengan dirinya. "Kamu Arafi kan?" tanyanya. Arafi mengangguk sambil tersenyum, dia mengulurkan tangan dan mencium dengan sopan tangan Profesor di kampusnya dulu itu. "Engga nyangka akan ketemu kamu di sini," ujar Abrar. Arafi mengangguk, "Iya, Pak. Bapak apa kabar? Udah lama engga ketemu." Abrar menjawab dengan ramah pertanyaan dari mantan mahasiswanya itu. Dia juga bertanya balik tentang kabar Arafi. "Saya baik juga, Pak. Ngomong-ngomong mobil Bapak kenapa?" tanya Arafi. Abrar tampak tersenyum malu saat ditanya seperti itu. "Mogok, saya engga ngerti mesin. Biasanya saya pakai supir tapi karena hari ini supir saya ijin, jadi terpaksa bawa Mobil sendiri," akunya. Arafi tersenyum, "Boleh saya lihat dulu, Pak? Saya kayaknya ngerti sedikit-sedikit soal mobil," ijin Arafi. Abrar mengangguk dengan semangat, dia menggeser tubuhnya dan membiarkan Arafi mencari tahu apa yang membuat mobil dosennya itu mogok. Setelah beberapa saat, Arafi mengangkat kepalanya dengan kening berkerut. "Disini engga ada masalah, Pak. Boleh saya lihat ke dalam?" tanyanya. Abrar yang ikut bingung akhirnya mengijinkan Arafi untuk melihat ke dalam mobilnya. Hanya butuh beberapa waktu hingga Arafi kembali keluar dengan senyum canggung. "Kenapa, Raf?" tanya Abrar. "Itu, Pak, ternyata bensinnya habis," jawabnya. Pupil mata Abrar membesar saat mendengar info dari Arafi. "Astaga, gimana bisa saya engga sadar kalau bensinnya habis!" serunya. Arafi tertawa pelan melihat respon dari dosennya itu. "Berarti saya tinggal nyari pom bensin aja ya?" tanya Abrar pada Arafi. Arafi mengangguk, dia celingukan mencari-cari keberadaan penjual bensin tapi tidak terlihat karena saat ini gang yang mereka singgahi cukup sepi. "Begini aja, Pak. Bapak tunggu disini sebentar, biar saya yang cari pom dan belikan bensinnya," usul Arafi. Abrar menatap pria muda di depannya ini dengan ragu. "Kamu engga apa-apa kalau begitu?" tanyanya. Arafi tersenyum sambil mengangguk pasti. "Engga apa-apa kok, Pak. Tunggu sebentar ya," katanya. Setelah mendapat anggukan dari Abrar, Arafi langsung mengendarai motornya untuk mencari pom bensin. Ia berbalik arah, menyusuri jalan sampai akhirnya ia menemukan satu pom bensin yang cukup jauh dari tempat Abrar menunggu. Tanpa membuang waktu, usai membeli bensin ia langsung menaikan kecepatan lajur motornya agar tidak membuat Abrar menunggu terlalu lama. Entah berapa lama waktu yang dibutuhkan hingga akhirnya Arafi sampai di tempat Abrar menunggu. Pria berusia setengah abad itu tampak begitu lega saat mendapati Arafi yang datang dengan plastik besar di tangannya. "Saya sempat beli corongnya juga, Pak," lapornya. Abrar tersenyum sambil menatap Arafi yang sedang mengisi mobilnya dengan bensin. "Makasih banget ya, saya engga bisa bayangin kalau saya engga ketemu sama kamu," ucap Abrar tulus. Dia memberikan beberapa lembar uang berwarna merah pada Arafi. "Ini kebanyakan, Pak," tolak Arafi. Uang yang ia pakai untuk membeli bensin dan corong tidak sebanyak yang diberikan oleh Abrar. "Engga apa-apa, tolong terima. Kalau kmu nolak, saya nantinya segan kalau mau minta tolong kamu lagi," bujuk Abrar. Arafi tampak ragu menerima pemberian dari Dosennya itu. Tapi setelah Abrar berulang kali membujuknya, akhirnya Arafi menerima uang itu. "Makasih banget, Pak," ujarnya. Abrar mengangguk sambil tersenyum. Ia lalu tidak sengaja melihat ke arah kaos dengan logo sebuah cafe yang dipakai Arafi. "Kamu kerja di cafe?" tanyanya kemudian. Arafi menatap ke dirinya sendiri setelah sadar bahwa Abrar melihat ke arah kaosnya. Dengan malu ia mengangguk. "Saya belum berhasil dapat pekerjaan di tempat yang sesuai dengan latar belakang pendidikan saya, Pak. Jadi daripada nganggur saya lebih memilih untuk kerja apa saja dulu, yang penting halal," akunya. Arafi menunduk karena merasa malu karena dirinya yang merupakan lulusan terbaik justru menjadi pelayan cafe walaupun sudah satu tahun lulus dari Perguruan tinggi. Abrar tampak tersenyum tipis, tangannya terangkat menepuk pundak Arafi sekali. "Engga usah berkecil hati. Rejeki orang sudah ada yang mengatur," hiburnya. Ia termenung, memikirkan satu ide gila yang terlintas di otaknya begitu saja. "Kalau kamu mau, saya bisa kasih kamu pekerjaan di perusahaan saya. Tapi ada satu hal yang akan saya minta dari kamu," tawar Abrar. Arafi menatap dosennya itu dengan ragu. Ia langsung berpikir hal apa yang akan diminta oleh dosennya untuk ditukar dengan pekerjaan yang akan dia dapatkan. "Apa itu, Pak?" tanya Arafi pada akhirnya. Tapi Abrar justru tersenyum penuh arti, "Besok kamu datang saja ke kampus di jam sepuluh pagi. Temui saya dan saya akan jelaskan apa yang perlu kamu lakukan sebagai syaratnya." Arafi terdiam sebentar sebelum akhirnya ia mengangguk. "Saya akan datang besok, Pak," janjinya. Abrar mengangguk dan kembali menepuk pundak mantan mahasiswanya itu. "Saya tunggu besok ya! Dan terimakasih atas bantuan kamu malam ini, saya benar-benar merasa beruntung bisa bertemu dengan orang yang saya kenal di saat seperti ini," katanya tulus. Arafi tertawa pelan, "Justru saya yang makasih karena Bapak sampai kasih saya yang yang banyak," bantahnya. Abrar menatap Arafi dengan serius, "Toh nantinya kita akan jadi keluarga," gumamnya. Arafi menaikan sebelah alisnya, "Apa, Pak? Maaf saya engga dengar," tanyanya. Tapi Abrar justru tertawa dan berkata bahwa ia tidak mengatakan apapun. Kemudian pria paruh baya itu pamit pada Galaksi untuk pulang dan berpesan agar Arafi berhati-hati di jalan. * "Kok baru pulang, Pa?" Abrar yang baru selesai melepas sepatunya, berbalik dan tersenyum ke arah putrinya. "Mogok tadi mobilnya. Papa pikir mesinnya rusak, ternyata cuma bensinnya aja yang habis," ceritanya. Ia terkekeh pelan mengingat kejadian memalukan itu. Putrinya ikut tertawa, ia mengulurkan tangan mengambil alih tas kerja ayahnya dan membawanya. "Sudah makan?" tanyanya. Abrar mengangguk, "Udah tadi sekalian bareng client," jawabnya. Kemudian ia menatap putri cantiknya itu. "Di kantor ada posisi Manajer yang kosong engga, Res?" tanyanya kemudian. Nareswari Komala Adanu, putri semata wayangnya yang cantik itu tampak berpikir sebelum menjawab pertanyaan Papanya. "Manajer keuangan paling. Soalnya kan Bu Tari mau resign, tapi setahu Nares udah ada yang mau ngisi," katanya. Abrar termenung, "Bisa engga kalau dari Papa aja yang ngisi? Nanti orang yang mau ngisi posisi itu sebelumnya, di pindah ke bagian lain aja," usulnya. Nares menatap aneh pada Papanya. "Apa ini? Nepotisme ya? Papa kan biasanya engga begini," tuduhnya. Abrar tertawa mendengar tuduhan dari anaknya itu. "Mungkin bisa dibilang begitu, tapi Papa jamin anak yang mau Papa masukin ini adalah anak yang akan menguntungkan perusahaan nantinya. Soalnya dia pekerjaan keras dan juga jujur," ucapnya yakin. "Tahu darimana?" tanya Nares sangsi. "Dia mahasiswa Papa, lulusan terbaik tapi sampai sekarang belum dapat pekerjaan yang bagus. Anaknya malah jadi pelayanan cafe, tadi dia juga loh yang nolongin Papa buat beli bensin pas mobilnya mogok," pujinya. Nares hanya menghela nafas pelan. "Yaudah nanti besok Nares urus deh. Papa sekalian mintain lamaran kerja sama CVnya aja," katanya. Abrar mengangkat jempolnya tinggi. "Beres deh!" jawabnya. Nares tertawa pelan. Hatinya selalu bahagia setiap kali melihat Ayahnya tersenyum. Dulu saat beberapa tahun awal setelah Mamanya meninggal, jangankan untuk tersenyum, Ayahnya itu bahkan tidak ingin bertemu dengan siapapun selain Nares. Cinta yang begitu besar yang Papanya miliki, membuat dirinya begitu hancur saat istri tercintanya harus pergi lebih dulu. Bahkan Papanya memutuskan untuk hanya hidup berdua dengan Nares saja dan menolak menikah lagi. "Res, kalau seandainya Papa cariin kamu calon suami. Kamu mau?" tanya Abrar hati-hati. Lamunan Nares langsung lenyap begitu mendengar pertanyaan Ayahnya. Dia menatap lurus ke arah Ayahnya yang sedang menunggu jawabannya itu. "Nares belum mau menikah, Pa," tolaknya halus. Abrar tersenyum, menarik tangan anaknya agar mendekat ke arahnya. "Kamu sudah cukup umur untuk menikah. Tapi selama ini Papa engga lihat kamu dekat dengan pria manapun. Makanya kalau boleh, biar Papa yang carikan. Papa akan cari lelaki yang bisa bertanggung jawab atas kamu dengan baik," bujuknya. Nares terdiam untuk waktu yang lama. Dia memiliki alasan sendiri kenapa belum juga menikah hingga sekarang. Tapi tentu saja dia tidak bisa mengatakan alasan itu di depan Papanya. "Oke. Tapi Nares mau ketemu dulu nanti sama pria pilihan Papa. Dan kalau nanti ternyata kami engga cocok, Papa harus siap buat nerima kenyataan ya," putusnya. Abrar tersenyum dengan sangat lebar. Dia mendekat dan mencium kening putrinya itu dengan lembut. "Iya, kalau kalian sama-sama nolak, atau kamu engga suka sama pilihan Papa, kamu boleh batalin perjodohannya," setujunya. Nares tersenyum sambil mengangguk. Rasanya sulit sekali untuk membuat ayahnya itu kecewa. Maka yang ia bisa lakukan adalah mencoba sebisanya, kalaupun nanti saat pria itu tahu syarat yang akan Nares ajukan dan menolak, ia tidak akan terlalu membuat Ayahnya kecewa karena dia telah mencobanya. **
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD