"Kamu semalam pulang jam berapa? Abang engga sempat nungguin karena capek dan ketiduran," tanya Duta.
Arafi yang sedang memakai kemeja warna biru gelap, menoleh ke arah Duta yang berdiri di ambang pintu.
"Sekitar jam sepuluhan, Bang. Lagian kayak anak kecil aja akunya pake ditungguin," selorohnya dengan tawa geli.
Duta tertawa sambil menggaruk belakang telinganya.
"Ya habis gimana, udah kebiasaan dari dulu nunggu kamu pulang. Jadi kalau kamu belum pulang dan engga ngabarin, Abang juga engga tenang," katanya.
Arafi mengulum senyum tipis mendengar ucapan Abangnya itu. Baginya Duta juga sangat penting, walaupun hubungan mereka hanya sepupu tapi Arafi sangat menyayangi Abang dan Tetehnya itu karena mereka lah yang sudah merawatnya hingga sekarang.
"Iya, tapi lain kali engga udah ditungguin juga, Bang. Sekarang aku udah besar, engga akan kesasar jalan pulang," candanya.
Duta hanya menggelengkan kepala.
"Tapi bukannya kamu shift malam hari ini?" tanya Duta heran saat ia baru saja menyadari penampilan Arafi yang bahkan lebih rapi dari biasanya.
Arafi menoleh sekilas dan kembali memasukan lamaran kerjanya ke dalam ransel beserta dompet dan tas.
"Aku hari ini mau ke kampus, Bang. Ada perlu sama salah satu Profesor," katanya.
"Oh pantes kamu rapi banget," ujar Duta sambil memindai adiknya itu dari atas sampai bawah.
"Kalau ngeliat kamu kayak gini, Abang jadi minder karena kalah jauh," celetuknya.
Arafi tertawa mendengar ucapan Abangnya itu.
"Emangnya kenapa, Bang? Abang kan lebih ganteng."
Duta mencibir ucapan adiknya itu.
"Jangan merendah untuk meroket deh, Raf. Kamu itu mirip banget sama Om Tresna waktu masih muda, ganteng banget," pujinya.
Mendengar nama Ayahnya disebut, Arafi mau tidak mau mencoba mengingat seperti apa wajah Ayahnya dulu. Ia sempat mendengar bahwa dulu Ayahnya jadi rebutan gadis satu kampung karena terkenal paling tampan, dulu saat mendengar Ayahnya berkata begitu Arafi akan selalu berlaga pura-pura muntah. Padahal Ayahnya memang sangat tampan.
"Tapi aku sama Bapak kan beda, Bang. Bapak dari muda udah sukses punya toko besar, jadi ketampanannya engga sia-sia. Sedangkan aku ini remaja miskin, susah payah kuliah biar sukses tapi pas lulus malah jadi pelayan cafe," candanya.
Walaupun tahu adiknya itu bercanda, Duta tetap merasa tidak senang mendengar ucapan Arafi.
"Belum waktunya kamu sukses, Raf. Jangan menilai rendah diri sendiri. Kamu yang paling tahu kemampuan mu, dan kamu juga yang bisa nentuin nasibmu akan gimana kedepannya. Yang terpenting itu jangan sampai berhenti usaha apalagi putus asa. Usaha engga akan mengkhianati hasil," nasihatnya.
Arafi tersenyum sambil mengangguk.
"Iya, Bang. Nanti kalau Arafi udah sukses, Arafi akan belikan Abang sama Teteh rumah yang lebih besar," janjinya.
Duta tertawa. Dia menonjok pelan bahu Arafi kemudian berujar dengan nada lucu.
"Kalau gitu nanti Abang akan do'ain kamu sepanjang hari supaya sukses. Bosen nih tinggal di rumah yang ada di gang, Abang bingung nanti kalau punya mobil parkirnya dimana."
Arafi ikut tertawa, kali ini lebih lepas dari sebelumnya.
"Tenang aja, Bang. Arafi akan sekalian beliin Abang mobil nanti," sombongnya.
Kemudian mereka tertawa bersama dan baru berhenti saat suara Andin terdengar dan memanggil mereka untuk sarapan.
Barulah mereka membubarkan diri dan bergegas keluar sebelum nantinya Andin akan memelototi mereka dan mengomel panjang lebar.
*
"Ibu memanggil Saya?"
Nares tersenyum ramah dan mengangguk.
"Duduk dulu, Pak. Ada yang mau saya bicarakan," katanya.
Pria yang lebih tua darinya itu mengangguk dan duduk di kursi yang berhadapan dengan Nares. Dia duduk diam menunggu Nares membuka suara tentang maksud dari wanita itu memanggilnya kesini.
Nares menautkan kedua tangannya, agak ragu untuk bicara karena sebelumnya ia tidak pernah seperti ini.
"Pak, sebelumnya saya mau minta maaf. Tapi saya berniat memasukan seseorang ke posisi Manajer keuangan yang sedang kosong," ujarnya.
Pria yang merupakan Direktur keuangan yang duduk di depannya itu tampak terkejut.
"Tapi bukannya jabatan itu sudah ada yang mau mengisinya, Bu? Keponakan dari Bu Tari sendiri," tanyanya heran.
Nares mengangguk, "Iya, sebelumnya memang begitu. Tapi saya sudah menghubungi pihak HRD dan meminta mereka bertanya pada calon Manajer itu bersedia atau tidak dipindahkan ke bagian Marketing karena posisi di sana juga kosong. Dan katanya orang itu tidak keberatan. Makanya saya memanggil Bapak untuk memberitahu karena nantinya orang yang akan masuk itu akan menjadi bawahan Bapak," jelasnya.
Pria di depannya tampak menghela nafas pelan sebelum akhirnya mengangguk.
"Kalau saya sendiri tidak keberatan, Bu. Asalkan dia bisa memenuhi kompetensi yang diperlukan di divisi keuangan," katanya.
Nares tersenyum, "Orang ini adalah rekomendasi dari Pak Abrar langsung, Pak. Jadi pasti bisa dipercaya," ujarnya yakin.
"Oh kalau pilihan Pak Abrar sih saya juga engga akan meragukan, Bu," sahut pria di depannya semangat.
Nares mendesah lega. Kemudian dia memperbolehkan pria tadi untuk kembali ke ruangannya.
Baru kali ini ia memasukan orang dengan jalur express seperti ini. Selama ini dia sangat menghindari segala jenis KKN walaupun beberapa orang petinggi perusahaan kerap kali melakukannya.
Memang Ayahnya sendiri tidak melarang seseorang membawa kerabat masuk ke dalam perusahaan selagi orang itu bisa bekerja dengan baik dan tidak hanya mengandalkan koneksi. Tapi Nares sendiri tidak pernah berbuat begitu, selain karena teman-temannya juga kebanyakan memiliki bisnis sendiri juga karena Nares tidak mengganggap hal itu benar.
Namun demi Papanya, Nares akan mau melakukan apapun selagi itu tidak diluar batas. Termasuk mencoba menerima saran perjodohan yang dicetuskan oleh Papanya. Terdengar gila memang.
Ia buru-buru mengambil ponselnya dan mengetikan sebuah pesan untuk Ayahnya.
'Posisinya udah tersedia. Minta orangnya buat datang ke kantor dan bawa lamaran lengkap.'
Kemudian dia kembali mematikan ponselnya dan melanjutkan pekerjaannya yang tertunda.
Ngomong-ngomong, Nares adalah seorang Direktur Personalia di kantor milik Ayahnya itu.
*
"Wah Kak Rafi! Engga nyangka bisa ketemu Kakak lagi!"
Arafi tersenyum canggung saat tiba-tiba seorang adik tingkatnya menyegat dirinya di Koridor.
"Iya, ada perlu sama Profesor," jawabnya.
Gadis yang Arafi ingat bernama Ella itu memiringkan kepalanya hingga rambut panjangnya jatuh ke samping.
"Professor siapa?" tanyanya.
"Profesor Abrar," jawab Arafi kalem.
Ella manggut-manggut mendengar jawaban Arafi.
"Kalau gitu pas udah selesai mau engga makan bareng sama aku, Kak?" tanyanya malu-malu.
Arafi terdiam. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri, menyadari bahwa ada beberapa orang yang memperhatikan mereka. Ini pasti karena yang ia dengar Ella terpilih sebagai Ratu kampus saat pemilihan kemarin.
"Maaf ya, Ella. Tapi saya masih ada urusan setelah ini. Jadi mungkin lain kali?" tolaknya.
Gadis di depannya itu tampak kecewa meskipun setelahnya ia setuju dan mempersilahkan Arafi yang pamit untuk menemui Profesor Abrar.
Sepanjang jalan, Arafi sudah tidak tahu sebanyak apa ia tersenyum saat beberapa adik tingkat yang mengenalnya menyapa dirinya dengan ramah.
Seperti yang pernah Vindran bilang, bahwa dirinya memang populer semasa kuliah jadi tidak usah heran jika masih banyak yang mengingatnya meskipun dia sudah satu tahun menjadi alumni.
Langkahnya kemudian terhenti di sebuah pintu kayu yang merupakan ruangan Abrar. Dengan pelan ia mengetuk pintu sampai terdengar sahutan dari dalam.
Arafi menarik nafas pelan, memutar kenop dan masuk ke dalam ruangan. Abrar tampak sedang fokus pada layar komputer di depannya tapi langsung menoleh begitu mendengar suara pintu yang terbuka.
"Oh, Arafi! Mari duduk!" ajaknya.
Arafi mengangguk sopan dan berjalan pelan ke arah kursi yang berhadapan dengan kursi yang diduduki Abrar.
"Kamu on time sekali," puji Abrar sambil melihat jam yang melingkar di tangannya.
Arafi tersenyum canggung, "Saya mana berani telat saat janjian dengan Profesor," katanya.
Abrar tertawa mendengar ucapan Arafi. Ia lalu menutup laptop di depannya dan mulai fokus menatap ke arah Arafi.
"Saya barusan dapat kabar kalau posisi yang mau kamu tempati di kantor saya, sudah siap," beritahu Abrar.
Arafi membulatkan matanya. Ia tidak menyangka bahwa Abrar benar-benar mencarikan posisi kerjaan untuknya.
"Apa benar, Pak? Kalau begitu saya harus menuliskan tujuan surat lamaran saya ke bagian apa? Kapan surat lamarannya harus saya kirimkan?" tanyanya antusias.
Abrar yang mendengar rentetan pertanyaan dari Arafi langsung tersenyum geli. Terlihat sekali bahwa mantan mahasiswanya itu begitu senang hendak mendapatkan pekerjaan baru.
"Tentu saja kamu tujukan ke bagian HRD. Tulis lamaran untuk posisi Manajer Keuangan," jawabnya.
"Baik, Pak. Saya aka-- APA? Manajer?" Arafi menatap tidak percaya pada pria paruh baya yang kini sedang tersenyum ke arahnya.
"Iya, Manajer keuangan. Karena saya engga mungkin kan ngasih jabatan yang sembarangan untuk calon menantu saya?"
Arafi semakin terkejut saat mendengarkan ucapan Abrar. Dia benar-benar tidak mengerti sebenarnya apa yang hendak di sampaikan oleh pria paruh baya di depannya.
Melihat Arafi yang kebingungan, Abrar menarik nafas berat dan memajukan tubuhnya.
"Semalam saya sudah bilang kan kalau saya akan memberikan kamu pekerjaan, tapi akan ada hal yang saya minta dari kamu?" tanyanya.
Arafi mengangguk patah-patah. Dia masih belum bisa kembali normal karena otaknya terlalu terkejut menerima pertanyaan dari Abrar.
"Saya akan berikan posisi Manajer itu kepada kamu, asalkan kamu mau menikah dengan anak saya," imbuhnya.
Jika tadi Arafi terkejut, kali ini pria itu bahkan tidak bisa membuka mulutnya sama sekali. Menikah? Bagaimana bisa Abrar berniat menikahkan anaknya dengan dirinya yang hanya pria miskin ini?
"Kamu engga perlu jawab sekarang. Ini bukan keputusan yang bisa kamu ambil hanya dengan sekali berpikir. Maka dari itu saya memberikan kamu waktu satu malam. Kalau kamu bersedia, kamu bisa datang lagi besok dengan membawa surat lamaran kamu. Tapi kalau kamu menolak, kamu boleh hanya mengirimkan pesan kepada saya. Engga usah sampai datang karena saya tahu kamu juga punya pekerjaan sekarang," ujar Abrar.
Arafi menunduk. Dia benar-benar tidak bisa berpikir sekarang. Maka yang ia lakukan hanya mengangguk kemudian memaksakan senyumnya.
"Baik, Pak. Saya akan pikirkan dulu. Besok entah saya menerima atau tidak, saya akan tetap datang dan memberitahu Bapak secara langsung," katanya.
Abrar tersenyum sambil mengangguk. Melihat kesopansantunan yang dimiliki Arafi membuat dirinya semakin yakin dengan niatnya itu.
**