Ch-3

1006 Words
Joana menuju ruangan Frans Walke. Kaki mungilnya melangkah berderak di atas ubin ungu sepanjang koridor kampus. Saat tiba di depan kantornya, gadis itu mengulurkan tangannya untuk mengetuk pintu kaca satu arah tersebut. Belum sempat dia mengetuk terdengar suara dari dalam ruangan. "Masuk!" Joana segera mendorong pintu kaca tersebut kemudian melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruangan. Gadis itu menyapukan pandangannya ke seluruh ruangan. Dilihatnya tropi berjajar rapi di dalam lemari kaca di belakang punggung dosen muda bernama Frans tersebut. Joana masih berdiri di depan meja pria itu tanpa mau bertanya. Dia terus mematung di tempatnya. Entah sudah berapa lama dia berdiri di sana tanpa bergeming sama sekali. Frans tersenyum melihat kesabaran gadis itu, biasanya mahasiswi lainnya pasti akan langsung bertanya ini itu padanya ketika diminta untuk datang ke dalam ruangannya. "Duduklah." Perintahnya padanya. Gadis itu duduk di seberang meja, masih diam saja seperti sebelumnya. Frans berkali-kali mengukir senyuman di wajah tampannya. Dia hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang. Gadis sederhana di depannya yang tadinya sangat lihai memberikan materi di depan seluruh peserta ospek. Kini diam seribu bahasa saat berada di depannya. Terlihat sangat jelas bahwa gadis di depannya itu tidak suka basa-basi sama sekali. Raut wajahnya sederhana, tegas, namun ada kelembutan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Setiap ucapan bibirnya yang meluncur keluar, bukan sebuah ucapan beralasan. Tapi ucapan yang harus, demi menunjukkan kebenaran. "Kamu tahu kenapa aku memanggilmu ke mari?" Akhirnya Frans Walke memilih mengatakan niatnya kenapa dia memanggilnya datang ke dalam ruangan kerjanya hari itu. Joana tidak menjawab pertanyaan darinya. Frans sudah lama menunggunya bicara, tapi gadis itu tetap membisu dengan raut wajah datar, netral tanpa perubahan sama sekali. Pria itu menyandarkan kepalanya pada kursinya, dia merasa sangat bosan dan jengah karena lama sekali menunggunya bicara. "Jika tahu akan begini aku tidak akan memanggilmu ke mari." Gerutunya kesal masih menyandarkan kepalanya pada kursinya. Mendengar itu Joana segera berdiri dari kursinya, "Kalau begitu saya permisi." Menundukkan kepalanya berpamitan pada Frans. "Tunggu! Siapa yang menyuruhmu pergi? Duduk kembali di kursimu." Joana kemudian duduk kembali di kursinya, tanpa protes sama sekali. "Kenapa kamu tidak menjawab pertanyaan dariku? Malah pergi begitu saja." "Anda yang memanggil saya kemari, kenapa saya yang harus bertanya?" Ujarnya singkat padat, dan telak mengenai jantung lawan. "Kamu gadis yang pelit!" Frans menilainya tanpa basa-basi, mengutarakan kekecewaan dalam hatinya karena mendapat sambutan dingin dari mahasiswi yang dikaguminya. Wajah Joana tidak berubah, bahkan setelah diejek sedemikian rupa olehnya. "Jadilah asistenku." Akhirnya pria itu mengungkapkan keinginannya. Dia sudah tidak tahan menunggu lebih lama lagi. "Saya tidak bisa." Sahutnya pada Frans Walke. Tanpa menunggu lama, ataupun mempertimbangkannya. "Kamu langsung menolakku? Maksudku menolak menjadi asistenku? Aku akan memberikan gaji padamu sebagai asisten. Aku Dokter terkenal lihai, kenapa kamu menolakku? Kamu bisa menjadi asistenku sambil belajar lebih banyak di bidang kedokteran!" Sergahnya tanpa titik dan koma, Joana mendongakkan wajahnya menatap wajah Frans Walke di depannya. Setelah lima menit hanya menatapnya seperti itu, dia kembali berkata. "Saya kuliah bukan untuk mencari uang. Ketika menjadi asisten, anda akan meminta bantuan untuk menggantikan peran anda sebagai dosen walaupun tidak sepanjang waktu. Itu akan membuat saya sibuk hingga mengurangi waktu belajar saya. Kalau tidak ada yang ingin anda katakan lagi saya permisi." Berdiri dari tempat duduknya kembali. "Braakkk! Kamu tidak boleh menolakku!" Menggebrak meja kerjanya. Joana sedikit terkejut karena pria itu tiba-tiba marah. "Aku tidak akan memintamu menggantikan posisiku untuk mengajar. Dan aku hanya akan meminta satu jam waktumu untuk datang ke ruanganku selama menjadi asistenku." Ujarnya semakin membuat Joana tidak mengerti apa yang sedang dipikirkan oleh pria bernama Frans Walke itu. "Satu jam sangat berharga bagi saya, satu jam itu bisa saya gunakan untuk mencerna lima ratus halaman menyimpannya dengan baik di dalam otak saya." Tandasnya lagi, tetap menolak dengan tegas dan sopan. "Kenapa kamu begitu membuatku frustasi! Aku bukannya menawarkan kencan! Aku hanya ingin kamu.. akh sudahlah. Bawa saja bukumu yang lima ratus halaman itu, jika kamu ingin mempelajarinya di sini bagiku sama sekali tidak masalah." Ujarnya lagi, berharap gadis itu tidak lagi menolaknya. Frans berdiri di dekat lemari tropi. Dia mengusap tengkuknya dengan kesal. Ketika mengibaskan tangannya, pria itu tanpa sengaja menyenggol kaca di belakang punggungnya. Lengannya teriris dan berdarah. Melihat situasi darurat di depannya, sikap kepedulian sosialnya kembali kumat. Gadis itu mengambil kotak obat di sebelahnya. Kemudian tanpa permisi meraih tangan Frans Walke, dibersihkannya luka di tangan pria itu menggunakan antiseptik. Kemudian dibalut dengan plester. Saat menyelesaikan pekerjaannya gadis itu beranjak dari tempatnya berdiri. Dia tidak tahu wajah pria di depannya itu terus menerus menatap wajahnya. Dia tahu saat Frans menahan tangannya. Gadis itu menatap wajahnya. Tatapan lembut tanpa ekspresi. Wajah datarnya tidak bisa menunjukkan rasa canggung sama sekali. Frans yang sudah menjajah cinta lebih dari seratus gadis tidak pernah menemui wanita dingin dan datar sepertinya. Bahkan saat pria itu menahan tangannya, dia tidak berontak ataupun bertanya. Tapi dia hanya menunggu pria itu mengucapkan sesuatu padanya. Mungkin ada sesuatu yang ingin dia ucapkan sebelum dia pergi. "Apakah kamu masih menolak tawaranku?" Tanyanya kemudian setelah menggenggam pergelangan tangannya selama lima menit. "Anda tidak akan bisa menahan emosi, ketika saya berada di sekitar anda. Bisa saja saya membawa kesialan. Seperti sekarang." Ujarnya pelan tanpa nada tekanan, atau sindiran. Kharisma luar biasa, gadis sederhana tapi cerdas. Tidak pernah main-main saat bicara. Cara bertutur kata sopan lembut dan ramah, tapi tidak mengurangi daya tariknya. "Aku rela jika terus terluka, asalkan kamu mau menerima tawaranku." Tetap bersikeras mempertahankan pendapatnya, tidak mau melepaskan genggaman tangannya. "Anda terlalu terobsesi, suatu saat anda akan kecewa. Saya tidak sebaik dalam pikiran anda." Gadis itu menyentuh genggaman tangan Frans pada pergelangan tangannya, mencoba menariknya perlahan. Tapi pria itu malah memperkuat genggaman tangannya. "Akh!" Pekiknya sambil mengigit bibirnya sendiri. Baru kali itu terlihat ekspresi dari wajah datar Joana. "Manis sekali." Bisiknya pelan, tapi cukup membuat Joana terkejut melotot ke arahnya. Dua tatapan mata bertemu, satu tatapan mata terkejut, satu lagi menikmati wajah terkejutnya. Wajah yang datar seperti mayat hidup, selama beberapa waktu kembali menunjukkan ekspresi. Joana hanya akan tersenyum cerah, saat melihat kedatangan ayahnya. Dan akan berbicara dengan penuh semangat saat ayahnya bertanya. Tidak di depan orang lain, atau siapapun.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD