Hujan semakin deras ketika ia memasuki sebuah warung kopi kecil di gang sempit. Tempat itu sepi, hanya ada seorang barista tua yang setengah mengantuk. Ezra duduk di sudut, menghadap pintu, punggung menempel ke dinding.
Tak lama kemudian, seorang wanita berjaket kulit hitam masuk, payung lipatnya masih meneteskan air. Rambutnya dikuncir rendah, wajahnya pucat namun matanya tajam seperti bilah pisau.
Wanita itu: “Kau tepat waktu.”
Ezra: “Kau pikir aku datang untuk minum kopi?”
Wanita itu—Haily—meletakkan sebuah amplop cokelat di meja. Ezra membuka dan melihat foto seorang pria berbadan besar dengan jas putih.
Haily : “Julyus Kusnandar. Pengusaha tambang. Di balik itu, dia tangan kanan penguasa pasar gelap senjata di Asia Tenggara.”
Ezra : “Target pertama.”
Haily : “Ya. Tapi kau harus hati-hati. Dia dikelilingi tentara bayaran.”
Ezra tersenyum tipis, lalu meneguk kopi panasnya.
Di matanya, ini bukan sekadar misi. Ini adalah langkah pertama dari perang yang sudah lama ia rencanakan.
Lampu-lampu neon menari di antara kepulan asap rokok dan parfum mahal. Klub malam Eclipse malam itu penuh sesak — deretan meja VIP dijaga bodyguard berotot, sementara di lantai dansa, tubuh-tubuh bergerak mengikuti dentuman bass yang memekakkan telinga.
Di sudut bar, Ezra duduk sendirian, menyamar dengan kemeja hitam longgar dan topi fedora yang menutupi sebagian wajahnya. Tangannya memegang gelas wiski, tapi matanya tak pernah lepas dari balkon VIP di atas.
Di sana, Julyus Kusnandar sedang tertawa lebar, memamerkan gigi emasnya. Tangannya merangkul dua wanita muda, sementara di sekitarnya berdiri empat pria berjas hitam dengan earpiece.
Di telinga Ezra, suara Haily terdengar melalui earpiece kecil.
Haily: “Semua pintu keluar dijaga. Tapi ada celah lima detik saat patroli berganti.”
Ezra : “Lima detik cukup.”
Ezra bangkit. Langkahnya santai, seperti pengunjung biasa yang menuju kamar mandi. Saat ia mendekati tangga ke VIP, lampu klub mendadak berkedip—Haily telah meretas sistem listrik.
Hitungan dimulai.
Ezra naik tangga tanpa suara. Saat satu bodyguard menoleh ke arah lain, Ezra bergerak seperti bayangan—menarik pisau lipat dari saku, menancapkannya tepat di bawah rahang pria itu. Tubuhnya ambruk tanpa suara.
Empat detik tersisa.
Ezra melangkah cepat ke arah Julyus. Sang pengusaha baru sempat menoleh sebelum Ezra menekan bilah pisau tipis ke lehernya. Mata Julyus membelalak, bibirnya bergetar, tapi suara dentuman musik menelan teriakannya.
Ezra: “Salam dari masa lalu.”
Pisau itu menebas satu garis bersih. Darah memercik di meja kaca. Ezra melepaskan tubuhnya yang terkulai… lalu menghilang ke lorong belakang.
Ketika lampu kembali menyala, klub berubah menjadi kepanikan massal. Teriakan bercampur dengan musik yang masih berdentum. Para bodyguard kebingungan mencari pelaku — tapi Ezra sudah lenyap, menyusuri lorong gelap menuju pintu keluar rahasia.
Di luar, hujan masih turun deras. Sebuah motor sport hitam menunggu di ujung gang. Haily duduk di atasnya, helm di tangan.
Haily: “Cepat. Sebelum pesta polisi dimulai.”
Ezra: “kau tahu....Pesta baru saja dimulai.”
Mesin meraung, dan mereka melesat menembus malam.