Markas besar satuan intelijen militer di bilangan Cawang tampak sibuk malam itu. Telepon berdering, layar monitor menampilkan cuplikan CCTV dari berbagai sudut Jakarta. Foto Julyus Kusnandar dengan tanda “DECEASED” merah besar terpampang di layar utama.
Di ruang kendali, Letnan Kolonel Yogi berdiri tegak, kedua tangannya terkunci di belakang punggung. Wajahnya tegas, tapi matanya penuh amarah.
Perwira muda: “Laporan saksi menyebut pelaku bergerak cepat, sangat terlatih, dan menghilang tanpa jejak.”
Yogi: “Deskripsinya?”
Perwira muda: “Pria… sekitar 180 cm, tubuh atletis. Tidak ada wajah jelas.”
Yogi menghela napas, lalu melangkah mendekati meja. Tangannya menekan tombol, menampilkan foto lama: Ezra Dirgantara — agen yang dulu ia latih sendiri.
Yogi (pelan): “Kau seharusnya sudah mati, Ezra…”
Di tempat lain, Ezra dan Haily berhenti di sebuah gudang tua di pinggiran kota. Udara di dalam dingin dan lembab, bau oli dan besi karat menguasai ruangan. Haily membuka laptopnya, jari-jarinya menari cepat di atas keyboard.
Haily: “Kita punya waktu singkat sebelum jaringan Yogi menutup semua akses. Dia akan mengerahkan semua sumber daya.”
Ezra: “Aku ingin dia tahu aku kembali.”
Haily: “Itu bunuh diri.”
Ezra: “Tidak. Itu undangan.”
Haily menatapnya, ragu, tapi ia tahu Ezra tidak pernah mundur.
Kembali ke markas intelijen, Yogi berbicara dengan seseorang melalui telepon satelit.
Yogi : “Operasi Shadow Hunt dimulai. Gunakan semua unit. Jika dia benar-benar Ezra, kita tangkap hidup-hidup. Aku ingin melihat matanya… sebelum aku yang menghabisinya.”
Telepon ditutup. Yogi menatap peta digital Jakarta di layar — titik-titik merah bermunculan, menandakan pos pemeriksaan yang baru dipasang.
Perburuan telah resmi dimulai.
Dan di suatu sudut kota, Ezra tersenyum tipis… seperti pemburu yang menunggu mangsanya datang.
***
Gudang tua di pinggiran kota itu diterangi hanya oleh lampu meja kecil. Hujan di luar masih mengetuk atap seng, menciptakan irama monoton yang menutupi suara laptop Haily yang sedang bekerja.
Ezra duduk di kursi kayu, membersihkan pistolnya. Tangannya terlatih, setiap gerakan presisi, tapi matanya sesekali melirik ke arah Haily.
Ezra: “Kau belum jawab pertanyaanku.”
Haily: “Yang mana?”
Ezra: “Kenapa kau mau repot-repot membantu orang yang diburu seluruh aparat negara?”
Haily berhenti mengetik. Ia menatap layar laptop beberapa detik, lalu menutupnya perlahan.
“Karena aku juga sedang diburu.”
Ezra mengangkat alis, tapi Haily tidak memberi penjelasan lebih jauh. Sebaliknya, ia berdiri dan mengambil peta lusuh dari rak, membentangkannya di meja.
Haily: “Ini jaringan distribusi senjata yang kau incar. Pusatnya di sini…” jarinya menunjuk titik merah di kawasan pelabuhan utara. “Tapi jalur pengamanannya rumit. Mereka punya mata di mana-mana.”
Ezra : “Kalau begitu, kita jadi bayangan di antara mata-mata itu.”
Beberapa kilometer dari sana, Letkol Yogi duduk di ruang gelap, menatap berkas foto Haily yang baru saja diterimanya.
Nama asli: Haily Herbowo
Putri dari Jenderal Herbowo — salah satu tokoh militer paling berpengaruh di negeri ini, yang kebetulan juga masuk daftar target Ezra.
Yogi menyipitkan mata.
Yogi : “Jadi, kau bekerja sama dengan nya, Haily… Itu membuat semuanya jauh lebih menarik.”
Kembali di gudang, Haily menyalakan proyektor, menampilkan foto-foto satelit.
Haily : “Kita hanya punya satu celah masuk ke pusat operasi mereka. Setelah itu, dunia akan tahu siapa yang sebenarnya memasok senjata pada para teroris.”
Ezra : “Dan saat itu, mereka akan membunuh kita.”
Haily : “Makanya kita harus bergerak cepat.”
Mata mereka bertemu. Ada sesuatu di sana — bukan sekadar aliansi. Ada dendam yang saling beririsan, tapi juga rahasia yang belum diungkap.