Flashback!

1010 Words
Diandra Rose, seorang wanita muda berusia 27 tahun, akhirnya pulih dan diizinkan kembali ke rumah setelah menjalani operasi transplantasi jantung yang krusial. Di dalam dadanya kini berdenyut sebuah jantung baru, simbol kehidupan yang ia peroleh dari pengorbanan seorang wanita asing, Alena. Sosok yang ia kenal lewat perkenalan singkat, tetapi kini terasa begitu dekat, bagai bayangan yang terus mengikutinya. Di dalam kamar, tatapannya menerawang jauh keluar jendela, matanya mengamati langit yang perlahan berubah warna. Namun, pikirannya melayang jauh, kembali ke masa sebelum operasi. Ia mengenang hari-hari yang dihabiskan dalam rutinitas monoton, tanpa pernah menyadari betapa rapuhnya hidup ini. Operasi itu tidak hanya memberinya kesempatan kedua, tetapi juga menyematkan beban baru—tanggung jawab yang begitu berat, yang terus menghantui setiap langkahnya. "Alena… apa yang harus aku lakukan?" bisiknya lirih, hampir tak terdengar. Kata-katanya melayang bersama angin yang masuk melalui celah jendela, seolah bertanya pada semesta. Matanya tetap terpaku ke cakrawala, tetapi hatinya tersesat di masa lalu, pada hari ketika takdirnya berubah selamanya. Flashback On "Kamu membutuhkan jantung baru, dan aku bisa membantumu," ucap wanita cantik itu dengan nada tegas. Sorot matanya tajam menatap Diandra tanpa berkedip, seolah menembus pikiran lawannya. Diandra tertawa kecil, namun pahit. "Aku memang butuh donor jantung, tapi—" "Maka dari itu, aku bersedia mendonorkan jantungku untukmu," potong wanita itu cepat, seolah tak memberi ruang untuk penolakan. Wajah Diandra mengeras. Matanya menyipit penuh amarah, sementara kedua tangannya mengepal di atas dadanya yang terasa berat. "Kamu pikir donor jantung itu sesederhana donor darah, ya? Kalau jantungmu masuk ke tubuhku, itu artinya kamu... mati! Kamu tidak ada lagi di dunia ini!" bentaknya, napasnya memburu menahan emosi yang terus memuncak. Diandra adalah seorang pasien yang sudah beberapa bulan terlantar di atas brankar rumah sakit. Penyakit jantung koroner telah menyempitkan arteri-arterinya, dan satu-satunya harapan hidupnya adalah menunggu donor jantung. Waktu terus berjalan, namun harapan terasa semakin jauh. Wanita itu, dengan seragam pasien serupa, menatap Diandra penuh keseriusan. Ia menarik napas dalam, seolah sedang mengumpulkan keberanian. "Boleh aku jujur padamu?" tanyanya pelan. Diandra mendesah, akhirnya mengangguk. "Silakan. Aku siap mendengarkanmu." jawabnya pelan. Wanita itu mendekat. "Oh iya, kenalin namaku Alena," ucapnya memperkenalkan diri sebelum duduk di kursi di samping brankar Diandra. Ekspresinya mencerminkan kelelahan, namun matanya menyimpan keteguhan yang mendalam. "Sebelumnya, aku sudah meminta dokter Budi untuk melakukan serangkaian tes di antara kita. Hasilnya, semuanya cocok," jelasnya dengan suara yang sedikit bergetar. Dahi Diandra berkerut. "Dan?" tanyanya dengan nada hati-hati, penuh kewaspadaan. "Aku menderita kanker otak stadium empat," ujar wanita itu, dengan senyum kecil yang penuh kegetiran. "Tumorku semakin membesar. Dokter sudah mencoba berbagai cara, terapi, obat-obatan, semuanya gagal. Rasa sakitnya nyaris tak tertahankan." Matanya mulai berkaca-kaca, tetapi ia menahan tangisnya. "Operasi adalah satu-satunya jalan, tapi kemungkinan berhasilnya sangat kecil." Diandra terdiam, tatapannya melunak meskipun hatinya masih bergulat dengan dilema. "Lalu... apa yang kamu inginkan dariku?" Wanita itu menundukkan kepala, menghapus air matanya dengan punggung tangan. Ketika ia kembali menatap Diandra, ada tekad dalam matanya. "Aku tahu waktuku tidak lama lagi. Tapi aku ingin hidup lebih lama, meskipun hanya melalui jantung ini. Dan aku ingin kamu membantu mewujudkan satu permintaan terakhirku." "Sebutkan permintaanmu," ucap Diandra, ragu tetapi tak mampu menolak sepenuhnya. "Bantu aku membalas dendam pada Alice. Dia menghancurkan rumah tanggaku, merebut perhatian suamiku dengan cara yang licik. Jika aku tidak bisa bahagia, maka dia juga tidak boleh bahagia," ucap wanita itu, suaranya penuh kebencian, sementara jemarinya terkepal kuat di atas pangkuannya. Diandra memalingkan wajah, mencoba memahami permintaan yang baru saja didengar. Ia menarik napas panjang, berusaha mengatur detak jantungnya yang mulai tidak teratur. "Andai aku setuju," ujarnya akhirnya, "apa yang harus aku lakukan untuk membalas dendammu?" Wanita itu tersenyum kecil, senyum yang menyiratkan rasa putus asa dan harapan terakhir. Namun, sebelum ia sempat menjawab, pintu kamar rawat Diandra tiba-tiba terbuka, dan seorang pria masuk. Pria itu tampan, dengan langkah tenang namun auranya dingin seperti es. Rahangnya tegas, matanya gelap dan tajam, tak menyisakan kehangatan. Ia berhenti di sisi wanita itu, berdiri tegak dengan postur sempurna, seolah-olah dunia tunduk padanya. "Kenalkan, ini suamiku, Sebastian Alvarendra," ujar wanita itu lemah namun cukup jelas. "Pernikahan kami baru berjalan satu tahun." Deg! Jantung Diandra berdetak lebih kencang, perasaan tak nyaman menghantamnya. Wajah Sebastian yang tanpa ekspresi semakin memperkuat firasat buruk yang bersemayam di dadanya. "Sebastian," ucap pria itu sambil mengulurkan tangan. Suaranya dalam, penuh wibawa namun dingin. "Diandra Rose," balas Diandra sambil mengangguk ringan. Ia tidak menyambut tangan itu, melainkan hanya menatap Sebastian sesaat sebelum memalingkan wajah. "Aku ingin kamu menikahi suamiku. Menggantikan posisiku sebagai Nyonya Muda Alvarendra." Duar! Kata-kata wanita itu menghantam Diandra seperti petir di siang bolong. Jantungnya yang lemah mulai berdetak tidak karuan, rasa nyeri menjalar ke seluruh dadanya. Napasnya tersengal-sengal, tubuhnya terasa lemas. Keringat dingin membasahi pelipisnya, matanya perlahan kehilangan fokus. Sebelum semuanya gelap, suara wanita itu, pelan namun penuh penyesalan, berbisik di telinganya, "Maafkan aku, Diandra. Aku janji akan menyelamatkanmu. Setelah itu, balaskan dendamku. Jangan biarkan Alice menang... dan merampas Sebastian darimu. Ini permintaan terakhirku." Flashback Off Ketukan di pintu membuyarkan lamunan Diandra. Ia menoleh dan melihat Sebastian berdiri di sana, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Tatapan pria itu tajam, seperti sumur yang dalam dan misterius, penuh rahasia, dan mengintimidasi. "Apa?" tanya Diandra dengan nada malas. "Masih belum percaya padaku?" sambungnya, mencoba menyembunyikan kegelisahan. Sebastian menyeringai tipis, ekspresi wajahnya dingin namun memancarkan ketegasan. "Ketahuilah, harga sebuah pengkhianatan adalah kematian," desisnya dengan nada rendah, hampir menyeramkan. Diandra menggelengkan kepala, berusaha tampak tidak terpengaruh. "Aku tidak mengerti maksudmu. Yang jelas, aku hanya punya satu tanggung jawab, yaitu menjadi istrimu, karena aku telah menerima jantung dari Alena. Hanya itu," jawabnya lugas, meski dalam hatinya bergemuruh. Sebastian tidak berkata apa-apa lagi. Ia kemudian melangkah pergi tanpa pamit. Setiap langkahnya mantap dan terukur, seolah dunia tunduk di bawah kekuasaannya. Bayangan tubuhnya perlahan menghilang di balik pintu, namun aura ancamannya masih terasa. "Peter, selidiki latar belakang Diandra. Cari tahu apakah dia memiliki hubungan dengan klan Karma," perintah Sebastian dingin melalui panggilan telepon, suaranya mengandung nada kewaspadaan yang kuat. Sebastian melabuhkan tubuhnya di atas sofa tengah ruangan. Tatapannya kosong, namun penuh pemikiran. "Semoga ucapanmu benar. Tapi jika kau berbohong padaku, kau pasti akan menerima akibatnya."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD