Ada apa dengan Sebastian?

1365 Words
Setelah seminggu tinggal di vila, Diandra akhirnya bisa kembali ke rutinitasnya sebagai seorang dokter. Seminggu penuh yang terasa seperti istirahat di ambang kehancuran. Tenang, tetapi membisikkan ancaman yang belum terlihat. Sebastian tidak muncul, tidak mengganggunya, tidak memaksakan kehendaknya, seolah memberi ruang bagi Diandra untuk bernapas seketika. Pagi itu, sinar matahari menyelinap masuk melalui jendela-jendela IGD yang berlapis kaca, menciptakan cahaya cerah yang kontras dengan suasana genting di dalamnya. Suara derap langkah cepat, teriakan minta tolong, dan getaran alat medis memenuhi ruangan. Diandra, yang sudah siap mengenakan snelli dan stetoskop di lehernya, baru saja melangkah masuk. Aroma antiseptik bercampur dengan nuansa kesakitan langsung menyambutnya, membuat jantungnya berdegup lebih cepat. "Dokter Diandra!" teriak seorang suster dengan wajah cemas, berlari menghampirinya. "Ada dua pasien kritis di ruang trauma. Yang satu luka tembak, yang satunya luka parah akibat kecelakaan." Diandra mengangguk, langsung merasakan ketegangan yang mengalir dalam dirinya. "Siapa yang kita prioritaskan?" tanyanya dengan suara tenang, meski hatinya bergetar hebat. "Pasien dengan luka tembak, Dok. Dia kehilangan banyak darah," jawab suster itu, sambil mengusap pelipisnya yang berkeringat. "Yang satunya masih cukup stabil untuk saat ini." "Baiklah! Fokuskan penanganan pada pasien luka tembak dulu," ujar Diandra sambil berlari menuju ruang trauma. Setiap langkah terasa berat, seolah membawa beban dunia di pundaknya. Saat memasuki ruang trauma, Diandra langsung terpaku melihat siapa pasien yang terbaring lesu di atas meja operasi. Wajahnya pucat, matanya terpejam, dan darah mengalir dari lukanya. ‘Ini bukankah asisten pribadinya Sebastian!’ batin Diandra, terkejut. Darah terus mengalir membasahi tempat tidur pasien. Diandra segera mengarahkan pandangan kepada tim medis yang tengah bersiaga. "Apakah golongan darah pasien sudah dicek?" tanyanya tegas. "Sudah, Dok. Pasien memiliki golongan darah O+," jawab salah seorang suster. "Siapkan transfusi darah. Kita butuh dua kantong darah O+ secepatnya!" perintah Diandra dengan suara tegas penuh empati. Suster Rini langsung bergerak cepat. "Baik, Dok! Saya ambil sekarang." "Cepat, Rini! Waktu kita sangat terbatas," tegas Diandra lagi. Pandangannya kembali diarahkan kepada pasien. Ia memegang tangan pasien yang dingin, seraya berbisik pelan, "Bertahanlah." Sementara menunggu kantong darah tiba, ia melakukan tindakan medis lainnya. "Dok, tekanan darah pasien menurun drastis!" teriak salah satu dokter muda dari belakangnya. "Segera lakukan CPR!" perintah Diandra. Ia berusaha tetap fokus meski perasaan cemas terus menghantui pikirannya. Suasana di IGD semakin mencekam. Suara sirene ambulans yang datang silih berganti membuat suasana semakin sibuk. Diandra merasa seolah berada di tengah badai besar. Namun ia tahu, setiap keputusan dan tindakan yang diambilnya adalah harapan bagi pasien yang terbaring di depannya. "Ini darahnya, Dok!" Suster Rini datang kembali membawa dua kantong darah. Wajahnya tampak lelah. "Bagus! Segera sambungkan transfusi darah dan pantau tanda vital pasien!" ujar Diandra. Setelah memberikan instruksi, ia melakukan pemeriksaan menyeluruh pada luka tembak pasien. Ia memastikan kedalaman luka, arah peluru, dan area yang mungkin mengalami kerusakan lebih lanjut, seperti organ dalam. Pasien akhirnya mulai stabil setelah serangkaian tindakan medis dilakukan. Diandra memeriksa monitor satu terakhir kali. "Lakukan USG untuk memastikan tidak ada cedera dalam yang terlewatkan. Siapkan ruang untuk pemeriksaan lanjutan, dan Dokter Liam, selanjutnya saya serahkan pasien ini kepada Anda." Diandra lalu beralih ke pasien lainnya di IGD, melanjutkan tugas tanpa henti. Setelah seharian berkutat di ruang IGD tanpa jeda, Diandra akhirnya melihat pasien terakhir dipindahkan ke ruang rawat inap untuk perawatan lebih lanjut. Meski beberapa pasien tak dapat terselamatkan karena kondisi yang sudah kritis saat tiba, Diandra dan timnya tetap merasa lega bahwa sebagian besar berhasil ditangani. Diandra tersenyum samar saat melihat para staf medis yang duduk kelelahan di kursi sekitar nurse station. Bahkan, beberapa dari mereka sudah tertidur di tempat. Ia mengambil napas dalam-dalam, berusaha meredakan ketegangan dalam dirinya. "Hey, Di! Kamu seharusnya nggak terlalu memaksakan diri. Ingat, kamu baru saja menjalani operasi besar, kan? Jantung baru kamu masih dalam proses adaptasi," tegur dokter Oliver, kepala IGD, yang baru saja mendekat. Diandra menoleh dan tersenyum tipis. "Aku baik-baik saja, Dok. Syukurlah pasien-pasien tadi berhasil ditangani tepat waktu. Itu yang terpenting," jawabnya dengan nada meyakinkan. "Terima kasih atas kerja keras kalian semua," ujar dokter Oliver sambil melihat ke arah para staf lainnya. "Sekarang, pergilah istirahat." Sesi kerjanya telah berganti dengan tim shift malam. Namun, Diandra masih memilih untuk tinggal. Ada rasa gelisah yang tak ia mengerti, terlebih setelah melihat asisten pribadi Sebastian tadi terluka parah akibat tembakan. Firasatnya berkata, sesuatu yang buruk telah terjadi, bahkan mungkin melibatkan Sebastian secara langsung. "Dok, malam ini jaga malam ya?" tanya salah seorang suster sambil membereskan dokumen di nurse station. Diandra mengangguk sambil bercanda kecil. "Iya, jaga malam dadakan. Lagi pula, siapa yang bisa menolak suasana lengang seperti ini?" ucapnya dengan senyum lelah. Namun, perasaan gelisah itu tak kunjung hilang. Ia mencoba menenangkan pikirannya. ‘Mungkin ini hanya perasaanku saja,’ batinnya dalam diam. Namun, ia kembali mendebat dirinya sendiri. ‘Kenapa aku harus memikirkan Sebastian? Dia kan bukan siapa-siapaku.’ Diandra menggelengkan kepala, mencoba mengusir pikiran itu. ‘Anggap saja, ini hanya caraku membalas budi Alena yang telah mendonorkan jantungnya untukku,’ monolognya dalam hati. Malam semakin larut, suasana di IGD cukup tenang. Tapi, keheningan itu tak berlangsung lama. Sayup-sayup terdengar suara sirene ambulans mendekat, membuat semua staf yang sedang berjaga segera bersiap siaga. Dalam hitungan detik, pintu IGD terbuka dengan keras. Para petugas medis mendorong masuk sebuah brankar dengan seorang pasien pria di atasnya. Tubuhnya berlumuran darah. "Pasien pria dewasa, usia 35 tahun, mengalami luka tembak di bahu kanan dan beberapa cedera lainnya," laporan paramedis dengan cepat. Diandra yang mendekat langsung terdiam saat matanya menangkap sosok pasien itu. "Sebastian!" ucapnya dengan nada setengah berteriak. Ia sangat mengenali pria yang kini terbaring di atas brankar itu. Sebastian, dengan napas tersengal dan penuh kesakitan, meraih pergelangan tangan Diandra. "Bawa aku pulang ke vila," titahnya, suara itu terdengar berat namun tegas. "Kamu harus dirawat. Peluru itu harus dikeluarkan terlebih dahulu," ujar Diandra, mencoba mengingatkan. "Cepat, bawa aku pulang sekarang! Cepat!" teriak Sebastian dengan nada penuh tekanan, menghentikan langkah para staf medis di sekitarnya. Dokter Oliver mendekat, memandang Diandra dengan raut kebingungan. "Di, apakah kalian saling kenal?" tanyanya. Diandra mengangguk perlahan. "Iya, Dok, aku mengenalnya. Apakah aku diizinkan untuk membawanya pulang?" tanyanya dengan nada ragu, tetapi matanya penuh kekhawatiran. Sebastian langsung menyela sebelum dokter Oliver sempat menjawab. "Kau tidak butuh persetujuan dari mereka. Cukup dengarkan perintahku atau..." Ia berhenti sejenak, mengambil napas dalam-dalam. "Atau kamu mau melihat rumah sakit ini hancur menjadi debu?" ujarnya dengan ancaman. Glek! Diandra menelan ludah dengan susah payah. Ketegangan meliputi ruangan itu, membuat semua orang terdiam. Sebastian terluka. Luka tembak di bahunya mengeluarkan darah begitu banyak, tetapi yang lebih membuatnya gelisah bukan hanya kondisinya, melainkan keputusan yang harus ia buat sekarang. Membawanya pulang ke vila? Itu gila. Ia seharusnya berada di meja operasi, bukan di dalam mobil. Diandra merasakan dadanya sesak. Otaknya bekerja cepat, menimbang segala kemungkinan. Jika ia menolak, Sebastian bisa mengancam rumah sakit ini, bisa melakukan sesuatu yang lebih buruk daripada sekadar intimidasi. Tapi jika ia menurut, ia akan membawa seseorang yang membutuhkan perawatan medis keluar dari tempat yang seharusnya bisa menyelamatkan nyawanya. ‘Aku dokter. Aku punya tanggung jawab untuk menyelamatkan pasien, bukan menuruti kemauan seorang pria yang jelas-jelas penuh rahasia dan kekuasaan.’ Tapi apa pilihan lain yang ia punya? Diandra menatap wajah Sebastian yang mulai kehilangan warna, napasnya berat, sorot matanya tetap tajam meskipun rasa sakit jelas menguasai tubuhnya. ‘Kenapa aku harus peduli? Dia bukan siapa-siapa. Aku bukan istrinya. Aku hanya seseorang yang kebetulan terjerat dalam dunia yang tidak aku mengerti.’ Namun, di dalam dadanya, jantung yang bukan miliknya berdetak lebih cepat, seolah menolak pikiran itu. Jantung ini milik Alena. Jantung ini yang membawanya ke dalam kehidupan Sebastian. Sebastian menggenggam pergelangan tangan Diandra dengan sisa kekuatannya. Tatapan matanya seperti menghunus, menuntut keputusan yang tak bisa ia hindari. "Baiklah, aku akan membawamu pulang ke villa," putusnya dengan berat hati. Beruntung sebelumnya, Mita, sahabatnya Diandra, telah meminta sopir keluarganya mengantarkan mobil wanita itu ke rumah sakit, sehingga ia tak perlu khawatir soal transportasi untuk membawa Sebastian kembali ke villa. Sebelum menuju mobil, Diandra memberikan suntikan anti-nyeri untuk meredakan rasa sakit Sebastian. Namun, pria itu masih sempat melemparkan tatapan tajam ke arah staf medis lainnya. "Jika kalian masih ingin hidup, tutup mulut kalian semua. Anggap saja kalian tidak pernah melihatku di sini," katanya dengan suara rendah namun penuh ancaman. Diandra hanya bisa menunduk, mencoba menyusun keberanian untuk menghadapi apa pun yang menantinya di villa nanti.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD