Akta Pernikahan

1376 Words
Dengan susah payah, Diandra memapah Sebastian yang setengah sadar memasuki villa. Sikap Bik Tati begitu tenang, seperti sudah terbiasa dengan situasi genting semacam ini. “Non, langsung saja ke kamar belakang,” ujar Bik Tati sambil berjalan mendampingi mereka. Diandra hanya mengangguk lemah, tidak menduga ada ruangan rahasia di villa itu, lengkap dengan peralatan medis yang tidak ia bayangkan sebelumnya. Sebastian terduduk lesu di atas ranjang kecil dengan napas terputus-putus. Diandra, tanpa membuang waktu, meraih peralatan medis yang tersedia. Dengan tangan gemetar namun tetap cekatan, ia mulai membersihkan luka tembak Sebastian menggunakan cairan antiseptik. Tangannya bergetar setiap kali melihat darah segar yang mengalir dari tubuh pria itu. Berjam-jam ia berjuang seorang diri, hingga akhirnya peluru berhasil dikeluarkan, lalu Diandra membungkus luka Sebastian dengan perban. “Sekarang kamu harus istirahat,” ucap Diandra sambil beranjak meninggalkan kamar. Namun langkahnya langsung terhenti. “Tunggu,” perintah Sebastian, seraya bangkit perlahan meski rasa nyeri terlihat jelas di wajahnya. Ia berjalan ke arah meja kerja yang berada di sudut ruangan, membuka laci, dan mengeluarkan sebuah buku kecil. Diandra membeku. Matanya terbelalak. “Buku nikah?” serunya dengan suara tertahan. Sebastian mengangguk, menatap dingin ke arah Diandra. “Aku sudah mendaftarkan pernikahan kita di kantor catatan sipil. Mulai sekarang, kau adalah istriku.” Kalimat itu meluncur dari bibir Sebastian tanpa ragu, seolah keputusan itu sudah final. Diandra tertegun, tubuhnya gemetar. “Kamu tidak—” Sebastian langsung memotong perkataannya. “Jangan lupa janjimu pada Alena.” Nadanya tajam, penuh tekanan. Diandra berdiri terpaku di sudut ruangan, dadanya naik-turun dalam ritme yang tidak beraturan. Pernikahan. Kata itu bergema di pikirannya seperti palu yang menghantam kesadarannya berulang kali. Sebastian tidak memberinya pilihan. Ia masih belum siap dengan pernikahan ini, tetapi dengan buku nikah di tangan pria itu, semuanya telah terjadi dan ia terpaksa harus siap menghadapinya. 'Aku istrinya?' Jantungnya, jantung yang bukan miliknya, mulai berdetak cepat, seolah mengingatkannya bahwa hidupnya bukan lagi miliknya sendiri. Alena telah memaksanya ke dalam dunia Sebastian, ke dalam lingkaran kekuasaan yang gelap, ke dalam jebakan yang semakin sulit untuk ditembus. Diandra mengepalkan tangannya, berusaha mengendalikan emosi yang bergolak. Ia ingin berteriak, ingin lari, ingin menghancurkan semua yang ada di sekelilingnya. Namun yang bisa ia lakukan hanyalah menahan isakan dan berpura-pura bahwa semua baik-baik saja. Sebastian tidak hanya mengikatnya dengan sebuah dokumen legal. Sebastian mengikat tubuhnya, pikirannya, keberadaannya. Diandra menghela napas panjang, mulai melangkah menjauh, tetapi tiba-tiba tubuhnya ditarik dengan kasar. Dalam satu gerakan cepat, Sebastian merangkul pinggang Diandra, membungkam bibirnya menggunakan bibirnya sendiri. Lumatan itu begitu kasar, penuh nafsu. Seketika, Plak! “b******k kamu!” bentak Diandra dengan suara lantang. “Kamu pikir aku ini perempuan murahan yang bisa kau perlakukan seenaknya huh?” Tamparan tadi adalah refleks. Sesuatu yang ia lakukan tanpa berpikir panjang, sebagai bentuk perlawanan terakhir yang tersisa dalam dirinya. Namun tatapan Sebastian menjadi dingin, penuh hasrat, penuh tuntutan, memberitahunya bahwa itu tidak akan cukup. ‘Aku bukan miliknya. Aku tidak akan pernah menjadi miliknya!’ batin Diandra menjerit. Namun, sekeras apapun ia menolak, Sebastian tidak akan melepaskan begitu saja. Diandra adalah miliknya, dan pria itu tidak akan pernah membiarkannya pergi. Sebastian tidak marah. Ia malah tersenyum misterius sambil mengelus pipinya yang memerah akibat tamparan itu. Perlahan, ia melangkah mendekati Diandra lagi, mencengkram rahang wanita itu dengan kasar. Tatapannya tajam, penuh d******i. “Kau sudah resmi menjadi istriku, Diandra Rose. Tubuhmu adalah milikku, hanya aku yang berhak menyentuhmu,” desisnya dengan suara rendah namun menekan. Tanpa memperdulikan protes Diandra, Sebastian mencium bibir istrinya untuk kedua kalinya. Kali ini, ia menggigit bibir wanita itu hingga darah merah mengalir di sudut bibirnya. “Sakit!” seru Diandra, dengan sisa tenaganya ia mendorong tubuh Sebastian, membuatnya terjungkal. Tanpa banyak bicara, Diandra melarikan diri dari kamar itu, menahan tangis yang tak mau pecah. Sebastian mengusap bibirnya menggunakan ibu jarinya. Sorot matanya berbinar, penuh dengan kesenangan. “Bibirnya manis sekali,” desisnya dengan seringai yang sulit diartikan. Tak lama setelah kepergian Diandra, Sebastian membuka lemari di sudut kamar, mengambil kaos hitam, dan memakainya dengan tergesa. Langkahnya tegas saat keluar kamar, langsung menaiki moge. Sebastian memacu moge hitamnya dengan kecepatan tinggi, membelah jalanan malam yang sepi. Angin malam menerpa wajahnya, namun pikirannya tetap penuh dengan berbagai rencana. Sesampainya di mansion utama Alvarendra, ia memarkir motornya dengan gerakan cepat dan melangkah masuk ke ruang tamu yang megah. Di sana, seorang wanita lansia duduk dengan anggun di sofa, mengenakan gaun sutra berwarna krem. Nyonya Diana Alvarendra, satu-satunya wanita yang dihormati Sebastian untuk saat ini, menatap cucunya dengan sorot mata penuh harapan. “Kapan kau akan membawa istrimu untuk bertemu Oma, hmm?” tanya Nyonya Diana, suaranya lembut namun tegas. Tatapannya menembus mata Sebastian, seolah mencari jawaban yang jujur. Sebastian menghela napas panjang. “Belum saatnya, Oma,” jawabnya singkat. Nyonya Diana mengangkat alisnya, tidak puas dengan jawaban itu. “Apakah kau takut Diandra akan mengkhianatimu seperti yang Alena lakukan?” tanyanya, nada suaranya berubah tajam. “Oma...” Sebastian mencoba menyela, tetapi Nyonya Diana tidak memberinya kesempatan. “Alena selingkuh karena membalas perbuatanmu dengan Alice,” potong Nyonya Diana tegas. Tatapannya penuh dengan kekecewaan. Sebastian meraup wajahnya dengan kasar, frustrasi. Ada banyak hal yang tidak bisa ia ungkapkan kepada sang Oma, terutama tentang hubungan rumitnya dengan Alena dan Alice. “Aku tidak pernah mencintai Alice, Oma,” ujarnya akhirnya, suaranya terdengar berat. Nyonya Diana menghela napas panjang, lalu menatap Sebastian dengan penuh rasa ingin tahu. “Selingkuh tidak selalu melibatkan cinta, Sebastian. Kau sudah meniduri Alice, dan itu membuat Alena sakit hati. Apa kurangnya Alena sampai kau harus mencari wanita lain di luar sana?” tanyanya, nadanya penuh penekanan. Sebastian terdiam sejenak, lalu memutuskan untuk mengungkapkan sebagian kebenaran. “Aku memang sering ke tempat Alice, tapi aku tidak pernah menyentuhnya. Mau itu Alice atau Alena sekalipun, mereka tidak bisa membuatku... bangkit,” ucapnya dengan nada datar, namun penuh makna. Deg! Nyonya Diana membulatkan matanya, terkejut dengan pengakuan itu. “Maksudmu apa, Sebastian? Jangan bilang kalau kau...” Ia berhenti, menelan ludah dengan susah payah. “Jangan bilang kalau kau pecinta sejenis.” Sebastian menggeleng cepat. “Bukan begitu, Oma. Hanya Diandra yang bisa membuatku hampir gila menahan nafsuku. Sejak pertama kali aku bertemu dengannya di rumah sakit, aku sudah merasakannya. Itu sebabnya aku setuju dengan permintaan Alena,” ungkapnya, memilih untuk menyimpan sebagian rahasia lainnya. Nyonya Diana tersenyum lega, mengangkat tangannya untuk menepuk lembut paha Sebastian. “Oma senang mendengarnya. Mulai sekarang, jauhi Alice. Dia hanya membawa masalah.” Namun, suara lain tiba-tiba memecah keheningan. “Tidak bisa begitu, Ma. Setelah Alena meninggal, seharusnya Sebastian menikah dengan Alice,” celetuk Fenny, ibu sambung Sebastian, yang entah sejak kapan sudah berdiri di ambang pintu. Nyonya Diana langsung menatap Fenny dengan tajam. “Fenny! Jangan mencampuri urusan Sebastian. Urus saja putramu yang sering membuat onar di luar sana. Jangan sampai mencoreng nama besar keluarga Alvarendra!” bentaknya. Fenny tidak menyerah. “Tapi, Ma, Alice sedang hamil. Itu anak Sebastian. Bagaimana bisa Mama setega ini memisahkan mereka? Harusnya Sebastian mengusir Diandra dari villa. Dia itu jelek dan arogan!” serunya tanpa jeda. Sebastian yang sejak tadi diam, kini berdiri dengan wajah merah padam. “Diam!” bentaknya, membuat Fenny terdiam seketika. Wajah wanita paruh baya itu berubah pucat. “Jika kau masih sayang nyawamu, jangan pernah menyakiti Diandra. Mengerti?” desis Sebastian dengan nada penuh ancaman. Fenny tergagap, memasang wajah memelas. “Sebastian... Aku ini ibumu. Apa kau tega membunuhku demi seorang perempuan?” tanyanya dengan suara bergetar. Sebastian menatapnya tajam. “Ibuku hanya satu, dan dia sudah meninggal. Sampai detik ini, aku masih menyelidiki apa yang sebenarnya terjadi pada ibuku waktu itu,” ujarnya dingin. Fenny menelan ludah dengan susah payah. “Kau menuduhku melakukan sesuatu pada ibumu, Sebastian?” tanya sebuah suara dari ambang pintu. Adrian, saudara tiri Sebastian, melangkah masuk dengan tatapan tajam. Kedua pria itu saling menatap dengan rahang mengeras, seolah siap bertarung kapan saja. “Sampaikan pada ibumu, jangan pernah mencampuri urusanku,” desis Sebastian, nadanya penuh ancaman. Adrian tersenyum sinis. “Mama melakukan semua ini demi kebaikanmu, Sebastian. Lagi pula, Alice sedang hamil. Apa kau mau lari dari tanggung jawab?” Sebastian melemparkan seringai dingin. “Percaya atau tidak, itu bukan bayiku,” ucapnya sebelum berbalik dan pergi tanpa pamit. Fenny terdiam, wajahnya berubah muram. Namun, senyum misterius perlahan muncul di wajahnya. Tidak ada yang tahu apa yang sedang ia rencanakan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD