Siapa Alena?

1292 Words
Arloji yang menggantung pada dinding kamar menunjukkan waktu 5.40 dini hari. Diandra merasa tidurnya terganggu dan.. Eughh..! Diandra membuka matanya perlahan, merasa tidurnya terganggu oleh sesuatu yang berat yang menindih tubuhnya. Napasnya terasa sesak, memaksanya untuk segera sadar sepenuhnya. Saat pandangannya jelas, ia terperanjat. Sebastian, dengan tubuh kekarnya, tampak tidur tengkurap di atasnya. Refleks cepat, Diandra mendorong tubuh pria itu hingga terhempas ke samping “Ka-kamu nggak ngapa-ngapain aku kan?” tanya Diandra berusaha untuk berpikir positif meski ia merasakan seluruh tubuhnya sakit-sakitan semua. Ditambah semua pakaian yang melekat di tubuhnya tergeletak begitu saja diatas lantai “Kamu tebak saja apa yang sudah aku lakukan sama kamu.” ucap Sebastian dengan nada santai namun tatapannya tetap dingin dan tak tersentuh. Dengan perasaan gamang, Diandra menyentuh alat vitalnya yang ternyata basah, itu sudah menjawab semua pertanyaan besar yang bermain dibenaknya. Alasan dibalik rasa sakit yang dirasakan sekarang ini. “Kamu...” Diandra terdiam, suaranya tertahan oleh gelombang emosi yang menghantamnya tanpa ampun. Matanya berkaca-kaca, dan air mata mulai mengalir, membasahi pipi nya yang dingin. “Kamu telah memperkosa aku, Sebastian!” ucapnya dengan suara yang pecah, penuh luka dan dendam. “Binatang kau!”teriaknya histeris, namun di balik amarah itu, ada jejak rasa sakit yang menggerogoti, sebuah luka yang mungkin sulit untuk sembuh Sebelum tidur, Diandra masih mengingat Bik Tati yang sempat mengantarkan segelas s**u hangat untuknya. Namun, sebuah kecurigaan samar menyelinap di benaknya. Apakah Sebastian yang memerintahkan Bik Tati untuk mencampurkan sesuatu ke dalam s**u itu, hingga membuatnya tidur seperti orang mati? Dan bagaimana mungkin pria itu, yang bahkan belum pulih sepenuhnya dari luka tembaknya, bisa memiliki energi untuk melakukan tindakan terkutuk ini padanya? Sebastian menatap Diandra dengan ekspresi santai, seolah tidak ada yang salah dengan apa yang baru saja terjadi. "Ternyata kamu masih perawan," ucapnya dengan nada ringan, tanpa sedikitpun rasa bersalah. Sebastian berdiri perlahan dari ranjang, tubuhnya yang kekar bergerak dengan tenang. Setelah mengenakan kembali boxernya, Sebastian melangkah keluar dari kamar, meninggalkan Diandra yang penuh dengan rasa sakit dan kehancuran. “Sialan! Sana kamu b******k! Kalau aku tau kamu sebejat ini, aku tidak akan mengobatimu iblis! Biarkan saja kamu mati!” Teriak Diandra frustasi memenuhi ruangan. Mengamuk dan melemparkan semua bantal-bantal. Sayangnya tidak ada satu pun yang mengenai tubuh Sebastian. Setelah puas menangis, Diandra menuruni ranjang menuju kamar mandi dengan susah payah karena selangkangannya masih terasa nyeri dan ini semua perbuatan Sebastian tadi malam. Diandra berdiri di depan cermin kamar mandi, menatap bayangan dirinya yang buram oleh embun di matanya. Tubuhnya terasa begitu lemah, seakan kehilangan daya untuk sekadar berdiri tegak. Perlahan, ia merosot, lututnya bertemu dengan dinginnya keramik. Tubuhnya gemetar, napasnya tersengal, dan di tengah keheningan yang menyesakkan, isakan kecil kembali pecah, menggema di ruang yang sepi. Diandra ingin berteriak, ingin menangis lebih keras, ingin melawan, tetapi apa gunanya? Semua sudah terjadi. Kesuciannya direnggut tanpa izin, dan yang paling menyakitkan, ia tidak bisa mengubah apa pun. ‘b******k kamu Sebastian!’ Tangannya meraba tubuhnya yang masih nyeri. Bekas luka, gigitan, dan tanda kepemilikan yang ditinggalkan pria itu membuatnya jijik. Ia meremas lengan nya sendiri, seakan berharap rasa sakit dari genggaman itu bisa menghapus jejak yang Sebastian tinggalkan. Tapi tidak bisa. Tidak ada yang bisa ia lakukan. Ia meremas jemarinya, menghembuskan napas panjang, berusaha menenangkan pikirannya. Ia tidak boleh jatuh. Tidak boleh hancur, ia harus menjalankan tanggungjawab yang Alena serahkan padanya. Dengan sisa energi yang hampir habis, Diandra berdiri perlahan. Tangannya gemetar saat memutar keran, membiarkan air dingin mengalir deras, mengguyur tubuhnya yang lemah. Isakannya kembali pecah, menggema di ruang yang sunyi, selama dua puluh enam tahun dia menjaga kesuciannya dan malah Sebastian merenggutnya begitu saja tanpa izin. … Sementara itu, Sebastian baru saja memulai rutinitas angkat dumbelnya ketika seorang tamu datang. Peter, asisten pribadinya, muncul dengan langkah pelan. Wajahnya masih pucat, tetapi sorot matanya menyiratkan tekad yang tak tergoyahkan. “Tuan...” sapa Peter dengan suara rendah, kepalanya sedikit menunduk. “Bagaimana kondisimu?” tanya Sebastian, suaranya dingin, tanpa ekspresi. “Sudah membaik, Tuan. Teman-teman yang lain juga sudah diizinkan keluar dari rumah sakit. Maafkan saya karena tidak bisa bertahan hingga akhir di sisi Anda,” ucap Peter, nada penyesalan menggantung di udara. Sebastian meletakkan dumbelnya ke samping, menyeka keringat dengan handuk kecil. “Ini semua ulah Tuan Marko. Dia mengira aku berkhianat dan sengaja membunuh Alena. Sekarang, target mereka adalah Diandra, istriku,” gumamnya, tatapannya menerawang jauh, penuh bayangan gelap. “Saya sudah menyelidikinya, Tuan. Nona Diandra sama sekali tidak ada hubungannya dengan Karma,” Peter menjeda sejenak sebelum melanjutkan, “Pada hari kita disergap, Tuan Marko mengerahkan petarung terbaik dari markas elite. Tujuannya jelas, untuk menghabisi kita semua.” Sebastian menyeringai tipis, senyum yang lebih menyerupai ancaman. “Tuan Marko memang licik. Dari awal, dia tidak pernah percaya padaku,” gumamnya, kedua tinjunya mengepal sempurna. “Tuan, bolehkah saya bertanya?” Peter memberanikan diri. “Silakan,” jawab Sebastian singkat. “Apa hubungan Nyonya Alena dengan Tuan Marko? Bukankah dia hanya anak buahnya? Mengapa kematiannya membuat Tuan Marko begitu murka?” tanya Peter hati-hati. Sebastian menghela napas panjang, tatapannya berubah tajam. “Alena sebenarnya putri Tuan Marko. Identitasnya disembunyikan dengan sangat baik. Dia sengaja mendekatiku, membuatku jatuh cinta, dan akhirnya menikahinya. Itu semua bagian dari rencana mereka.” Peter tertegun. “Jadi, selama ini Nyonya Alena adalah pion penting yang ditempatkan Tuan Marko di sisi Anda?” tanyanya, tak menyembunyikan keterkejutannya. Sebastian tersenyum sinis, menertawakan kebodohannya sendiri. “Aku pernah mempercayainya sepenuhnya, hingga akhirnya aku menemukan bukti bahwa dia melaporkan semua aktivitasku kepada Tuan Marko. Tidak hanya itu, dia juga mencuri informasi penting perusahaanku dan menyerahkannya kepada ayahnya. Itu hampir membuatku bangkrut.” pungkasnya. Sebastian berdiri, menatap tajam ke arah Peter. “Aku memberimu satu kesempatan. Tinggal di sisiku atau pergi. Keputusan ada di tanganmu.” “Saya memilih berjuang bersama Anda, Tuan,” jawab Peter mantap, tanpa ragu. “Kedepannya tidak akan mudah, Peter, karena aku akan memulai semuanya sekali lagi dari awal,” ujar Sebastian mengingatkan. “Pilihan saya tidak akan berubah, Tuan,” balas Peter tegas. Setelah diskusi panjang, Peter pamit. Sebastian kembali ke villa dan menemukan Diandra duduk di meja makan dengan wajah masam, sedang menikmati sarapannya. “Masih sakit?” tanya Sebastian sambil menarik kursi dan duduk di depannya. Diandra menghentikan kunyahan nya, melemparkan tatapan tajam. Wajahnya jelas menunjukkan ketidaksenangan, tetapi itu tidak membuat Sebastian marah. “Perlu aku bantu mengoleskan salep di sana, hmm?” goda Sebastian, mencoba memancing reaksi. “Aku marah padamu. Jangan ajak aku bicara. Kamu hanya membuatku semakin kesal,” balas Diandra tanpa menoleh. “Nice!” ucap Sebastian, tersenyum puas. Ia menyukai kejujuran Diandra yang tidak pernah berpura-pura. “Nice jidatmu! Dasar setan m***m!” balas Diandra tajam, menahan emosi yang membuncah. Tatapannya setajam silet, tetapi Sebastian tetap tak gentar. “Sepertinya bibirmu perlu diajari sopan santun, Diandra Rose,” ancam Sebastian dengan nada santai. Mendengar ancaman itu, Diandra langsung menutup rapat bibirnya. Ia tidak ingin Sebastian bertindak semena-mena lagi. Beberapa menit berlalu. Ketika suasana mulai tenang dan mereka hampir melanjutkan sarapan, Diandra masih diam, wajahnya mengeras saat Sebastian duduk di seberangnya. Suasana ruang makan terasa tegang, seperti benang yang ditarik terlalu kencang, siap putus kapan saja. Sebastian menyandarkan punggungnya, menatap Diandra dengan mata yang gelap dan penuh perhitungan. “Aku bisa membuatmu melupakan amarahmu,” ujarnya pelan, nyaris seperti ancaman yang terselubung dalam nada lembut. Diandra menatapnya tajam, rahangnya mengeras. “Aku benci sama kamu Sebastian!” desisnya tajam. Sebastian tersenyum kecil, bukan senyum hangat, tetapi senyum milik seseorang yang menikmati kehancuran yang ia ciptakan. “Tapi kamu masih duduk di sini, di depanku. Bukankah itu sudah cukup membuktikan kalau kamu sebenarnya sangat menyukaiku huh?” Diandra baru saja akan membalas, ketika sesuatu membuatnya membeku, begitu juga Sebastian, dadanya naik turun lebih cepat, seperti nalurinya merasakan sesuatu yang tidak beres. Kemudian, dalam sekejap— Dorr!!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD