“Pastikan kamu jangan membuat masalah, Migi,” pesan sang mama mengetatkan dasi di bawah kerah Miguel.
Lelaki itu merotasikan bola matanya, merasa bosan dan jengah terus-terusan diperingatkan begitu. Benar saja bahwa dia tidak ingin perjodohan ini terjadi, tapi dia lebih tidak ingin perusahaan keluarganya hancur dan mengubah hidupnya 360°. Dan artinya ... dia akan kehilangan Viona.
Winata melirik datar istri dan putranya dari balik kemudi. Jelas kemarahannya pada Miguel belum sepenuhnya surut. “Jika sampai kamu kembali mengacau, jangan harap akan menyandang namaku lagi.”
Miguel balas menatap Winata tak kalah sengit. “Kalau itu terjadi, bahkan Papa gak akan mau nyandang nama Papa sendiri.”
“Shut. Udah, sekarang kita akan memperbaikinya bersama,” Dewi menengahi.
Mobil mereka sampai di sebuah rumah yang cukup mewah tempat seseorang yang akan membantu mereka tinggal. Meski rumahnya mewah, Miguel mencibir, “Rumahnya gak sebesar rumah kita.” Dia melirik Winata. “Papa yakin dia bisa bantu kita?”
“Diam kamu. Cukup sepakati perjodohan ini dan semua akan kembali seperti semula.”
Miguel kembali merotasikan bola matanya.
Rumah itu memang tidak sebesar rumahnya, tapi begitu masuk, Miguel bisa merasakan aura yang tidak pernah dia dapatkan di rumahnya. Semacam aura yang membuatmu merasa pulang.
“Halo, Angela, Gabrian!” sapa orang tuanya pada dua orang yang duduk di meja makan.
Sang wanita balas tersenyum. “Dewi. Udah lama kita gak ketemu,” katanya lalu menyambut pelukan Dewi.
Cih, baik hanya untuk jalinan kerja sama perusahaan. Paling tidak Miguel tidak pernah menjilat orang lain walau perilakunya tergolong tak sopan.
Angela beralih pada Miguel yang diam sedari tadi. “Ini anak kamu? Miguel?”
Dewi merangkul Miguel dan membanggakannya. “Iya, ganteng ‘kan? Dia ini banyak yang mau, lho, serba bisa. Pokoknya wanita yang jadi istrinya pasti bakal beruntung.” Winata ikut tersenyum di samping sang istri.
Sementara Gabrian, dia tidak terlalu menyambut kedatangan keluarga yang mengajukan permohonan suntikan dana dengan menjodohkan anak mereka. Bukan soal perjodohannya, jika salah satu putrinya bersedia ya dia akan setuju. Namun, Dewi dan Winata tampaknya tidak sebaik kelihatannya membuat Gabrian kurang suka.
Di meja makan, Hasna duduk sambil memotong-motong daging steak dengan keras dan beremosi. Apa sih yang merasuki orang tuanya sampai mau ikut tren jodoh-jodohan begini?
Kelima orang itu datang dari pintu depan, sampai ke meja makan di mana Hasna sudah duduk di sana. Gadis itu enggan ikut menyambut, toh mereka ‘kan kenalan orang tuanya.
Dewi menangkap keberadaan Hasna, lalu bertanya, “Itu anak kamu, Njel? Wah, dari samping aja cantik banget.” Otomatis perkataannya membuat keluarga Winata yang lain mengikuti arah pandang sang ibunda.
Miguel melirik malas ke gadis yang mungkin akan dijodohkan dengannya, sontak terkejut. Hasna yang kebetulan meliriknya juga menunjukkan respons yang sama. “Lo!” seru Hasna dan Miguel berbarengan. Hasna bahkan berdiri saking terkejut tak percaya.
Ah gosh, di antara semua mitra kolega Papanya, harus ya cowok itu yang ‘katanya’ akan dijodohkan dengannya?
Hasna berhenti berjalan di samping Mamanya—Angela—untuk memastikan penglihatannya. Miguel balas menatap gadis yang dikenalnya itu tak kalah tajam, melupakan kalau keluarga Hasna lah yang akan menyelamatkan perusahaan Papanya.
Kedua orang tua itu tampak bingung anak-anaknya saling kenal.
Winata menyikut Miguel, takut kalau tatapannya dinilai tak sopan dan bisa membatalkan kerja sama mereka. “Baik-baik kamu pada cewek itu,” bisiknya tajam. Miguel hanya merotasikan bola matanya malas.
Angela yang ikut kebingungan bertanya, “Kalian saling kenal?”
“Bukan kenal lagi, Ma. Dia ini cowok paling nyebelin yang aku kenal di kampus,” kata Hasna terkandung nada jengkel.
“Lo pikir gue suka sama lo? Lo cewek paling barbar di kampus tau gak.”
Dewi mencubit lengan Miguel. “Migi,” peringatnya.
“Ma, aku gak mau dijodohin, apalagi kalau sama dia,” desis Miguel berbisik.
Bukannya menuruti keinginan sang putra tunggal, Dewi malah lanjut membanggakan anaknya—tapi malah terkesan sedang promosi. “Eh, Nak, anak Tante ini serba bisa. Dia pinter, ganteng, sukses di usia muda—”
“Sukses juga bikin perusahaan papanya bangkrut,” timpal Hasna mengundang emosi Miguel. Lengan lelaki itu sudah mengepal saking menahan emosinya yang mudah meledak, tapi ditahan sekuat mungkin agar perusahaan Papanya bisa selamat dan dia tak perlu meninggalkan Viona.
Winata menggeleng, secara tak langsung gadis itu menghina keturunannya sendiri. “E-enggak, kok. Perusahaan kita cuma lagi ada sedikit masalah,” kilahnya beralibi. Semarah apa pun Winata pada Miguel, dia tak akan membiarkan orang-orang seenaknya menilai buruk Miguel. Sebab menghina Miguel sama saja menghina didikannya.
Tak mau makan malam ini berubah jadi perdebatan, Angela menengahi, “Eumm, gimana kalau kita makan malam dulu? Steak-nya sudah siap, takutnya jadi dingin kalau lama didiamkan.”
Para orang tua menggiring anak mereka masing-masing—tepatnya Miguel karena Hasna sedang berada di atas langit berhasil menjatuhkan lelaki paling menyebalkan di angkatannya. Apalagi kedua orang tuanya datang meminta bantuan, jelas keluarga lelaki itu tak punya muka jika melanjutkan perdebatan.
Dewi dan Angela saling bertukar kabar dan membicarakan tentang semasa sekolah dulu. Gabrian yang pada dasarnya tak begitu banyak bicara hanya menanggapi sekenanya ucapan Winata tentang bisnis. Sementara Hasna dan Miguel tak berhenti melemparkan tatapan tajam.
Setengah jam sudah berlalu dan makanan di piring masing-masing sudah habis. Sambil menunggu makanan penutup, Angela bertanya, “Hasna, kamu mau—”
“Gak, Hasna gak mau nerima perjodohan ini,” sela Hasna to the point. Tak peduli tatapan tajam kedua pasangan Winata dan Dewi yang tertuju padanya. Oh, jadi secepat itu berubahnya?
“Hasna, beneran kamu gak menginginkan perjodohan ini?” Gabrian bertanya, memastikan jawaban putrinya.
“Enggak, Ma.”
“Ya udah, kalau gitu—”
“Tunggu! Bukannya kalian punya dua putri? Siapa tau dia mau terima.” Dewi berujar cepat, tak mau kesempatan emas ini berlalu begitu saja hanya karena seorang gadis kurang ajar.
Angela dan Gabrian saling melempar tatapan, tak yakin dengan usul Dewi. Mereka bukannya tak ingin memperkenalkan Athaya sebagai putri kedua, tapi khawatir kekurangannya malah menjadi olok-olok orang lain. “Tapi apa Miguel mau?”
“Mau, Tante! Lebih baik daripada sama cewek barbar ini.” Tanpa tahu keadaan gadis yang dimaksud, Miguel menjawab mantap sambil mendelik pada Hasna. Gadis itu sendiri terkejut saat tahu Miguel menyetujuinya.
“Nyebelin lo ya!” umpat Hasna. “Pa, Ay masih muda. Jangan dulu nikahin dia.”
“Has, Papa gak akan maksa kalau Ay gak mau. Semuanya ada di tangan dia.”
“Di mana anak kamu yang satunya?” tanya Winata tak sabaran.
“Athaya masih ada di atas, dia sengaja melewatkan makan malam karena sesuatu ....” Gabrian melirik Angela dan Hasna bergantian, meyakinkan kalau langkahnya ini benar dan tidak akan membuat Athaya terluka. “Sebaiknya kita menunggunya turun untuk mendengar keputusannya langsung.”
***
Sebenarnya alasan Athaya lama itu karena dia kesulitan mengenakan gaunnya di saat kakinya masih dalam keadaan sakit untuk diangkat, tapi cukup baikan untuk berjalan. Dia menolak Angela membantunya karena di bawah sudah sibuk, tak mau merepotkan ibu angkatnya itu.
Selain karena kakinya yang masih sakit, gaunnya juga menyulitkan. Gaun sepanjang lututnya itu memang terbilang pendek, tapi terdiri dari beberapa kain sehingga memakainya dari bawah memakan cukup banyak waktu. Aiva berhasil mengenakannya setelah 20 menit lebih mencoba.
Sekarang dia duduk di depan meja rias, mematut dirinya yang tampak cantik dengan gaun merah muda membalut kulit putihnya. Rambut dengan gaya bob sepunggung setengahnya bertengger manis di depan d**a, menambah kesan cantik. Andai cantik saja cukup, Athaya tak akan menampakkan wajah murungnya.
Orang-orang akan langsung mengubah sikap saat tahu kekurangannya.
Tak mau lama-lama bersedih, dia memoles wajahnya dengan make up tipis. Pelembap, bedak, maskara, lalu liptint. Cukup untuk membuatnya percaya diri.
Dengar-dengar jika Hasna akan dijodohkan, lalu apa kakaknya itu akan pergi dalam waktu dekat?
Omong-omong, Athaya bisa mendengar dengan baik, tapi tidak dengan bicara. Dia tak pernah mendengar suaranya sendiri selain dalam hati. Ada masalah dengan pita suaranya sejak lahir, dia sendiri tak berharap besar bisa bicara karena jika terlalu dipaksa bisa fatal.
Setiap kali mencoba, tenggorokannya akan sakit sampai dia tak berani lagi berusaha.
Dia keluar dari kamar, perlahan dengan langkah gugup menuruni tangga. Ayunan kakinya terhenti di sepertiga jalannya untuk sampai ke tangga. Suara Gabrian yang tegas didengar Athaya, jadi mungkin dia pikir sebaiknya menunggu dulu dan datang di saat yang tepat.
“Sebelumnya saya tanya lagi sama kamu, apa benar kamu mau nerima putri saya?”
“Saya mau, Om.”
“Walaupun dia memiliki kekurangan?”
“Saya bersedia menerima Athaya.”
Athaya membeku, menepuk-nepuk pipinya untuk menyadarkan kalau-kalau ini mimpi. Tapi tidak, dia tidak bangun. Ini nyata? Seseorang bersedia menerimanya bahkan setelah tahu kalau dia memiliki kekurangan?
Antara senang dan khawatir, Athaya melanjutkan langkahnya ke meja makan. Di sana, Angela langsung menangkap kehadirannya yang melambaikan tangan—mengajaknya bergabung.
Akan tetapi baru saja Athaya hendak mendekat, kakinya tak jadi melangkah. Seseorang itu ... yang baru saja menoleh padanya. Seseorang yang tak akan mudah dia lupakan. Seseorang yang menyebabkannya terluka begini. Jadi pria itu yang menginginkannya?
Respons Miguel tak jauh berbeda, sama-sama terkejut. Bedanya dia khawatir kalau ternyata gadis itu sudah mengadu pada orang tuanya dan perjanjian mereka terancam batal. Itu artinya dia harus berpisah dengan Viona. Sialan! Kenapa harus gadis itu sih anak kedua Gabrian?
“Athaya, sini, Nak,” ajak Angela. Athaya mendekat dengan tertatih-tatih, berdiri di samping Angela yang duduk di samping Hasna. “Ini Athaya, anak bungsuku.”
“Halo, Athaya. Wah, kamu cantik sekali,” kata Dewi terdengar ramah.
Athaya hanya bisa tersenyum kecil, melirik Miguel sebentar. Rahang pria itu mengeras saat tahu Athayalah—gadis yang ditabraknya—yang ingin dia nikahi.
“Ay, mereka ini keluarga Winata. Mereka ingin menjodohkan Miguel dengan kamu,” kata Gabrian. “Miguel sudah bersedia, apa kamu mau?”
Jika orangnya bukan Miguel, tentu saja Athaya akan menerimanya. Lebih baik dijodohkan dengan seseorang yang benar-benar tidak dia tahu dibanding dengan pria yang sudah jelas sikap kasarnya, tapi Athaya tidak bisa sekonyong-konyong menolak.
Entah apa niat di balik perjodohan ini, Athaya yakin kalau itu hal baik. Dan menolaknya tak pernah disarankan siapa pun.
Athaya berisyarat, [Aku butuh waktu.]
“Gak apa-apa, pikirkan baik-baik karena ini menyangkut masa depan kamu,” kata Angela memaklumi.
Dewi dan Winata di depannya merasa ada yang aneh dengan gadis yang baru datang itu. Dari tatapannya saja bisa dengan mudah dibaca kalau mereka penasaran dan kebingungan.
Gabrian menuturkan, “Seperti yang kalian lihat, Athaya bisu. Kalau kalian ingin membatalkannya, silakan.”
Kedua orang itu terdiam, terkejut setengah mati. Nasib buruk, yang satu cantik dan sempurna, tapi kurang ajar dan bisa jadi mengadu macam-macam. Yang satu lagi kalem dan sama cantiknya, sayang tak bisa bicara.
Tapi bagaimana lagi, tak mungkin mereka membatalkannya. Hanya Gabrian dan Angela saja yang bersedia membantu perusahaan Winata dari kebangkrutan.
Di sampingnya, Miguel tak kalah terkejut, bersiap menyampaikan umpatannya kalau saja Dewi tidak menyela, “Bisa aku dan Miguel bicara?”
“Silakan.”
Wanita itu mengajak—menarik—putranya ke luar. Tak akan dia biarkan satu-satunya kesempatan hilang hanya karena Miguel, salah satu orang penyebab perusahaan suaminya bangkrut.
“Ma, Mama gak akan nyuruh aku nikahin si gagu itu, ‘kan?” protes Miguel.
“Migi, kamu harus liat dari sisi lainnya. Ada bagusnya dia bisu. Kamu akan bebas berhubungan dengan Viona karena dia gak bakal ngadu. Kita juga gak perlu khawatir bakal ketahuan Cuma manfaatin dia, ‘kan?”
“Tapi, Ma, apa kata orang kalau aku nikahin cewek gagu sementara orang-orang tau aku punya cewek sesempurna Viona?”
“Hanya untuk kali ini. Hanya sampai perusahaan Papa kamu pulih, Sayang.” Dewi meremas kedua tangan Miguel, semakin mendesaknya untuk menerima. “Kamu gak mau ‘kan harus meninggalkan Viona kalau dijodohkan dengan gadis lain?”
Miguel merenung—memikirkannya matang-matang. Yang dikatakan Mamanya benar, tapi dia tak ingin reputasi dan ketenarannya hancur begitu saja hanya karena menikahi seorang wanita yang tak bisa bicara. Apa kata orang nanti? Mereka pasti akan mencibir dan mengejeknya di belakang karena sudah melepaskan gadis seperti Viona.
“Oke, aku terima,” desah Miguel terpaksa.
***
Hai haiii. Udah berapa lama kalian nunggu cerita ini daily up?
Jadi selama bulan Juli (insyaAllah) cerita ini akan daily up. Kalian mau tamat bulan ini atau mau daily dua bulan berturut-turut? Hehe, gak janji sih, tapi kalau respons kalian bagus bisalahh diusahain.