BAGIAN SATU

1670 Words
Empat minggu sebelum malam acara hari jadi sekolah. ```Aliva’s Still Alive``` “Batas waktu untuk tugas individu di kumpulkan sebelum minggu depan di meja kantor Bapak.” Ucap pria tiga puluh tahunan di depan kelas, ia menatap seisi kelas yang hampir tidak memperhatikan dirinya. Bukan hal aneh lagi baginya, tidak diperhatikan oleh murid sendiri menjadi hal yang biasa. Lantas guru matematika itu tersenyum kecil lalu ia menengok ke arah jam dinding, merasa waktu mengajarnya telah usai guru matematika itu berjalan pelan meninggalkan ruang kelas. Setelah dirinya keluar dari kelas, beberapa siswa sudah mulai bangkit meninggalkan kursi mereka masing-masing sambil mengeluh beban tugas yang mereka dapatkan. “Liv, joki. Bayarannya biasa nanti gue transfer.” Ucap seseorang dari ujung meja sebelah kiri, dia agak sedikit berteriak. “Gue juga.” Sambar yang lain. “Jokiin gue juga. Harus bener-bener lo kerjain.” “Gue juga biasa, kalo sampai nggak dapet A lo harus balikin dua kali lipat dari duit yang lo terima.” Aliva menatap satu per satu empat orang yang tiba-tiba berbicara kepadanya, Aliva kemudian tersenyum. “Oke.” Jawabnya singkat. Meski tahu tugas yang diberikan cukup banyak dan sulit namun Aliva tidak bisa menolak, bahkan mungkin tidak ada opsi untuk menolak perintah joki tersebut, positifnya Aliva mendapat uang dengan jumlah banyak sebagai upah joki yang ia kerjakan, sebuah win-win solution bagi Aliva yang menjadi tulang punggung keluarga dan anak-anak yang rela merogoh uang demi mendapat nilai tugas sempurna tanpa perlu repot mengerjakan tugasnya. Aliva masih membereskan buku-buku nya, hingga tiba-tiba dia dikejutkan oleh seseorang yang berlari memasuki kelas. “Guys! Guys! buka grup angkatan! bakal ada konten baru.” Dengan napas yang masih terengah-engah perempuan itu berteriak mengintruksikan semua siswa sambil tersenyum lebar. Yang Aliva tahu, perempuan itu berasal dari kelas XI IPS 1, ruang kelas XI IPS 1 terletak di sebelah gedung ruang kelas Aliva di XI IPA 3, kedua gedung IPA-IPS itu dihubungkan oleh jembatan panjang di setiap koridor berupa marmer dengan tanaman rambat yang tumbuh menutupi atap jembatan. Hampir seluruh siswa mengambil ponsel dan mengecek grup chat seperti yang diintruksikan, tak lama satu pesan video masuk bersamaan di masing-masing ponsel. Diam-diam Aliva ikut memutar video berdurasi 30 detik tersebut, seorang wanita membawa sound system portable terekam tengah bernyanyi di perempatan lampu merah saat kendaraan tengah berhenti. Baru beberapa detik video itu diputar ledakan tawa terdengar dari dalam kelas menikmati video yang mereka tonton. “Jamet lampu merah.” “Musisi gadungan kenapa jadi siswa di sini sih? Bikin malu!” “Suaranya melengking banget anjrit.” “Kalo gue di sana udah gue tabrak dah tuh!” Beberapa orang terus melontarkan komentar mereka, di antara pengomentar itu tidak ada satu pun yang berkomentar membela gadis yang tengah mencari uang dengan mengandalkan suaranya. Saat yang lain masih sibuk dengan video di ponsel mereka, Aliva beranjak dari kursinya. Dia berjalan keluar dari kelas kemudian berlari menuju jembatan penghubung gedung. Kakinya berhenti sejenak, dia meneliti koridor ruang kelas IPS yang dapat dijangkau oleh kedua matanya, lalu kedua matanya menangkap seorang gadis yang berlari dengan berlumuran tepung pada tubuhnya. Aliva berlari mengikuti gadis itu tanpa berniat menghentikannya. Gadis berlumuran tepung itu berlari sampai di belakang gedung sekolah, mendadak gadis itu berjongkok, bahunya naik turun mengikuti suara tangisannya. Aliva mematung di belakang, dia memperhatikan gadis yang masih menangis tersedu-sedu itu. Hingga ritme naik turun pada bahu gadis di depannya berkurang, Aliva baru melangkah mendekat sambil menepuk pelan bahu gadis itu. “Fit.” Panggilnya lembut. Gadis yang dipanggil oleh Aliva menoleh, wajahnya agak tertutup tepung dengan pipi sembab jejak air mata. Saat melihat mata sendu milik Aliva yang tengah menatapnya, air mata gadis itu kembali menetes, ia terisak pelan. “Se-nggak pantes itu ya gue sekolah di sini?” tanyanya. Aliva menggeleng, tangannya bergerak mengusap wajah gadis di depannya, menghapus jejak air mata serta tepung pada wajah gadis itu. “Kalo nggak pantes sekolah di sini, dari awal kita pasti nggak di terima. Tapi lihat, kita udah kelas sebelas sekarang.” Jawab Aliva, tersenyum hangat. “Tapi, kita beda.” “Emangnya kenapa? Beda karena kita miskin? jadi, salah sekolah di sini? enggak, Fitri. Penghakiman ke kita, cuma sifat kekanak-kanakan mereka.” Aliva mengusap bahu Fitri lembut. “Kita harus bisa buktiin, kalau kita memang pantas sekolah di sini, sekolah ini udah terima kita, udah seharusnya kita bertahan sampai lulus.” Lanjutnya. Fitri mengangguk walau sedikit ragu, kedua sudut bibirnya kemudian terangkat membentuk senyum. Aliva membalas senyuman Fitri, tangannya bergerak membersihkan seragam FItri dari tepung. “Kita bersihkan di toilet ya.” Ucapnya sambil membantu Fitri berdiri. “Gue part time di café, kebetulan setiap hari rabu jadwal live music kosong. Mau coba ngisi di sana?” Tawar Aliva. “Boleh?” Aliva mengangguk, “nanti gue bantu bicara sama manager cafenya ya.” “Hm, Liv?” “Iya Fit?” Aliva memiringkan sedikit kepalanya menatap gadis di sebelahnya yang Nampak sedikit ragu. “Jawab jujur ya? Menurut lo suara gue enak di denger?” Aliva mengangguk mantap, “bukan cuma sebagai penyanyi di lampu merah. Lo bahkan pantas berada di tempat selayaknya.” Aliva menatap Fitri lembut, gadis di sebelahnya itu adalah gadis dalam rekaman video grup chat yang tersebar beberapa waktu lalu. “Jangan biarkan kata-kata buruk orang lain mempengaruhi kehidupan lo, Fit. Kehidupan kita, milik kita, untuk kita pimpin sendiri.” “Dari sekian banyak orang, gue salut sama lo. Pikiran lo luas, hati lo juga lapang. Makasih ya Liv karena nggak ninggalin gue sendirian?” Aliva menganguk sambil tersenyum simpul. “Makasih juga udah bertahan bareng gue, Fitri.” ```Aliva’s Still Alive``` Setiap murid dalam satu kelas pasti memiliki lingkaran pertemanan mereka sendiri, terlepas dari status mereka sebagai teman sekelas, lingkaran pertemanan itu membentuk grup kecil pertemanan, jumlah anggota dalam lingkaran pertemanan itu berbeda, tidak dapat dipungkiri beberapa siswa memiliki lebih dari satu lingkaran pertemanan, beberapa siswa lain memilih netral dan berteman dengan seluruh murid dalam satu kelas meski akhirnya jika lingkaran pertemanan itu terbentuk misalnya ketika terjadi kerja kelompok, orang yang memilih berteman secara netral terkadang terkikis dengan sendirinya, ia sama sekali tak masuk ke dalam lingkaran pertemanan mana pun. “Aliva teman kelompoknya mana?” Guru Bahasa Indonesia itu mengerutkan keningnya ketika melihat Aliva berjalan sendirian ke depan kelas. Beliau kemudian melihat makalah dari kelompok Aliva, di sana benar-benar nama Aliva tertulis sendirian. “Minggu kemarin saya nggak hadir, Bu. Jadi nggak kebagian kelompok. Kebetulan yang lain sudah mengerjakan tugas kelompoknya, saya nggak enak kalau tiba-tiba ikut mereka.” Jawabnya. “Ya sudah, silakan mulai presentasikan makalahnya.” Aliva mengangguk, gadis itu menatap teman-teman sekelas nya yang tak memperhatikan dirinya sama sekali, dia mulai berbicara, beberapa murid memperhatikan dia sekilas kemudian membuang pandangannya lagi. Meski tak ada yang memperhatikannya, Aliva yakin teman-temannya itu akan mendengarkan ucapannya, dia berbicara dengan lugas dan percaya diri, setelah pemaparan materi selesai Aliva membuka sesi pertanyaan. Dua orang perempuan mengangkat tangannya, mereka bertanya terkait yang Aliva presentasikan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut sedikit memojokkan Aliva, berupaya agar gadis itu tak dapat menjawab pertanyaannya. Aliva hanya memiliki dua pustaka buku yang dipinjamnya dari perpustakaan itu sedikit kesusahan menjawab dua pertanyaan temannya, gadis itu menghabiskan lima belas menit untuk mencari jawaban. “Liv, pertanyaannya bisa di tampung dulu saja, biar kelompok lain bisa presentasi sambil kamu mencari jawabannya.” Gadis itu menoleh pada guru yang juga tengah menatap ke arahnya, dia mengangguk pelan sebagai jawaban. Aliva kemudian menutup presentasinya dan kembali berjalan ke mejanya bergantian dengan empat orang yang berjalan ke depan kelas untuk presentasi kelompok selanjutnya. “Pertanyaan gue nggak perlu lo jawab, gue udah tahu jawabannya.” “Hah?” Aliva agak sedikit bingung dengan penuturan gadis yang duduk di seberang meja nya. “Tadi, cuma ngetes lo doang. Pertanyaan gampang kok, lo nggak bisa jawab.” Ucapnya kemudian terkekeh pelan. Aliva merespon dengan tersenyum simpul, dia kemudian mengalihkan pandangannya ke depan kelas karena kelompok lain mulai mempresentasikan materi kelompoknya. Waktu kegiatan belajar selesai dengan presentasi kelompok yang cukup kondusif, bel pulang sekolah berbunyi tak lama setelah guru Bahasa Indonesia menutup pertemuan kelasnya. “Nih buku gue, besok selesai bisa kan?” Seorang gadis dengan rambut terurai menyerahkan buku bersampul cokelat rapi di meja Aliva yang masih memasukkan alat tulisnya ke dalam tas. “Nggak janji, materinya agak susah, gue mau ke perpustakaan dulu pelajari konsep penyelesaian—” Gadis itu berdecak, tak ingin mendengar penjelasan panjang dari Aliva. “Yaudah, secepatnya.” Ucap gadis itu kemudian berjalan pergi. Aliva tersenyum simpul, selepas gadis itu pergi dia kemudian menerima satu per satu buku latihan dari tiga teman yang menggunakan dirinya sebagai joki tugas matematika. Berbeda dari yang lain, gadis terakhir menyerahkan buku latihannya pada Aliva memberikan satu buku matematika yang cukup tebal. “Referensi. Kalau kurang jelas lo bisa cari buku lain di perpustakaan.” Ucap gadis itu kemudian langsung bergerak pergi. Aliva yang masih terpaku di kursinya menatap buku cetak matematika tersebut, tangannya bergerak membuka halaman pertama buku. Lily Maharani Nama pemilik buku cetak itu tertulis dengan rapi. Sadar kini hanya tinggal seorang diri di dalam kelas, Aliva bergegas memasukkan semua buku ke dalam tas, kemudian berjalan keluar kelas, gadis itu berjalan di lorong sekolah sambil sesekali memperhatikan beberapa siswa yang tengah bercanda, seketika pikirannya menerawang berandai-andai jika saja ia bisa bercanda dengan teman di sekolah layaknya siswa lainnya, bagaimana rasanya jika memiliki banyak teman, jika dia didukung banyak teman, bagaimana rasanya jika dia dapat tertawa bebas bersama teman-temannya, bermain sampai malam bersama tean-temannya, bagaimana rasanya jika ia hanya perlu memikirkan cara belajar dan bermain. Namun karena keterbatasan dan rasa tanggungjawab dalam dirinya, Aliva hanya bisa memimpikan hal-hal indah tersebut dalam hati karena pada kenyataannya dari sekian banyak hal dan hari yang ia lewati, Aliva hanya mampu mengenal belajar, sekolah dan bagaimana cara mendapatkan uang untuk biaya hidup dan juga membahagiakan hati satu-satunya keluarga yang ia punya yaitu sang nenek yang penglihatannya terus memburuk setiap hari, jika Aliva tidak dapat merasakan kehidupan remaja layaknya remaja lain saat ini Aliva hanya perlu berusaha untuk membuat neneknya kembali bisa melihat dunia, melihat wajah Aliva kecil sang nenek yang kini tumbuh menjadi gadis remaja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD