Bukan yang Diinginkan

2183 Words
Ingatlah, bahwa setiap orang adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Berhati-hatilah dalam mengambil keputusan. ... "Apa?!" teriakan melengking terdengar memenuhi sebuah ruangan bernuansa hijau. Seorang wanita paruh baya dengan penampilan elegan menatap kaget kepada pemuda yang duduk di hadapannya. "Maaf, tolong izinkan Yudi menikahi Mbak Tania, Ma." Yudi membalas tatapan mamanya dengan pandangan memohon. "Jadi ... yang kamu maksud lamarannya sukses itu sama Tania?" timpal pria paruh baya yang tak lain adalah papa Yudi, Pak Rahmat. Yudi menoleh ke arah papanya, tersenyum tipis, lalu mengangguk singkat. Pak Rahmat mengelus dagunya seraya berkata, "Baiklah, Papa merestui kalian." "Serius, Pa?!" seru Yudi tak percaya. Semudah itu? "Lho? Kenapa begitu, sih?" timpal Bu Rahmat tidak terima. Dia cemberut ke arah suaminya. "Nggak pa-pa. Insya Allah semua putri Burhan adalah gadis yang baik. nggak mungkin orang itu membiarkan anaknya tumbuh tanpa didikan." "Tapi, tapi, Papa tahu sendiri kan, dulu Tania itu suka mencuri mangga di belakang rumah kita. Mama sudah lama menunggu, tapi malah diambil sama dia." Yudi mengernyitkan dahi melihat kelakuan mamanya. Yudi tak habis pikir kalau ternyata mamanya masih menyimpan dendam kepada Tania hanya gara-gara buah mangga. Pak Rahmat terkekeh mendengar penuturan istrinya. "Mama nggak boleh begitu. Kita sudah lama nggak ketemu Tania. Dia pasti sudah berubah. Benar nggak, Yud?" tukas Pak Rahmat sambil mengedipkan matanya ke arah Yudi. "Buktinya anak kita sampai salah sasaran." Yudi menggaruk rambut mendengar sindiran sang Ayah. Tak ada niatan untuk menyampaikan kejadian yang sebenarnya kepada orang tuanya. Cukuplah itu menjadi rahasia mereka. "Mungkin Mama dan Papa perlu tahu juga kalau Zahra akan menikah bulan depan bersamaan dengan pernikahanku dengan Mbak Tania." "Apa?!" Saking terkejutnya Bu Rahmat hingga ia berdiri dari kursinya. "Sama siapa?" "Mas Alvaro." "Siapa lelaki yang berani melamar menantu idamanku?" seru Bu Burhan tidak rela. Dia menyukai Lativa. Dulu saat mereka masih bertetangga Bu Burhan sering memberi Lativa hadiah. Tak pernah absen saat ulang tahunnya, meski Lativa dan keluarganya tak pernah merayakan hari kelahiran. "Yudi, antarkan Mama ke rumah mereka sekarang! Mama mau ketemu menantu idaman." "Ma, calon menantu Mama itu Mbak Tania, bukan Zahra." Yudi menggenggam lembut tangan mamanya. "Iya, iya. Pokoknya Mama mau ketemu calon menantu yang gagal." Yudi tertawa hambar mendengar sebutan mamanya untuk Lativa. Sedikit goresan terbit di hatinya kala mendengar kata gagal. Ya, benar. Yudi telah gagal meraih pujaan hatinya. "Mama duluan saja. Papa mau mengobrol sama Yudi sebentar," halang Pak Rahmat begitu istri dan putranya hendak meninggalkan ruang tamu. Bu Rahmat menatap suaminya sesaat, mengendikkan bahu tak acuh. "Oke. Mama duluan," katanya seraya berlalu dari sana. Sekarang hanya ada Pak Rahmat dan putranya. Mereka duduk saling berhadapan. Keheningan menyelimuti keduanya. Yudi punya firasat buruk dengan situasi ini. Melihat tatapan tajam sang Papa membuat pemuda itu menelan ludah. Sangat jarang Pak Rahmat bersikap begini kecuali tatkala ada sesuatu yang tidak beres terjadi. "Jadi, karena alasan itu kamu menikahi Tania?" Pak Rahmat membuka percakapan. "Maksud Papa?" "Lativa sudah ada yang melamar sebelum kamu. Ini aneh. Kalian akan menikah dalam waktu bersamaan. Bagaimana bisa?" "Aku nggak mengerti maksud Papa." Yudi masih berusaha mengelak. Pak Rahmat memicingkan mata, tatapannya menajam. "Jangan pura-pura bodoh, Yudi. Ceritakan semuanya pada Papa." Yudi terdiam beberapa detik, mempertimbangkan permintaan papanya. Pemuda itu menghela napas panjang. Tidak ada jalan untuk berkelit lagi. Dengan berat hati, Yudi menceritakan kejadian yang sebenarnya. Pak Rahmat menyimak dengan saksama. Usai Yudi bercerita, Pak Rahmat masih merenung. Yudi dibuat berdebar menanti reaksi papanya. Jarum jam terdengar berdenting lebih jelas dari biasanya, putaran waktu seakan melambat setiap detiknya, udara di sekitar mereka terasa lebih berat tatkala Yudi menyaksikan sorot mata kecewa dari Pak Rahmat untuknya. Kala itu, Yudi tertohok akan keputusannya sendiri. Egoisme membuatnya tak berpikir panjang. Mendadak hati Yudi menjadi hampa, otaknya kosong. Yang Yudi tahu, dia telah membuat orang di sekitarnya kecewa. "Apa kamu mencintai Tania?" Suara Pak Rahmat terdengar menusuk. "..." "Untuk apa kamu menerima tawaran itu?" "..." Pak Rahmat mendengus kasar menyaksikan kediaman putranya. Tak ada rasa. Tak ada komitmen. Tak ada tujuan. Apa yang sebenarnya Yudi pikirkan? "Pernikahan bukan hal main-main, Nak. Kamu harus menjalaninya dengan totalitas. Ingatlah, bahwa setiap orang adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya." Pak Rahmat berkata bijak, lantas menyebutkan salah satu hadis tentang kepemimpinan. “Setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannnya. Seorang kepala negara adalah pemimpin atas rakyatnya dan akan diminta pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya. Seorang suami adalah pemimpin atas anggota keluarganya dan akan ditanya perihal keluarga yang dipimpinnya. Seorang isteri adalah pemimpin atas rumah tangga dan anak-anaknya dan akan ditanya perihal tanggungjawabnya. Seorang pembantu rumah tangga adalah bertugas memelihara barang milik majikannya dan akan ditanya atas pertanggung jawabannya. Dan kamu sekalian pemimpin dan akan ditanya atas pertanggungjawabannya." Yudi menunduk dalam. Tak mampu berkata-kata. "Sebelum semuanya terlambat, tolong jawab dengan tegas pertanyaan Papa. Kamu masih mau melanjutkan proses ini atau nggak? Kalau kamu merasa sungkan pada Burhan dan keluarganya, biar Papa yang mengatakan bahwa kamu membatalkan lamaranmu." Yudi membulatkan mata mendengar perkataan papanya. Terperangah. ... Sabtu siang Tania menghabiskan waktunya untuk bersantai di rumah. Menikmati tontonan tentang berita terkini sembari menunggu ibu dan adiknya selesai memasak. Tania memang tak pandai dalam urusan memasak. Ia dilarang mendekati dapur karena dikhawatirkan akan berujung pada kekacauan. Tania mengalihkan perhatiannya dari televisi ketika mendengar bunyi bel. Tania buru-buru memakai kaos kaki dan kerudung karena khawatir yang datang adalah laki-laki asing. Bergegas, ia menuju pintu utama. Tania terdiam beberapa saat sambil memandangi wanita paruh baya yang ada di depannya. Merasa tak asing dengan wajah wanita itu. Terlalu familiar. "Tante/Tania?" seru mereka serempak. "Mamanya Yudi?" Tania terkejut bukan main. Sudah lama mereka tidak bertemu. Tak banyak yang berubah. Bu Rahmat tetap berpenampilan elegan seperti biasa. Tampaknya hal yang sama juga terjadi kepada Bu Rahmat. Raut wajahnya menyiratkan ketidakpercayaan ketika mendapati penampilan Tania yang sangat berbeda. Kemana hilangnya kaos oblong dan celana training yang dulu selalu dia gunakan? "Silakan masuk. Ibu ada di dalam." Tania membuka lebar pintu rumahnya. Bu Rahmat mengangguk. Dia masih tidak menyangka dengan perubahan drastis Tania. Mungkinkah Yudi berbalik melamar Tania karena kini perempuan itu terlihat jauh lebih cantik? Bu Burhan menggeleng. Mana mungkin putranya melamar seorang gadis hanya karena tampilan fisik semata? Yudi tidak sedangkal itu. Tania mengekor di belakang Bu Rahmat. Keningnya mengernyit mendapati cara jalan wanita itu yang tampak linglung. Tania langsung mempercepat langkah untuk menyeimbangi Bu Rahmat. "Di mana ibumu?" tanya Bu Rahmat setelah mampu mengendalikan diri. "Ada di dapur. Mari Tante kita ke ruang tamu. Saya panggilkan ibu dulu." Tania menyentuh lengan Bu Rahmat. "Nggak perlu! Saya mau ketemu langsung saja. Dapurnya masih sama, kan?" jawab Bu Rahmat agak ketus sembari menepis tangan perempuan itu. Tania tersenyum kecut. Dirinya hanya bisa menggeleng pelan menerima perlakuan Bu Rahmat. Wanita itu memilih langsung menerobos rumah mereka tanpa ingin berbasa-basi dengannya. Tania menyaksikan semuanya dari ruang tengah yang langsung terhubung dengan dapur. Ketika mereka saling bercengkerama tanpa mempedulikan keberadaan Tania. Ketiganya berpelukan erat sambil meneteskan air mata. Detik-detik ketika Bu Rahmat memberikan sebuah bingkisan— yang entah berisi apa— kepada Lativa dengan wajah semringah. Tania mendongak, meniup udara di atas kepalanya. Ternyata sama saja. Dulu, kini, dan nanti. Lativa selalu menjadi favorit semua orang. Tak pernah ada yang benar-benar menyimpan perhatian lebih kepadanya. Seberapa pun dia ingin mendekat, tetap saja sekat itu kian menebal. Ah, hampir saja Tania lupa. Dirinya memang bukan yang diinginkan. ... Hari-hari selanjutnya, usai kesepakatan kala itu, semua pihak sibuk mempersiapkan pernikahan. Di akhir pekan, mereka sering kali berkumpul untuk berunding. Bukan perkara mudah bagi keempat anak muda itu meyakinkan para tetua untuk mengadakan pernikahan seperti yang mereka inginkan. Tidak boleh ada ikhtilat selama proses berlangsungnya pernikahan sampai selesai. Proses ijab kabul hanya perlu dihadiri oleh keluarga dekat dan beberapa orang tetangga. Tidak ada gedung mewah dan ribuan tamu undangan. Menyisihkan makanan untuk mereka yang membutuhkan. Tidak ada dandanan menor bikin pangling bagi mempelai perempuan. Sederhana dan sesuai syariat Islam. Seperti hari ini misalnya, saat mereka kembali mengajukan sebuah permintaan tak wajar. "Kami pengen kalian berempat foto prewed," pinta Pak Rudi, ayah Alvaro, mewakili para tetua. Saat ini mereka tengah berdiskusi di ruang tamu rumah Pak Burhan. "Kami nggak mau!" seru mereka berempat. "Kenapa?" "Nggak boleh," sahut Yudi singkat. "Lah iya, kenapa?" tanya Bu Burhan. "Masa belum nikah sudah mau dekat-dekat, Bu," timpal Tania. "Dekat bagimana?" "Iya, biasanya 'kan pasti ada adegan peluk-pelukannya. Kita belum mahram, jelas nggak bisalah, Bu." "Kalau begitu, kalian buat konsep lain saja. Bikin yang bernuansa islami," jawab Bu Rahmat, mama Yudi, tak acuh. "Astagfirullah, Ma. Kemaksiatan nggak boleh dibungkus dengan kebaikan. Meskipun bernuansa islami tetap saja jatuhnya maksiat. Salah satunya khalwat." "Kan kalian bertiga." "Bertiga?" "Iya, sama fotografer," tukas Bu Rahmat dengan muka polos. "Ibu ada-ada saja." Yudi geleng-geleng kepala. Tidak menyangka dengan pola pikir ibunya. Tampaknya perang pemikiran yang saat ini sedang dimainkan oleh para pelakon kapitalis-sekular bukan hanya meracuni pikiran para pemuda. Tetapi, telah merambah keseluruhan lapisan masyarakat. Mulai dari yang muda hingga yang tua, laki atau perempuan, miskin atau kaya. Semuanya telah terpengaruh oleh pemahaman ala sekularisme. Kondisi seperti ini adalah sesuatu yang wajar, mengingat setiap hari semakin banyak media yang mengeksplore p********a yang diciptakan oleh oknum tertentu. Seringkali mereka membungkus sesuatu yang buruk dengan nuansa islami. Padahal, yang haq dan bathil jelas berbeda. Keduanya tidak dapat disatukan. Contoh kecil yang sedang terkenal dikalangan muda-mudi masa kini adalah istilah 'pacaran islami'. Bagaimana pacaran bisa islami? Sementara di dalam hukum islam pacaran jelas merupakan sesuatu yang haram. Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang k**i. Dan suatu jalan yang buruk. (QS. Al-isra: 32) Memang tidak semua pacaran berakhir dengan zina, tapi kebanyakan zina berawal dari pacaran. "Ringkasnya, foto prewed diharamkan karena dengan dua pertimbangan, yang pertama yaitu bagi pasangan mempelai dan fotografer yang melakukannya. Untuk mempelai diharamkan karena dalam pembuatan foto dilakukan dengan dibarengi adanya ikhtilat (percampuran laki-laki dan perempuan), kholwat (berduaan) dan kasyful aurat (membuka aurat). Sementara pekerjaan fotografer prewed juga diharamkan karena dianggap menunjukkan sikap rela dengan kemaksiatan. Wallahu'alam." Alvaro akhirnya membuka mulut begitu mendapati diskusi mereka yang tak kunjung menemukan akhir. "Benar juga. Tapi kami pengen kalian foto prewed. Apa kata teman-teman Mama kalau putranya nggak pakai foto prewed? 'Kan malu." Bu Rahmat masih kekeuh dengan kehendaknya. "Boleh." Yudi tersenyum manis ke arah ibunya. "Benaran?" seru Bu Rahmat girang. "Ada syaratnya." "Apa?" tanya para tetua serempak. Mereka akan berusaha memenuhi syarat yang anaknya ajukan, asalkan keempatnya mau mengikuti keinginan mereka. "Boleh kok foto prewed, tapi ada syaratnya; pertama, fotonya nggak berpasangan. Kedua, fotonya pakai background biru. Ukurannya tiga kali empat. Mau?" tanya Yudi sambil memasang wajah innocent. Hening. Semua mata tertuju pada pria itu. Kening mereka berkerut bingung coba mencerna syarat yang Yudi ajukan. Waktu seakan berhenti berputar. Seolah tersadar mereka semua berteriak serempak, "Foto prewed ndasmu! Astagfirullah." Mereka hanya bisa elus d**a. Sementara keempat calon mempelai justru terkekeh pelan mendapati respon mereka. "Piye toh, lek," ucap Pak Rahmat sambil geleng-geleng kepala. "Nggak perlu ada foto prewed, Pak. Hal penting dari sebuah pernikahan bukan kemegahannya, tetapi tentang makna yang terkandung di dalamnya. Yakni untuk menyatukan dua insan dalam satu tujuan," tutur Alvaro sambil tersenyum tipis. "Pernikahan adalah ibadah. Ia ada untuk meraih ridho Allah. Mengantarkan keluarga hingga ke Surga. Tujuan pernikahan adalah untuk membangun generasi islami yang berakhlak mulia, bukan membuat pesta meriah yang mengundang decak kagum manusia. Apalah artinya jika kita menikah, menyatukan dua keluarga yang berbeda, jika ternyata pernikahan tersebut nggak memberikan kontribusi yang berarti untuk kebaikan diri dan agama" Lativa menambahkan. Yudi dan Tania menatap terkesima pada kedua calon mempelai itu. Mereka tidak menyangka bila keduanya berpikir sejauh ini tentang pernikahan. Sementara mereka justru tenggelam dalam rasa bersalah. Tania sendiri menyesal karena sudah menyetujui pernikahan ini. Seharusnya dia tidak termakan rencana Yudi hari itu. Sekarang yang bisa mereka lakukan hanyalah pasrah dengan keadaan. Tania tidak pernah menetapkan standar tertentu tentang siapa yang akan menjadi calon suami atau kapan dia akan menikah. Baginya, pernikahan adalah sesuatu yang ada diluar kuasa manusia. Akan datang bila sudah waktunya. Dan siapa pun yang Tuhan kirim untuknya, Tania percaya bahwa dia adalah yang terbaik. Sampai suatu ketika ayahnya meminta gadis itu menikah dengan Yudi. Seketika apa yang selama ini dia yakini berubah total. Ia meragu. Tania juga bertekad dalam hatinya. Jika suatu saat nanti dia memiliki anak, maka dia akan meminta anaknya mempersiapkan pernikahan sejak dini. Dalam artian, persiapan individu dan mengkondiskan agar kedua belah pihak setuju dengan apa yang islam ajarkan. Syariat harus tetap ditegakkan dalam kondisi apapun. Ia tidak mau anaknya mengalami kesusahan seperti yang hari ini dia rasakan. Betapa susahnya meyakinkan keluarga untuk menggelar pernikahan sederhana. Banyak yang bilang karena pernikahan itu hanya sekali, maka akan sangat disayangkan apabila tidak dibuat semeriah mungkin. Ini adalah suatu pemikiran yang keliru. Justru karena pernikahan terjadi hanya sekali, maka bagaimana caranya agar tetap meraih ridho Illahi. Bukankah demikian? Para tetua diam mempertimbangkan ucapan mereka barusan. "Aku maunya foto pasca wedding," ucap Yudi memecah keheningan. Semua mata kembali tertuju padanya. Mencoba menerka-nerka lelucon apalagi yang hendak dia lontarkan. "Berfoto setelah menikah, soalnya kalau sudah nikah terserah kita mau ngapain." Yudi mengedipkan salah satu matanya. Sontak membuat para tetua tertawa, wajah Lativa merona, Alvaro mendengus, sedangkan Tania hanya menatapnya dengan pandangan datar. Tania mengalihkan pandangan kepada pria yang duduk di sebelah Yudi. Diam-diam dia mengagumi pria itu. Tetap menarik dalam ekspresi apapun. Betapa beruntung adiknya dicintai oleh orang seperti Alvaro. Pria tampan berkepribadian menawan. Tania masih asik dengan pikirannya. Ia tenggelam dalam pesona Alvaro. Hingga benda pipih di sakunya bergetar mengembalikan Tania ke dunia nyata. Segera ia merogoh benda itu. Ada satu pesan w******p yang terpampang di layar ponselnya. Bocah Menyebalkan: Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan k*********a, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya... (An-Nur: 31) NB: Caramu menatapnya menakutkan! Tania sontak melirik Yudi, yang ternyata juga tengah menatap ke arahnya. Pria itu tersenyum meremehkan padanya. Tania menunduk. Ia sungguh merasa malu. Rasa berdosa menyapa hatinya. Betapa ia telah melalaikan perintah Allah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD