Langkah untuk Mendekatimu

2287 Words
Sesekali, kita perlu bermuhasabah, menelisik kembali tentang hidup yang kita jalani. Jangan-jangan, kita adalah makhluk yang selalu berorientasi pada dunia. Tanpa pernah sadar, bahwa jarak antara kita dan kematian semakin dekat. ... Tahu rasanya patah hati? Yudi menyorot hampa. Semua persediaan oksigen seolah direnggut di sekitarnya. Sesak luar biasa. Jika tak mengingat akan keberadaan orang lain, tentu Yudi akan menangis saat itu juga. Katakan pemuda itu lebay. Alay. b***k cinta. Terserah. Yudi hanya tak menyangka kalau rasanya akan sesakit ini. Bayangkan! Teman masa kecilmu, cinta pertamamu, satu-satunya orang yang mampu membuat hatimu bergetar— ternyata telah dilamar orang! Tidakkah terdengar menyedihkan? Kamu masih berkubang dengan masa lalu, sedangkan dia telah berpaling kepada yang lain. Sakit, sudah pasti. Pupus sudah harapan Yudi untuk menjadikan Lativa sebagai pendamping hidupnya. Penantiannya selama ini berakhir sia-sia. Doa yang selalu dia panjatkan untuk perempuan itu mungkin tidak mencapai Allah. Apakah dirinya terlalu angkuh dalam meminta hingga Tuhan tak berkenan mengabulkan doanya? Tampaknya cinta yang sejak dulu telah tersimpan rapi untuk Lativa kini harus tertimbun bersama asa yang kian pupus. Membencinya mungkin lebih menyenangkan bagi Yudi, daripada harus melihat Lativa bersanding dengan yang lain. Nyatanya, jatuh cinta tetaplah diawali kata jatuh—akan berakhir sakit bila tidak ada yang menangkapnya. Yudi hanya bisa berharap, rasa sakit ini akan sirna secepat lenyapnya harapan yang tidak lagi tersisa. Yudi seratus persen yakin kalau mereka saling mencintai. Lativa takkan berpaling tanpa alasan. Mungkinkah perempuan itu muak menunggu dirinya yang menghilang tanpa memberi kejelasan? Begitukah? Jika memang demikian, pantaskah bila Yudi menyesali keputusannya yang dulu? Yudi punya alasan kuat mengapa ia menghilang selama lima tahun lamanya tanpa memberi kabar apa pun. Setelah masuk kuliah, Yudi memutuskan untuk mencari jalannya sendiri. Dia mulai mempertanyakan tentang perkara yang selama ini luput dari pikirannya. Darimana dia berasal? Apa tujuan hidup di dunia ini? Setelah meninggal, ke mana dia akan pergi? Suatu hari, Yudi mendatangi masjid kampus karena hendak menunaikan salat di sana. Kebetulan saat itu ada kajian Islam yang diadakan oleh organisasi Kerohanian Islam. Yudi merasa tertarik untuk ikut mendengarkan. Dari sanalah pandangan hidup baru Yudi bermula. Kala itu, ada seorang mahasiswa datang mengajaknya untuk berkenalan. Rian namanya. Yudi diajak berdiskusi tentang Islam. Rian mengenalkannya pada Lembaga Dakwah Kampus (LDK). Didorong oleh rasa penasaran, Yudi memutuskan untuk bergabung dengan mereka. Perlahan, Yudi meniti jalan perubahan walau langkahnya tertatih. Tidak mudah memang. Godaan datang silih berganti. Jika tak ada teman yang senantiasa mengingatkan, Yudi tak tahu akan jadi seperti apa dirinya di tengah kehidupan yang menawarkan banyak keindahan dunia. Dia menjadi aktif di masjid. Syariat islam yang semula banyak diabaikan, pelan-pelan mulai dijalankan. Yudi menyadari bahwa hidupnya yang dulu selalu berorientasi pada dunia. Tanpa disadari, bahwa jarak antara dirinya dan kematian semakin dekat. Perubahan pandangan hidup itulah yang membuat Yudi memilih untuk tidak menemui Lativa. Berusaha membebasakan hatinya dari bayang-bayang perempuan yang menjadi teman masa kecilnya. Begitu sulit rasanya. Cinta itu terlalu kuat adanya. Berbekal pemahaman Islam, Yudi memilih untuk memantaskan diri terlebih dahulu agar ia siap bertemu ayah Lativa. Meminta Lativa tanpa harus meniti jalan kemaksiatan. Dia ingin memiliki Lativa dengan cara yang benar. Siapa sangka takdir berkata lain. Ketika Yudi telah siap, musibah justru melanda keluarganya. Perusahaan yang telah dibangun oleh kakeknya sejak dulu hampir pailit karena ulah beberapa karyawan tidak bertanggungjawab. Yudi diharuskan untuk membantu mengembalikan kondisi perusahaan keluarganya. Setelah segalanya membaik, Yudi akhirnya bisa kembali ke Malang demi menjemput pujaan hatinya. Takdir kembali memainkan perannya. Dengan kejam ia mematahkan hati pemuda itu. Membuatnya merasakan sesak yang tiada terkira. Lativa— gadis pujaanya— telah dilamar orang. Hilang sudah semua impian Yudi untuk bersama Lativa kecuali bila takdir kembali berulah. Tidak berhenti sampai disitu, Pak Burhan tetap memintanya jadi menantu. Tentu, Yudi mau— sangat mau— jika saja yang menjadi calon mempelainya adalah Lativa. Kenyataanya? Pak Burhan menyuruhnya untuk menikahi Tania. Kakak dari perempuan yang sangat dia cintai. Sosok yang tak pernah terbayangkan, bahkan dalam mimpi terliarnya sekalipun akan menjadi pendamping hidup Yudi. Apa ayah Lativa sudah hilang akal? Yudi menyukai adiknya, bukan kakaknya. Barang tentu dia akan menolak permintaan konyol itu. Tetapi, lagi-lagi, harapannya dibangkitkan kembali ketika mendapati pandangan memelas dari Lativa. Segalanya menjadi semakin jelas. Lativa tetap mencintainya. Masih ada kesempatan untuk bersama selagi janur kuning belum melengkung. Jika keputusannya mampu mengembalikan Lativa, maka Yudi akan berbuat nekat walau itu artinya harus menyakiti banyak pihak. Sebelum kata sah terucap, masih ada jalan baginya untuk berjuang. ... Aku mau menikah denganmu," putus Tania. Persetujuannya menerima respon yang beragam. Yudi tersenyum puas. Lativa menahan napas. Pak Burhan dan istrinya sontak mengucap syukur. Bahkan, Alvaro yang sedari awal hanya menyimak, diam-diam mengembuskan napas lega. Alvaro sedikit penasaran mengenai alasan Pak Burhan menjodohkan Tania dengan Yudi— yang merupakan teman masa kecil Lativa. Memang tidak ada yang salah dengan hal itu. Setiap orang berhak memilih pasangan hidupnya sendiri. Tetapi, sebutan teman masa kecil selalu memberi arti tersendiri bagi mereka yang pernah memilikinya. Terlebih, bila pertemanan itu melibatkan hubungan antara laki-laki dan perempuan. Sebab, teman masa kecil senantiasa identik dengan cinta pertama. "Kami sudah menentukan tanggal pernikahan untuk kalian." Pak Burhan menarik perhatian seluruh pasang mata. "Kapan?" Tania menatap Pak Burhan. "Bulan depan bersamaan dengan pernikahan Alvaro dan Lativa." "Cepat banget?!" Tania berseru kaget. "Saya setuju, Pak. " Alvaro menimpali. “Niat baik memang sudah seharusnya disegerakan.” "Baik. Berarti kalian akan menikah pada hari yang sama," putus Pak Burhan tanpa mempedulikan Tania. Tania yang mendengar keputusan Pak Burhan lantas mendengus tipis. Tidak ada pilihan lain. Dengan wajah tidak rela, Tania mengangguk menyetujui rencana pernikahan itu. Pak Burhan dan istrinya mulai memberikan beberapa wejangan tentang kehidupan berumah tangga. Pak Burhan juga menegaskan agar mereka selalu bekerjasama dalam mempersiapkan pernikahan. Jika ada masalah serius mereka boleh meminta pertimbangan kepada para tetua— orang tua mereka. "Kenapa kita nggak pakai W.O. saja?" kata Yudi di tengah-tengah obrolan kala itu. "Biar kamu tahu bagaimana rasanya repot," sahut Tania ketus. Yudi melirik Tania, lantas melempar senyum menyebalkan andalannya. "Apa enaknya tahu rasanya repot?" timpalnya santai. "Sudah, sudah," lerai Pak Burhan ketika mendapati putri dan calon menantunya yang ternyata masih sering bersitegang seperti halnya saat mereka masih remaja dulu. "Kalian lebih bebas berekreasi. Ini juga bisa menjadi saja untuk lebih mengenal kepribadian masing-masing dan menumbuhkan chemistry di antara kalian." Yudi membulatkan mulutnya, kemudian disusul anggukan oleh yang lain. Sejak tadi suara Lativa jarang terdengar. Padahal, sebelum kedatangan Alvaro dan Tania, perempuan itu aktif menyuarakan isi kepalanya. sekarang Lativa hanya sesekali bersuara saat ada yang bertanya. Merasa tidak nyaman dengan situasi ini, makanya ia memilih bungkam. Perempuan mana yang akan nyaman ketika lelaki yang awalnya datang melamarmu justru berbalik jadi ingin menikahi kakakmu? "Kapan kamu akan mengajak orang tuamu ke sini?" tanya Bu Burhan kepada Yudi. Yudi tersenyum tipis seraya menggaruk pelipisnya pelan. Apa yang akan ayah dan ibunya pikirkan saat dia pulang membawa kabar bahwa dirinya akan menikahi Tania? Jelas sekali hal ini bertentangan dengan izin kepergiannya dua hari yang lalu. "Lebih baik kita salat dulu," ucap Pak Burhan ketika suara azan terdengar tak lama kemudian. Pria paruh baya itu mengajak Alvaro dan Yudi untuk salat berjamaah di masjid, sedangkan Bu Burhan mengajak anak-anaknya untuk salat berjamaah di rumah. Diam-diam, Yudi mengembuskan napas lega. Untuk sementara dia terbebas dari pertanyaan semacam itu. Yudi bertekad dalam hati agar besok langsung kembali ke Surabaya untuk meminta restu. ... Alvaro dan Yudi jalan beriringan di belakang Pak Burhan. Alvaro melirik Yudi di sampingnya, yang ternyata juga tengah menatap ke arahnya. Refleks keduanya sama-sama membuang muka. Scene yang tidak baik untuk dua orang laki-laki dewasa. Kikuk. Itulah yang mereka rasakan. "Kamu kenal Lativa sejak kapan?" Alvaro melontarkan pertanyaan untuk memutuskan kecanggungan di antara mereka. "Sejak kecil, Mas. Kami adalah tetangga. Rumah hijau yang ada di samping rumah mereka adalah milik keluargaku." Meskipun Yudi dan orang tuanya sudah pindah ke Surabaya sejak lama, namun mereka tidak mau menjual rumah yang ada di Malang. Alasannya sederhana, jika sekali waktu ingin kembali, setidaknya mereka punya tempat untuk beristirahat. "Kenapa aku nggak pernah melihatmu?" "Setelah SMA aku pindah ke Surabaya, melanjutkan kuliah di sana." Alvaro mengangguk paham. Ternyata mereka punya kemiripan. Alvaro menghabiskan masa kecilnya di Surabaya. Setelah beranjak remaja, tepatnya awal masuk sekolah menengah akhir, dia pindah ke Malang. Tinggal di rumah neneknya. "Sampai kapan kamu ada di Malang?" Yudi mengernyit mendengar pertanyaan Alvaro yang terkesan ingin mengusirnya. Sedikit banyak mampu membuatnya tersinggung. Dia cemburu? Tiba-tiba, tanpa aba-aba, Yudi bergeser hingga menghadang jalan Alvaro. Berdiri tegak sambil merentangkan tangan. Tak lama, sebuah senyuman— yang kata Tania mencurigakan— terbit di wajah lelaki itu. Alvaro mengangkat salah satu alisnya. "Sejak kemarin aku dipindah tugaskan. Jadi, aku akan menetap di Malang. Menjadi tetangga Zahra." Yudi memberi penekanan di akhir kalimatnya. "Benarkah? Syukurlah, kupikir itu lebih baik," sahut Alvaro santai. Dia menggeser Yudi ke kanan, lalu melanjutkan perjalanan. Yudi mendelik kesal. Respon Alvaro membuatnya keki sendiri. Tak menyangka kalau calon suami Lativa ternyata orang yang kalem. Yudi berencana memprovokasi Alvaro. Sayang sekali, sepertinya usahanya tidak mempan. Tetapi, bukan Yudi namanya bila menyerah semudah itu. "Iya. Baik untuk hubunganku dan Zahra. Sudah lima tahun kami berpisah, lho." Alvaro berhenti, berbalik ke belakang. Yudi juga ikut menghentikan langkahnya. Sekarang mereka berdiri berhadap-hadapan. Tidak peduli lagi dengan Pak Burhan yang sudah melangkah jauh meninggalkan mereka. Sebenarnya Alvaro ingin tertawa, tapi ia berusaha menahannya. Menurutnya, Yudi sedikit kekanakkan dan memiliki ego yang tinggi. Daripada terbawa emosi, lebih baik Alvaro santai saja. "Kamu salah, yang benar itu baik untuk hubunganmu dengan Tania." Yudi berdecak sebal. Mendengus kasar. Kemudian pergi begitu saja setelah menabrak bahu pemuda itu. Alvaro tersenyum geli dibuatnya. ... Malam hari, ketika suasana terasa begitu sunyi, dan suhu udara kian meningkat hingga terasa menusuk kulit. Tatkala seluruh makhluk seharusnya terlelap, Yudi sedang memejamkan mata, tangan kanannya ia gunakan untuk menutupi wajah. Embusan napas pelan keluar dari hidung mancung pemuda itu. Jarum jam sudah menunjukkan angka sebelas malam, tetapi rasa kantuk tak kunjung menyapa. Ada banyak perihal berseliweran di kepalanya. Membuat kedua pelipisnya berdenyut nyeri. Yudi pusing. Bagaimana bisa Yudi membuat keputusan tanpa berpikir panjang terlebih dahulu? Pilihan yang dia ambil hari ini hanya dilandasi oleh ego semata. Harga dirinya terluka menerima penolakan. Reaksi Lativa yang sarat akan pengharapan membuat keinginannya bangkit begitu saja. Mereka masih saling mencintai. Bagi Yudi itu sudah cukup jadi alasan untuk memperjuangkan perasaannya. Dengannya bodohnya, Yudi menerima tawaran Pak Burhan yang kala itu tampak seperti peluang besar. Dia lupa kalau ada hal lain yang harus dipertimbangkan. Pernikahan bukan saja bermain. Bukan pula sekadar romansa belaka. Ada tanggung jawab yang harus siap mereka emban bersama. Dia dan calon istrinya— Tania. Tiba-tiba saja rasa sesal dan berdosa menyelimuti hati pemuda itu. Bukankah ia telah melakukan suatu kesalahan besar? Akan jadi apa pernikahan mereka jika dimulai dengan niat yang salah? Pernikahan adalah ibadah sepanjang hidup, lantas bagaimana ia akan menjalani pernikahannya kelak? Bersama Lativa, Yudi tahu apa yang harus dilakukan. Dia punya gambaran tentang rumah tangga ideal seperti yang keyakinannya ajarkan. Ada impian yang terselip dalam setiap doanya. Tak pernah sekalipun Yudi meminta kepada Pencipta agar ia berjodoh dengan perempuan selain teman masa kecilnya. Tapi kenapa? Yudi mengusap kasar wajahnya. Ada letih yang sarat dari kedua bola matanya yang kecokelatan. Bukankah Tania juga teman masa kecilnya? Mereka sudah saling mengenal sejak dulu. Namun, inilah yang menjadi masalah. Sebab, Yudi sudah lama mengenal Tania, makanya penyesalan itu muncul. Tania itu keras kepala. Susah diatur. Jutek. Berbanding terbalik dengan Lativa yang penurut, lemah lembut, dan penyayang. Melihat Tania bawaannya ingin berdebat. Caranya menatap kadang bikin kesal. Bagaimana bisa seorang perempuan punya tatapan tajam seperti itu? Yudi sampai merasa kalah dibuatnya. Astagfirullah. Yudi langsung mengucap istighfar begitu menyadari kekeliruannya. Dia sudah terlalu jauh membayangkan kakak beradik itu. Tidak seharusnya Yudi membandingkan mereka. Terlebih, keduanya tidak halal untuk ia pikirkan sedalam ini. Fokus. Yudi berusaha mensugesti dirinya. Dia harus menemukan solusi untuk mengatasi persoalan yang sudah menanti di depan mata. Meyakinkan ibunya tentang pernikahan yang akan dia jalani. Tentang perempuan yang akan menjadi pendamping hidupnya. Sebab, yang Yudi tahu, Tania tidak cocok dengan ibunya. Saat mereka masih kecil ibunya sering mengomeli Tania karena suka memanjat pohon mangga di belakang rumah mereka tanpa izin. Yudi mendengus menahan tawa. Bayangan Tania kecil yang berlari di halaman rumah karena dikejar ibunya terlintas begitu saja. Yudi menggeleng. Mencoba berpikiran positif. Mereka sudah lima tahun tak bertemu. Ada banyak hal yang bisa terjadi dalam kurun waktu tersebut. Mungkin saja Tania sudah berubah. Tania adalah perempuan dewasa. Bekerja sebagai guru TK. Tidak mungkin seorang pendidik punya akhlak yang buruk, bukan? Idealnya begitu, realitanya belum tentu. Allahuakbar! Yudi langsung terbangun dari tidurnya. Tersentak kaget tatkala mengingat ucapan ibunya tiga hari yang lalu sebelum ia berangkat ke Malang. Diucapkan dengan tawa. Terdengar seperti candaan, namun sarat akan peringatan.  "Kamu benaran mau ngelamar Lativa, kan? Jangan sampai nyasar malah dapat kakaknya lho, ya." Yudi rasanya ingin berlari ke rumah Pak Burhan saat itu juga demi menarik semua ucapannya siang tadi. Pemuda itu mengacak rambutnya kesal. Tenggelam dalam rasa frustasinya sendiri. Dering ponsel yang begitu nyaring mengembalikan kesadaran pemuda itu. Yudi langsung meraih benda pipih yang terletak di atas nakas. Tatapannya berubah horor begitu melihat nama ibunya terpampang jelas di layar. Ada apa ibunya menelpon jam segini? Yudi menarik napas panjang, lalu mengembuskannya secara perlahan. Jempolnya bergeser mengusap tombol hijau pada layar. Bismillah.. "Assalamu’alaikum, Ma. Ada apa menelpon selarut ini?" tanya Yudi langsung. Suaranya ia atur agar terdengar seringan mungkin. "Wa’alaikumussalam, Nak. Mama nggak bisa tidur karena mikirin kamu. Di sana baik-baik saja, kan?" Yudi tersenyum tipis. "Alhamdulillah.. aku nggak pa-pa." "Syukurlah.. sejak sampai di situ kamu belum memberi kabar. Bagaimana lamarannya? Sukses?" "Alhamdulillah. Mama sama Papa bisa ke sini? Aku mau lamaran secara resmi," sahut pemuda itu tenang. "Tentu, Sayang! Kami akan ke Malang besok pagi. Sudah dulu, ya? Jaga dirimu baik-baik." Klik. Sambungan diputus begitu saja. Yudi masih memandangi layar ponselnya. Gamang. Dia tidak berbohong, kan? Lamarannya memang sukses, meskipun tak sesuai yang direncanakan. Setidaknya, ia akan menikahi salah satu putri sahabat kedua orang tuanya. Yudi beranjak dari ranjang, melangkah pelan menuju ke arah kamar mandi. Dia ingin berwudlu terlebih dahulu sebelum tidur. Sekembalinya dari kamar mandi, Yudi merapikan posisi baringnya. Tangannya bergerak meraih ponselnya untuk menyetel alarm guna mencegah kemungkinan dia kebablasan sampai subuh dan meninggalkan salat tahajud. Yudi memiringkan badan ke kanan, menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya. Matanya terpejam. Bersiap menyambut kedatangan hari esok. Satu hal yang Yudi tanamkan dalam pikirannya, bahwa keputusannya menikahi Tania adalah pilihan yang tidak terlepas dari kehendak Illahi. Sudah sepatutnya dirinya meminta pertolongan kepada sang Pembuat Keputusan Terbaik. Semoga Tuhan berkenan mengampuni kekhilafannya dan memudahkan semua urusannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD