BAB 4

1644 Words
Nate tak dapat mengalihkan matanya pada Andria. Walaupun keadaan di klab malam itu gelap, namun Nate masih dapat melihat dengan jelas bahwa wanita yang malam itu ditemuinya ialah wanita yang kini duduk di hadapannya. Ia bukan tak menyadari aura gugup yang terpancar dari tubuh Andria. Sikap wanita itu yang selalu menunduk dan tak berani menatap langsung matanya membuat Nate senang.                   “Apa makanannya tidak enak, Miss Delanna?” tanya Nate masih menatap wajah Andria sambil tersenyum tipis.                   Andria tersentak kaget dan refleks menatap Nate. “T-tidak Sir. Makanannya enak sekali,” kilah Andria cepat membuat senyum Nate semakin berkembang.                   “Saya hanya ingin meluruskan bahwa pekerjaanmu selain membantu Mrs Anderson adalah ikut denganku jika memang diperlukan untuk perjalanan bisnis.” Nate langsung melemparkan bomnya pada Andria.                   Dengan cepat Andria menatap Mrs. Anderson. Ia tak mengerti karena Mrs. Anderson tak pernah memberitahunya perihal perjalanan bisnis yang harus ia ikuti bersama pria itu. Wanita yang ditatap oleh Andria pun tersenyum meminta maaf. “Maaf, Sir. Tapi Mrs Anderson tak berkata seperti itu,” sahut Andria pelan. Ia takut salah bicara.                   Mata Nate menyipit. “Jadi maksudmu, kau menolak jika diberikan tugas untuk ikut denganku dalam perjalanan bisnis Miss Delanna?” tanya Nate datar yang malah terkesan mengancam.                   “B-bukan begitu, Sir. Hanya saja—’’                   “Apa ada yang memberatkanmu untuk pergi jauh dari New York, Miss Delanna?” tebak Nate langsung. Tunangannya. Tentu saja, ujar Nate dalam hati.                   Andria tak dapat menutupi rasa gugup dalam dirinya. Tentu saja ia tak mungkin mengatakan bahwa Frans tak akan pernah mengizinkannya pergi tanpa pria itu. Apalagi jika Frans tau bahwa Andria akan pergi bersama Nate Mikaelson. Walaupun hanya perjalanan bisnis. Ia bergidik ngeri membayangkan apa yang akan dilakukan Frans padanya.                   “Ada yang salah, Miss Delanna?” kening Nate mengerut saat melihat wajah Andria yang terlihat sedikit memucat.                   “Ti-tidak. Tentu saja, Sir. Hanya saja saya memang perlu meminta izin sebelum pergi jauh,” sahutnya cepat.                   “Kepada siapa tepatnya, Miss Delanna?”                   “Tunangan saya, Sir. Dialah yang bertanggungjawab atas diri saya di New york,” jelas Andria cepat.                   Nate sudah tahu bahwa wanita itu telah bertunangan dan akan menikah. Tapi, sial! Mendengarkannya langsung dari bibir wanita itu membuat emosinya membumbung tinggi. Nate mengepalkan jarinya yang berada di bawah meja. Ia perlu mengontrol emosinya karena jelas wanita polos di hadapannya ini tak tahu bahwa Nate sangat ingin memilikinya dan melenyapkan pria yang berstatus sebagai tunangan wanita itu.                   “Baiklah. Jika dia tak mengizinkanmu, maka kau perlu memberitahuku agar aku yang akan langsung meminta izin padanya.” Nate ingin sekali memotong lidahnya saat berkata ‘meminta’ karena sampai patung Liberty tenggelam pun ia tak akan pernah meminta apalagi memohon pada orang lain. Pemikiran itu membuatnya mengernyit, jijik.                     “Tidak perlu repot, Sir. Ia pasti mengerti bahwa itu bagian dari pekerjaan saya,” tolak Andria cepat. Ia tak ingin Frans berhubungan langsung dengan bosnya karena jika emosi Frans sudah meledak, bisa saja pria itu berbuat yang tidak-tidak pada bosnya. Bukan karena Andria takut terjadi sesuatu pada bosnya, ia lebih takut Frans akan menyesali perbuatannya mengingat bosnya ini memiliki kekuasaan yang luar biasa dan tak menutup kemungkinan Frans bisa hancur karena bosnya.                   “Well, selamat bekerja Miss Delanna. Semoga anda nyaman bekerja langsung dengan saya.” Nate menutup pembicaraan sambil tersenyum tipis. ****                   Sudah satu minggu ini Nate selalu hadir di kantor membuat karyawannya –khususnya karyawan wanita- senang karena mereka dapat dengan langsung melihat bos besar mereka. Andria tersenyum saat salah satu teman kantornya berkata bahwa Andria sangat beruntung bisa bertemu setiap hari dengan dengan Nate.                   Andai saja mereka tahu seberapa besar tanggung jawab yang ia pegang setelah menjadi sekretaris Nate Mikaelson, mungkin mereka akan menarik kembali pujian itu. Bekerja langsung dengan Nate sangat membuat stress. Andria dituntut untuk selalu profesional dan meminimalisir kesalahan yang ia buat. Nate adalah pria yang perfeksionis dan itu membuat Andria tertekan.                   Perfeksionis dan tepat waktu seperti menjadi nama tengah Nate Mikaelson karena jika harus, Andria, Nate dan Mrs Anderson akan lembur hingga malam hari. Andai saja Andria masih sendiri, mungkin ia tak akan mempermasalahkannya. Namun kini ada Frans, dan keterlambatan satu menit pun akan menjadi bahan untuk Frans memarahinya. Andria lelah dengan pekerjaannya, ia juga sangat lelah dengan Frans yang tak mau mengerti.                   “Banyak pikiran, Andria?” tegur Mrs Anderson yang ternyata sudah berdiri di hadapan mejanya.                   Dengan cepat Andria berdiri. “Tidak, maam. Ada yang bisa saya bantu?” Andria memasang senyum profesionalnya.                   “Berarti kau sedang melamun karena telepon mu terus berbunyi dan kau tak mengangkatnya. Pada akhirnya Mr Mikaelson harus menghubungiku dan bertanya mengapa kau tak mengangkat teleponnya” jelas Mrs Anderson.                   s**t, gumam Andria dalam hati. “Maaf, maam. Saya akan segera menghubungi Mr Mikaelson,” seru Andria.                   “Tidak perlu. Karena kau ditunggu di ruangannya, segera,” sahut Mrs Anderson sembari tersenyum dan kembali ke meja kerjanya.                   Double s**t!                   Bergegas Andria menuju ruangan Mr Mikaelson. Hatinya terus berdoa. Berharap pria itu tak memarahinya dan mungkin memecat dirinya karena lalai dalam tugasnya hari ini. ****                   Mr Mikaelson sedang sibuk dengan laptop dan kertas-kertas di atas meja kerjanya saat Andria masuk. Wanita itu segera berdiri di hadapan Nate.  “Sir, anda memanggil saya?” tanya Andria gugup.                   Nate segera mengalihkan tatapannya dari dokumen di atas meja dan menatap Andria yang berdiri dihadapannya. Hanya terpisahkan meja kayu. Ia sibuk dua hari ini sehingga ia belum melihat Andria. Nate tak bisa menutupi perasaan leganya begitu Andria ada di hadapannya, terlihat baik-baik saja walaupun sedikit pucat dan ada kantung mata dibawah matanya.                   “Ya, Miss Delanna. Apa tadi kau pergi hingga tidak menjawab panggilanku?”                   “M-maaf, Sir. Saya tidak kemana-mana,” jawab Andria.                   “Jadi, kenapa kau tidak menjawab panggilanku?”                   “E-emm s-saya—’’                   “Kurang sehat?” tebak Nate langsung.                   “Saya sehat, Sir. Namun memang agak sedikit lelah,” gumam Andria tanpa sadar. Ia tergugu. Kaget karena menjawab langsung pertanyaan Nate tanpa ia saring terlebih dahulu.                   Mata Nate menyipit mendengar ucapan Andria. “Apa pekerjaan yang ku berikan memberatkanmu?”                   “T-tidak, Sir. Tentu saja tidak,” sahut Andria cepat.                   Nate segera berdeham. “Baiklah, aku hanya ingin memberitahu akan ada perjalanan bisnis ke Washington besok siang selama dua malam. kau tak perlu bekerja pagi harinya dan kita akan bertemu di bandara pukul sebelas siang,” ucap Nate.                   “Besok?” tanya Andria memastikan.                   “Ya, ada masalah Miss Delanna?”                   Andria menggeleng dengan gugup. “Tidak, Sir. Kalau begitu saya permisi,” ujar Andria. Begitu Nate menganggukan kepalanya, buru-buru Andria keluar dari ruangan Nate dan menghirup udara sebanyak-banyaknya.                   Berada satu ruangan dengan Nate sepertinya tidak baik bagi kesehatannya. ****                   Frans sudah berada di dalam flatnya ketika Andria pulang. Wanita itu harus sedikit lembur karena harus menyelesaikan pekerjaannya akibat tadi ia melamun, juga karena besok dan selama dua hari kedepan ia tak akan berada dikantor.                   “Maaf aku lembur lagi,” ucap Andria pelan dan mencium kening Frans. Setelahnya ia segera membuka pintu kulkas dan meminum air langsung dari botolnya.                   “Aku lihat kau terus-menerus lembur. Sebaiknya kau keluar dan bekerja di tempatku, Andria,” gumam Frans yang masih memperhatikan Andria.                   Andria menyandarkan tubuhnya pada meja dapur. “Tidak bisa, Frans. Pekerjaan ini sulit di dapat juga aku tak ingin membebanimu. Aku sudah cukup menjadi bebanmu karena memegang tanggung jawab untuk menjagaku di New York,” sahut Andria kemudian berjalan menuju sofa dan duduk di samping Frans.                   Mereka terdiam dalam keheningan. Frans sibuk memikirkan bagaimana cara agar Andria berhenti bekerja dan menikahi wanita itu dengan cepat sedangkan Andria memikirkan bagaimana cara menyampaikan berita yang cukup buruk bagi Frans.                   “Frans,” panggil Andria.                   “Hmm”                   “Aku akan pergi untuk perjalanan bisnis selama dua malam.” Dengan keberanian seadanya, akhirnya Andria dapat mengucapkan kalimat itu.                   “Dengan siapa?” tanya Frans. Matanya menyipit curiga.                   “Dengan bosku. Dengar, Frans. Aku mohon padamu untuk percaya padaku. Ini hanya perjalanan bisnis. Ia membutuhkanku karena aku sekretarisnya, dan aku harus profesional. Aku mohon kau mau mengerti, sekali ini saja,” pinta Andria.                   Frans terlihat berfikir dan Andria memilin roknya karena gugup dengan apa yang akan dilontarkan oleh Frans. “Aku akan mengizinkan mu untuk pergi dalam perjalanan bisnis, dengan satu syarat,” ucap Frans.                   “Apa?”                   “Kita menikah dalam satu bulan lagi,” tegas Frans membuat jantung Andria berdegup dengan kencang. “Setelah menikah, kau harus keluar dari pekerjaanmu karena ada aku yang akan bertanggung jawab atas semua kebutuhanmu,” sambungnya.                   Andria berfikir dengan cepat. Ia bukan tak ingin menikah dengan Frans. Tapi mengingat temperamen Frans yang tak stabil membuatnya takut Frans akan melukainya. “Menikah? Frans kita sudah sepakat bahwa aku belum mau menikah tahun ini dan kau telah menyetujuinya, bukan?” gumam Andria.                   “Ya aku tahu, sayang. Hanya saja memikirkan bahwa kau akan sering berdua dengan bosmu membuatku cemburu dan tak menutup kemungkinan ia akan mencoba menarik perhatianmu,” tutur Frans.                   “Frans, kau harus percaya padaku.”                   “Ya aku percaya padamu, Andria. Yang tak dapat ku percaya adalah bosmu itu. tolong mengertilah,” pinta Frans memelas.                   Wanita itu menghela nafas. Ia memang selalu membayangkan bagaimana hidupnya nanti ketika menikah dengan Frans. Pria itu memang sudah menjadi bagian dari khayalannya tentang pernikahan. Namun itu jauh sebelum Frans mulai menunjukan emosi tak stabilnya pada Andria.                   “Baiklah, aku akan memikirkannya. Tapi tak mungkin satu bulan lagi. Kita belum mengurus semuanya, Frans.” Andria menatap Frans, meminta pengertian pria itu.                   Frans menghela nafas dengan pasrah. “Baiklah. Tapi kau harus janji untuk tidak tergoda oleh bosmu itu. Aku sudah mencari tahu tentangnya dan jujur saja, sebagai pria aku pun mengakui bahwa bosmu itu tampan dan sulit untuk dilewatkan,” ucap Frans akhirnya.                   “Ya, tentu saja Frans,” jawab Andria cepat. Aku tak bisa menjanjikan hal itu, Frans. Karena percaya atau tidak, sepertinya aku memang sudah terpesona oleh bosku saat pertama kali kami bertatap muka, gumam Andria dalam hati. ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD