BAB 3

1600 Words
Bola mata berwarna abu-abu milik Nate sibuk bergerak membaca seluruh kata-kata yang tersusun di layar iPhone nya. Ia baru saja terbangun dari tidur ketika ponsel yang berada di atas nakasnya berbunyi. Senyum tiba-tiba mengembang dari bibir Nate. Laporan yang diberikan oleh Jake lebih cepat 6 jam dari yang ia pinta.                   Aku akan memberikan bonus pada Jake nanti, gumam Nate dalam hati. Ia segera keluar dari selimut dan berjalan hanya dengan menggunakan celana piyama berwarna hitam. Nate tak suka tidur menggunakan kaus karena terlalu panas baginya. Ia berjalan pelan menuruni tangga dalam rumah megah miliknya yang berada di pinggir pantai South Hampton, New York.                   Nate segera duduk di kursi makan karena ternyata sudah tersedia pancake dengan madu yang masih mengepulkan uap panas. Ia meraih cangkir putih yang berisi kopi dan menyesapnya perlahan. Secara teknis Nate sendirian di rumahnya walaupun ada banyak sekali pelayan, tukang kebun, sampai bodyguard yang berada di sekelilingnya namun entah bagaimana bisa sejauh mata memandang, Nate tak menemukan makhluk hidup yang disebut manusia selain dirinya.                   Jake sudah ada di depan pintu begitu Nate sudah rapi dengan setelan formal Zegna miliknya. “Aku ingin kau menjelaskan lebih detailnya di mobil, Jake.” Nate segera berjalan menuju sedan mewah Jaguar miliknya.                   “Jadi?” Nate membuka pembicaraan saat mobil mulai melaju meninggalkan mansion mewahnya.                   “Sepertinya yang sudah anda baca, namanya Andria Ariene Delanna, berumur 24 tahun. Hidupnya biasa saja sampai ia bertemu dengan Frans Sharman, anak dari pemilik perusahaan jasa pengiriman barang dan mereka sekarang sedang menjalin kasih dan akan segera menikah,” singkat Jake. “Dan ya, ia adalah sekretaris anda yang baru,” tambahnya.                   Menikah, menikah, menikah. Otak Nate menolak gagasan itu. Ia benci mengetahui bahwa wanita mungil itu akan menikah. Perasaan tak nyaman itu datang lagi saat Nate menyambungkan gagasan menikah dan wajah Andria. Wanita itu baru berumur 24 tahun dan sudah ingin menikah, apa ia gila? jerit Nate dalam hati. Ia tak akan membiarkan wanita itu menikah sebelum Nate memilikinya. Atau paling tidak, bisa membawa ke ranjangnya.                   “Apa hanya itu saja?” tanya Nate segera setelah berhasil meredakan emosi aneh yang tiba-tiba bergemuruh dalam dadanya.                   “Ya. Untuk saat ini hanya itu yang dapat saya berikan, Sir,” sahut Jake.                   Nate menganggukan kepalanya perlahan sembari menatap jalanan lewat jendela sebelah kirinya. Pikirannya berkecamuk rencana-rencana yang mungkin akan ia gunakan untuk membuat wanita bernama Andria itu bertekuk lutut pada pesonanya, memohon padanya untuk menghangatkan ranjangnya. Dan entah mengapa, ia ingin Andria mengemis cinta yang tak pernah Nate berikan kepada siapapun.                   Begitu pemikirannya mengingat bahwa Andria kini telah menjadi sekretarisnya membantu Mrs Anderson, senyumnya mengembang dengan lebar. Rencananya akan berjalan semakin mudah kalau begitu, pikirnya sambil tersenyum licik.                   “Aku ingin makan siang dengan Mrs Anderson dan Miss Delanna dimajukan menjadi hari ini di Maze, Jake. Kabari mereka secepatnya,” perintah Nate yang segera di laksanakan oleh Jake.                   “I get you, little kitten,” bisik Nate penuh ancaman. **** New York City merupakan kota yang tak pernah tidur, begitu juga dengan masyarakatnya. Hebatnya adalah walaupun masyarakatnya aktif baik siang maupun malam, mereka jarang sekali terlambat dalam bekerja. Mereka semua disiplin dan bertanggung jawab.                                 Sayangnya pagi ini Andria bangun kesiangan karena harus lebih lama duduk di depan meja rias untuk menghilangkan sedikit lebam yang ada pada ujung bibirnya. Lebam yang tak sengaja diberikan Frans padanya karena kesalahpahaman kecil. Untungnya kesalahpahaman itu telah di luruskan.                   Begitu sampai di depan lobi gedung tempatnya bekerja, segera saja Andria menempelkan kartu pegawainya dan setengah berlari menuju lift. Di dalam lift, tak sekalipun ia berhenti bergerak. Waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke lantai paling atas gedung itu sekitar enam puluh detik kalau tak berhenti di setiap lantai.                   Pintu lift terbuka. Langsung saja wanita itu berjalan cepat menuju mejanya yang berada di seberang meja Sarah Anderson, salah satu sekretaris yang lain yang sudah lebih senior darinya. “Telat lagi, Miss Delanna?” goda Sarah dari mejanya.                    “Maaf, Mrs Anderson. Jalanan macet dan aku tak memperkirakannya.” Andria tersenyum malu-malu.                   “Beruntunglah, Mr Mikaelson jarang berada di kantor. Kalau tidak, kau pasti mendapatkan surat peringatan.”                   “Tak akan terjadi lagi, Maam,” sahut Andria gugup dan segera duduk di kursinya setelah sebelumnya menyampirkan mantel berwarna coklat mudanya di gantungan khusus.                   Hanya karena Andria membagi pekerjaannya pada Mrs Anderson, bukan berarti ia tak sibuk. Ia sangat sibuk untuk mengurus semua hubungan antara Mr Mikaelson –bosnya- dengan orang-orang yang ingin bertemu dengan pria itu.                   Sebelum menjadi sekretaris pria itu, Andria sama sekali belum pernah melihatnya di kantor ataupun di tempat lain. Menurut karyawan kantor pun, bos mereka itu jarang sekali muncul dalam surat kabar, majalah maupun televisi. Begitupun setelah menjadi sekretarisnya, Mr Mikaelson belum pernah muncul di hadapannya. Satu-satunya ruangan dua pintu yang berada di lantai yang sama dengan tempat Andria bekerja sekarang pun sepertinya jarang dijamah oleh pria itu.                   Namanya Nate Rolland Mikaelson. Pria itu anak dari Rolland Mikaelson yang kini sudah pensiun dan menurut Mrs Anderson yang dari awal bekerja untuk Mr Rolland Mikaelson, beliau kini berada di Alaska bersama istrinya untuk menikmati masa tua mereka dan mengalihkan usaha yang sudah dibangunnya selama hampir 30 tahun itu kepada anak satu-satu nya mereka, Nate Rolland Mikaelson.                   Ponsel Andria terus bergetar di samping keyboard komputernya. Ia melirik dan lagi-lagi Frans yang meneleponnya. “Ya, Frans,” sapa Andria setelah menyelesaikan pekerjaannya dan sekarang sudah memasuki jam makan siang.                   “Aku menelepon mu dari tadi. Kenapa baru dijawab sekarang?” suara Frans terdengar marah.                   “Maaf, aku baru saja menyelesaikan pekerjaanku. Aku harus profesional, Frans. Sekarang aku bukan sekretaris manager lagi tapi lebih dari itu,” jelas Andria sembari memainkan pulpen di jari tangan kanannya.                   Terdengar helaan nafas dari sebrang sana. “Aku ingin kita makan siang bersama.” Bukan sebuah ajakan menurut Andria, tapi lebih kepada menuntut dan memerintah.                   Belum sempat Andria menyahuti, Mrs Anderson menghampiri mejanya. “Ada apa, Maam?” tanya Andria setelah sebelumnya meminta Frans untuk menunggu sebentar.                   “Siang dan malam ini kita diundang oleh Mr Mikaelson untuk makan bersama. Ia ingin merayakan keberhasilannya karena menang tender dan juga ingin mengenal sekretarisnya yang baru,” jelasnya membuat Andria menggigit bibir bawahnya.                   “B-baiklah,” sahut Andria.                   “Lima menit Andria. Aku tunggu di lobi,” seru Mrs Anderson sembari melirik ponsel yang masih menggantung di tangan Andria kemudian menarik mantelnya dan berjalan menuju lift.                   “Hallo, Frans kau masih di sana?”                   “Ya. Kenapa lama? Ada apa?”                   “Maaf tapi sepertinya aku tak bisa makan siang denganmu, bosku mengajak makan siang. Tenang saja, ada satu sekretaris lain jadi bukan hanya aku dan bosku saja.” Buru-buru Andria menjelaskan sebelum Frans berpikir negatif dan meluapkan emosinya pada Andria begitu mereka bertemu.                   “Kau tak bohong kan?” nada bicara Frans jelas terdengar bahwa ia curiga pada Andria.                   “Tentu saja tidak, Frans. Tadi Mrs Anderson sendiri yang bilang padaku,” kata Andria sembari melirik jam tangan dan bangkit mengambil mantel dan tasnya. “Aku harus menutup teleponnya. Sampai bertemu nanti malam, Frans,” sambung Andria dan Frans langsung memutuskan sambungan telepon tanpa perlu menyahuti ucapan Andria. Wanita itu menghela nafas dan segera berjalan menuju lift. **** Andria tak bisa menutupi kegugupannya saat turun dari mobil yang dikendarai oleh supir perusahaan. Mrs Anderson yang melihat sikap Andria akhirnya tertawa kecil dan menggelengkan kepalanya.                   “Ia tak seperti yang karyawan bicarakan, Andria. Santai saja. Mungkin kau akan sedikit terintimidasi tapi aku rasa itu hal yang wajar mengingat ia harus bersikap begitu agar perusahaan yang menjadi saingannya tak berani macam-macam padanya. Lagipula sepertinya ini pertama kalinya kau bertemu dengannya jadi aku rasa itu wajar,” ujar Mrs Anderson mencoba menenangkan Andria yang sama sekali tak berhasil bagi Andria sendiri.                   Secara refleks Andria membenahi pakaian dan rambutnya. Satu dari kelemahan Andria adalah ia tak memiliki kepercayaan diri walaupun wajah wanita itu sebenarnya terlihat manis dengan bola mata berwarna coklat terang, hidung kecil, dan bibirnya yang tipis dengan dipoles lipstik berwarna pink pucat.                   Pintu lift terbuka dan Andria segera mengikuti Mrs Anderson berjalan menuju meja tempat Mr Mikaelson berada. Andria hanya bisa menunduk karena kegugupannya semakin terasa apalagi restoran yang didatanginya merupakan restoran mewah yang berada di tengah kota New York dan yang Andria tahu restoran ini milik seorang chef terkenal. Suasana restoran yang elegan dan sepi membuat Andria semakin gugup. Beberapa saat kemudian Mrs Anderson berhenti berjalan, membuat Andria ikut berhenti. “Mr Mikaelson,” sapa Mrs Anderson dengan lembut sambil tersenyum.                   Andria mengangkat kepalanya begitu Mrs Anderson berbicara. Matanya kemudian menatap seorang pria yang menggunakan kacamata minus dengan bingkai hitam sedang membaca sesuatu pada iPadnya. Pria itu segera menengadah dan tersenyum ramah pada Mrs Anderson dan pada saat itu juga rasanya seluruh oksigen di sekeliling Andria menghilang.                   Ya Tuhan, itukah bos ku? tanya Andria dalam hati.                   Pria yang dipanggil Mikaelson itu segera melepas kacamatanya dan berdiri menyambut Mrs Anderson juga memeluknya membuat Andria membelalakan matanya namun segera mengontrol wajahnya kembali formal.                   “Nate, kenalkan ini sekretarismu yang baru namanya Andria Delanna. Andria, ini Nate Mikaelson, bos yang selama ini belum pernah kau ketemui,” seru Mrs Anderson sesaat setelah mereka melepaskan pelukannya.                   Secepat kilat Andria segera mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan Nate. “Saya Andria Delanna, Sir. Senang bertemu dan bekerja dengan anda.” Andria berusaha menjaga suaranya untuk tak bergetar dan tersenyum dengan gugup walaupun ia sudah mencoba untuk profesional. Tentu saja ia tak imun terhadap pria tampan manapun dan ketampanan Mr. Mikaelson membuat Andria pusing dan ingin pingsan.                    Nate tersenyum tipis. “Ya, senang berkenalan denganmu, Andria Ariene Delanna,” sahut Nate membuat Andria kaget karena seingatnya ia tak pernah menyelipkan nama tengahnya di dalam datanya di perusahaan. ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD