BAB 2

2221 Words
Nate Rolland Mikaelson merupakan nama yang tak asing di telinga para pebisnis di benua Amerika. Namanya sering disebut lantaran pria berumur 27 tahun itu merupakan satu-satunya penerus kerajaan Greenwood Land Industries yang memiliki aspek pada semua bidang pekerjaan seperti bisnis properti, pertambangan, dan bisnis pembangunan gedung pencakar langit.                   Banyaknya bidang bisnis yang dikuasai oleh perusahaan ayahnya, membuat Nate jarang sekali berada di kantor karena harus selalu pergi dari negara lain ke negara lainnya hanya untuk melakukan kerjasama atau melakukan pemeriksaan dadakan jika memang dia harus turun tangan secara langsung mengurusi anak perusahaannya.                   “Aku ingin pulang. Batalkan semua jadwal yang ada atau jika memang terpaksa, minta Harold untuk menanganinya,” ujar Nate dengan nada tak ingin dibantah.                   Jake, asisten pribadinya, segera menelepon sekretaris Nate yang berada di New York untuk mengkonfirmasi permintaan Nate dan segera mengurus semua hal yang berkaitan dengan Nate. Jake sudah bekerja dengan Nate sejak pria itu mengambil alih Greenwood, bahkan Jake sempat bekerja dengan tuan Rolland sebelum akhirnya pria paruh baya itu pensiun. Jake terlalu mengenal Nate dengan baik sehingga mengambil kesimpulan bahwa Nate sudah berada pada titik jenuhnya untuk bekerja.                   “Sesampainya di New York, anda ingin langsung ke rumah atau—’’                   “Aku ingin ke bar, mengecek langsung tempat itu,” potong Nate dingin dan Jake segera menuruti keinginan Nate.                   “Ehmm, Sir,” panggil Jake agak ragu melihat raut wajah Nate yang tak bersahabat sejak mereka meninggalkan Brazil.                   “Apa, Jake?” sahut Nate malas.                   “Kemarin Mrs Anderson meminta anda mempekerjakan satu orang sekretaris lagi karena dia sudah tak dapat mengurus semuanya. Jadi saya harap anda tidak kaget mendapati seorang wanita duduk berdampingan dengan Mrs Anderson saat di kantor nanti.”                   Nate mengerutkan keningnya. Dia benar-benar lupa bahwa sekretaris yang sudah dianggap bibi olehnya, memintanya untuk mempekerjakan satu orang lagi. Umurnya yang sudah tak muda tentu membuat kinerja Sarah Anderson berkurang namun pekerjaannya malah bertambah.                   “Apakah dia merekrut orang luar? Aku tak ingin orang luar. Lebih baik tarik orang dalam dan rekrut sekretaris baru untuk mengisi kekosongan pada bagian dia.”                   “Ya, Mrs Anderson sudah menemukannya. Namanya Andria Delanna. Sekretaris dari manager HRD. Mereka sudah mengurus semuanya, hanya menunggu informasi dari anda.”                   “Oke, urus semuanya. Setelah itu aku ingin bertemu dengan sekretaris baru itu saat makan siang, ajak juga Mrs. Anderson. Jika tak ada yang ingin ditanyakan lagi, kau boleh pergi. Aku ingin istirahat,” ujar Nate dengan mata terpejam dan Jake segera berlalu dan tak ingin mengganggu istirahat Nate. **** Sebuah Ferrari California berwarna hitam melaju kencang di jalan raya Brooklyn. Nate tersenyum tipis. Ia rindu sekali membawa mobil dan mengebut di jalan karena itu adalah hobinya. Tapi akhir-akhir ini dia jarang sekali menyentuh roda kemudi karena dia harus duduk di kursi penumpang dalam jet pribadinya.                   Nate menghentikan mobilnya tepat di depan lobi hotel miliknya. Ia keluar dari mobil, membiarkan petugas vallet mengurus mobilnya. Beberapa staff menunduk hormat padanya yang bahkan sama sekali tak dilirik oleh Nate. Lahir sebagai anak satu-satunya membuat Nate menjadi arogan dan sombong. Orang yang mengenalnya pun memaklumi sifat sombongnya karena Nate memiliki hal yang dapat di sombongkan. Kekuasaan yang dimilikinya, uang yang tak terhitung jumlahnya, beberapa aset mewah di dunia. Bukan hanya itu saja, seakan mendukung keadaannya secara materi, Nate pun dianugerahi wajah rupawan yang bahkan orang akan berhenti berjalan begitu melihatnya secara tak sengaja.                   Pria itu memiliki bola mata abu-abu yang tajam juga teduh, alis mata berwarna hitam, rahang yang tegas dan bersih dari bulu-bulu halus dan bibir yang oh-so-kissable. Tak mengherankan banyak wanita yang melemparkan dirinya sendiri di ranjang sebelum Nate memintanya.                             Sayangnya Nate tak suka wanita seperti itu. Terlalu murahan dan membuatnya langsung tak bernafsu. Ia hanya menyukai wanita yang sulit untuk ditaklukan karena itu menantangnya. Juga wanita yang sudah memiliki kekasih, tunangan bahkan suami. Adalah hal yang menyenangkan bagi pria itu saat tahu wanita yang disangka setia ternyata dapat dengan mudah berpaling kepadanya. Untungnya Nate tak pernah terlibat masalah karena jelas dia memiliki kekuasaan yang membuat orang-orang akan lebih memilih menghindar daripada harus berurusan dengannya.                   Suara hingar bingar musik memasuki gendang telinganya begitu ia menginjakkan kakinya dalam klab malam miliknya sendiri. Beberapa security yang mengenalnya segera menunduk hormat padanya dan dengan angkuh Nate berjalan masuk ke dalam. Matanya berkeliling mencari dimana teman-temannya berada.                   Dalam kegelapan sekalipun, pesona Nate masih dapat terlihat dengan jelas. Tanpa malu-malu beberapa wanita mulai tersenyum menggoda dan menyentuh tubuh Nate dengan tangannya yang langsung di tepis Nate dengan kasar. Nate benci kontak fisik dengan wanita kecuali dia menginginkannya, tak jarang bahkan di ranjang sekalipun Nate berusaha sebisa mungkin agar wanita yang sedang memuaskannya tak menyentuhnya.                   “Hey, bro. Long time no see,” sapa Daniel sambil tersenyum dan bersalaman ala pria pada Nate.                   “Apa yang terjadi, Nate? Kau terlihat suram,” komentar Killian sembari menyesap tequila.                   Daniel dan Killian merupakan teman terdekat Nate yang sudah saling mengenal sejak mereka duduk di bangku sekolah menengah atas. Mereka bahkan berkuliah di tempat yang sama hingga akhirnya terpisah karena Daniel bekerja sebagai seorang desainer interior terkenal dan Killian menjadi seorang DJ yang sudah tidak perlu diragukan lagi kemampuannya.                   “Hemm, terlihat seperti belum melakukan seks seumur hidup,” sahut Daniel kemudian tertawa dan disusul tawa Killian.                   “Oh shut up,” sentak Nate kesal karena menjadi bahan gurauan kedua temannya.                   “Jadi, berapa lama ranjangmu tak dihangatkan, Nate?” tanya Killian.                   Nate melirik Killian dengan malas dan menyambar botol vodka dan meminumnya langsung dari botolnya. Sejujurnya, dia bahkan lupa kapan terakhir kali dia berhubungan seks atau bahkan kapan terakhir kali dia tidur di rumahnya.                   “Jangan coba kau bertanya-tanya, Killian. Aku yakin Nate selama ini hanya tidur di pesawat.” Daniel kembali tertawa atas lelucon yang dibuatnya sendiri.                   “Kau benar, Dan. Aku sudah lupa kapan terakhir kali nya,” sahut Nate datar sembari meletakan botol vodka di atas meja dan bersandar di sofa sembari menatap sekeliling. Mencari wanita yang sekiranya dapat kembali menghangatkan tubuh dan juga ranjangnya.                   Daniel dan Killian kompak menepuk bahu Nate. “Selamat mencari, man. Tapi percaya padaku 80% wanita di sini akan melemparkan dirinya ke ranjangmu. Aku tahu itu bukan tipe mu, maka dari itu kau harus lebih berusaha,” oceh Killian yang hanya disambut dengusan malas oleh Nate.                   Mata Nate terus berkeliling dengan intens sambil menebak-nebak wanita seperti apa yang dapat ditangkap oleh matanya. Kebanyakan wanita disana adalah p*****r kelas tinggi yang di pekerjakan untuk memuaskan hasrat orang-orang kaya di dalam klab milik Nate karena klab ini memang hanya diperuntukan kalangan atas saja.                   Bangkit dari duduknya, Nate memutuskan untuk turun ke lantai dansa. Walaupun kemungkinan tubuhnya akan tersentuh besar, tapi dia tak mau hanya duduk dan bosan karena hanya memandangi orang-orang. Ia segera turun dari ruang VIP dan berjalan perlahan diantara kerumunan orang-orang yang sedang menikmati musik, juga orang-orang yang berciuman di meja bar.                   Nate mengurungkan niatnya untuk berjalan ke lantai dansa begitu dilihatnya lantai dansa yang penuh sesak oleh manusia. Ia bukan tak suka keramaian, namun ia tak suka berada ditengah keramaian. Segera ia memutar tubuhnya. Karena tubuhnya yang tegap, tanpa sengaja bahu Nate terbentur dengan seseorang dan menyebabkan orang itu terjatuh.                   Tanpa rasa bersalah, Nate menatap wanita yang dilihatnya hanya memakai terusan berwarna pink pucat selutut dan kardigan berwarna abu-abu. Benar-benar bukan dress code yang cocok untuk pergi ke klab malam, pikir Nate. Wanita itu masih duduk di lantai dengan tangan kiri memegang keningnya. Beberapa orang memperhatikannya dan sama seperti Nate, tak berniat menolongnya.                   Sadar bahwa ia menjadi sorotan, wanita itu segera berdiri dan menundukan kepalanya. “I-I’m s-so-sorry,” ucapnya terbata-bata masih sambil menunduk.                   Nate diam namun menaikan satu alisnya. Kerumunan sudah kembali sibuk dengan aktifitasnya masing-masing. Tiba-tiba saja dia ingin mengerjai wanita di depannya. Dan sadar atau tidak, entah mengapa suara lirih yang teredam dentuman musik itu membuat tubuhnya bereaksi berlebihan, membuat Nate tak nyaman.                   “S-sepertinya s-saya harus pergi. Sekali lagi saya minta maaf.” Wanita itu segera berbalik menuju pintu keluar dan segera saja Nate menahan bahu wanita itu. Wanita itu berbalik dan mendongak. Nate tertegun memperhatikan bola mata berwarna coklat itu. “Ya, ada apa?” tanya wanita itu gugup.                   Nate segera mengontrol dirinya dan memasang wajah datarnya kembali. “Ikut aku kalau kau tak ingin terkena masalah,” ujar Nate.                   “T-tapi, t-api a-ku ti-dak s-se—’’                   “Bagiku kau sengaja menabrakku. Cepat ikut aku,” perintah Nate sembari menarik tangan wanita itu menuju mejanya kembali.                   Wanita itu memberontak dan sedikit memukul tangan Nate sehingga pegangan dari tangan Nate terlepas. “M-maaf kan saya,” ujar wanita itu cepat dan segera berlari menuju pintu keluar sebelum sempat Nate kembali sadar dan mengejarnya.                   Nate menghembuskan nafas kasar dan mengepalkan jari-jarinya dengan kesal. Seumur hidupnya tak ada orang yang menolak keinginannya, tak ada orang yang tak menuruti perintahnya dan tak ada wanita yang menolak sentuhan, dan bahkan pesonanya. Dan kini Nate harus melihat sendiri bahwa ada seorang Wanita yang benar-benar menolak semua yang ada pada dirinya, dan itu membuat harga dirinya terluka. Segera Nate merogoh ponsel dari saku celananya dan mendial nomor Jake. “Aku ingin data wanita yang datang ke klab malam ini dengan pakaian terusan berwarna pink pucat dan juga kardigan. Datanya harus ada saat jam makan siang, besok.” Nate segera memutus sambungan.                   Mood-nya sudah hancur karena wanita itu. Nate bahkan sudah tak bernafsu untuk mencari wanita untuk ditidurinya. Segera dia pamit kepada Daniel dan Killian kemudian keluar dari klab malam dengan emosi yang meluap.                   Kita lihat seberapa jauh kau bisa lari dariku, desis Nate dalam hati. **** Andria berjalan menaiki tangga menuju flatnya dengan gemetar. Bayangan Frans yang sedang b******u dengan seorang wanita berputar di otaknya, juga seorang pria yang tiba-tiba menariknya paksa dengan alasan bahwa ia telah menabrak pria itu. Andria tidak pernah menyangka hanya dalam satu malam, nasib mampu mempermainkannya.                   Tarik nafas, hembuskan. Tarik nafas, hembuskan. Otaknya terus mengatur pernafasannya agar emosinya segera mereda. Ia kemudian membuka lemari es dan mengambil air minum dan langsung meminumnya dari botol.                   Yakin bahwa emosinya sudah mereda, Andria hendak berjalan menuju kamarnya begitu suara gedoran pintu mengusik telinganya. Jantungnya berdebar-debar begitu dapat menebak siapa yang berani mengetuk pintunya dengan kasar seperti itu.                   Itu dia, bisik Andria dalam hati ketakutan. Secepat kilat Andria berjalan menuju pintu dan membukanya. Frans ada di hadapannya dengan wajah merah karena amarah juga bibirnya yang menipis dan rahangnya yang kaku karena menahan emosi. Pria itu hanya menggunakan kaus berwarna coklat tapi entah mengapa wajahnya penuh dengan keringat padahal cuaca sudah memasuki musim gugur.                   Frans segera menarik Andria masuk sebelum wanita itu berucap apapun. Ia sedikit membanting pintu flat Andria dan mendorong wanita itu hingga jatuh duduk di sofa ruang televisi. “Apa yang kau lakukan di klab malam, Andria?” desis Frans dengan wajah menakutkan. Refleks Andria mundur karena melihat Frans yang penuh emosi. Ia sangat takut. “A-aku... a-aku...”                   “Kau apa, hah? Ingin mencoba dunia malam di New York, huh? Sudah berapa kali ku katakan jangan pernah menginjakkan kakimu di tempat seperti itu. Apa peringatanku tak kau dengarkan?” raung Frans penuh emosi.                   Tubuh Andria bergetar hebat akibat nada tinggi yang Frans keluarkan untuknya. Dengan sendirinya air mata Andria membasahi pipinya dan Andria langsung menghapusnya dengan jempolnya. “Jawab aku, Andria!!!” Frans berteriak padanya dan Andria berharap teriakan Frans tidak terdengar sampai ke flat sebelahnya.                   “A-aku mencarimu, F-Frans,” jawab Andria gemetar. Air mata masih membasahi pipinya.                   “Mencariku?” desis Frans penuh ancaman. “Aku tak pernah ke tempat terkutuk itu lagi, Andria. Apa kau berfikir dapat menemukan ku disana, huh? Kau fikir aku sama seperti pria b******k lainnya yang menghabiskan malam ku di tempat itu?” Tanpa aba-aba, tangan kanan Frans langsung melayang menuju pipi kiri Andria membuat kepala wanita itu terhempas ke punggung sofa. Tangan kiri Andria memegangi pipinya yang panas akibat tamparan Frans. Tubuhnya semakin gemetar dan isakan lolos dari bibir mungilnya. “Itu akibat kau meragukanku dan menghinaku Andria dan aku tak akan meminta maaf mengenai hal itu. Buang seluruh hal negatif yang kau pikirkan mengenaiku karena itu tak ada gunanya. Aku mencintaimu dan aku menghargaimu karena itu aku tak pernah ke tempat itu lagi dan tak pernah menjamah wanita manapun.”                   “A-aku mendengar seseorang menyebut namamu dan berkata kau akan pergi ke tempat itu, Frans. Sungguh aku tak ingin percaya tapi aku ingin membuktikan sendiri dan juga mengingat kau tidak menjawab teleponku dan tidak menjemputku semakin membuatku ingin membuktikan ucapan orang itu,” jelas Andria sembari terisak. Ia masih meringkuk ketakutan di ujung sofa degan kedua lutut tertekuk di depan dadanya.                   Frans segera duduk di samping Andria. Kini wajah pria itu terlihat tidak menunjukan emosinya. Mata yang awalnya terlihat penuh emosi kini sudah berganti menjadi tatapan sendu. Segera Frans merangkul Andria dan refleks wanita itu langsung berjengit kaget. “Aku minta maaf karena tidak menjemputmu karena aku harus ke pelabuhan karena ada kontainer yang sedikit mengalami gangguan pajak dan ponselku tertinggal di pelabuhan,” Frans berkata dengan nada lembut dan mengelus pelan bahu Andria dengan teratur.                   Wanita itu refleks melemaskan tubuhnya akibat elusan Frans. Isakkannya sudah berhenti walau air mata masih mengalir. “Aku akan membawamu ke kamar. Kau terlihat lelah dan harus segera beristirahat.” tanpa menunggu persetujuan Andria, Frans segera menggendong Andria dan meletakan di ranjang wanita itu. Ia segera menyelimuti Andria dan mengecup kening wanita itu.                   “Tidurlah, sayang. Aku mencintaimu, selamanya.” Dan perlahan mata Andria pun tertutup.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD