Bab 6 - Somewhere Only We Know

2530 Words
Sepulangnya dari acara hang out bersama kedua orang tuanya, Fandy segera memasuki kamarnya. Ia melepaskan jaketnya, lalu menyampirkannya di sandaran kursi meja belajarnya. Ia mengambil laptop dari atas meja belajar, lalu duduk di atas tempat tidur. Ia sudah membuat janji untuk melakukan video call pada malam hari itu melalui sambungan Skype dengan Marcel, kakak satu – satunya yang ia miliki, yang sedang menjalani pendidikan untuk mendapatkan gelar Master of Science di bidang Business Administration di Leiden University, Belanda. “Hello, my baby boy.” “I’m not baby anymore!” Marcel terkekeh melihat adik kecilnya yang ngambek dipanggil dengan sebutan baby. “You will always be our baby.” Fandy mendengus kesal. Usianya sudah mencapai 17 tahun, tapi kakaknya yang menyebalkan masih saja menganggapnya seperti berusia 17 bulan. “Heh, gue udah 17 tahun! Udah punya KTP! Udah punya SIM!” “Ya tetep aja lo masih bocah! Umur lo aja belum kepala dua.” “Dih, lo tua aja belagu banget deh!” “Eh, ya bagus gue tua. Kalau gue tua, berarti gue pernah muda. Lah yang muda, belum tentu umurnya sampai tua.” “Lo nyumpahin gue cepet mati?!” Marcel tertawa terbahak – bahak. “Ya kagalah! Kalau lo mati, siapa lagi yang mau gue gangguin?” Fandy kembali mendengus kesal. Andai saja ia bisa masuk ke dalam layar laptopnya dan keluar di layar laptop kakaknya seperti di film Sadako, ia pasti sudah memukuli kakaknya dengan ganas. “Lo pelet kak Maya, ya? Bisa – bisanya dia suka sama lo!”, ujar Fandy dengan ketus. Ia tidak mengerti entah apa yang membuat Maya, pacar Marcel, betah menjadi pacar kakak laki – lakinya yang menyebalkan itu. Marcel kembali tertawa. “Eh, Maya gak gue apa – apain aja udah klepek - klepek sama gue. Ngapain amat gue pelet segala? Emangnya lo? Cewek didukunin sama lo juga belum tentu mau.” “Heh, somplak! Gue tuh mau fokus sama sekolah gue! Gue gak kayak lo. Capek – capek bokap nyokap nguliahin lo sampe ke Eropa malah sibuk pacaran!” “Ya wajarlah gue pacaran. Gue udah 25 tahun. Bentar lagi gue kawin. Makanya lo buruan gede biar cepet kawin!” “Au ah!” Marcel kembali terkekeh. Adiknya itu benar – benar menggemaskan. Kalau boleh jujur, Marcel tidak ingin adiknya itu cepat dewasa agar ia bisa terus menjahilinya. “Kenapa bayi kesayangan mama video call gue?” “Hmm..”, gumam Fandy yang membuat Marcel curiga ada yang tidak beres dengan adiknya. “Kak, gue bingung deh.” “Kenape?”, tanya Marcel seraya mengambil keripik kentang dari dalam toples. “Ada rumah tua gitu di samping sekolah baru gue. Nah, temen sebangku gue di kelas sering main ke rumah itu. Katanya ada orang yang tinggal di sana. Tapi, temen – temen yang lain bilang rumah itu udah ditinggal sama pemiliknya belasan tahun yang lalu. Kata temen futsal gue, penjaga sekolah pernah bilang si pemilik rumah udah meninggal. Tapi, temen sebangku gue bilang dia sering makan siang dan belajar bareng sama si pemilik rumah itu. Dan kata temen sebangku gue itu lagi, si orang yang punya rumah tinggal sendirian di rumah itu.” Marcel mendengarkan penuturan adiknya seraya mengunyah keripik kentang dan mengerutkan dahinya. “Nah terus, hubungannya sama lo apa?” “Gue gak ada hubungan apa – apa sama Alicia.” Marcel tampak menyunggingkan senyumnya saat mendengar nama seorang gadis yang disebut oleh adiknya itu. “Oh, jadi namanya Alicia?” “Hah?”, ujar Fandy seraya membelalakkan kedua matanya. Marcel kembali tertawa. “Dek, lo ngapain sih mikirin itu? Lo suka sama Alicia?” “Enggak.”, protes Fandy. “Ya udah, kaga usah lo pikirin.” Fandy menghela nafasnya. Benar apa yang dikatakan oleh Marcel. Untuk apa juga ia memikirkan hal itu. Marcel melihat wajah adiknya yang lesu. Ia jadi ikut penasaran secantik apa Alicia itu hingga adiknya serepot itu. “Ya udah, lo coba masuk aja ke rumah kosong itu kalau penasaran.”   ***   Fandy sengaja berangkat ke sekolahnya lebih awal karena biasanya di hari Senin pagi jalanan di kota Jakarta akan lebih macet karena banyak murid sekolah dan Pegawai Negeri Sipil yang akan mengikuti upacara bendera. Saat berjalan menuju tangga sekolahnya, ia berpapasan dengan pak Udin yang baru saja membawakan teh untuk para karyawan Tata Usaha. “Pak Udin.” “Eh, pagi Fandy.” “Pagi, Pak.” Pak Udin kembali berjalan menuju pantry. Fandy pun merasa kesal karena terus saja merasa ragu – ragu. “Pak Udin.”, panggil Fandy lagi. Pak Udin menghentikan langkahnya dan Fandy pun berlari mendekatinya. “Ada apa?”, tanya pak Udin. “Pak, hmm.. Itu, rumah sebelah sekolah kita itu kosong kan?” “Oh, rumah itu. Iya, kosong.” “Gak ada yang punya?” “Ya, ada.”, jawab pak Udin yang membuat Fandy menghela nafas lega karena ternyata Alicia tidak berbohong. “Tapi udah meninggal.”, lanjut pak Udin. “Hah?!”, ujar Fandy sedikit berteriak. “Pemiliknya udah meninggal sekitar pertengahan tahun 1995. Ini kan sudah tahun 2008, ya berarti hampir 13 tahun yang lalulah.” “Meninggal kenapa, Pak?” “Kecelakaan.” “Terus, rumah itu sekarang siapa yang nempatin?” “Ya, gak ada. Orang tua kamu mau beli rumah sebelah itu?” Fandy menggelengkan kepalanya. “Atau jangan – jangan kamu udah lihat mas Alvaro, ya?” “Alvaro?”, ujar Fandy seraya mengernyitkan dahinya karena teringat nama yang pernah disebut Alicia sebagai pemilik rumah tua itu. “Iya, yang punya rumah itu.” “Yang tadi Bapak bilang orangnya udah meninggal?” “Iya, mas Alvaro udah meninggal, tapi ada beberapa warga yang bilang pernah lihat Alvaro masih ada di rumah itu.” Kedua mata Fandy terbelalak. Yang benar saja? Jadi, apakah yang selama ini ditemui Alicia di rumah itu bukanlah manusia? Pak Udin terkekeh melihat ekspresi Fandy yang sangat terkejut. “Udah Nak, gak usah terlalu dipikirin. Banyak – banyak berdoa saja, ya. Bapak juga sering doain mas Alvaro dan mbak Alicia.” “Alicia?” “Alicia itu pacarnya mas Alvaro. Mereka udah mau nikah waktu itu, tapi mas Alvaro keburu meninggal.” “Oh, begitu...”, balas Fandy yang wajahnya semakin tampak pucat. “Kalau kamu lihat mas Alvaro di rumah itu, gak usah takut. Mungkin mas Alvaro mau minta kamu mendoakan beliau.” Fandy menganggukkan kepalanya, lalu pak Udin tersenyum padanya dan berlalu kembali ke pantry.   ***   Setelah selesai melaksanakan upacara bendera, semua murid kembali ke dalam ruang kelas mereka. Fandy memandangi Alicia yang memasukkan topinya ke dalam tas, lalu mengambil botol air minumnya. Ia ingin sekali mengatakan pada Alicia apa yang diceritakan oleh pak Udin saat mereka bertemu sebelum upacara bendera tadi, tetapi rasanya Fandy tidak tega mengatakannya pada Alicia. Gadis itu terlihat begitu senang dengan kehadiran Alvaro. “Hmm.. Cia.” Alicia menoleh ke arah Fandy, lalu menyudahi meneguk air mineral dari dalam botol minumnya. “Ya?” “Jam istirahat ke dua nanti, ke kantin bareng, yuk.”, ujar Fandy berusaha membuat Alicia tidak lagi kembali ke rumah tua di samping sekolah mereka karena di jam istirahat pertama biasa dipakai Alicia untuk melanjutkan mengerjakan PR untuk mata pelajaran di jam pelajaran berikutnya dan jam istirahat ke dua dipakainya untuk makan siang di rumah tua itu. Alicia mengerutkan dahinya. Tidak biasanya Fandy mengajaknya ke kantin bareng. Lagipula, mana mungkin teman – temannya Fandy yang dari kaum ningrat sekolah mereka itu mau jajan di kantin bersama dengannya. “Aku mau ke rumah kak Alvaro.” Fandy meneliti Alicia dari ujung kepala hingga ujung kaki. Ia curiga Alvaro mengikuti Alicia ke mana pun. “Ya udah, kapan - kapan gue boleh kan ikut ke rumah kak Alvaro?” “Hmm..”, gumam Alicia. Ia ragu apakah Alvaro akan suka jika ia membawa temannya sebab Alvaro terlihat tidak begitu suka bersosialisasi, tetapi ia juga tidak tega menolak permintaan Fandy yang selalu berbaik hati padanya. “Nanti gue tanya ke kak Alvaro dulu, ya.” “Oke deh.” Tanpa mereka sadari, orang yang sedang dibicarakan oleh mereka, saat ini menatap Fandy dengan mata merah menyalangnya.   ***   Suara dering bel sekolah menggema di sepenjuru area sekolah. Jam istirahat ke dua dimulai. Alicia mengambil tote bag berisi bekal makan siangnya dari dalam tas dan Fandy terlihat gelisah. “Cia, ke kantin bareng aja yuk.”, ujar Fandy yang masih berusaha untuk membuat Alicia mengurungkan niatnya untuk pergi ke rumah tua di samping sekolah mereka. “Gue udah ada janji sama kak Alvaro.” Fandy menghela nafasnya. “Lo pegang hp lo terus, ya. Kalau ada apa – apa, langsung telepon gue aja.” Alicia mengerutkan dahinya. Ia tidak mengerti mengapa Fandy hari ini bersikap begitu aneh. Khawatir Alvaro terlalu lama menunggunya, Alicia hanya menganggukkan kepalanya dan berlalu dari hadapan Fandy tanpa bertanya mengapa tiba – tiba saja teman satu mejanya itu mengajaknya ke kantin. “Fan, ke kantin yuk. Steven sama anak – anak yang lain udah pada ke sana duluan.”, ujar Rafael. Fandy menganggukkan kepalanya, lalu ia mengikuti langkah Rafael dan Ikhsan menuju kantin sekolahnya. Sepanjang jam istirahat, Fandy terus berusaha berpikiran positif bahwa orang yang selalu ditemui Alicia bukanlah Alvaro yang sudah meninggal 13 tahun yang lalu, tetapi orang lain yang kebetulan memiliki nama yang sama.   ***   Alicia sedikit merinding saat Alvaro memainkan pianonya setelah pria itu menemaninya menyantap bekal makan siangnya. Alvaro terlihat memainkan jemarinya dengan lihai di atas tuts – tuts berwarna hitam dan putih itu seraya memejamkan kedua matanya. Pria itu begitu menikmati alunan suara yang dihasilkan dari permainan jari – jarinya di piano klasik miliknya. “Kak, itu lagu apa?” “Gloomy Sunday karya Rezso Seress.” “Kakak selalu mainin lagu – lagu klasik. Aku gak begitu ngerti.” Alvaro sedikit menyunggingkan senyuman di bibirnya. Ia memang penyuka musik klasik sejak ia mulai mengenal piano. “Suster Alicia mau dengerin lagu apa?” “Doraemon.” Alvaro terkekeh sejenak sebelum memainkan lagu opening soundtrack film kartun itu di pianonya.   ***   Pak Ilham yang baru saja pulang dari mesjid setelah melaksanakan sholat dzuhur berjama’ah merasa bingung dengan apa yang baru saja didengarnya dari rumah misterius yang berada di seberang rumahnya itu. Ia mendengar suara piano yang memainkan lagu dari film kartun legendaris asal Jepang berjudul Doraemon. Sebelumnya, suara alunan piano dari rumah itu selalu saja melantunkan lagu – lagu klasik yang terasa sedih dan menyayat hati. ‘Wah, hantu penunggu rumahnya lagi main sama anak kecil nih.’, ujar pak Ilham membatin.   ***   Alicia tertawa senang saat Alvaro memainkan lagu opening soundtrack film kartun Doraemon itu untuknya. Akhirnya ada juga lagu yang dimainkan Alvaro di piano yang dimengerti olehnya. Mereka juga bernyanyi bersama. “Kamu suka Doraemon?”, tanya Alvaro. “Suka! Doraemon tuh umurnya lebih tua dari kita lho, Kak.”, jawab Alicia. “Bahkan, aku udah nonton Doraemon dari sebelum aku masuk TK.” “Beruntung dong kamu. Aku nonton Doraemon waktu aku kuliah.” “Waktu kecil Kakak gak pernah nonton Doraemon? Doraemon kan udah tayang di RCTI sejak tahun 1989.” “Iya, aku udah umur 22 tahun waktu itu.”, ujar Alvaro seraya menampakkan seringai di wajahnya. Alicia mengerutkan dahinya. Ia merasa obrolan mereka tidak nyambung karena ucapan Alvaro yang dipikirnya melantur. “Oh ya, Kak. Hmm.. itu..”, ujar Alicia ragu – ragu. Ia menundukkan kepalanya sambil sesekali mencuri pandang pada Alvaro yang terlihat begitu dingin dan pucat memandanginya. “Temen aku ada yang mau kenalan sama Kakak. Boleh?” “Tidak.” Alicia mendongakkan wajahnya. Ternyata dokter tampannya memanglah pelit. “Kenapa, Kak? Fandy baik, kok. Dia yang selama ini bantu aku belajar di sekolah.” Alvaro terus memandangi Alicia dengan tatapan tanpa ekspresinya. “Cuma kamu yang boleh tau tempat ini.” “Kenapa?” “Karena kamu Alicia.”   ***   Alicia enggan kembali ke ruang kelasnya. Ia tidak tega mengatakan pada Fandy bahwa Alvaro tidak ingin Fandy berkunjung ke rumahnya, padahal selama ini Fandy selalu berbaik hati pada Alicia. Fandy tidak pernah pelit dalam berbagi ilmu dan berbagi makanan. Alicia berjalan menuju kursinya seraya menundukkan kepalanya saat melihat Fandy sudah berada di kursi meja mereka. Ia tidak mau bertemu pandang dengan Fandy. Ia tidak mau mengatakan pada teman baiknya itu bahwa Alvaro menolak berkenalan dengannya. “Cia, besok gue ikut ke rumah kak Alvaro, ya?” Alicia menggigit bibir bawahnya dan mengerutkan dahinya. ‘Aduh, gimana ngomongnya, ya?’, ujar Alicia membatin. “Hmm.. Maaf, Fan. Kak Alvaro lagi sibuk. Kamu jangan ganggu dulu, ya. Takutnya dia marah.”, jawab Alicia. Ia terpaksa berbohong untuk menjaga perasaan Fandy. Fandy tampak berpikir. Dari gerak – gerik dan cara Alicia bercerita, rasanya tidak mungkin Alicia berbohong tentang pemilik rumah di samping gedung sekolah mereka yang sering ditemuinya. “Ya udah, gak apa – apa.” Alicia pun menghela nafas lega setelah mendengar ucapan Fandy. “Kak Alvaro itu orangnya kayak apa?” Alicia tersenyum seraya membayangkan kakak dokternya yang tampan. “Ganteng.” “Dasar cewek!” Alicia terkekeh. “Dasar cowok! Lihat aja sendiri.” “Ada fotonya?” “Ada.” “Mana?” “Di rumahnya.” “Yee, maksud gue lo gak pernah foto sama dia di hp?” “Enggak.” “Eh, rumahnya kayak apa?” “Bagus banget, Fan. Barang – barangnya mewah. Walau pun rata – rata barang di rumah itu keluaran tahun 90-an, tapi masih bagus. Dari luar kelihatannya kotor kan? Tapi di dalemnya bersih. Oh ya, ada kolam renang juga di halaman belakangnya.” “Bersih? Masa sih?” Alicia menganggukkan kepalanya. “Oh ya, di ruang tengah ada piano klasik yang besar banget itu lho. Warnanya hitam metalik. Kak Alvaro jago banget main piano. Benar – benar calon suami idaman. Dokter yang jago main piano. Perfect! Kenapa ya kak Alicia ninggalin kak Alvaro? Sayang banget.” “Oh ya Ci, lo gak pernah denger – denger cerita tentang rumah itu? Katanya rumah itu angker.” Alicia mendekat pada Fandy dan berbisik di telinganya. “Apa yang dibilang sama temen – temen lo tentang gue?” Fandy tampak berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaan Alicia karena kemungkinan jawaban yang akan diberikan olehnya akan melukai perasaan Alicia. “Lo... aneh.”, jawab Fandy sehati – hati mungkin. “Lo percaya?” “Enggak.” “Sama. Gue juga gak percaya rumah kak Alvaro itu angker.”   ***   Fandy melirik rumah di samping area gedung sekolahnya saat ia akan memasuki mobilnya setelah jam pelajaran hari itu usai. Ia mengurungkan niatnya untuk masuk ke dalam mobilnya. Ia melangkah menuju rumah kosong itu. Ia ingin membuktikan ucapan siapa yang benar. Alicia atau pak Udin. Perlahan, ia mulai membuka pintu gerbang rumah itu yang terbuat dari besi yang sangat kokoh. Saat ia mulai melangkah memasuki pekarangan rumah, aura tidak mengenakkan mulai merasuki dirinya. Ada angin berhembus mencekam menerpa dirinya yang membuatnya mengurungkan niat untuk melangkah lebih jauh lagi. Namun, sebelum meninggalkan rumah tua itu, ia sempat melihat isi dalam rumah yang terlihat dari bagian kaca jendela yang tidak tertutup gorden. Bagian dalam rumah itu terlihat sedikit berantakan. Tidak seperti apa yang dikatakan oleh Alicia.   ***  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD