Chapter 1
Aku tahu, sejak kau terpergok sering mengirim pesan w******p pada perempuam pemilik nama menyerupai nama ikan serta pemilik nomor rekening yang diduga merampas hakku sebagai istri. Kau tidak akan bisa melakukan hal seperti dulu lagi. Tidak, lebih tepatnya semua yang kau lakukan akan bernilai sebaliknya dimataku. Semuanya akan bernilai nol. Karena hatiku sudah mati, terlanjur sakit oleh penghianatanmu.
Kau mengatakan aku adalah istri yang tidak bisa menyempurnakan diri untuk suaminya. Ada banyak kekurangan yang menjadi sumber dan alasan kau mencari kesenangan di luar sana.
"Kamu selalu mengatakan tidak akan ada asap kalau tidak ada api. Kau tidak mungkin bersikap kasar kalau aku tidak selingkuh. Begitu juga dengan aku. Aku, tidak mungkin berselingkuh kalau punya istri sempurna." Saat itu, kau mengatakannya dengan santai, seolah tidak ada yang salah dengan ucapanmu. Padahal, jika kau jeli dan mengaku sebagai lelaki yang sudah menikahiku selama sembilan tahun, harusnya kau bisa menebak bagaimana reaksiku. Dari mimik wajahku, apakah itu menyiratkan kesedihan? Atau justru sebaliknya, bersikap biasa saja yang secara tidak langsung akan dianggap tidak waras untuk reaksi seorang perempuan yang dihianati. Cinta, kasih sayang dan kebersamaan kita selama hampir sembilan tahun akan dipertanyakan.
"Apa yang membuatmu tertarik padanya?" aku berusaha mati-matian untuk menahan tangis. Berpura-pura datar meski hati terbakar karena cemburu.
"Dia cantik," Kau menjawab dengan lugas dan itu langsung membuat hatiku yang sudah hancur semakin hancur. Tentu saja, istri mana yang suka mendengar suaminya memuji perempuan lain? Terutama dalam kondisi seperti sekarang. Tidak bisakah dia berbohong untuk menjaga perasaanku? Setidaknya sampai aku tenang dan mau memaafkan dia.
"Apa artinya aku tidak cantik?" aku menatap nanar laki-laki yang tengah duduk di kursi sambil menonton televisi. Dia menoleh padaku sebelum akhirnya menunduk lesu. Namun, sesaat kemudian sebuah senyum terbit dari bibir tebalnya. Senyuman yang mengandung dua arti sekaligus.
Entahlah, aku benar-benar tidak bisa menebak apa yang ada di kepala Raga. Selama ini, dia selalu bisa menyimpan rahasia dariku. Tapi, jika aku boleh menebak, aku melihat ada perasaan bersalah di matanya. Juga patah hati secara bersamaan.
Semalam, aku mengambil ponsel Raga secara diam-diam untuk mengirim pesan pada gadis itu dengan mengatasnamakan Raga. Kutanyakan padanya, 'Seandainya aku cerai dengan istriku, apa kau bersedia menikah denganku?'. Betapa terkejutnya aku membaca jawaban darinya. Ternyata dia hanya memanfaatkan Raga. Dia secara terang-terangan mengatakan tidak memiliki ketertarikan sedikitpun pada suamiku, namun dengan kejamnya membiarkan Raga tetap nyaman mengirimi dia pesan serta uang sebagai balasan atas rasa nyaman itu.
Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Kutunjukan isi pesan itu pada Raga. Supaya dia sadar dan segera meminta maaf padaku. Namun, sepertinya cinta telah membuatnya buta. Meski ada kata maaf, Raga sama sekali tidak mau mengakui keburukan gadis itu. Tetap menganggapnya baik dan menyalahkan semuanya pada dirinya.
"Kau cantik. Tapi kalian dua orang yang berbeda. Jadi kecantikan kalian tidak akan bisa disamakan."
Saat itu juga, aku merasakan ubun-ubunku seperti dihantam batu. Sakit. Dan, andai membunuh bukan dosa, saat itu juga aku ingin menusuk laki-laki dihadapanku hingga mati. Sialan! Bisa-bisanya dia memuji perempuan lain di depanku, disaat hatiku sedang hancur.
"Apa yang membuat dirimu tertarik padanya selain kecantikannya? Apa salahku? Bukankah selama ini aku sudah banyak berkorban untuk kita? Aku membantu ekonomi keluarga kita. Aku memberimu tiga anak. Dan...," ada perasaan nyeri yang teramat dalam saat kedua mataku menangkap reaksi mimik wajahnya. Sesuatu yang menurutku 'kau belum menyadari letak kesalahanmu'.
"Bukankah saat itu aku sedang mengandung putri kita? Kau pasti masih ingat bagaimana perjuanganku mengandung. Aku yang pendarahan, morning shickis, serta terinfeksi penyakit demam berdarah saat proses melahirkan yang memakan waktu seminggu? Tahukah kau... saat itu aku sudah sangat putus asa?"
Kali ini aku tidak bisa menahan lagi. Tangisku pecah bersamaan dengan munculnya kilasan hidup kami. Saat kami baru menikah, saat kami kehabisan uang dan makan dalam satu piring, perjuanganku melahirkan anak-anak, serta perjuangan kami hingga sampai ke titik sekarang. Titik yang kuanggap sudah mendekati kata mapan.
"Sudahlah, lupakan semuanya. Yang penting aku sudah minta maaf. Lagi pula waktu tidak bisa diulang juga kan?" Kalimat sakti khas laki-laki itu kembali kau ucapkan. Menganggap seolah perasaan perempuan sangat mudah sembuh. Sesuatu yang mustahil jika dilihat dari sudut pandang perempuan, mengingat kaum v****a adalah makhluk yang kodratnya selalu mendahulukan perasaan. Bukan logika yang selalu diagungkan oleh kaum terong, sehingga sering kali abay memikirkan perasaan pasangannya atas nama ibadah sunnah yang tanpa disadari bisa saja hukumnya jadi mubah atau bahkan haram.
***
Aku tentu tahu, poligami diperbolehkan oleh agama yang kami anut. Tapi, hal itu bukan perkara mudah. Ada rukun dan syarat yang harus dipenuhi oleh pihak suami. Dan... dari sekian ilmu yang k****a, Raga belum mampu.
Dilihat dari gaji, Raga langsung masuk kategori tidak mampu secara finansial karena pendapatannya masih berada di kelas ekonomi menengah ke bawah dengan jumlah tiga anak dan satu istri. Sangat pas-pasan dan cenderung kurang.
Dari segi ilmu, meski alim, Raga juga belum mampu membimbingku dan anak-anak. Hal itu bisa dilihat dari caranya dia menasehati dan kelakuannya yang sudah bukan rahasia umum, dia masih suka melanggar tugasnya sebagai suami. Dia masih suka menonton film barat disaat dirinya gencar menasehati istrinya harus bersikap alim dan berpenampilan terturup. Iya, bagaimana aku bisa bersikap seperti yang diinginkannya kalau tontonanku masih fulgar.
Lantas, dari segi keadilan pun aku tidak yakin dia mampu melakukannya. Terbukti dari ketidakjujurannya dan kezalimannya yang lebih memilih memberikan uang simpanan kami pada selingkuhannya.
Tentu saja, aku mengatakan itu bukan karena aku egois dan menganggap Raga tidak mampu menafkahi kami. Tidak sama sekali.
Aku mengatakan ini karena selama kami menikah, aku belum pernah merasakan yang namanya kebebasan membeli barang yang kuinginkan. Untuk baju saja, aku harus berpikir berulang kali. Bukan karena tidak ada uang, tapi masih ada keperluan lain yang lebih urgen dan harus didahulukan. Seperti membayar iuran sekolah Kakak, anak pertamaku, membayar cicilan rumah, serta biaya kehidupan sehari-hari yang semakin hari semakin membengkak seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan ketiga anak kami. Pengeluaran untuk jajan mereka tidak bisa diprediksi, bahkan seeing kali kami kehabisan baget hingga terpaksa ngutang.
Maka dari itu, aku memutuskan untuk turun tangan membantu Raga mencari uang tambahan supaya keuangan kami cukup dan stabil. Meski hanya berjualan makanan di kantin, tapi penghasilanku lebih besar ketimbang gaji Raga yang masih berstatus guru honorer. Gajinya tidak akan cukup untuk membayar kebutuhan kami selama satu bulan. Dan, aku masih sangat ingat. Sebelum aku berjualan, setiap akhir bulan, kami akan selalu mengalami devisit keuangan. Untuk menutupinya kami biasa meminjam uang pada Kakak Raga dan juga Kakakku. Itu selalu terjadi dan utang kami akan semakin membengkak jika anak-anak sakit dan harus dirawat.
"Biar kami yang membayar biaya rumah sakit. Kamu bayar kalau sudah punya yang. Jangan terlalu dipikirkan, kita keluarga dan sudah jadi tugas keluarga untuk menolong keluarga yang sedang kesulitan."[]
***