Chapter 1

2115 Words
Ruby mengamati jalan panjang yang dikelilingi oleh pohon-pohon besar di kedua sisinya sebelum mencapai tujuan yakni, mansion Fred Constantine. Berdasarkan berita yang beredar, kekayaan keluarga Fred tidak main-main. Dari informasi yang diberitakan, Fred mampu membeli seluruh real estate yang ada di Manhattan. Ruby tidak heran karena Fred masuk dalam jajaran orang terkaya di dunia. Luar biasa bukan? Dia tidak sabar melihat rupa Fred secara langsung. Biasanya dia melihat dari televisi atau berita. Selain Fred, dia ingin melihat Anna—wanita yang disebut-sebut sudah menemani Fred sejak SMA. Jika Fred seorang pebisnis sukses dan terkenal, maka Anna adalah seorang model terkenal yang berjaya pada masanya. Ruby terkagum-kagum saat dia menatap gerbang tinggi yang menjulang. Bukan persoalan gerbangnya melainkan lambang khas keluarga Constantine terukir di sana. Keluarga Constantine memiliki lambang tersendiri—lingkaran yang melindungi huruf C di dalamnya sekaligus garis tambahan pada bagian atas yang dibuat setengah lingkaran, lalu ada dua garis miring pada bagian luar lingkaran tersebut. Ruby tidak berhenti mengamati mansion mewah dan megah bagai istana milik Fred. Kemewahannya berhasil membuat dirinya membuka mulutnya cukup lebar selama beberapa saat. Pada bagian depan pintu utama terdapat kolam air mancur, sementara di kedua sisi yang berseberangan dengan mansion ada dua bangunan berukuran cukup besar yang belum diketahui fungsinya. Selain itu, masih ada air mancur dan taman lainnya di dekat tangga yang berada di tengah-tengah kedua bangunan itu. Seperti itulah yang dapat Ruby gambarkan secara singkat mengenai kediaman Fred. “Selamat datang, Ruby King. Tuan Constantine akan menemui Anda di ruang tamu. Sebelum bertemu Beliau, saya diperintahkan memandu Anda mengelilingi mansion. Silahkan ikuti saya.” Carla—kepala pelayan yang sudah bekerja untuk Fred sejak lama menyambut Ruby yang berdiri di depan pintu mansion. Ruby mengikuti Carla dari belakang. Setelah masuk lebih dalam, Ruby melihat barang mewah dan antik memenuhi setiap sudut ruangan—salah satunya adalah lukisan termahal di dunia. Di sepanjang lorong, mahakarya pelukis terkenal menghiasi dinding. Ukiran dan pilar-pilar raksasa ikut memenuhi seisi mansion. Hal yang paling menarik adalah ketika Ruby melihat lambang keluarga Constantine terukir di lantai. Dia tidak bisa menjelaskan semua hal yang ada dalam satu hari mengingat jarak antar satu ruang dengan lainnya lumayan jauh karena mansion terlalu luas. Carla menjelaskan kepada Ruby beberapa ruangan yang ada di mansion. Sebagian besar ruangannya tidak terpakai. Ada tiga puluh kamar beserta kamar mandi, enam ruang keluarga, empat dapur, dan enam ruang tamu. Ada pula empat ruangan khusus yakni, tempat bermain billiard, home theater, ruang musik, dan ballroom yang cukup menampung dua ratus orang. Ada yang lebih memukau lagi saat melihat kolam renang di dalam dan di luar ruangan, danau buatan, lapangan golf, helipad, dan masih banyak lagi. Dari penjelasan Carla, dia sudah mengetahui jika bangunan pada bagian sisi kanan adalah bangunan khusus para pelayan dan pengawal perempuan, sementara sisi kiri untuk para lelaki. Ruby tidak berhenti mengangguk selama Carla menjelaskan. “Di sini kamarmu, Ruby. Semua pelayan dan pengawal perempuan memiliki dekorasi kamar yang sama,” jelas Carla saat menunjuk keseluruhan kamar. Ruby tidak heran kenapa semua pelayan dan pengawal mereka betah bekerja untuk keluarga Constantine. Jika diberikan kamar senyaman ini, maka siapa yang akan menolak? Akan tetapi meskipun mendapatkan kenyamanan seperti ini, ada saja yang berhenti. Memangnya akan seperti apa semua putra Fred yang katanya ‘liar’ itu? Tetapi dia tidak perlu memikirkan sekarang. Masih ada proses panjang untuk mengetahuinya. “Jika kau membutuhkan apa pun, semua ada di bawah. Kau bisa memasak, berenang, dan membaca buku di lantai bawah. Kami sudah menyediakan semuanya supaya kau merasa nyaman di sini. Untuk pakaian, ada di dalam lemari. Kau bisa melihatnya nanti,” tambah Carla. “Terima kasih atas penjelasannya, Carla.” Setelah berkeliling, Ruby disuruh menunggu di ruang tamu. Selama duduk, dia mengamati foto besar yang berada di sana. Fred dan Anna bersama anak-anak mereka. Empat di antaranya laki-laki sementara satunya perempuan. Ruby mendengar kabar dari orang-orang mengenai putri Fred yang memilih tinggal di Paris dan bekerja sebagai desainer. Dia mendengar kabar itu, tetapi tidak pernah tertarik akan pemberitaan semua putra Fred. “Welcome, Ruby!” Suara itu membuyarkan pandangan Ruby dari foto yang dia perhatikan. Ruby menarik senyum tipis ketika mendapati si pemilik mansion berdiri di depannya. “Ya, Tuhan! Kau cantik sekali! Apa benar kau akan menjaga semua putraku yang menyusahkan itu?” Anna memeluk tubuh Ruby. Seperti inilah Anna. Ramah dan bersahabat. Jauh sebelum bersama Fred kepribadiannya sudah seperti ini. Ruby menatap wanita bermata hijau dengan penuh ketelitian. Dia ingin memastikan bahwa matanya tidak salah ketika melihat Anna yang sudah menginjak kepala lima masih sangat cantik. Kulitnya kencang, tanpa keriput, dan awet muda. Wajahnya terlihat seperti wanita berumur tiga puluhan. “Tentu saja, Sayang. Ruby menguasai beberapa ilmu beladiri. Kurasa tidak ada yang berani melawannya,” jawab Fred. Bola mata Ruby bergerak melihat pria paruh baya yang tersenyum ramah. Baru sekali ini dia bertemu orang kaya seramah mereka berdua. Biasanya yang mempekerjakannya hanya menjabat tangannya dan bicara seperlunya. Rumor mengenai sikap ramah Fred dan Anna memang benar. “Duduklah, Ruby.” Fred mempersilahkan. “Senang akhirnya aku dapat bertemu denganmu. Sebelum perbincangan kita lebih jauh, aku ingin menanyakan sesuatu. Boleh, Ruby?” “Boleh, Tuan.” “Apa kau sedang menjalin hubungan dengan seseorang?” Awalnya Ruby terkejut namun, dia berusaha tenang dan menanggapi santai pertanyaan itu. “Tidak, Tuan.” “Aku lega mendengarnya. Aku bertanya karena  terakhir kali ada pelayanku yang memiliki kekasih dan berharap akan menikah dengan kekasihnya. Saat keinginannya tidak tercapai, dia mengamuk. Dia sering memecahkan barang kami. Seandainya kau memiliki kekasih, aku harap kau tetap profesional. Jangan sampai mempengaruhi cara bekerjamu." “Baik, Tuan. Saya mengerti. Anda tidak perlu khawatir akan hal itu.” “Aku percaya padamu. Berhubung kau sudah datang dan melihat keseluruhan mansion, aku ingin kau menjalankan tugasmu. Putraku baru saja kembali dari Moscow. Tolong jemput dia sekarang. Ada dua pengawal yang akan ikut bersamamu,” kata Fred. “Baik, Tuan. Saya akan melaksanakan perintah Anda,” balas Ruby tegas. Fred tersenyum lebar. Mendengar cara bicara Ruby, dia yakin seratus persen jika perempuan itu dapat menjaga anak-anaknya dengan baik tanpa perlu mengkhawatirkan apa pun. Beberapa menit kemudian Fred bersama istrinya meninggalkan Ruby sendirian sebelum akhirnya Ruby memutuskan kembali ke mansion khusus. ⧟   ⧟   ⧟ Ruby menunggu kedatangan putra Fred bersama dua pengawal lainnya yaitu, Nick dan Carlos. Dia mengamati setiap penumpang yang keluar sambil menarik koper. Setelah cukup lama menunggu, akhirnya Ruby melihat lelaki berwajah rupawan, bertubuh kekar, dan berotot yang mengenakan coat berwarna cokelat seperti yang dia lihat dalam foto. “Itu dia putranya Tuan Fred, Ruby.” Nick memberitahu sekaligus menunjuk sosok yang dimaksud. Sementara itu, Carlos segera menghampiri lelaki itu. Ruby menyusul bersama Nick. Setelah sudah bersamanya, mereka bertiga segera mengawal putra Fred menuju mobil. Beberapa perempuan ada yang meminta berfoto bersama namun, para pengawal tidak mau mengambil tindakan yang membahayakan nyawa tuannya. Beberapa waktu lalu sempat ada yang hampir menembak Edward Constantine jadi mau tidak mau mereka menjauhkan gadis-gadis genit yang berharap dapat dilirik oleh keturunan Constantine. “Kau pengawal baru?” Lelaki itu mengamati Ruby yang duduk di sampingnya. Apa ini perintah ayahnya atau ibunya yang menyuruh para pengawal berada dalam satu mobil dengannya. Biasanya hanya ada satu pengawal duduk di jok depan bersama sopir sementara sisanya berada di mobil yang berbeda. Akan tetapi dia tidak mau memusingkan hal ini. Kemungkinan orangtuanya jadi lebih protektif setelah insiden Edward. “Iya, saya pengawal baru, Tuan Constantine.” “Siapa namamu?” “Ruby King.” Setelah itu tidak ada lagi pembicaraan. Baru sepuluh menit mobil melaju tiba-tiba lelaki itu bersin-bersin. Pipinya merah-merah. Pandangan tajamnya terarah kepada Ruby yang kebetulan ikut melihatnya. “Kau memakai parfum apa? Kenapa wanginya begitu menyengat?” tanyanya sambil menggaruk pipinya yang terasa gatal. “Parfum merek—” “Bukan mereknya, tapi kandungannya. Apakah ada bunga mawarnya?” potong lelaki itu. Ruby mengangguk. “Iya, ada bunga mawarnya karena ini wangi floral.” “Di depan sana ada pemberhentian untuk mengisi bahan bakar, tolong berhenti,” perintah lelaki itu kepada Nick yang mengemudikan mobil. Anggukan setuju terlihat lalu dia kembali melihat Ruby. “Buka pakaianmu dan ganti dengan pakaian baru.” “Buka pakaian di sini?” Lelaki itu menatap dingin. “Aku tidak tertarik melihat tubuhmu. Tentu saja di kamar mandi pemberhentian di depan. Aku alergi wangi bunga mawar atau bunga apa pun itu. Jangan gunakan lagi parfumnya saat bersamaku.” Ruby segera bergeser sampai menabrak pintu mobil. Penciuman putranya Fred sangat luar biasa dapat mengendus sampai begitu detail. Dengan gerakan lambat matanya melirik dari ekor mata dan mendapati wajah lelaki itu memerah terutama bagian leher karena tangannya terus menggaruk karena gatal. Setelah tiba di pemberhentian, lelaki itu buru-buru keluar dari mobil. Dia mengambil sesuatu dari bagasi mobil lalu memberikan kepada Ruby yang ikut turun bersamanya. “Pakai pakaianku. Ini sudah bersih jadi kau tidak perlu khawatir aku akan menularkan apa pun kalau kau takut. Parfum ini untukmu. Buang parfum yang merusak indera penciumanku. Jangan gunakan lagi parfum milikmu,” jelas lelaki itu sembari menutup hidungnya. Ruby mengangguk kemudian segera pergi dari sana. Dalam hati dia merasa aneh. Orang kaya tapi alergi wangi bunga. Padahal di beberapa sudut mansion, terdapat bunga di dalam vas yang dipajang di atas meja. Tanpa perlu memikirkan keanehan yang unik itu, dia bergegas mengganti pakaiannya dengan kaos putih polos milik majikannya. Wangi dari kaosnya sangat berbeda dari yang dia semprotkan. Wangi buah apel dan buah jeruk yang menyegarkan. “Tuan, saya sudah mengganti pakaiannya.” Ruby memberitahu begitu sudah berada di depan pintu mobil. Dia melihat tuannya menurunkan kaca jendela. “Buang bajunya. Aku tidak ingin wanginya menyeruak di dalam mobil,” ucapnya dingin. Baru sekali ini Ruby menemukan sosok menyebalkan saat alergi. Dasar anak orang kaya. Sesukanya saja! Ruby melaksanakan perintahnya dengan membuang pakaiannya ke dalam tempat sampah sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil. “Berapa nomor ponselmu, Ruby? Aku ingin mencatatnya jika sewaktu-waktu kau menghilang saat mengawalku,” tanya lelaki itu. Ruby tersentak, lalu menoleh padanya. Dengan cepat Ruby menekan beberapa digit angka setelah lelaki itu memberikan ponselnya, lalu mengembalikan kembali kepada pemiliknya sesudah selesai. “Satu hal lagi. Jangan make up saat mengantarku ke mana-mana. Tidak peduli hanya tipis atau tebal,” ucapnya dingin. Ada kesan mengatur dalam suaranya. Ruby sempat melirik tajam, namun saat lelaki itu melihat lirikannya dia langsung menunduk. Kenapa ada banyak aturan dari lelaki itu? Dia pengawalnya, bukan kekasihnya! “Baik, Tuan.” Setelah satu jam berada dalam perjalanan akhirnya mereka tiba di mansion. Carlos dan Nick sudah turun, tetapi tangan lelaki itu meraih lengan Ruby sebelum membuka pintunya. Lelaki itu menarik tubuh Ruby sampai wajah mereka berdekatan. Andai saja lelaki itu bukan tuannya, Ruby sudah menampar sejak tadi. Dari jarak sedekat ini Ruby dapat mencium aroma parfum yang sama seperti yang diberikan padanya. Tidak hanya wangi, tapi dia dapat memandangi wajah tampan dan mempesona yang luar biasa. “Satu hal lagi…” Lelaki itu menatapnya lekat. “Tolong kenakan pakaian dalam, minimal tank top. Jangan hanya mengenakan bra jika kau tidak ingin menjadi bulan-bulanan saudaraku.” Setelah itu tangan yang melingkar di pinggangnya terlepas, meninggalkan Ruby hampir mati kehabisan oksigen karena memandangi wajah tampan itu. “Aku dapat melihat bra hitammu dengan jelas. Pakailah ini,” ucap lelaki itu sembari memberikan jaketnya. Iris hijaunya baru menyadari kalau kaos putih polos miliknya cukup transparan. Ruby mengangguk dan segera mengenakan jaketnya. Setelahnya, Ruby turun dari mobil. Saat Ruby sudah berada di luar, ada bola tennis yang terlempar ke arahnya. Dengan cekatan Ruby menangkap bola yang sesenti lagi nyaris mengenai wajahnya. Lirikan tajamnya langsung tertuju pada sosok lelaki yang berada di ujung sana. “Maaf untuk itu!” teriak lelaki itu dengan lantang, lalu kembali bermain tennis bersama seorang pengawal. Tidak suka melihat sikap seenak hati lelaki itu, Ruby mengembalikan bola tersebut. Dia melempar balik, dan hampir saja mengenai kepala lelaki yang tengah fokus bermain tennis jika tidak menghindar. “Maaf untuk itu, Tuan!” balas Ruby yang kini tersenyum senang. Well, tidak ada yang boleh main-main dengannya. Matanya dapat melihat lelaki itu menggerutu kesal dan bersiap akan melempar lagi, namun tidak sempat membalas karena pengawal yang bersamanya terlihat mengajak berbincang. Siapa suruh bermain di taman bebas sementara mereka memiliki lapangan khusus bermain tennis. Lelaki yang dijemput oleh Ruby bergegas masuk ke dalam karena gatalnya meradang. Ruby mengikuti dari belakang bersama Nick dan Carlos. Belum seberapa jauh, langkahnya harus tertahan sebelum mencapai pintu utama. Seorang lelaki tiba-tiba merangkul pundaknya dan berbisik, “Tenagamu boleh juga. Kalau aku boleh menebak, kau si pengawal baru itu bukan? Pasti akan menyenangkan jika kita berteman baik, Ruby King.” Ruby menatap sinis lelaki bermata biru itu. Dia tidak tahu siapa namanya karena masih belum hafal wajah keempat putra Fred. Sedetik kemudian, bibir sensual lelaki itu kembali berbisik, “Welcome to our hell, Princess.” * * * * *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD