Chapter 2

2525 Words
“Maaf Tuan, tangan Anda,” tegur Ruby. Lelaki itu tidak melepasnya, tetapi semakin erat merangkul pundaknya. “Kenapa? Kita berteman bukan?” Berteman? Pasti kepala lelaki itu habis terbentur sesuatu sampai berkata seperti itu. Seorang pengawal dan tuannya tidak mungkin dalam tahap pertemanan seperti yang diucapkan. Mungkin salah bicara atau seenaknya berkata demikian. “Singkirkan tanganmu darinya. Dia merasa risih kau rangkul,” tegur lelaki yang dijemput oleh Ruby di Bandara. “Wow! Ternyata bukan kau yang menjadi pengawalnya, tapi dialah pengawalmu,” ucap lelaki itu sembari melepas rangkulannya dan tersenyum meledek. “See you, Rubicorn.” Setelah kepergian lelaki itu, Ruby berterima kasih kepada putra Fred yang membantunya mengusir dengan cara halus. Kalau dia turun tangan, maka caranya akan lebih kasar. Tanpa mengatakan apa-apa lelaki yang dijemput Ruby segera masuk semakin jauh, sedangkan Ruby berhenti karena melihat Anna menghalangi jalannya. “Ruby, kau belum mengenal semua putraku bukan? Aku ingin mengenalkannya padamu. Ayo ikuti aku,” ajak Anna, yang kemudian menarik tangan Ruby yang belum sempat membalas pertanyannya. Ruby mengikuti tanpa membantah. “Kenapa kau berdiri, Sayang? Ayolah, duduk di sampingku. Untuk sekarang kau tidak sedang menjagaku.” Anna menarik lengan Ruby sampai perempuan itu terduduk di sampingnya. “Seperti ini lebih bagus. Suamiku akan datang sebentar lagi karena dia sedang menyuruh pelayan memanggil semua anak kami. Kuharap kau bisa menghafal semua namanya.” Ruby berharap semua tidak mengacau setelah dia mengetahui tingkah laku ketiganya berbeda satu dengan yang lain. Bersyukur dia dapat menghafal wajah dari foto yang sempat dilihatnya pagi ini, paling tidak dia tahu ketiga lelaki yang ditemuinya adalah putra Fred. “Ah, itu dia anak-anakku.” Anna menunjuk ketiga lelaki yang datang bersama Fred. “Mark, ada apa dengan wajahmu, Sayang?” Segera Anna bangun dari tempat duduknya, lalu menghampiri putranya. Ruby mungkin sudah terbiasa melihat lelaki tampan di luar sana karena keluarga Wellington—tempatnya bekerja dulu—memiliki putra semata wayang yang sangat tampan. Anehnya, semua putra Fred terlihat berbeda. Mereka memiliki pancaran aura tersendiri yang dapat memikat hati perempuan hanya dalam sekali lihat, terutama tubuh tinggi menjulang bagaikan model. “Aku tidak apa-apa, Mom. Alergiku kambuh,” jawabnya pelan, namun matanya melirik Ruby yang kebetulan melihatnya. Menyadari lirikan itu, Ruby menunduk. Dia tahu dirinya penyebab alergi itu kambuh tapi tidak perlu memperjelas kata-katanya. “Kau sudah minum obat?” tanya Fred yang sudah duduk di depan ketiga putranya. Pertanyaan itu mendapat respons dari putranya yang lain. “Mark sudah minum obat, Dad. Tenang saja. Dia bahkan sudah menelan obat anti gila.” Fred memelotot tajam. “Roger! Jaga bicaramu!” “Kau ini… jangan sembarangan kalau bicara, Roger!” Anna ikut memelotot tajam tapi putranya itu hanya nyengir. “Tunggu, di mana Landon?” Fred baru menyadari salah satu putranya tidak ada. “Sepertinya aku melihatnya tadi. Kenapa sekarang tidak ada?” “Landon sudah pergi, Dad. Dia pergi menemui kekasihnya,” sahut putra Fred yang sempat merangkul Ruby. “Anak itu…” Fred berdecak dan menggelengkan kepalanya. “Kalau begitu, aku akan mulai perkenalan ini tanpa Landon. Berhubung kalian semua sudah di sini, maka aku ingin—” “Siapa dia, Dad? Tubuhnya seperti tengkorak, tidak berisi,” potong seorang lelaki berahang tegas dengan senyum meledek. “Jangan memotong pembicaraanku, Roger! Aku ingin memperkenalkannya pada kalian! Bisakah kau diam sebentar?!” Fred mengomel untuk kesekian kali dengan nada yang lebih tinggi. “Ya, silahkan, Dad.” Ruby sudah dapat menebak putra Fred yang sering berulah. Dilihat dari tingkah lakunya, si mulut besar itu termasuk salah satu yang sudah dia tandai sebagai troublemaker. “Dia adalah Ruby King. Pengawal baru pengganti Hans yang akan mengawal kalian. Tugasnya akan aku atur untuk kalian semua. Tadinya aku ingin dia menjadi pengawal tetap Roger, tapi kurasa lebih tepat mengawal kalian semua.” Fred memberi penjelasan dengan menunjuk Ruby yang duduk di sebelah istrinya. Sebelum ada yang memotong penjelasannya, Fred kembali melanjutkan, “Ruby, mereka bertiga adalah putraku. Aku akan memperkenalkan satu per satu untukmu. Tapi putraku yang bernama Landon Constantine tidak ada di sini, jadi kuharap kau bisa berkenalan dengannya nanti setelah bertemu dengannya.” Fred membasahi tenggorokkannya lebih dulu dengan air putih yang disediakan di atas meja sebelum dia memulai perkenalan. “Dia putra sulungku, namanya Edward Constantine.” Dia menunjuk lelaki yang duduk di ujung sebelah kiri. Mata Ruby bergerak, melihat wujud lelaki rupawan. Semua terlihat sempurna terlebih rahang tegas, alis tebal, dan yang paling penting mata biru mudanya yang seolah memiliki dunia tersendiri untuk mengajaknya masuk dalam dunia lelaki itu. Tubuhnya paling tinggi di antara saudaranya. Pemberitaan mengenai salah satu putra Fred yang hampir tertembak itu adalah Edward yang sempat merangkul pundaknya dan memanggilnya Rubicorn. “Di sebelahnya ada Mark Russell Constantine. Kau menjemputnya tadi,” lanjut Fred sambil menunjuk putranya yang lain.       Ruby sudah mengingat wajahnya. Wajah rupawan yang menyuguhkan kehangatan dengan alis tebal, iris hijau, dan bentuk dagu yang sempurna. Tubuhnya terbilang atletis dan berotot. Urat-urat kekarnya itu sempat terlihat sebelumnya. Dia yakin dadanya sangat bidang dengan tubuh seperti itu. Kalau dilihat dari sikapnya, mungkin Mark yang paling waras. Iya, mungkin. “Yang terakhir ada Roger Gregory Constantine.” Fred menunjuk putranya yang lain. Suara Fred kembali terdengar saat melihat putranya sibuk membalas pesan. “Roger! Simpan dulu ponselmu!” Wajahnya tampan dengan rahang tegas, bibir tipis, dan iris biru. Ruby mendefinisikan lelaki itu sebagai lelaki berwajah nakal dan mengesalkan. Dia sosok yang hampir mengenai wajahnya dengan bola tennis. Dan ya, perlu Ruby akui kalau Roger terlihat seperti anak yang sering melawan. “Kau sudah mengenal semua putraku yang tinggal di sini. Masih ada Lizzy putriku yang menetap di Paris. Mungkin dia akan ke sini sekitar satu bulan lagi,” ucap Fred kepada Ruby dengan senyumnya. “Dad, sudah selesai? Aku ingin pergi,” sela Roger. Fred mengurut pelipisnya. Anaknya yang menyebalkan itu benar-benar perlu dimarahi setiap hari. Akan tetapi dia sudah terlalu lelah. “Kau ingin pergi ke mana lagi? Kau tidak bisa diam sebentar di rumah, Roger? Kalau mau pergi, datanglah ke tempat yang lebih bermanfaat untuk dirimu,” tegur Anna. “Seperti acara amal maksud, Mom? Itu sangat membosankan. Lagi pula aku hanya pergi sebentar,” kata Roger yang segera bangun dari tempat duduknya. Belum sempat bangun sepenuhnya, tangan Mark sudah menariknya sampai terduduk kembali. “Dengarkan dulu orangtuamu. Jangan membiasakan dirimu pergi seenaknya,” tegur Mark sedikit sinis. Roger memutar bola matanya malas. “Whatever.” Dia akhirnya duduk, lalu mengunyah permen karet yang baru dia ambil dari saku celananya. Ruby mengamati tingkah laku putra Fred yang satu itu dari ekor matanya. Dia tidak habis pikir ada saja anak senakal itu padahal sudah cukup dewasa. “Karena kau sudah mengenal semua putraku, mulai besok aku akan menjadwalkanmu untuk bergantian dengan pengawal lain menemani semua putraku,” ucap Fred. Dia kemudian melirik Roger yang terlihat gusar kemudian melirik Ruby. “Aku ingin kau menemani Roger keluar, Ruby. Dia sangat menyusahkan dan aku harap kau bisa mengurusnya. Tapi sebelum menemaninya, tolong jemput Landon. Roger tahu kakaknya ada di mana.” Ruby mengangguk, lalu segera berdiri dari tempat duduknya. “Roger, kau akan ditemani oleh Ruby dan pengawal lainnya. Ingat pesanku waktu itu. Jangan berulah!” kecam Fred mengingatkan. “Jangan lupa jemput kakakmu lebih dulu.” Roger mendengus tidak senang. “Ditemani oleh pengawal tengkorak ini? Dad tidak salah?” “Roger!! Jaga ucapanmu!” bentak Anna dengan nada meninggi. Dengan terpaksa Roger bangun dari tempatnya sambil menyahuti malas, “Ya, terserah. Aku pergi dulu.” Ruby mengikuti Roger dari belakang, sementara Fred dan Anna menghela napas berat melihat sikap putranya yang satu itu. “Mom, tenang saja, aku yakin Roger dapat ditangani dengan baik oleh… siapa namanya tadi?” ucap Mark yang lupa akan namanya. “Rubicorn namanya,” sahut Edward jahil. “Namanya Ruby King,” ralat Anna. Fred menghela napas berat. Semua putranya pasti akan menyusahkan Ruby. Dia yakin, bahkan lebih dari sekadar yakin. * * * * * Ruby tidak perlu repot-repot menjemput putra Fred yang bernama Landon karena lelaki itu sedang duduk berhadapan dengan Roger di salah satu restoran. Ruby sempat memperhatikan wajah tampan Landon yang memiliki dagu terbelah, struktur wajah sempurna, dan mata biru yang mampu menghipnotis dalam kerlingan mata menggoda. Ada bulu-bulu halus yang tumbuh di sekitar dagu dan dadanya karena kancing kemeja hijam lelaki itu terbuka—entah sengaja atau memang gaya berpakaiannya seperti itu. Keduanya sedang menyantap makan malam sambil menunggu kedatangan kekasih Roger. “Jadi namamu Ruby King? Kupikir namamu Ruby Queen,” ucap Landon tiba-tiba dengan kekehan kecilnya. Ruby tidak menanggapi meskipun Landon terkekeh saat melihat wajahnya. Ruby yang berdiri di belakang kursi keduanya bersama tiga pengawal lainnya tidak menanggapi ucapan Landon. Tidak penting dan tidak lucu, begitu pikirnya. “Kau bisa ilmu beladiri apa saja, Tengkorak? Aku meragukan tubuhmu yang seperti model itu bisa menghajar lelaki bertubuh kekar,” sela Roger saat menoleh ke belakang sedikit. Nadanya terkesan meledek dan meremehkan. Ruby diam tak membalas. Fred mengirimkan pesan padanya, memintanya untuk tidak menanggapi Roger seandainya mengajak bicara. Mengabaikan adalah cara terbaik, begitu kata Fred. “Kau tidak bisu ‘kan? Kenapa tidak menjawab? Berarti benar dugaanku,” ucap Roger sekali lagi. Ruby sudah terbiasa diam. Dia mengabaikan semua pertanyaannya sesuai perintah Fred. Benar kata Fred, tidak penting menanggapi si mulut besar. “Tapi wajahmu boleh juga. Tidak berminat menjadi model lingerie saja?” tanya Roger semakin meledek. “Atau, jadi kekasihnya Edward saja. Dia menyukai tipe perempuan sepertimu.” Ruby tetap tidak menanggapi. Tangannya yang disilang ke belakang mulai mengepal. Ingin rasanya dia menyumpal mulut berisik Roger dengan roti yang disuguhkan di atas meja. “Kau bekerja tapi tidak punya sopan santun. Seharusnya kau menjawab pertanyaanku.” “Roger, cukup. Jangan mengganggunya,” sela Landon. Bertepatan dengan itu, seorang perempuan berkulit kecokelatan datang menghampiri dua lelaki yang sedang dikawalnya. Perempuan itu mencium bibir Roger setelah duduk dipangkuannya. “Kau sudah lama menunggu, Babe?” tanya perempuan itu. “Iya, aku sudah bosan menunggu. Kenapa kau lama sekali datang ke sini?” jawab Roger sedikit marah. “Ada kecelakaan di jalan, Sayang. Kalau begitu, aku pamit ke kamar mandi sebentar.” Perempuan itu kembali berdiri, lalu meninggalkan Roger bersama Landon. Roger tipe yang menyukai keramaian sehingga dia tidak perlu memesan atau menyewa satu restoran karena baginya penting bertemu di tengah keramaian supaya semua orang tahu bahwa Delilah adalah kekasihnya. Sementara Roger sibuk melanjutkan sesi makannya yang sempat tertunda, maka Ruby mengedarkan pandangannya. Dia menangkap perempuan yang-katanya-adalah-kekasih-Roger merayu lelaki lain di ujung sana sebelum mencapai kamar mandi. Ini bukanlah urusan Ruby, tapi kenapa Roger mengencani perempuan seperti itu? Pada saat yang sama, Roger melihat ke arah sana—saat lelaki itu menyentuh lengan kekasihnya. Dengan cepat Roger bangun dari duduknya dan menghampiri lelaki itu. Ruby sigap memberi kode kepada pengawal lain untuk segera mengikuti. Landon yang masih menikmati makanannya tidak beranjak dari duduknya. Menurut Landon perutnya lebih penting dari sekadar mengurusi urusan adiknya. “Hei! Beraninya kau menyentuh kekasihku! Apa tidak ada perempuan lain yang bisa kau rayu?!” maki Roger dengan tangan yang mengepal keras. Delilah terlonjak kaget dan segera bergidik ke samping Roger. “Sayang, bukan begitu…” “Bukan aku yang memulainya tapi kekasihmu,” balas lelaki berkepala plontos dengan senyum meledek. Roger tidak percaya. Dia tersulut emosi dan tanpa basa-basi langsung memukul wajah lelaki itu dengan keras sampai jatuh dari tempat duduknya. Suasana restoran mendadak ramai. Insiden pemukulan itu menjadi tontonan gratis pengunjung di sana. Lelaki itu segera bangun dan hendak memukul Roger namun, Ruby menghentikannya. Dia memutar tangan lelaki itu ke belakang punggung sampai meringis kesakitan. “Jangan melawannya. Lebih baik kau lupakan saja niatmu, Tuan.” Ruby berkata kepada lelaki itu bermaksud menghentikan. Roger menarik bahu Ruby sampai perempuan itu berbalik badan. “Untuk apa kau menghentikannya?? Biarkan saja dia memukulku. Itu juga kalau dia berhasil.” Ruby menatap dingin, lalu melirik Delilah sinis. “Kurasa hati Anda sudah dibutakan cinta palsu perempuan seperti dia. Saya melihatnya menggoda lelaki ini. Seharusnya Anda marah padanya karena dia yang memulai.” “Jadi kau menuduh Delilah merayunya?! Tahu apa kau tentangnya?! Jangan asal menuduh kekasihku!” teriak Roger emosi. Ruby melepaskan lelaki itu—yang mana akhirnya lelaki itu pergi dari sana. Ketika Roger hendak mengejar, Ruby menghalanginya. “Di atas sana ada CCTV. Anda ingin bertaruh jika yang memulai adalah kekasih Anda?” tantang Ruby tidak takut. Ketiga pengawal lain memberi kode melalui mata bermaksud menghentikannya. Tapi Ruby mengabaikan semua tatapan yang tidak membuatnya takut. Seketika itu Ruby menyadari wajah Delilah mendadak pucat. “Kau pikir siapa dirimu?? Apa hakmu menyuruhku?!” bentak Roger tambah geram. “Saya diperintahkan menjaga Anda. Itu termasuk menjaga Anda dari kesalahpahaman yang ada akibat bitchy di luar sana.” Ruby menekankan kalimatnya setengah menyindir. “Kau memanggilku bitchy?! Siapa dirimu berani melakukan hal itu?! Kau hanya pengawal rendahan!” maki Delilah kesal. “Anda merasa, Nona? Saya tidak mengatakan Anda seperti itu,” balas Ruby santai. Bukan keinginan Ruby seperti ini namun, Fred sudah mengingatkan jika beberapa perempuan yang dikencani Roger seperti ‘racun’ yang sering menghasutnya. Karenanya Fred menyuruhnya supaya mencegah hal-hal yang akan ditimbulkan akibat perempuan ‘bitchy’ pilihan Roger. Ya, termasuk melawan seperti sekarang. Roger ikut kesal mendengarnya. Ketika dia akan melancarkan pukulan, Landon menghentikannya lebih dulu. Kakaknya menatap tajam sehingga Roger terpaksa menarik tangannya. “Cukup, Roger. Jangan bersikap kasar pada Ruby. Dia hanya ingin menjagamu. Lebih baik kita pulang. Biarkan Carlos mengantar kekasihmu.” Roger mengabaikan kalimat kakaknya. Pandangan tajamnya tertuju pada Ruby. “Kau akan menyesali semua perbuatanmu hari ini. Aku akan membuat hidupmu hancur! Dasar, perempuan gila!” geram Roger, yang mana akhirnya pergi meninggalkan restoran sembari menarik tangan Delilah. Carlos dan Nick mengikuti dari belakang, sementara Ruby dan Dave—pengawal lainnya terdiam di sana. Awalnya Roger yang menjadi tontonan hangat para pengunjung sebelum akhirnya pandangan mereka beralih, menjadikan Ruby sorotan utama karena melawan bosnya. Landon yang masih berada di sana menepuk pundak Ruby. “Kau tidak perlu memikirkan ucapannya. Dia tidak akan berani melakukan hal itu,” ucap Landon. “Lebih baik kita kembali sekarang. Aku ingin beristirahat,” lanjutnya. Kemudian, Landon bergegas keluar. “Bersiaplah menerima derita yang akan Tuan Roger lakukan untukmu setelah ini, Ruby.” Dave memperingatkan. Ruby menanggapi santai. “Aku tidak takut. Aku diperintahkan ayahnya untuk mengatasi masalah seperti ini.” Ruby mulai berjalan mengikuti langkah Landon yang sudah lebih jauh darinya. “Kau tidak tahu saja Roger punya segudang cara licik untuk menyingkirkan pengawal yang tidak dia sukai.” Dave memberitahu. “Jika dia punya cara licik, aku punya cara lain untuk menghentikannya. Kau tidak perlu khawatir, lebih baik minta rekaman CCTV itu untuk bukti. Seandainya berani mengelak lagi, akan aku sumpal mulutnya dengan rekaman itu.” Dave tertawa sambil menepuk pundak Ruby. “Kau memang berani. Baru sehari tapi kau tidak takut melawan pangeran iblis itu. Aku salut padamu.” Ruby menoleh sekilas dan tetap berjalan santai. “Aku bangga padamu yang tidak berani melakukan apa-apa dan membenarkan semua sikapnya.” Kalimat itu menohok Dave. Dengan cepat Dave memberi penjelasan A sampai Z tapi Ruby tidak peduli. Hal yang dia pedulikan adalah bagaimana caranya membuat si mulut besar itu sadar kalau semua tindakannya adalah akibat dari perempuan yang tidak tahu caranya bersyukur. * * * * * 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD