Suguhan pertama yang diterima Kanaya ketika pertama kali memasuki club adalah dentuman musik yang memekakkan telinga serta lautan manusia yang terhampar di depannya. Sungguh ini adalah pengalaman baru bagi Kanaya. Seumur-umur dia belum pernah menginjakkan kakinya ke dalam club. Apa jadinya kalau bapaknya sampai tahu kalau Kanaya berani menginjakkan kaki di tempat seperti ini. Pasti dirinya akan dipingit tujuh hari tujuh malam tidak boleh keluar dari kamar.
"Berisik banget tempatnya." Kanaya berteriak agar suaranya dapat didengar oleh Salma.
"Namanya juga klub, Ay! Kalo mau yang sepi, ngumpet aja di kolong tempat tidur lo di rumah." Salma menjawab gemas.
Raja mendorong keduanya masuk. Usaha untuk melerai Salma dan Kanaya agar tidak berkelanjutan adu mulut di tengah-tengah pintu.
Raja memesan satu botol bir kepada bartender, lalu menyodorkan ke arah Kanaya, menyuruh dia untuk mencoba.
"Gue udah pesen bir khusus buat lo. Cobain."
Aya menatap horor botol yang berada dalam genggaman Raja. "Ada es teh gak, sih? Gue pesen es teh aja, deh."
“Dikira warung soto kali ada es tehnya. Gak ada es teh di sini, adanya ini. Cobain dulu satu teguk, nanti kalo gak suka, lo bisa skip.”
"Gue takut mabok. Nanti kalo gue teler gimana? Siapa yang bakal nolongin? Mana tempatnya serem banget gini. Banyak cowok-cowok hidung belang. Kalau gue diapa-apain gimana? Hidup mati gue bertaruh di sini."
"Ada gue di sini. Aman aja.”
“Justru itu! Lo malah lebih nakutin!”
“Anjir! Lo gak percaya sama gue? Gue kalo mau ngeksekusi cewek juga lihat-lihatlah.”
Kanaya melotot. Maksudnya apaan tuh?
"Sssttt! Sssttt! Udah, biar gue aja yang minum." Salma mengambil botol bir dari tangan Raja. Membuka tutupnya, kemudian menuangkannya ke dalam gelas yang tersedia.
"Heh, itu buat Aya! Kenapa lo yang minum?" Raja protes tak terima.
"Berisik lo, Ja. Biarin Aya nikmatin apa yang dia mau. Dia ke sini, kan, mau seneng-seneng. Nyari suasana baru biar bisa ngelupain mantannya. Kalo lo paksa gini yang ada dia tambah tertekan. Udah biarin aja. Kalo emang si Aya gak mau, jangan dipaksa."
"Nah, tuh! Dengerin!" Merasa dibela, Kanaya langsung memihak pada Salma.
"Iya deh. Iya. Udah, sini! Gue juga mau minum." Raja merebut botol bir-nya dari Salma, kemudian menuangkan isinya ke dalam gelas.
Diam-diam Kanaya memperhatikan Salma yang tengah menikmati bir di tangannya. Perempuan itu terasa menikmati sekali, membuat Kanaya jadi penasaran. "Rasanya apa Sal?" Kanaya bertanya kepo.
"Coba aja kalo penasaran," jawab Salma
Kanaya sedikit ragu. "Gue takut tapi."
"Ya udah, gak usah nyoba." Salma menjawab enteng.
"Tapi, penasaran."
"Bacot lo! Udah minum aja, nih." Salma menyodorkan setengah gelas yang belum diminumnya pada Kanaya. Menyuruh cewek itu mencoba. "Dikit aja kalo lo gak berani."
Kanaya meneguk sisa bir Salma sampai habis, kemudian bergidik merasakan sensasi aneh dalam tenggorokannya.
"Apa rasanya?" Salma balik bertanya.
"Pait banget!" Kanaya mengembalikan gelasnya pada Salma.
Salma tertawa terbahak-bahak melihat reaksi Kanaya. "Lama-lama juga bakal biasa, kok, kalau sering minum."
"Kalian kok doyan, sih, minuman pait kayak gitu?"
Raja menepuk bahu Kanaya. "Yang dirasain itu bukan rasa pahitnya, tapi efek dari minuman ini. Orang-orang suka minuman ini karena bisa ngebantu kita ngelupain masalah yang ada, walaupun cuma sementara. Setidaknya, kita punya jeda buat gak stress dulu beberapa jam."
"Gue mau turun ke dance floor, nih. Mau ikut, gak?" Salma beranjak dari duduknya setelah sebelumnya meneguk satu gelas bir.
"Duluan aja. Gue masih betah di sini." Raja menyahut.
"Lo mau ikut gak, Ay?"
"Duluan, deh. Gak nyaman gue desak-desakan kayak gitu."
"Oke, gue duluan."
Kanaya memperhatikan punggung Salma yang mulai menjauh.
"Lo ada masalah apa? Cerita sama gue." Kanaya otomatis menoleh pada Raja. Pria itu bertanya dengan nada santai dan kalem, sama sekali tidak mendesak dan menuntut. Dan entah kenapa itu terasa menenangkan di telinga Kanaya.
"Siapa yang punya masalah, coba." Kanaya berusaha mengelak.
"Udah deh, gak usah ngelak. Percuma. Rahasia lo udah dibongkar sama Salma tadi."
Kanaya mendengkus mendengar ucapan Raja yang sialnya benar adanya.
"Walaupun di kantor, gue lebih sering jailin lo, sering bikin lo kesel, tapi gini-gini gue peduli sama lo, Ay. Kalo lo emang butuh tempat buat cerita, ceritain aja ke gue. Gue janji bakal tutup mulut."
"Mulut lo, kan, ember! Mana bisa gue percaya."
"Ya elah, Ay. Mana pernah, sih, gue bohong. Gue kalo mau ember juga lihat-lihat sikonsi, lah. Kalau emang itu hal rahasia, ya, gak bakal gue sebar ke mana-mana."
Kanaya menatap Raja yang berada di sebelahnya. Awalnya perempuan itu ragu, tetapi pada akhirnya Kanaya memutuskan untuk jujur dan menceritakannya kepada Raja.
"Jadi lo berniat balas dendam sama mantan lo di pernikahan dia nanti?" tanya Raja memperjelas cerita Kanaya.
"Iya, balas dendam yang elegan." Kanaya mengibaskan rambutnya sok-sokan bergaya, membuat Raja bergidik ngeri. "Tapi masalahnya gue belum nemu cowok yang cocok buat dijadiin partner kondangan."
"Cari di aplikasi dating aja. Yang lagi nge-tren sekarang."
"Aplikasi dating gak bisa dipercaya. Gue males sama orang-orang random yang gak jelas asal-usulnya."
“Loh, di aplikasi dating, kan, jelas asal-usulnya. Lo bisa liat berapa umur dia, bahkan bisa liat wajahnya langsung.”
“Tetep aja. Aplikasi dating gak menjamin kalau apa yang tertulis bisa dipercaya.”
Raja memutar bola matanya. "Terus, lo mau nyari di mana lagi?"
Kanaya menceritakan tentang perjalanannya mencari partner kondangan hingga dibantu oleh sahabatnya Laras dan masih belum ada yang cocok. Raja yang mendengarkan geleng-geleng kepala mendengar cerita Kanaya.
"Serius lo ngasih standar setinggi itu cuma buat partner kondangan?"
"Gue tuh mau buat ini senatural mungkin. Jadi gue penginnya sebelum acara, kami bisa ngebangun chemistry dulu."
"Tapi, masalahnya ini partner kondangan, Ay. Lo ngerti gak, sih, definisi partner kondangan? Dia dibayar sama lo buat sekali jalan dan udah abis itu kelar."
"Ya makanya itu gue mau rencana yang se-perfect mungkin."
"Hadeh, pusing gue lama-lama sama pemikiran lo. Lo tuh nyari sebatas partner kondangan aja ribetnya ngalahin mau nyari calon suami tau."
Kanaya tak menanggapi pernyataan Raja. Dia lebih memilih bertanya pada pria itu. "Lo punya kenalan gak, Ja, yang bisa dikenalin ke gue? Siapa tau, kan, ada yang cocok."
"Lo beneran nanya ke gue?" Raja menunjuk dirinya sendiri, memastikan pada Kanaya.
Kanaya mengangguk kuat-kuat, memberi jawaban pada Raja.
"Mending gak usah, deh. Percuma. Buang-buang waktu lo doang."
"Kok gitu? Kan, belum dicoba, Ja."
Raja menggeleng tegas, menolak permintaan. "Gak. Nanti lo yang nyesel sendiri.”
“Kita gak bakal tahu kalau belum nyoba.” Kanaya mencoba membujuk Raja, tetapi pria itu memilih acuh, tak menanggapi Kanaya lebih jauh lagi.
Asal Kanaya tau saja. Yang ada di pikiran Raja sekarang adalah resiko jika Kanaya sampai dikenalkan dengan teman-temannya. Raja itu cowok b******k. Begitupun circle-nya yang tak jauh berbeda dengannya. Dia tidak mau membawa perempuan sepolos Kanaya masuk ke mulut buaya seperti dia dan teman-temannya, kemudian terperangkap di sana. Tidak untuk sekarang.
***