Part 01

2062 Words
HIDUP Lea tak seindah yang dibayangkan orang - orang. Terlahir sebagai salah seorang anggota keluarga Adiwangsa yang terkenal adalah keberuntungan yang buruk bagi gadis cantik berusia dua puluh tahun itu. Keluarga Adiwangsa adalah salah satu keluarga terpandang dan berprestij di Indonesia. Terutama generasi ketiga dan keempat. Sudarma Adiwangsa (kakek Aleah) dikenal tak hanya bertangan dingin dalam berbisnis, tapi juga dalam hal mendidik anak - anaknya. Terbukti, keempat anaknya menjadi orang - orang sukses dan berpengaruh di bidangnya masing - masing. Anak pertamanya, Haydan Adiwangsa (Papa Aleah) adalah seorang duta besar untuk Indonesia di Swedia. Sudah hampir lima belas tahun pria berusia lima puluh enam tahun itu menjabat sebagai diplomat setelah sebelumnya sepuluh tahun bekerja di komisi I DPR RI. Anak keduanya, Risaka Adiwangsa adalah seorang pengacara kondang tanah air. Namanya mulai melejit saat Lea berumur sembilan tahun, karena memenangkan kasus pembunuhan seorang anggota parlemen. Anak ketiganya, Rianti Adiwangsa- sekarang Rianti Cornwell- adalah seorang dosen hukum di Birmingham University dan menikah dengan salah seorang miliuner Inggris delapan tahun yang lalu. Sementara anak bungsunya, Maheswara Adiwangsa adalah seorang pengusaha batu mulia. Bak kata Eyang, tukang jual emas.  Tetapi, dibalik kesuksesan dan kebesaran nama mereka, ada satu hal yang timpang. Anak - anak Adiwangsa tak memiliki kehangatan di diri mereka-kecuali Maheswara. Entah karena ajaran Sudarma sejak kecil, ataupun karena harga diri keluarga Adiwangsa, mereka juga menuntut keturunan mereka agar menjadi orang sukses dan terhormat. Anak - anak Adiwangsa harus menjadi juara di kelas, harus menguasai segala bidang terutama matematika, sains dan bahasa asing. Bla... Bla... Bla... Yang membuat Lea yang memiliki otak pas - pasan harus bisa bertahan hidup di bawah cacian dan tekanan dari anggota keluarganya yang lain. Lea menghela napas lega. Pertemuan keluarga ini akhirnya selesai juga. Keluarga Mahendra sudah pulang sejak tadi. Tapi keluarga besarnya yang lain masih saja asyik bercengkrama. Jam sudah menunjukkan pukul 10.00 lewat. Para om dan tante serta sepupu - sepupu nya akhirnya satu persatu meninggalkan rumah setelah meninggalkan pesan panjang lebar. 'Jangan bikin masalah lagi dengan kecerobohan kamu, Lea! Jaga nama baik Adiwangsa!' 'Kamu beruntung punya calon suami dari keluarga terpandang, Lea! Jadi, jaga sikap dan jangan bikin malu! ' 'Heran deh, kok jeng Tya milih kamu jadi menantu, ya? Selain kecantikan dan nama belakang Adiwangsa, apa lagi yang kamu punya?' Dan sederet komentar lain yang membuat telinga Lea serasa hampir terbakar. Untung ada Lili yang menenangkannya, kalau tidak dia sendiri pun tak sanggup membayangkan entah drama apa lagi yang akan terjadi malam ini. Haha... Tidak tidak, tenang aja! Lea sangat menjunjung tinggi sopan santun, tak seperti Lili yang kadang kalau bicara suka terlalu jujur ataupun Diandra yang suka mengumpat tak jelas kalau sedang kesal. Ya, semua anggota keluarganya bermulut pedas seperti itu, tak terkecuali Papa dan Mama tiri Lili, sepupu sekaligus sahabatnya itu. Hanya Om Mahes dan tante Dwi yang memperlakukannya dengan baik seperti putri mereka sendiri. Kadang Lea juga tak habis pikir, kenapa dia dilahirkan di keluarga yang maruk pangkat seperti ini. Lea langsung meninggalkan ruang tamu setelah berpamitan dengan Eyang dan Mamanya. Papa sedang mengantar kepulangan saudara - saudaranya ke depan teras. Samar - samar Lea mendengar suara om Saka-Papa Lili memamerkan prestasi anaknya- Aji yang berhasil menyabet medali emas di olimpiade SMART se-Asia yang diadakan di Singapura bulan lalu. 'Padahal lawannya waktu final adalah peserta dari Jepang dan Singapura, tapi anak itu berhasil keluar sebagai juara satu,'  kata Om Saka dengan nada bangga. 'Ya, memang begitulah seharusnya seorang Adiwangsa. Harus unggul disegala bidang.' Kali ini suara Papa yang menanggapi. 'Kita harusnya bersyukur anak - anak kita semuanya berprestasi. Lihat saja, mereka semua pintar dan cerdas. Yah, walaupun Lea... Ehm... " Tante Danisha, Mama Lili berujar. Wanita paruh baya itu sengaja menekankan namanya dengan nada mencemooh. 'Ya, saya juga sudah menyerah dengan anak itu... ' Kata Papa dengan suara lirih yang sarat akan penyesalan. Ada pisau tak kasat mata yang menikam hati Lea. Sakit! Dia sudah seringkali mendengar cemoohan dari keluarga besarnya, dan ia sudah kebal akan hal itu. Tapi mendengar Papa yang mengatakan sudah menyerah akan dirinya membuat rasa sakit dan kesedihan di hatinya terasa lebih dahsyat daripada cemoohan yang dilontarkan secara bersamaan. Tuan Haydan Adiwangsa itu adalah ayahnya. Dan seorang ayah seharusnya melindungi putrinya, kan? Lea langsung membantingkan tubuhnya diatas kasur begitu ia masuk kamar. Tangan kirinya terangkat seolah - olah menyusuri langit - langit yang putih bersih. Cincin berlian yang tersemat di jarinya yang putih dan lentik berkilauan begitu ditimpa cahaya lampu. Indah... Bayangan pembicaraannya dengan Raja di taman tadi kembali berkelebat di kepalanya. Calon suami penggantinya itu sudah mengibarkan bendera perang bahkan saat status mereka masih bertunangan. Lea menghela napas lelah. Tampaknya hidupnya di keluarga Mahendra kelak juga akan sulit. Hmm... Apakah lebih sulit dari kehidupannya di keluarga Adiwangsa? Dari cara Raja berbicara tadi dia langsung tahu bahwa laki - laki itu bukanlah seorang yang penyayang dan lemah lembut seperti kak Elang. Lea harus gimana, Eyang? Gorden yang meliuk membawa langkah gadis itu menuju balkon. Dibawah sana, tampak Papanya masih berbincang serius dengan Om Saka dan istrinya. Sementara Lili dan Aji sudah menunggu di dalam mobil. Entah topik apa lagi yang mereka perbincangkan kali ini. Lea hanya bisa berharap kali ini bukan dirinya lah yang diperdebatkan. "Kenapa belum ganti baju?" suara Mamanya membuat Lea cepat - cepat berbalik. "Bentar, Ma. Lea nutup gorden dulu. Dingin... " katanya berdalih. Nyonya Pramitha Adiwangsa yang sekarang berdiri di belakang Lea sedikit mengintip kearah titik yang ditatap anaknya. "Kamu ganti baju, biar Mama yang nutup pintu." Lea mengangguk dan berlalu dari situ. Gadis itu cepat - cepat membersihkan wajah dan  mengganti kebayanya dengan piyama tidur bergambar spongebob kesayangannya dan mengampiri Mamanya yang saat ini sudah duduk di bibir ranjang. "Nggak sadar kamu udah besar. Udah mau jadi istri orang." kata Mama memulai pembicaraan. Lea tertawa pelan kemudian menunduk. Sumpah demi apapun suasana kali ini benar - benar awkward! Dia belum pernah duduk hanya berdua saja seperti ini dengan Mama atau Papanya sejak errr... Dua atau... Tiga tahun yang lalu-kalau tidak salah. Hubungan orangtua - anak yang aneh sekali, bukan? "Kamu bahagia, kan?" Lea menatap wajah wanita paruh baya disampingnya itu dengan intens. Tak ada yang berubah dari wajah Mamanya sejak terakhir kali mereka bertemu lebaran tahun lalu. "Lea bahagia, Ma." jawabnya Mama tersenyum kecil. "Bagus..." Lea tersenyum getir dan memainkan jari - jemarinya. Ingin rasanya ia  berteriak 'Percuma juga kalau Lea bilang Lea nggak bahagia, Ma. Toh, Mama juga gak akan ngelakuin apapun...' tapi ditahannya sekuat hati. Dia dan Mama jarang sekali bertemu dan berbincang hanya berdua seperti ini, dan Lea tak mau intensitas pertemuan mereka yang minim sekali harus diisi dengan hal - hal yang tidak perlu. Dia akan jadi seorang anak yang benar - benar tak dewasa kalau nekat berteriak dan protes pada Mamanya. "Sleep, you have class tomorrow, right? Papa dan Mama harus kembali ke Swedia malam ini juga." "Tonight? Can you both wait at least... Till tomorrow?" Lea tak mampu menyembunyikan keterkejutannya. Bagaimana tidak, baru pagi tadi kedua orangtuanya tiba dari Australia setelah mengunjungi kakaknya di Sydney, dan sekarang mereka sudah akan pergi lagi? Mamanya menggeleng. "You know your Papa is a very busy man, right?" Yeah, i know... And maybe it rather better like this. Ma! "Oke..." kata Lea pasrah. "Jam berapa berangkat?" "Setengah jam lagi..." Mamanya bangkit dari duduknya dan berjalan menuju pintu. "Ma..." "Ya?" "Lea sayang Mama..." Sang Mama hanya tersenyum samar dan menutup pintu, meninggalkan Lea yang kembali kecewa sendirian. Is your love that precious? Mama... Biarlah... Biar saja Papa dan Mama menyerah akan dirinya, tapi dia akan memperjuangkan mereka dengan sekuat tenaga... *** Mobil yang membawa Haydan dan Pramitha Adiwangsa benar - benar sudah meninggalkan pekarangan rumah. Lea yang tadi sempat mengantar kepergian kedua orang tuanya sampai pagar kini kembali ke rumah dengan langkah lesu. Papa tadi sempat berpesan agar ia menaikkan nilainya semester ini, dan Mama berjanji akan pulang saat hari pernikahannya nanti.  "Eyang belum tidur?" Lea mendekati Eyangnya yang memutar kursi rodanya keluar dari dapur. "Eyang terbangun tadi. Papa dan Mamamu sudah berangkat?" "Ya." Lea mendorong kursi roda Eyangnya kembali ke kamar. "Baguslah..."  Lea membantu Eyang naik keatas tempat tidur. Tubuh tua itu tampak semakin kurus karena penyakit dan umur yang menggerogotinya. Setelah Eyang berbaring dengan nyaman, Lea menyelimutinya dengan penuh kasih sayang. "Lea... Cucu Eyang..." "Ya Eyang..." "Eyang minta maaf..." kata Eyang dengan suara lirih. Dari temaram lampu kamar, Lea bisa melihat mata Eyangnya berkilau karena airmata. Lea naik keatas tempat tidur dan berbaring disisi Eyang. Lengannya memeluk Eyangnya seperti seekor anak kucing yang bergelung di pelukan induknya. Nyaman sekali. Bahkan lebih nyaman dari pelukan Mama dan Papa tadi. "Eyang gak perlu minta maaf. Eyang gak salah apa - apa sama Lea." "Kamu tau kan sayang, Eyang gak pernah setuju perjodohan kamu dengan Raja?" "Ya, Lea tau..." Eyang mengelus rambut Lea pelan."Kalau Lea rasanya keberatan dengan perjodohan ini, Lea bilang sekarang. Eyang akan batalkan, meskipun harus berperang dengan Papa dan Mamamu, bahkan Tya sekalipun." Lea tertawa kecil diikuti oleh Eyang. "Bahasa Eyang aneh, tau gak? Berperang? Apa - apaan tuh?" Eyang ikut tertawa,tapi beberapa detik kemudian kembali melanjutkan ucapannya dengan nada serius."Eyang hanya mau yang terbaik untuk kamu, sayang. Elang dan Raja itu berbeda meskipun mereka bersaudara. Eyang mengenal Elang sama seperti Eyang mengenalmu. Bagi anak itu, kamu adalah pusat dunianya. Dari tatapannya saja Eyang sudah tahu bahwa dia sangat mencintaimu. Sedangkan Raja... Eyang nggak tahu apa - apa tentang dia. Bertemu orangnya saja baru beberapa kali." Eyang benar. Mereka sangat berbeda. Tapi Lea juga sudah mengambil keputusan. Demi Eyang, dan demi Mommy Tya... "Berarti tugas Lea mencari tahu seperti apa pribadi kak Raja, Eyang. Eyang jangan khawatir, semua akan baik - baik saja." Eyang menghela napas berat. "Baiklah kalau kamu yakin. Eyang juga berharap semuanya akan baik - baik saja. Andai saja---" "Ssstt... Udah Eyang, kan Eyang sendiri yang bilang nggak baik berandai - andai. Sekarang Eyang tidur ya? Udah malam... Good night,  Eyang..." Sang Eyang akhirnya mengalah dengan keputusan cucu tersayangnya itu. Lea memang anak yang manja, tapi sekali dia sudah membuat keputusan, tak seorang pun yang dapat mengubahnya kecuali dirinya sendiri. "Night sayang..." *** Lea menerawang jauh. Tiga puluh menit berlalu, dan Eyang benar - benar sudah terlelap di dunia mimpi. Semua kisah ini berawal sejak hari itu, saat kak Elang datang pada Eyang dan mengutarakan niatnya dan meminta agar Lea menjadi istrinya. Eyang tak pernah segembira itu sebelumnya. Selain karena kak Elang adalah kandidat paling tepat untuk menjadi suami Lea-versi Eyang, Lea tahu, diam - diam Eyang juga berharap Lea bisa terlepas dari belenggu Adiwangsa yang menyesakkan ini. Karena keluarga Mahendra jauh lebih hangat dan cocok dengan jiwa Lea yang kadang manja dan kekanakan. Tapi kegembiraan itu sirna karena kejadian tak terduga tiga bulan yang lalu. Padahal pernikahan sudah di depan mata. Cincin sudah dibeli, Mommy Tya bahkan sudah menyewa jasa WO terkenal di Jakarta, gaun sudah dipesan, bahkan undangan hanya tinggal disebar. Tapi semuanya harus dibatalkan karena kecelakaan maut yang menewaskan kak Elang... Ya, calon pengantin pria meninggal dunia karena kecelakaan mobil saat baru pulang dari bertemu teman - temannya. Dan keluarga besar Adiwangsa kembali menyalahkan Lea dan menambahkan kecelakaan itu sebagai satu lagi kesialan yang disebabkan oleh gadis itu. Meskipun Lea tak ada kaitannya sama sekali dengan kejadian itu. Ia masih ingat dengan jelas, bagaimana kesedihannya saat Elang meninggal. Hampir dua minggu ia mengurung diri di kamar. Mengabaikan segala bujukan Eyang, Lili, Diandra bahkan bang Gilang yang bergantian menghiburnya. Elang tak hanya sekedar seorang tunangan baginya, tapi juga kakak, sahabat dan pelindungnya. Tak sekalipun ia merasa diabaikan saat pria itu berada disampingnya. Elang tempatnya bersandar, tempatnya berkeluh kesah dan bercerita bahkan melampiaskan kekesalan saat semua keluarga besarnya mencemooh dan mengucilkannya. Hingga suatu hari, mommy Tya datang dengan bersimbah air mata dan memintanya mengikhlaskan Elang. Pelan - pelan Lea bangkit, karena masih banyak orang yang menyayanginya di dunia ini. Bahkan ia baru sadar, Mommy Tya dan Daddy Anggara-lah orang yang paling sedih atas kepergian Elang. Elang putra mereka. Keluarga mereka... Seiring waktu berlalu, Mommy Tya mulai membujuknya agar bersedia menikah dengan Raja, putra pertama keluarga Mahendra yang berarti kakak dari Erlangga Mahendra. Awalnya Lea menolak habis - habisan, tapi begitu Eyang divonis mengidap kanker darah stadium tiga sebulan lalu oleh dokter, Lea berubah pikiran dan menerima permintaan Mommy Tya. Karena selain Eyang dan kedua sahabatnya- Lili dan Diandra- hanya keluarga Mahendra lah yang benar - benar memperlakukannya dengan baik. Terutama Mommy Tya dan Daddy Anggara. Mereka sudah menganggap Lea sebagai anak mereka, sama seperti Rajata dan Erlangga.     
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD