Triinngg...
DiDi Preman: Hola hola girls... Udah pada bangun???
Aleah yang masih tidur - tiduran pasca bangun tidur langsung segar seketika. Hari masih pagi sekali, baru jam enam lewat, tapi sahabatnya yang hobi 'ngerusuh' itu sudah online saja. Pembawaan zaman barangkali ya, bangun tidur menyapa sahabat dulu di aplikasi chat baru nanti menyapa keluarga di meja makan.
Tringg...
Lili imut: Berisik Diandraaa... Biarkan makhluk cantik ini tidur beberapa menit lagi!
Triinnggg...
DiDi Preman: Upss.. Haha...
Lea cantik: Nih, vitamin buat hari ini... one for each of you!
DiDi Preman: Eh, ada ale ale... Si tunangan orang...
Lea cantik: Hai Didi...
Didi Preman: Kangen sayang2 gue ini.. Udah lama ya kita gak ketemu..
Lea cantik: Iya nih udah sejak kemarin kan ya? Hik..hik.., Lili abis kuliah jam berapa? Ngumpul yuk...
Didi Preman: Noh Li, ditanyain sepupu lo! @Lili Amit2
DiDi Preman: Woy, Ratu Liliana Arundaya Adiwangsa!!
DiDi Preman: Tralala trilili...
Lea cantik: Palingan juga masih molor itu!
DiDi Preman: Liliiiiiiii...
Lili imut: APAAN SIH? BERISIIIKKK... ENYAH KALIAN SEMUA! JANGAN GANGGU GUE!
DiDi Preman: Buset dah, oke kita undur diri ya Lili yang imut dan tukang tidur... Ayok Lea cantik kita cuss...
Lea terkikik geli membaca chat tak jelas di pagi buta dari Diandra dan Lili. Hatinya yang sempat galau tadi malam langsung kembali ceria. Memang kedua sahabatnya ini perfect mood booster ever selain Eyang!
Begitulah kedua sahabatnya itu. Diandra adalah sosok yang heboh dan easy going, sementara Liliana, sepupunya itu adalah sosok yang sedikit angkuh dan ceplas - ceplos, tapi sangat baik hati. Yah, walaupun Diandra tak kalah baik juga.
Diandra dan Lili memang tak mampu menggantikan Mama, Papa dan kedua kakaknya bagi Aleah. Mereka tak sama. Tapi Lea tetap merasa hari - harinya selalu sempurna dengan kehadiran kedua sahabatnya itu.
Mereka bersahabat sejak kelas XI SMA. Waktu itu Lea adalah murid pindahan dari Maroko. Karena sistem pendidikan disana yang sulit dicerna bagi otak berkapasitas standar seperti Lea, Eyang memutuskan untuk membawanya ke Indonesia. Lea tentu aja senang sekali, karena selain dia sudah lama tak pulang ke tanah air tercinta ini, dia juga bisa lepas dari ceramah dan nyinyiran Papa yang selalu menuntutnya agar menjadi yang terbaik di kelas. 'Lihat kedua kakak kamu, semuanya sukses dan jadi orang. Sementara kamu materi phytagoras aja nggak becus'...
Bla... Bla... Bla... Yang bikin Lea makin sakit kepala. Sementara sang Mama hanya diam saja. Tak angkat suara sama sekali meskipun untuk membelanya.
Lea duduk dari pembaringannya. Eyang masih tertidur lelap disampingnya. Mungkin kelelahan karena acara tadi malam.
Lea kembali ke kamarnya di lantai dua dan langsung membersihkan diri. Dia sudah terbiasa mandi pagi sejak kecil, tak peduli waktu itu sedang musim panas ataupun musim dingin. Baginya, kebersihan tubuhnya nomor satu. Meskipun dia tak akan memungkiri bahwa dia bukan orang yang rapi sama sekali.
Setelah mandi, Lea menyalakan laptopnya. Ada tugas ekonomi mikro Pak Agustus yang belum selesai. Masih tersisa seperempat lagi yang belum dikerjakannya.
Jangan tanya kenapa dia mengambil jurusan ekonomi dengan otaknya yang pas - pasan! Tentu saja itu karena desakan dari sang Papa. Seolah belum puas melihat anak bungsunya itu menderita, pria nomor satu baginya itu malah menyuruhnya belajar keras agar bisa mengambil alih perusahaan tekstil milik sang Mama. Katanya hanya dia yang cocok dengan posisi itu, karena kedua kakaknya sudah punya hidup gemilang mereka masing - masing.
Dia selalu berdoa, mudah - mudahan saja suatu hari nanti Papa dan Mama sadar bahwa dia bukan orang yang tepat untuk itu.
Makalah tentang penawaran dan permintaan itu akhirnya selesai juga. Setelah mem- print out dan merapikan meja belajarnya, Lea langsung bersiap - siap. Jam sudah menunjukkan hampir pukul setengah delapan, dan kelasnya dimulai pukul setengah sembilan. Masih ada sekitar satu jam untuk bersiap - siap dan sarapan. Semoga saja tak terlambat!
"Morning, Eyang sayang..." Lea mengecup sekilas pipi Eyang yang sedang sarapan. Sejak divonis mengidap kanker dan sering collapse, Eyang setuju menyewa suster pribadi- Suster Tinka-supaya ada yang menjaga ketika Lea berangkat kuliah. Tapi sudah beberapa hari ini suster manis berambut sebahu itu resign karena ingin merawat orang tuanya di kampung.
"Morning, sayang..."
Lea duduk disamping Eyang, mbok Sar, kepala asisten rumah tangga yang sudah selesai menata menu sarapan undur diri setelah mengulurkan senyum kecil pada Lea.
"Masuk jam berapa, Le?" tanya Eyang.
"Setengah sembilan Eyang..." kata Lea ditengah - tengah gigitan rotinya. Mereka sarapan ditepi kolam seperti biasanya- tempat kesukaan Eyang.
Meja bulat tak terlalu besar didepannya penuh sesak dengan aneka makanan, minuman dan buah - buahan. Ada croissant bakar dengan lelehan butter dan keju kesukaan Lea, semangkuk kecil nasi goreng seafood, buah - buahan mulai dari jeruk Berastagi sampai blueberry yang dibawa Papa dari Swedia. Satu jar jus mangga segar dan dua gelas s**u putih dan deretan selai mulai dari rasa nutella sampai rasa stroberi.
Lea suka keki sendiri dengan menu makanan di rumah ini. Mulai dari sarapan, makan siang, bahkan makan malam, entah kenapa para ART suka sekali menata menu di meja secara berlebihan, padahal hanya dia sendiri lah yang benar - benar 'makan'. Karena sejak divonis mengidap kanker darah, Eyang hanya memakan masakan yang dimasak secara khusus oleh suster Tinka atau mbok Sar.
"Kamu berangkat sama siapa, Le?"
Belum sempat Lea menjawab pertanyaan Eyang, suara cempreng Diandra menghampiri mereka.
"Eyaaanggg..." Gadis itu memeluk Eyang dari belakang. Wanita tua itu terkekeh bahagia sambil mengusap - usap lengan Diandra yang tertutupi kemeja panjang.
"Harusnya Eyang gak usah nanya ya? Biasanya kan kalian juga berangkat berdua." Kata Eyang disela kekehannya.
Lea ikut tertawa dan mengulurkan kursi pada sahabatnya itu. Diandra langsung duduk manis setelah sebelumnya meletakkan ranselnya di pintu rumah.
"Ayo sarapan, Diandra." kata Eyang."Le, kasi Didi piring."
Diandra menggeleng kuat.
"Kenapa? Tumben banget nolak?" Tanya Lea heran. Biasanya tak perlu disuruh Diandra langsung nyelonong saja ikut sarapan bareng dirinya dan Eyang tanpa tahu malu.
"Gue udah sarapan, Lea cantik! Dimasakin sama Bang Ke tadi di rumah." Katanya sambil tercengir.
Mata Lea melotot sempurna. Kaget. "Seriusan Di? Pagi - pagi begini?"
Diandra mengangguk antusias.
"Abang kamu yang punya restoran itu ya? Siapa namanya? Lupa Eyang..."
"Bang Kevin, Eyang."
"Kok bisa? Bang Kevin kan nggak pernah mau masakin kita. Sekalinya masak minta bayarannya gak tanggung - tanggung." Lea masih saja tak percaya dengan kenyataan yang didengarnya.
"Kalah taruhan sama bang Endra dia." Bang Endra adalah abang Diandra nomor dua.
"Taruhan apaan?"
Diandra cuma cengengesan tak jelas. Ujung matanya melirik Eyang sekilas. Kemudian kembali mengedip - ngedipkan mata bulatnya minta pengertian pada Lea.
Ohh... Soal itu rupanya!
Lea diam. Dia sangat paham maksud lirikan sahabatnya itu. Matanya meneliti sejenak wajah Diandra. Ada lebam disudut bibir kirinya yang sudah tampak samar.
Huhh... Lima tahun bersahabat, Lea cukup tahu apa dan bagaimana kehidupan Diandra di rumahnya. Gadis tomboy itu hidup dengan kasih sayang lengkap kedua orang tuanya, tidak seperti Lea yang ditinggal - tinggal oleh Mama dan Papa. Diandra mempunyai lima orang saudara. Catat ya, SAUDARA. bukan SAUDARI. Bang Bima, Bang Salendra, Bang Saka, Bang Kevin dan Bang Gilang.
Diandra tumbuh menjadi gadis tomboy karena pengaruh abang - abangnya. Sejak kecil, gadis itu sudah diajarkan taekwando dan judo. Terlebih lagi, salah seorang abangnya, Bang Saka adalah salah seorang juara karate tingkat nasional. Bang Saka inilah yang mengajarkan adik bungsunya itu bertarung agar tak menjadi bahan bullyan kedua abang kembarnya, Bang Kevin dan Bang Gilang.
Entah karena kegigihan ataupun karena memang berbakat, Diandra mengikuti jejak abangnya menjadi atlet judo nasional. Bang Gilang dan Bang Kevin yang dulunya hobi mem-bully Diandra, sekarang malah gantian menjadi target bullyan adik bungsu mereka itu dan seringkali dilempar semena - mena kedalam ring tinju. Poor them!
"Kali ini abangmu yang mana lagi?" Tanya Lea. Ia mengulurkan basket buah didepannya kearah Diandra.
"Si abang Galon..."
"Abang Galon?" Kali ini Eyang nyeletuk.
"Hmm... Gagal move on, Eyang!"
"Siapa abang kamu yang gagal move on?" Kejar Eyang.
"Bang Gilang, Eyang..."
Eyang mengangguk - angguk. "Oh, si artis, toh? Baru putus cinta emangnya anak itu?"
Lea langsung melototkan matanya kearah Diandra, yang disambut cantik oleh gadis itu. "Hehe... Iya Eyang, tapi gak tau sama siapa."
"Bang Gilang ada disini emangnya, Di?" Lea cepat - cepat mengalihkan pembicaraan sebelum topik patah hati Bang Gilang makin berlarut - larut.
"Iya, baru pulang kemarin dari Singapore. Konsernya udah selesai lima hari yang lalu sih, tapi katanya ada kontrak rekaman dengan perusahaan disana. Jadinya yah, Gitu deh..."
Eyang meletakkan sendok kembali di mangkuk. Buburnya masih tersisa seperempat. "Wah hebat ya, si Gilang. Masih muda udah jadi penyanyi internasional. Berapa sih umurnya abang kamu itu Di?"
"Dua empat Eyang..."
"Oh iya, dia umurnya sama dengan almarhum Elang ya? Lupa Eyang..."
"Mereka kan sahabatan, Eyang? Sebab Bang Gilang sering manggung keluar kota makanya jarang ketemu." Kata Diandra.
Hati Lea sedikit tersengat mendengar nama Elang menjadi bahasan di meja ini. Kunyahan rotinya terhenti seketika. Rasa sesak di dadanya itu masih ada meskipun tak separah beberapa bulan yang lalu.
"Iya iya, mereka kan sering kesini bareng - bareng dulu. Tapi semenjak makin terkenal abangmu itu udah gak pernah lagi kemari." Kata Eyang.
Lea menggigit bibir kemudian mengambil napas dalam diam - diam, berusaha mengontrol mozaik kaca di matanya agar tak luruh.
"Pulang kerumah aja jarang, Eyang. Setengah tahun ini dia sibuk tour, baru sekarang benar - benar stay di rumah. Istirahat katanya."
"Oh, titip salam ya sama dia nanti, bilangin, Eyang minta tanda tangan."
"Haha... Oke Eyang, nanti Di sampaikan."
Lea melirik jam tangan melingkar di pergelangannya. Tinggal tiga puluh lima menit lagi kelas pak Agustus dimulai.
"Di, udah hampir telat nih. Yuk berangkat sekarang..."
"Owh, oke!"
Lea bangkit dari kursinya setelah menandaskan susunya. Ia mencium pipi Eyang dan memeluk tubuh ringkih itu sekilas.
"Eyang jaga diri ya, jangan terlalu capek. Makan tepat waktu dan jangan lupa minum obat. Nanti pukul tiga Lea pulang."
Eyang tertawa kecil mendengar celotehan cucunya itu.
"Iya, jangan khawatir. Kamu belajar yang bener."
"Okee Eyang..."
Diandra gantian menyalami Eyang. Gadis tomboy itu ikut - ikutan memeluk Eyang.
"Kami berangkat Eyang..."
"Ya, kamu juga belajar yang rajin Didi. Bawa mobil yang benar!"
"Sip, Eyang!!"
Kedua gadis muda itu berjalan beriringan menjauh dari meja makan. Diandra mulai menuntut Lea agar menceritakan kronologis lengkap acara pertunangannya tadi malam. Sementara Lea menghindar dengan bertanya materi apa yang kira - kira akan diajarkan Pak Agustus pagi ini.
***
"Gue sangka Papa dan Mama lo masih di rumah loh Le. Gue sempat was - was tadi mau masuk, pas nanya ke Pak Yamin rupanya Mama Papa lo udah balik lagi Swedia?" Diandra memulai pembicaraan mereka siang itu.
Lea cuma bisa meringis. Pembahasan tentang kedua orang tuanya adalah pembahasan yang tak menyenangkan sebenarnya.
"Jangankan elo Di, gue yang ponakannya aja bingung, Om sama Tante gue itu sebenarnya sayang apa nggak sih sama anak mereka yang cantik jelita ini?" Lili memainkan sedotan di tangannya dengan kesal.
"Ya sayang lah... Enak aja kamu Li!"
Lea, Diandra dan Lili memilih kafe 'FlatzZ' yang agak jauh dari kampus untuk makan siang mereka. Disini mereka bisa lebih leluasa bercerita karena suasananya lebih tenang dan adem daripada cafe - cafe yang dekat dengan kampus. Disana suasananya lebih ramai dan sesak oleh mahasiswa apalagi di jam makan siang seperti sekarang.
"Nggak tau juga sih, kata Mama, Papa lagi banyak pekerjaan yang harus diselesaikan disana. Jadi apa boleh buat..."
Diandra dan Lili hanya bisa terdiam sambil menatap sahabat mereka dengan tatapan prihatin.
"Trus gimana perkembangan hubungan lo sama si tunangan?"
Lea menghembuskan napas lelah. Tersiksa. "Flat... " katanya pelan.
Tak ada kondisi yang lebih memprihatinkan dalam hidup Lea selain dari saat ini. Niat awal mau keluar dari kandang singa Adiwangsa, tapi malah terjebak di kandang harimau 'Mahendra'. Yah, walaupun harimau disana hanya seorang Rajata Mahendra saja, Tapi tetap sajaakan membuat Lea geregetan. Lea bertemu para singa tak setiap hari, tapi dimasa depan dia akan tidur satu ranjang dengan si harimau.
"Lo butuh pawang yang bener - bener kuat deh Le... Eh, tapi kata bang Bima, Rajata Mahendra itu baik banget loh, tapi ke lo kok nggak ya?"
Mungkin karena gue mantan tunangannya kak Elang, atau karena dia tau gue gak pintar, Di! Dia benci cewek bodoh. Dan gue termasuk dalam kategori itu. IP gue cuma 3.00 kurang! Klise banget gak sih?
"Kalau kalian berdua yang jadi calon istrinya aku yakin dia pasti terima dengan tangan dan hati terbuka." Kata Lea lesu.
"Kenapa?"
Lea hanya mengedikkan bahu. Tak berniat membahas lebih jauh tentang hal itu.
"Nggak juga sih, kata bang Bima dia udah punya pacar..."
PFFFTTTT....
Lili menyemburkan ice cappuccino di mulutnya saking terkejutnya. Untung saja mereka sudah selesai santap siang. Tak tau apa jadinya kalau ayam geprek keju super enak yang mereka makan tadi sampai terkontaminasi dengan liur si Lili. Bisa rugi!
"SERIUS LO?" Lili berteriak. Beberapa pengunjung cafe menatap kearah meja mereka. Tapi gadis itu seolah tak peduli.
Lea juga tak kalah terkejutnya. Gadis itu sampai ternganga selama beberapa detik. Bagaimana tidak? Selama dua bulan ini, Mommy Tya tak pernah sekalipun membicarakan tentang hal itu. Dan Lea juga tak pernah kepo bertanya. Karena dari pemahamannya, begitu Yang Mulia Raja itu setuju dijodohkan dengannya, berarti dia tak punya kekasih diluar sana.
Kalau sudah begini, Lea harus bagimana? Hati ingin sekali marah - marah, tapi tak tau ke siapa.
"Kenapa gak bilang dari kemarin - kemarin sih, Diandra????" Lili lagi-lagi berteriak.
"Gue juga baru taunya tadi malam tralala - trilili. Itupun bang Bima yang cerita."
Lili menghela napas kesal. Sementara Lea masih diam saja. Kepalanya tiba - tiba kalut. Sungguh, sampai kapanpun dia tak ingin jadi PHO.
"Oke, abang lo kenal itu... si Raja itu dari mana?"
"Katanya partner bisnis perusahaannya. Bang Bima kan punya biro arsitek."
Diandra dan Lili langsung memandang Lea dengan tatapan kasihan. Keduanya berdecak kemudian menggeleng - gelengkan kepala.
"Kasian banget sih, sahabat kita ini. Udahlah calon suaminya galak, punya cewek lain pula. Kalau gini ceritanya persentasi kebahagiaan kalian setelah menikah itu nggak mencapai dua puluh persen, Le!" kata Diandra.
Lea hanya menatap kedua sahabatnya dengan pasrah. God, what should she do now?