Part 9. Useless Marriage

1948 Words
Clara Bella. Om Adrian hanya tertunduk memekuri ujung sepatu ketika ia menceritakan kejadian tiga hari lalu. Merubah keputusan yang ia ambil ternyata hukuman yang lebih menyakitkan. Dilecehkan secara verbal, ditekan dan selanjutnya harus hidup dengan laki-laki yang tidak punya perasaan. Tapi Om Adrian bisa apa? Hanya seseorang tidak penting yang tidak punya secuil kekuatan pun untuk melawan kekuasaan. Apalagi posisi keponakannya ini adalah pihak yang bersalah. Keputusan itu yang kini membawa dirinya dan Om Adrian ke ruangan ini. Kantor pengacara Tommy Dalimunthe, SH. Yang tidak lain adalah pengacara Tara. Untuk menandatangani perjanjian perdamaian dengan Tara selaku pimpinan perusahaan dengan isi kesepakatan kurang lebih sama dengan yang ia tandatangani tiga hari lalu. Tapi, kali ini juga disaksikan oleh seorang notaris sebagai pejabat berwenang. Sedemikian ketatnya Tara mengunci dirinya. Terlihat rasa penyesalan di wajah Om Adrian, karena tidak menyangka ia akan melalui fase hidup yang begitu berat saat ini. Menjadi seorang istri dari pria yang tidak dicintai untuk menebus kesalahan yang terpaksa ia lakukan. Walaupun hanya satu tahun tapi apakah ada yang menjamin dirinya akan baik-baik saja berada satu atap dengan laki-laki berkarakter keras seperti Tara. Atau justru sebaliknya? Hidupnya jauh lebih tersiksa dibandingkan dengan berada di dalam penjara selama lima tahun? Entahlah. Yang pasti keputusan sudah ia ambil. Dan tidak boleh disesali lagi. Semua yang ia lakukan semata-mata hanya demi bunda. Demi kesehatan bundanya. Ya, biarlah ia berkorban perasaan yang penting bunda sehat dengan jantung yang normal kembali. Toh, ia hanya harus bertahan selama satu tahun saja. Setelah itu, ia akan bebas seperti sebelum fase ini. Ia membawa om Adrian ke kantor pengacara itu bukan hanya untuk dijadikan saksi kesepakatan perjanjian damai dengan Tara. Tapi juga untuk menjadi wali pernikahannya yang akan dilangsungkan beberapa saat lagi. “Maafkan Om, Clara. Om sebagai pengganti ayahmu tidak sanggup melindungi kamu. Om hanya bisa berdoa semoga kamu selalu dilindungi Tuhan Yang Maha Kuasa. Om selalu berharap kamu selalu diberi kekuatan dan kesabaran dalam menjalani pernikahan dengan laki-laki itu.” Om Adrian berucap penuh harap. Lalu meraih tangannya dan menepuk-nepuk punggung tangannya yang halus itu. Ia berusaha tersenyum walau hatinya hancur. Berusaha menenangkan diri sendiri dan menunjukkan pada Om Adrian bahwa ia sudah siap lahir bathin menghadapi pernikahan yang terpaksa ini. “Aku pasti baik-baik saja, Om. Jangan khawatir,” katanya dengan suara setenang mungkin. “Semua sudah siap? Pasangan pengantin? Wali nikah? Kalau sudah siap semua, kita mulai saja.” Ia menoleh ke arah meja kaca yang terletak di tengah ruangan. Seorang penghulu duduk di sana memanggilnya dan Om Adrian, dan juga Tara yang terlihat masih berbincang-bincang dengan sang pengacara. Saat ini ia tampak begitu cantik di hari istimewanya. Ralat, di hari eksekusinya. Tubuh semampainya dibalut kebaya putih berkerah rendah namun terkesan sederhana, dan kain batik coklat tua sebagai paduannya. Rambutnya dicepol asal dan diselipi jepit kuningan beraksen mutiara. Riasan wajahnya pun terkesan sangat natural, namun tetap terlihat mempesona. Tapi ia tidak pedulikan itu semua. Ia hanya ingin hari ini segera berlalu dan setelah itu ia harus mempersiapkan diri menjalani kehidupan rumah tangga yang akan menyengsarakan. Ia melihat Tara menoleh ke arahnya, menatap lekat padanya, dengan pandangan yang begitu posesif seakan takut ia akan kabur dari pintu besar yang tertutup rapat itu. Om Adrian menuntunnya menuju kursi yang telah disediakan, tepat di sisi Tara. Baginya, Om Adrian seperti sedang mengantarkan dirinya ke kursi listrik dan disebelahnya adalah algojo yang siap mengeksekusinya. Tanpa sengaja, pandangannya bertemu dengan Tara yang masih menatapnya dingin. Tapi ia hanya mendengkus samar, lalu mengalihkan lagi tatapannya ke depan. Pria itu sama seperti hari-hari biasa. Memakai jas lengkap serba hitam dengan kemeja putih di dalamnya. Yang sedikit berbeda hanya wajah yang terlihat segar lantaran bulu-bulu kasar di rahang tegas itu telah dibabat habis menyisakan bayangan kebiruan. Menawan, tapi tidak berperasaan. Dengan tampilan serigala berbulu domba itu, ia menduga pria ini mungkin saja mengidap sadomasokis, b*******h saat melihat pasangannya kesakitan. Menghajar habis-habisan teman ranjang, setelah itu diperlakukan tanpa sedikit pun kelembutan. Apalagi saat mengingat apa yang Tara lakukan tiga hari lalu. Begitu menyeramkannya pria itu saat menginterogasinya. Dan ia bisa melihat dengan sangat jelas raut Tara yang penuh kepuasan saat ia gemetaran menandatangani surat perjanjian untuk menyerahkan diri sebagai istri dalam masa satu tahun.   Bagaimana jika dirinya sudah sah sepenuhnya milik Tara? Bisa jadi kamar pengantinnya berubah menjadi ajang pembantaian dirinya.  Apa mungkin ia akan mati diatas ranjang nanti? Bayangan menakutkan itu kontan membuatnya bergidik ngeri. Ia yakin Tara pasti berbeda dengan Juna yang selalu memperlakukannya dengan penuh kelembutan sebelum bercinta. Sentuhan hangat dan kecupan manis di sekujur tubuhnya mengisyaratkan bahwa Juna begitu memujanya. Melayani dan memanjakannya seolah dirinya seorang ratu. Selalu membuainya dengan ayunan yang begitu memabukkan. God! Ia mendesah pelan. Kenapa di tengah suasana seperti ini bayangan Juna muncul di benaknya. Padahal selama ini ia bersusah payah melupakan pria yang berhasil mematahkan hatinya itu. Keinginannya terkabul, prosesi akad nikah terlaksana begitu cepat. Bahkan ia sama sekali tidak menyadari begitu kata 'sah' telah berkumandang. Lamunan tentang Juna telah mengalihkan seluruh perhatiannya. Tara meraih tangannya, lalu menyelipkan cincin bermata berlian kecil ke jari manisnya. Bergantian dengannya yang juga menyelipkan cincin berbentuk sama tapi dengan ukuran berbeda ke jari manis Tara yang besar dan panjang. Tidak ada kecupan di punggung tangan Tara. Tidak ada kecupan di keningnya. Tidak ada tatapan mesra. Hambar. Tapi itu lebih baik baginya. Kini, resmilah sudah ia menjadi istri Samudra Dirgantara. Dan resmilah sudah ia menjadi tawanan pria itu. Ucapan selamat menempuh hidup baru yang disampaikan beberapa rekan Tara dan para pengacara membuat perutnya terasa mual, seperti hendak memuntahkan kebencian yang telah beranak pinak di dalam d**a. “Om nggak tahu harus mengucapkan apa sama kamu, Clara.” Om Adrian meraih bahunya ketika ia sudah beranjak dari kursinya, lalu membawa tubuhnya ke dalam dekapan penuh kasih sayang. Ia melerai dekapan Om Adrian kemudian mengulas senyum getir, “Selamat menempuh penderitaan baru, mungkin? Karena ucapan itu yang sesuai untuk aku, Om.” Ia tertawa lirih namun air mata mengalir di pipi. Tapi tidak dengan Om Adrian. Pria setengah baya adik ayahnya itu menepuk kedua bahunya sambil menatapnya penuh rasa iba. Kantor pengacara ini begitu luas. Terbagi menjadi dua ruangan. Dimana ia berada sekarang digunakan untuk menerima klien sehari-hari. Sebelahnya lagi sebagai ruang kerja. Interiornya ditata dengan gaya sangat elegant dan dilengkapi furniture yang serba mahal. Dari ruangan dan penampilannya saja, sangat jelas terlihat seorang Tommy Dalimunthe adalah pengacara dengan tarif setinggi langit. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling, tidak ada Tara di sudut mana pun. Tapi pintu ruang sebelah terbuka. Ia mengintip, ada Tara di dalam sana bersama Tommy Dalimunthe sedang duduk berseberangan meja. Langkahnya mengayun perlahan mendekati pintu ruangan itu. Sejujurnya ia penasaran, apa yang sedang mereka lakukan berdua saja di dalam sana, memisahkan diri dari orang-orang yang masih berada di ruangan sebelah. “Sebenarnya aku kasihan sama perempuan itu. Kau benar-benar kelewatan, Tara.” Suara Tommy Dalimunthe terdengar ketika ia merapatkan bahu di samping pintu untuk mencuri dengar. “Ya, itu pelajaran untuk seorang gadis sombong macam dia, Bro. Kau bayangkan, dua kali dia menolak aku. Yang terakhir justru dia lebih pilih sengsara di dalam jeruji besi dibanding kehangatan yang aku tawarkan dengan menjadi istri. Sementara perempuan lain sudi merangkak di depanku demi untuk menjadi pasangan seumur hidupku. She’s insane, i think.” Kali ini suara Tara yang ia dengar. Ia yakin pria yang kini resmi menjadi suaminya itu sedang membicarakannya walau tidak menyebut namanya. Kedua pria itu pun tertawa. 'Well, okay. Ini motif balas dendam terselubung, ternyata.’ Ia berkesimpulan di hati. “Hmm, is it possible that she’s a lebian? You said you’ve never seen her with a man.” Pertanyaan Tommy pada Tara membuat alisnya berkerut tajam. Ingin protes keras tapi tentu saja tak ia lakukan. Bisa-bisa ketahuan menguping pembicaraan orang. Lalu akan menerima hukuman selanjutnya dari Tara. “I don’t know. But, i will find out when i touch her in the bed. If she’s a lesbian, i’ll make her normal again, by tie her down.” Ancaman Tara itu disambut tawa keras Tommy. Hah?! Tara akan mengikatnya? Berarti benar pria itu mengidap kelainan seksual parah.   “You are a matador, man!” seru Tommy di antara gelaknya. “Well, i like playing so rough, you know,” tegas Tara penuh penekanan.   ‘My God. Aku akan mati ditangan dia.’ Ia bergidik ngeri. Lalu mengeluarkan ponsel dari tasnya, kemudian menekan tombol recorder dan ia arahkan ke bagian dalam ruangan. Ia lakukan itu sebagai bukti jika suatu hari nanti ia mati, polisi tidak perlu susah payah mencari pelakunya. Semua ucapan Tara yang mengarah pada ancaman itu akan terekam jelas. “By the way, aku harus ucapkan selamat padamu, Tara. Dengan pernikahan ini akhirnya 50 persen saham PT. Sun City resmi kau miliki.” Tommy Dalimunthe mengganti topik pembicaraan. “Yaah, tapi aku harus menunggu penyerahan resminya dulu, Tom. Oma Julia dan para pengacaranya itu memang keterlaluan. Masa aku harus menikah dulu supaya dapat hak warisku. Sementara sejak sepuluh tahun lalu aku sudah ikut jungkir balik memajukan perusahaan ini.” “Harusnya sudah kau dapatkan sejak lama jika saja kau mau menikahi salah satu pacarmu itu.” “Ah, mereka bukan pacar. Cuma teman kencan. Lagi pula Oma minta aku menikah dengan perempuan baik-baik. Damn! Bikin persyaratan kenapa terlalu susah begitu? Hari gini mana ada perempuan baik-baik? Semua sama saja. Baik di awal selanjutnya brengsetk tanpa batas!” “Perempuan baik itu banyak, Bro. Tapi untuk kau memang tidak ada,” kelakar Tommy disertai tawa menggelegar. Namun tiak terdengar Tara menyambut tawa itu. Hanya decakan sebal, lalu terlihat bola kertas melayang ke kepala Tommy. “Untung saja ada si sombong Clara. Kesalahannya menjadi berkah untuk aku. Anggap saja dia malaikat penolong yang mengantarkan 50 persen saham itu untukku.” Terdengar Tara tertawa penuh kemenangan. Sialan! Ia dimanfaatkan. Ia menahan geram dengan wajah menegang dan sepasang mata membola sempurna. Tara si predator ini memang sama sekali tidak berperasaan. Yang ada dipikirannya hanya perempuan dan uang. Dan kini memanfaatkan kesalahannya demi mendapatkan saham mayoritas perusahaan. Benar-benar keterlaluan pria brengsetk ini! “Tapi tolong rahasiakan dari Oma bahwa aku menikah hanya untuk mendapat saham itu. Jika Oma tanya tentang Clara, bisa-bisa kaulah mengarang cerita bahwa istriku itu wanita baik dan kami sebenarnya sudah pacaran sejak lama.” Itu suara Tara. “Wah, aku bisa kualat kalau membohongi Oma Julia, Tara.” Tommy menukas dengan nada suara keberatan. “Halah, kau pun biasa membohongi istrimu yang cerewet itu kalau sedang kencan dengan jalang-jalangmu.” “Sialan! Itu berbeda kasus, Brengsetk!” Tawa renyah mereka pun kembali menggelegar.  Drrrt .... Drrrrt ....! Tiba-tiba ponsel ditangannya bergetar hebat. Saking terkejutnya ponsel itu terjatuh ke lantai. Suara tawa dari dalam ruangan kerja itu seketika berhenti. Ia langsung melangkah cepat menjauh sebelum ketahuan menguping sejak tadi. “Apa, Tante? Bunda...?” Ia tersentak ketika sambungan ponselnya terhubung dengan Tante Vera di rumah sakit. Di belakang punggungnya, Om Adrian ikut menyimak ingin tahu dengan raut yang sama panik dengannya. “Baik, aku segera ke rumah sakit.” Ia menutup ponselnya lekas, lalu menoleh pada om Adrian yang bertanya lewat tatapan mata. Bola matanya tanpa sengaja terarah pada sosok Tara yang sudah berdiri bersama Tommy beberapa meter dari tempatnya. Tatapan pria itu tertuju lekat ke arahnya, juga menyiratkan rasa penasaran, tapi dengan cara yang khas, dingin seakan tidak peduli.   “Bunda, Om. Bunda cari aku dari tadi. Tapi sekarang tidak sadarkan diri lagi,” jawabnya memberitahu Om Adrian. Ia sengaja mengencangkan sedikit volume suara agar Tara juga ikut mendengar. “Ayo, cepat. Kita ke rumah sakit sekarang.” Om Adrian lekas menarik lengannya dengan rasa panik yang tidak terhingga. Namun, ia menahan lengan Om Adrian, lalu menoleh ke belakang, ke arah Tara. Ia meminta ijin hanya lewat tatapan mata. Sepertinya Tara mengerti, pria itu mengangguk walaupun samar. Lalu membiarkannya melangkah secepat kilat keluar bersama Om Adrian. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD