Part 10. Loosing

1517 Words
Clara Bella. Ia memandangi gundukkan tanah merah yang masih basah. Harum yang begitu khas menyeruak dari sana membelai indra penciumannya. Di atas haribaan terakhir itu tertutupi ribuan kelopak bunga. Nisan kayu bertuliskan Sinta Ayu binti Mark Sanders ia peluk demikian erat. Seakan papan itu adalah tubuh sang bunda yang telah terbaring tenang di dalam sana. Air matanya tiada habis mengucur deras mengiringi isak. Suaranya lirih saat memanggil ‘bunda’ berulang kali. Dan sekian detik kemudian, tubuhnya pun luruh di atas gundukkan tanah itu. Masih dengan bahu berguncang hebat dan tangan yang menyapu lemah lembaran kelopak bunga. “Mohon maaf, Clara. Ibu Sinta mengalami komplikasi pasca operasi disertai pembekuan darah di sekitar jantung. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi Tuhan berkehendak lain. Sekali lagi kami mohon maaf.” Ucapan dokter Harun kemarin sore begitu menyentaknya. Kalimat itu membuatnya merasa seseorang menancapkan pedang ke ulu hatinya lalu mendorongnya ke dasar jurang dan tenggelam tanpa harapan. Seketika itu juga tubuhnya yang masih berbalut kebaya pengantin luruh ke lantai. Lunglai tanpa daya. Seakan seluruh tenaganya tercerabut dari raga. Sang bunda pergi untuk selamanya. Wanita cantik yang melahirkannya ke dunia itu telah menghadap Illahi dan meninggalkan dirinya sendiri. Di saat ia sedang membutuhkan kekuatan untuk menghadapi masalah pelik hidupnya, justru sumber kekuatannya itu melambaikan tangan menuju surga. Sungguh, saat ini rasanya ia ingin mati saja untuk menyusul bunda. Ia merasa hidupnya tidak lagi berguna. Semua yang diperjuangkan selama ini hanya sia-sia. Pengorbanannya seolah tidak lagi bermakna. “Bunda ingin sembuh, Clara. Bunda ingin suatu hari nanti bisa melihat kamu pakai baju pengantin bersama laki-laki terbaik pilihan kamu. Laki-laki yang pastinya membuatmu bahagia sepanjang hidup. Setelah itu, Bunda ikhlas jika Tuhan memanggil Bunda untuk kembali ke pangkuan-NYA.” Harapan yang Bunda ucapkan padanya satu hari sebelum menjalani operasi jantung. Jemari lemah bunda mengusap seluruh wajahnya dengan lembut saat itu. Lalu menjawil pucuk hidungnya dengan gemas. Seperti biasanya perlakuan bunda jika ia sedang merajuk manja atau menangis karena ada teman atau sesuatu yang membuatnya gundah. Tangan halus bunda selalu membuatnya merasakan kenyamanan yang tidak pernah ia temukan dimana pun di dunia ini “Bunda jangan pikirkan itu. Yang penting Bunda sembuh dulu, ya,” ucapnya saat itu untuk menenangkan bunda. Padahal ia sendiri dalam keadaan gelisah, mengingat biaya operasi jantung bunda yang ia dapatkan dari hasil menggelapkan uang perusahaan tempatnya bekerja. “Bunda harus memikirkan itu, Clara. Usia kamu sudah tiga puluh tahun, waktunya kamu berumah tangga. Sampai kapan kamu terus menutup diri dari laki-laki. Bunda sedih kalau Clara seperti itu.” Ia hanya tersenyum manis menanggapi keluhan bunda itu, sembari meraih tangan bunda dan mengecupnya dalam. “Nanti, Bunda. Ada waktunya aku bawa laki-laki terbaik ke hadapan Bunda. Tunggu saja, Bun.” guraunya sambil tersenyum lebar, menunjukkan pada bunda bahwa dia akan mewujudkan keinginan bunda yang satu itu, walau entah kapan. Alih-alih keinganan bunda itu terwujud, yang terjadi sekarang justru ia akan menghadapi penderitaan yang berkepanjangan dengan menikahi seseorang yang bahkan jauh dari harapan. Tangisannya semakin kencang ketika mengingat ucapan bunda itu. Raungannya terdengar begitu memilukan hati. Kini tidak ada lagi bunda yang akan selalu menasehati, membelai puncak kepalanya ketika ia ingin bermanja-manja, mencium keningnya saat melepasnya pergi bekerja. Om Adrian dan Tante Vera meletakkan lutut di sisi kanan kirinya, lalu ia merasakan tangan Om Adrian merengkuh bahunya, begitu juga belaian lembut Tante Vera di punggungnya. Yang ia punya kini hanya mereka berdua, orangtua kedua baginya yang mempunyai kasih sayang sama. Bertiga saling berangkulan, menangis bersama dan saling menguatkan. Om Adrian membisikkan kata-kata menenangkan agar ia tetap tabah dan selalu dikuatkan dalam setiap langkahnya. Begitu pun Tante Vera yang mengusap keningnya dan mengecupnya hangat, lalu memeluk kembali tubuhnya dengan erat. Kedua om dan tantenya itu mengantarnya ke depan pintu mobil sedan mewah berwarna hitam yang sudah menunggunya bersama dua orang pria yang Tara perintahkan untuk mengawalnya sejak kemarin sore. Sedangkan Tara sendiri, tidak menunjukkan batang hidung sama sekali. Sebelum memasuki mobil, kembali ia memeluk Om Adrian dan Tante Vera sekaligus berpamitan. Kemudian sedan itu pun meluncur membawa dirinya keluar dari komplek pemakaman. *** Ia mengangkat wajah yang selama perjalanan hanya tertunduk sambil menyusutkan air mata. Kedua alisnya bertautan ketika ia baru menyadari mobil yang membawanya ini memasuki pelataran lobby gedung PT. Sun City Textile Industry. Inginnya ia bertanya pada sang sopir yang sudah menghentikan kendaraan tepat di depan pintu lobby utama. Tapi urung ia lakukan saat melihat mobil Range Rover milik Tara berada tepat di depan mobilnya. Matanya memicing tajam ketika ia melihat pintu samping kiri mobil Tara terbuka. Lalu sosok cantik sang sekertaris Davina keluar dari sana. Wanita seksi itu tampak sejenak merapikan rok mini dan juga blazer yang dikenakan, terutama di bagian ddada sebelum melambaikan tangan pada si pengemudi Range Rover itu, lalu melangkah anggun memasuki pintu lobby utama. Tidak perlu bertanya lagi, ia yakin wanita itu baru saja menyervis pimpinannya di luar kantor pada jam makan siang. Itu sudah biasa. Semua karyawan di kantor itu pun sudah tahu dan memaklumi. Yang menjadi luar biasa, saat dirinya sedang berduka karena kepergian sang bunda, Tara yang sudah resmi menjadi suaminya tidak sekalipun mengirimkan ucapan belasungkawa. Atau minimal menunjukkan rasa empati. Tapi yang terjadi justru pria itu menikmati servis makan siang plus-plus bersama sang sekertaris. ‘Ini baru permulaan, Clara. Kamu harus persiapkan diri untuk menghadapi yang lebih menyakitkan lagi.’ Ia menyemangati diri sendiri dalam hati sambil mengusap kasar air mata yang masih tersisa. Pria bertubuh besar yang duduk di bangku depan sebelah kiri keluar, bersamaan dengan Tara yang keluar dari Range Rover yang terparkir di depannya. Lalu ia melihat Tara menyerahkan kunci mobil pada pria itu. Kemudian ia mengamati sosok Tara yang tinggi dan tegap dibalut stelan jas hitam melangkah ringan menghampiri mobil yang ia tumpangi. Ia menggeser duduknya ketika Tara membuka pintu lalu menempatkan diri tepat di sebelahnya. Kemudian menyuruh sang sopir untuk segera melajukan mobil meninggalkan pelataran lobby gedung itu. Tara menoleh ke arahnya, namun ia tetap bergeming seraya melempar pandangan keluar jendela sisi kanan. Ia tahu Tara masih betah menatapnya, tapi ia tetap memasang wajah sedingin mungkin. “Kita pulang ke rumah sekarang.” Tara membuka suara berat dan sedikit serak, ciri khasnya. Ia tidak tahu pada siapa Tara bicara. Padanya atau pada sang sopir yang tengah fokus menyetir. “Omaku sudah menunggu kamu, Clara.” Ketika Tara menyebut namanya barulah ia tahu bahwa pria itu sedang membuka percakapan dengannya. Ia menoleh sekilas pada Tara di sisi kiri, kemudian mengalihkan pandangan ke arah luar jendela lagi. Sama sekali tidak berminat untuk menanggapi. Desahan napas Tara yang panjang terdengar, lalu pria itu kembali bicara. “Aku nggak mau lihat muka masam kamu seperti ini di depan oma. Aku ingin kamu bersikap layaknya pengantin baru yang bahagia. Pasang senyum termanis kamu. Mengerti, Clara?” Ia kembali menoleh menghadapi Tara, kali ini ia memaku tatapan tajamnya. Hatinya benar-benar sedang diuji ketahanannya saat ini. Bagaimana bisa ia tersenyum manis di saat hatinya sedang teriris? Apa bisa ia berpura-pura bahagia sementara ia sedang berduka? Bahkan pria di sampingnya ini seenaknya memerintah tanpa sedikit pun peduli dengan suasana hatinya yang sedang kelam. Benar-benar keterlaluan! Ia memicingkan mata dengan tajam pada Tara. Lalu mendengkus sesaat, kemudian membuang wajah ke arah semula. “Sebaiknya pakai lipstik kamu dan rapikan penampilanmu itu. Seperti habis dari pemakaman.” Sindiran Tara benar-benar membangkitkan emosinya. Pria ini jelas melecehkan suasana hatinya yang tengah berduka karena kehilangan bunda. Ia kembali menoleh ke arah Tara. “Kalau tidak punya empati sedikit pun, lebih baik diam!” Kali ini ia tidak bisa tidak menanggapi. Sindiran Tara yang tanpa perasaan itu benar-benar melukai hati. Namun, Tara justru balas menatapnya dengan sorot mata setajam laser. Bahkan pria itu sedikit mencondongkan wajah mendekat padanya. Ia sama sekali tidak takut. Ia balas menantang mata elang itu. “Kamu tahu, Clara. Aku bisa saja membatalkan kesepakatan damai kita saat ini juga karena sikapmu itu. Kamu pasti ingat, ada pasal yang menyatakan, jika aku tidak berkenan dengan sikapmu yang tidak menghargai aku sebagai suami, aku bisa menuntutmu kembali atas kasus penggelapan uang perusahaan dan juga pemalsuan dokumen. Itu hukumannya tidak main-main, Clara!” ketus Tara menekannya. Ia tertegun bingung. Kepalanya mendadak terasa pengar, mendidih oleh denyut yang membuatnya mengernyit. “Saya sedang berduka. Saya minta Bapak juga menghargai saya. Cuma itu!” protesnya jelas tidak suka. Dengkusan geram Tara terdengar dengan nada meremehkan. “Saya sudah cukup menghargai kamu, Clara. Seorang pencuri yang seharusnya mendekam di jeruji besi malah naik pangkat jadi istri. Aku sudah beri kamu waktu menikmati dukamu dua hari ini. Jangan cengeng!” Dengan wajah menegang, pria itu memaku lagi tatapan mengancam padanya. “Jadi, jika mau hidupmu tenang tanpa bayang-bayang penjara, bersikaplah sebagaimana seorang istri. Mengerti?” imbuh Tara seraya menyeringai sinis padanya. Lalu meluruskan kembali posisi duduk menghadap ke depan. Dan lagi-lagi pria itu menikmati sejuknya angin kemenangan. Pria itu tidak menggubrisnya yang kini tercenung dengan bibir setengah menganga. Ia tidak percaya bahwa yang duduk di sebelahnya ini manusia yang diciptakan tanpa perasaan. Oh, my God, Clara ... hidupnya sudah kacau balau sekarang. Sang bunda sudah berpulang. Kini ia harus terperangkap dalam penjara yang mengerikan bernama Samudra Dirgantara. Ibarat sudah jatuh, tertimpa tangga, lalu di santap ular kobra. Menyedihkan. Rasanya, ia akan gila sebentar lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD