Part 1. The Corruption

1880 Words
Samudra Dirgantara / Tara. Seandainya tidak terdengar ketukan di pintu, mungkin saja beberapa saat lalu Tara sudah meledakan gairah dahsyat di dalam tubuh ramping di atas pangkuannya. Namun, terpaksa ia menyurutkan gelombang kenikmatan yang menciptakan desahan wanita diatasnya, lalu lekas menaikkan celana ke posisi semula, kemudian merapikan kemeja yang sudah tak karuan bentuknya. Davina, sang sekertaris bertubuh sintal yang sudah merapikan pakaian di badan dalam waktu sekejap mata itu langsung menghampiri pintu dan memutar kuncinya. Lalu menguaknya lebar-lebar, mempersilakan masuk sembari melayangkan tatapan kesal pada seseorang yang mengganggu aktivitas hangat mereka barusan. Dengan penuh wibawa, seolah tak terjadi apa-apa beberapa saat lalu di ruangan itu, Tara, si pemilik ruangan yang bertuliskan Direktur Utama menyambut tamunya dan mempersilakan duduk tepat di seberang meja kerja hanya dengan kode tangan saja. Si tamu mengangguk hormat kemudian menuruti perintahnya untuk duduk seraya melirik satu detik pada sang sekertaris berpinggang ramping yang kini berdiri tepat di samping meja. Tentu saja si tamu sudah mengerti apa yang terjadi di ruangan itu beberapa saat lalu selama pintu tertutup rapat. Karena hal itu sudah sering mereka lakukan setiap ada kesempatan. “Sebanyak ini, Pak Wahyu?” cengang Tara tak percaya setelah membaca laporan yang bertuliskan Audit Internal PT Sun City Textile Industry yang disodorkan padanya sekian menit lalu. Pria yang disebut namanya itu mengangguk pasti. “Benar, Pak Tara. Kami sudah cek dan ricek secara detil. Itu nominal yang diduga digelapkan oleh Clara dengan cara memanipulasi data input dan output perusahaan.” “Halus sekali caranya. Sampai kalian harus memakan waktu satu bulan ini untuk menemukan kecurangan yang dia lakukan.” Antara pujian dan kegeraman yang terdengar di getar suaranya. Pak Wahyu mengamini. “Pak Tara bisa lihat bagaimana dia merekayasa angka-angka itu dengan tepat dan sangat detil. Kalau saja tim audit perusahaan tidak memeriksa semua data secara mendalam, mungkin uang lima ratus juta yang raib itu tak akan terdeteksi, seperti digondol hantu.” Pak Wahyu jelas tidak sedang bercanda saat mengatakan itu. Karena ini temuan luar biasa yang baru pertama kali terjadi selama lebih dari sepuluh tahun ia bekerja di perusahaan itu. Tara pun mengangguk-angguk setuju, sedetik kemudian menggeleng sambil berdecak kesal karena baru menyadari bahwa uang perusahaan yang dipimpinnya telah dikorupsi. Wajahnya kini menegang dengan bola mata elangnya yang membara menatap angka 500 juta Rupiah di bagian bawah berkas yang ditandai tinta merah. Dua bulan lalu, ia mendapat laporan dari manajer produksi bahwa ada tiga suplier dari China menghentikan sementara pasokan bahan baku karena sejumlah tagihan yang belum terselesaikan oleh perusahaan. Ia sangat yakin, semua dokumen penyelesaian pembayaran tagihan tersebut sudah ia tanda tangani, selebihnya bagian keuangan yang memprosesnya. Setelah di-crosscek, ternyata sejumlah tagihan tersebut memang belum sampai ke tangan para suplier itu. Bahkan ketika diperiksa lebih dalam mengenai masalah ini, ia mendapat laporan baru bahwa ada beberapa tagihan dari suplier dalam negeri yang dibayar hanya setengah saja dari nominal tagihan, setengahnya lagi dibuatkan pembayaran bertempo atau berupa cicilan berjangka dengan berbagai alasan. Dan parahnya, dokumen-dokumen untuk para suplier yang menjadi korban itu dimanipulasi sedemikian rupa. Yang pasti tanda tangan atas namanya pun direkayasa. Sudah pasti ia curiga. Karena itu ia meminta Pak Wahyu untuk membentuk tim khusus guna menyelidiki kasus ini. Ia nyaris mati tercekik dengan salivanya sendiri ketika seminggu lalu Pak Wahyu membeberkan hasil temuan kasus itu di hadapannya. Hingga mengerucut pada satu nama yang diduga sebagai oknum pelaku penggelapan uang perusahaan tersebut. Ia sama sekali tak menyangka, pelaku tunggalnya adalah karyawati yang sangat ia percaya. Manajer keuangannya yang bekerja padanya selama tiga tahun ini. Clara Bella Anggita. Namun ada yang lebih menyesakkannya dari itu semua. Dia adalah gadis yang sama yang akhir-akhir ini tanpa ia sadari mulai mengusik hati. Tara mendesah diantara rasa kesal dan gelisah. Ia ingin meremas berkas ditangannya. Namun urung ia lakukan, karena berkas itu akan jadi bukti kecurangan yang dilakukan Clara Bella. “Pak Wahyu, tolong Anda selidiki, dia pakai untuk apa uang sebanyak itu. Saya ingin laporannya segera. Setelah semua bukti terkumpul, serahkan pada saya. Selanjutnya biar menjadi urusan saya,” perintahnya lugas dengan bola mata menghujam menatap Pak Wahyu yang mengangguk-angguk paham. “Baik, Pak Tara. Segera kami laksanakan.” Setelah itu, Pak Wahyu pamit kembali ke ruang kerja. Dan meninggalkannya bersama sang sekertaris. “Sambungkan ke personalia!” perintahnya pada Davina. Wanita itu langsung menuju sudut meja di seberangnya kemudian menekan beberapa tombol angka di gagang telepon. Setelah tersambung, gagang telepon itu diserahkan padanya. “Pak Andre, surat pengunduran diri Clara jangan diproses. Tolak!” tegasnya tanpa basa-basi. Lalu meletakkan begitu saja gagang telepon tanpa menunggu jawaban dari seberang. Kepalanya berdenyut hebat saat teringat tiga hari lalu laporan yang ia terima dari bagian personalia, bahwa Clara mengajukan surat pengunduran diri tanpa alasan yang meyakinkan. Jelas ia tak sebodoh itu menyetujuinya. Pastinya ia tak akan membiarkan gadis itu hengkang begitu saja tanpa bertanggungjawab atas perbuatan yang merugikan perusahaannya. “Kurang ajar! Perempuan rakus. Pintar korupsi!” Davina mengumpat sendirian sambil menatap tajam nominal yang masih terpampang jelas di dalam berkas yang dipegang Tara. “Pasti ada sesuatu yang urgent, sampai dia berani melakukan ini,” duga Tara bergumam. “Halah! Paling untuk foya-foya. Perempuan itu jelas materialistis, Tara.” Davina mendengkus kesal seolah-olah uang yang dikorupsi itu adalah miliknya. Tara berdecak, enggan menanggapi tuduhan sekertarisnya itu. Ia hanya meletakkan berkas-berkas ke atas meja dengan kasar. Lalu menyandarkan punggung ke belakang kursi kebesarannya dengan wajah menegang karena amarah. “Aku pernah dengar gossip hangat antar karyawati. Kata mereka si Clara itu hobi operasi plastik. Permak wajah dan body ke dokter kecantikan. Pantas saja hidungnya mancung begitu. Bentuk bibirnya juga bagus. Kulitnya kencang seperti gadis-gadis remaja. Terus satu lagi, b****g dan payudaranya aku yakin hasil suntikan silicon yang lumayan mahal.” “Kamu perhatikan dia nggak, sih, Tara. Nggak make sense, kan, usia tiga puluh tahun punya kulit dan body sekencang itu. Semua itu perlu biaya selangit. Darimana dia dapat duit cepat kalau tidak dengan cara maling seperti ini.” Tara mendengkus, malas mendengar cerocosan Davina yang menurutnya tak berguna. Walaupun dalam hati ia pun mengakui apa yang digambarkan Davina tentang penampilan Clara, manajer keuangannya itu memang benar adanya. Gadis usia tiga puluh tahun itu memang mempesona. Bertubuh tinggi sedang, dengan sepasang kaki jenjang. Kulitnya begitu halus dan putih bersih nyaris tak bernoda, sesekali tampak merona ketika tertawa. Gigi kelinci dan lesung pipi yang menggemaskan menjadi salah satu daya pikatnya. Apalagi dadanya yang membulat sempurna dibalik blazer dan kemeja, selalu membuat Tara betah berlama-lama memandangi. Seakan menjadi pemandangan paling indah pembuka hari. Tapi semua keindahan itu kini tersingkirkan dari benaknya dengan dugaan penggelapan uang perusahaan yang Clara lakukan. Apalagi jumlahnya cukup fantastis. Namun begitu, Tara tidak sependapat dengan tuduhan Davina bahwa Clara menggunakan uang sebesar itu untuk memermak penampilan. Karena ia sangat tahu kecantikan ragawi yang dimiliki Clara adalah alami. Mata dan jiwa Casanovanya memastikan itu. Sebagai pria dengan segudang pengalaman menyelami tubuh wanita dengan berbagai rupa, hanya dengan mengamati saja ia sudah mengetahui mana kecantikan alami, mana yang imitasi. Ia justru lebih berprasangka, uang sebesar itu pasti digunakan Clara untuk membeli barang-barang berharga. Sepanjang pengetahuannya, Clara belum berkeluarga. Atau mungkin sang pacar yang mempengaruhi Clara untuk berbuat kecurangan itu? Bisa saja. Tapi sepertinya ia meragukan alasan itu. Karena sudah tiga tahun selama mengenal Clara, sekali pun ia belum pernah mendengar gadis itu punya hubungan spesial dengan seorang pria. Tingkahnya pun biasa saja pada para pria yang coba mendekat. Tidak seperti kebanyakan karyawati lain saat bertemu dengan pria yang cukup menarik perhatian. Bahkan bisa dikatakan sikap Clara sangat dingin dan datar saja. Seolah sedang membentengi diri dari lawan jenis. Termasuk pada dirinya. Tara pernah merasa tersinggung dengan perlakuan Clara padanya beberapa waktu lalu. Saat ia memberanikan diri mengajak gadis itu menghadiri jamuan makan malam yang diadakan oleh salah satu klien pentingnya. Tapi terang-terangan dan tanpa basa basi, Clara menolak ajakan kencan berkedok perintah itu. “Maaf, saya nggak bisa, Pak. Hari ini saya harus pulang cepat. Ada urusan penting yang nggak bisa saya tinggalkan. Mungkin Bapak bisa ajak Ibu Davina saja. Seperti biasanya,” tolak Clara saat itu. Lalu, tanpa memberi kesempatan Tara membuka suara lagi, gadis itu sudah berlalu pergi. Bukan saja kata-kata gadis itu yang menganggap urusan lain lebih penting dari perintahnya, tapi Clara mengatakan itu di hadapan Joko, seorang staf maintanance yang kebetulan sedang memperbaiki penyejuk ruangannya. Tak disangka mulut Joko ini tak ubahnya seperti speaker mesjid yang mampu berkumandang ke seantero komplek perumahan. Alhasil, berita penolakan itu sempat menjadi trending topic di dua belas lantai gedung kantornya. “Ajakan makan malam Pak Tara ditolak Clara!” Seperti sebuah pengumuman penting. “Pak Dirgantara, the most wanted hot male di kantor ini ditolak mentah-mentah? Pasti jadi catatan terburuk dalam sejarah hidupnya.” “Memalukan banget, pak Dirut kita di-rejected sama karyawati level manajer.” Bisik-bisik dari salah satu karyawatinya itu disambut tawa meledek oleh dua karyawati lainnya yang berdiri di depannya saat ia menunggu lift. Setelah mereka menyadari siapa yang sejak tadi berdiri di belakang punggung mereka, suasana di dalam lift mendadak mencekam dibawah tatapan Tara yang menyeramkan, seakan mereka sedang ditatap oleh malaikat penunggu pintu neraka. “Great job, Clara! Don Juan itu mesti di skak mat sekali-sekali. Biar dia tau nggak semua cewek bertekuk lutut sama dia! Mentang-mentang punya uang dan kekuasaan, seenaknya main tunjuk perempuan yang dia suka.” Kali ini ia dengar dari mulut salah satu karyawan pria bernama Ryan, yang ia tahu juga naksir berat dengan Clara tapi tak mendapat tanggapan. Saat itu ia sedang berada di parkiran hendak pulang. Ryan mengatakan kata-kata nyinyir itu bersama dua rekannya yang lain. “Are you stupid, Clara? Para karyawati single di kantor ini berebutan cari perhatian Pak Tara. Nah, kamu diajak kok malah menolak?” Ibu Ajeng, salah satu karyawati senior menggoda Clara. Dan itu ia dengar dari Davina sehingga membuat Davina meradang karena cemburu buta. Terlebih setelah ia mengakui tentang ajakan makan malamnya yang ditolak mentah-mentah oleh Clara, membuat Davina sempat absen melayani kebutuhan hasratnya. Tapi ia tak peduli. Tanpa Davina, wanita cantik lain pun dengan senang hati mampu memuaskannya. Tara bukanlah laki-laki yang mudah terbakar hanya karena gossip. Tapi kata-kata yang ia dengar tanpa sengaja itu membuat gendang telinganya serasa akan pecah dan hatinya semakin membara. Penolakan, walaupun diutarakan dengan bahasa yang sangat halus, tetaplah menyakitkan. Ia merasa harga dirinya menukik tajam dan terhempas ke dasar jurang terdalam. Itu semua karena Clara. Untuk mengangkat kembali harga dirinya yang setinggi menara, ia menggunakan kekuasaannya untuk memecat semua karyawan yang menggosipkannya secara tidak terhormat. “Kalau boleh tau, apa tindakan kamu selanjutnya pada si koruptor itu, Sayang?” Davina meletakkan diri ke atas pangkuannya dengan manja, dan membuyarkan lamunan panjangnya tentang Clara. Tara hanya memandangi wajah Davina sesaat, lalu mengalihkan arah bola matanya ke sembarang tempat. Benaknya berputar-putar untuk menjawab pertanyaan Davina itu. Karena sejujurnya ia belum tahu apa yang akan ia lakukan untuk meminta pertanggungjawaban Clara. “Itu urusanku,” tegasnya penuh penekanan. “Urusanmu ... “ Ia menatap kembali wajah jelita di hadapannya, “selesaikan urusan kita yang tadi terjeda,” sambungnya datar namun dengan bola mata yang dilapisi gairah. Davina, wanita usia 33 tahun yang sudah menjadi sekertarisnya selama lima tahun itu sangat mengerti maksudnya. Wanita itu tersenyum dengan tatapan menggoda. Dan jemari lentik itu mulai menelusuri d**a bidangnya. Lalu lanjut ke perutnya yang rata, kemudian bermuara di bagian paling bawah, di mana senjata kehidupannya sudah menegang dan siap menerjang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD