Prolog

2213 Words
Arjuna dan Clara Bella. Semanis apapun perpisahan, seindah apapun kata-kata selamat tinggal diucapkan, tetaplah itu menyakitkan. Dan akan ada cerita yang sejak detik itu akan menjadi kenangan. “Ikutlah bersamaku ... ” Pria muda itu menatap mata sang gadis begitu lekat dan penuh pengharapan. Sang gadis menggeleng, lemah. Antara tak rela namun terpaksa. Kemudian menenggelamkan kepala ke cerukan leher sang pria. “Please, Bel. I need you so much.” Pria muda usia 22 tahun itu mendongakkan dagu sang dara. Lalu memandangi bola mata berkabut penat yang semula terpejam perlahan mulai terbuka, lalu menatapnya lekat. Gadis itu mengangkat wajahnya untuk menjangkau bibir lembut kemerahan itu kemudian mengecupnya hangat dan lama. Pria muda itu hanya menerimanya dengan pasrah sambil terpejam. Meresapi lembutnya bibir yang mengandung candu baginya itu. Dengan perasaan tak rela, pria itu membuka matanya ketika sang gadis menarik wajahnya, kemudian beranjak dari tubuh polosnya dan duduk di tepi ranjang. Ia ikut beranjak, menangkup pinggang putih nan mulus di hadapannya, dan meletakkan kepala merapat di sana. Ia Ingin sekali lagi membawa wanitanya itu kembali terbang ke angkasa, merasakan pertempuran panas yang selalu didamba, dan mencapai puncak kenikmatan tiada tara. Namun, si jelita ini justru sibuk memungut satu per satu pakaiannya yang terserak di lantai. Lalu mengenakannya di hadapan pria muda itu. “Bella ... Ikut aku ya. Supaya aku semangat belajar di sana nanti. Soal biaya hidup di sana jangan khawatir, aku tanggung.” Si pria muda itu mulai merajuk sambil menatap punggung gadis yang dipanggil Bella itu menuju sofa dan meraih segelas air mineral kemudian meneguknya sesaat. Bella menggeleng sambil menatap lurus ke wajah sang kekasih yang masih menatap memohon padanya. “Bundaku sakit, Jun. Aku nggak bisa tinggalin bunda. Dalam waktu dekat ini aku harus pulang,” jelasnya setelah meletakkan gelas ke atas meja. “Tapi, bunda kamu nggak sendirian kan di Jakarta.” “Iya, bunda memang tinggal sama adik ayahku dan istrinya. Tapi mereka pastinya keberatan menjaga orang sakit, Jun. Apalagi mereka juga punya kegiatan.” Bella masih berusaha membujuk dengan suara selembut mungkin karena ia tahu bagaimana sifat kekasihnya yang terpaut usia 5 tahun lebih muda darinya itu. Sangat manja. Sangat ketergantungan dengannya. Jika merajuk, minta ampun susah untuk di bujuk. Benar saja, pria muda dengan tubuh atletis itu melemparkan bantal ke lantai. Kesal. Kemudian membalikkan badan, memunggunginya. Seolah enggan melihatnya lagi. Kalau sudah begini, Bella terpaksa harus berperan sebagai Ibu yang penuh kesabaran untuk membujuk anaknya. Gadis cantik itu, dengan celana jeans dan kaos tanpa lengan yang ia kenakan sembarang, melangkah menuju ke ranjang. Meletakkan diri tepat di belakang punggung putih berotot sedang itu, lalu mengecupnya seraya mengusapnya lembut. “Juna, jangan kayak anak kecil gini, dong. Inget lho, kamu bulan depan sudah jadi mahasiswa S2 di Caltech (California Institute of Technology). Kamu harus mandiri. Kalo cengeng begini, bagaimana bisa bertahan disana? Tiga tahun bukan waktu sebentar, Sayang.” Juna berbalik perlahan. Menegakkan badan selanjutnya menyandarkan punggung ke headbord ranjang. “Kalo kangen kamu gimana?” Pertanyaan itu sebenarnya untuk diri Juna sendiri. Namun sekaligus untuk meminta pendapat gadis yang kini telah meraih jemarinya. “Bisa telepon, w******p, Line, VC. Kamu mahasiswa tekhnologi, masa bingung gimana komunikasi.” Bella terkekeh seraya meremas jari-jemari panjang yang ia genggam. “Bukan cuma kangen bicara, Bellaku Sayang. Tapi ...” Juna menjeda seraya menurunkan bola matanya ke arah d**a Bella yang membulat indah. “... kangen ‘terbang ke angkasa’ sama kamu.” Bukannya menanggapi, Bella justru tertawa lebar menampilkan gigi kelincinya yang begitu lucu dan menggemaskan. Itulah salah satu daya pikat andalannya yang membuat ia terlihat lebih muda dari usianya di angka 27 tahun. Bella, wanita cantik yang Juna temui pertama kali di seberang apartement tempat ia tinggal satu setengah tahun lalu. Tepatnya di depan mini market sewaktu ia selesai berbelanja kebutuhan pengisi freezer di unitnya. Keduanya tengah berteduh di tempat yang sama lantaran hujan yang tak kunjung reda. Wanita ini begitu cantik dengan setelan kerja. Blazer merah muda dan rok span di atas lutut dengan warna setingkat lebih tua. Rambut panjangnya yang basah karena rinai hujan membuat gadis itu tampak semakin seksi dan mempesona. Wajahnya yang begitu cantik dengan riasan nyaris luntur dan berkilau basah, justru terlihat begitu memukau. Juna menunduk perlahan. Entah siapa yang menyuruhnya memperhatikan sepasang kaki jenjang gadis di sampingnya. Tapi ia tak menyesal kala melihat betis putih dan mulus yang menyita pandangan dengan ditopang sepasang stilletto tinggi itu. Melihat itu, matanya termanjakan. Satu kata yang pantas disematkan untuk gadis yang tengah berdiri gelisah disampingnya. Sempurna. “Aku punya sapu tangan di dalam kantong celanaku, di belakang. Bisa minta tolong ambilkan?” Juna memutar badannya sedikit memunggungi gadis itu. Bella menoleh dengan tatapan bingung. Sama sekali tak mengerti maksud cowok ini. “Tolong ambilkan, bisa?” Juna menunjuk dua kantong belanjaan yang ia dekap, mengisyaratkan pada Bella bahwa tangannya penuh beban. Akhirnya Bella mengerti. Lalu ia menuruti. Meraih sehelai sapu tangan biru dari saku belakang jeans cowok itu. Bella menyodorkannya pada Juna. Tapi Juna justru menggeleng cepat sambil menunjuk ke wajah Bella dengan dagunya. “Untuk kamu.” Bella mengernyit semakin tak mengerti. “Untuk ... aku?” tanyanya bingung. “Iya, untuk lap wajah kamu, tuh. Basah. Maskaranya juga luntur. Jadi seram, kayak ....” Juna tak melanjutkan kalimatnya karena Bella langsung menyadari, lalu bergidik ngeri karena paham maksudnya. Lekas ia seka wajahnya perlahan. Mulai dari dahi kemudian dia bawah matanya yang memang terasa pedas terkena lunturan maskara bercampur air hujan, lalu turun ke pipi. ‘Nah, kan, jadi semakin cantik.’ Juna memuji dalam hati melihat wajah asli sang gadis di sampingnya yang tersipu grogi karena sejak tadi mata Juna tak lepas mengamati. “Thanks, yah. Aku cuci dulu sapu tangannya. Nanti aku kembalikan ke mana?” tanya Bella seraya melipat sapu tangan itu kembali. “Ke apartement itu,” tunjuk Juna dengan dagu dan bola matanya. Lurus ke gedung apartement yang menjulang di seberang mereka. Bella mengikuti arah pandangan Juna. “Kamu tinggal di apartement itu juga?” tanyanya setengah membelalak. Juna mengangguk jujur. “Kamu juga tinggal di situ?” Kali ini Bella yang mengangguk. “Aku di lantai 15,” jawabnya tanpa ditanya. Juna gantian membelalak terperangah. “Sama. Aku juga di lantai 15. Unit 1505.” Sepertinya hari ini menjadi Hari Terperangah Sedunia. Bella mengembangkan senyum di antara raut terkejut. “Aku di unit 1506,” jawabnya antusias. “Wow! Kita tetanggaan ternyata!” Juna berseru senang. Senyumannya menular pada Bella. Gigi kelincinya yang begitu lucu dan lesung pipi di pipi kiri tampak menggemaskan ketika ia tersenyum lebar. “Kamu penghuni baru disana?” sambung Juna lagi. “Lumayan lama juga sih, sudah satu setengah tahun. Sejak aku kerja di kota Bandung ini.” “Hah? Sudah selama itu,tapi aku baru tau ternyata tetanggaan sama seorang bidadari.” Blushing! Pipi sehalus kapas itu merona mendengar kata-kata yang melambungkan rasa dari cowok ABG di sampingnya. “Aku sudah hampir 3 tahun tinggal di unit itu, sejak tahun pertama masuk Univ Tek Bandung.” lanjutnya dengan penuh percaya diri. Siapapun yang kuliah di salah satu kampus tekhnologi terbaik di Indonesia itu pasti akan bangga pastinya. “Hebat juga!” seru Bella memuji tulus. Karena ia pun sangat tahu kampus yang terkenal itu. Hanya mahasiswa berotak kualitas tinggi yang bisa kuliah di sana. Kebetulan letaknya memang tak jauh dari unit apartement yang ia huni. Hampir setiap hari ia melewati kampus dengan lambang salah satu dewa itu menuju kantornya. “Aku Juna. Maaf nggak bisa salaman.” Kembali Juna menunjukkan dua kantong belanjaan di tangan. “Aku Clara. Clara Bella,” balas Bella menyebut nama lengkapnya. “Clara. Tapi aku lebih suka panggil Bella, boleh? Karena sesuai dengan orangnya. Cantik.” Bella blushing lagi. Pria muda yang berpostur lebih tinggi darinya itu ternyata pintar merayu. Gadis itu tersenyum malu. Lalu menggedikkan bahu. “Terserah. Panggil Clara boleh, Bella juga boleh. Senyamannya kamu aja panggil aku yang mana.” “Sebenarnya sih kalo boleh jujur. Aku lebih nyaman panggil ‘Sayang’. Tapi takut ada yang marah,” ungkap Juna dengan raut wajah lugunya namun mengandung penuh arti. ‘Sumpah, deh! Ini bocah kalo dibiarkan bisa bikin hati ini jadi taman bunga.’ Bella kian merona. Dan melihat pipi putih kemerahan itu membuat jantung Juna menghangat di tengah rasa dingin yang menyergap. Bella tak menanggapi karena sibuk menata bunga-bunga di hati lantaran bocah tampan satu ini. Dengan ekor mata ia memindai sosok pria muda di sampingnya. Tinggi, badan yang cukup tegap walaupun belum berisi. Mungkin jika rajin diolah di gym, tubuh menjulang itu akan semakin menarik. Parasnya sedikit kebule-bulean. Dengan hidung yang bertengger tegak, mata setajam mata elang dengan lensa kecoklatan dibingkai alis yang legam. Dan rambutnya yang juga kecoklatan tersisir rapi ke belakang. Bella menebak Juna ini pasti berdarah campuran. Ketika hujan mulai mereda, keduanya beriringan menuju apartement. Selama berada dalam perjalanan keduanya saling bertukar cerita tentang identitas dan kegiatan masing-masing. Juna yang masih berusia 21 tahun adalah seorang mahasiswa tingkat tiga jurusan tehnik industri. Sementara Bella mendekati usia 26 tahun bekerja sebagai staf keuangan di salah satu perusahaan digital yang cukup terkenal. Walaupun terdapat perbedaan yang mencolok dari segi status dan usia, tapi tak mampu menghalangi keduanya menjalin komunikasi yang begitu hangat dan intens. Hingga tepat di masa perkenalan tiga bulan, Juna menyatakan cinta pada Bella. Bella pun menerima tanpa syarat. Dan menjalani hubungan mereka dengan begitu mesra. Seakan dunia yang mereka hadapi tak lebih hanya tentang Juna dan Bella. Begitulah keduanya saling mencintai. Merasa saling memiliki dan percaya. Hingga satu malam yang indah, Bella tak kuasa lagi untuk mempertahankan mahkotanya yang terselubung rapat selama ini. Dengan ayunan syahdu yang dihantarkan Juna pada tubuhnya, ia serahkan mahkotanya pada sang pangeran tampan nan penuh pesona itu tanpa sedikit pun penyesalan. Setelahnya, nyaris setiap bertemu, tak ada waktu tanpa b******u. Kini, keduanya dihadapkan pada detik-detik perpisahan. Juna yang baru saja meraih gelar kesarjanaannya tiga bulan lalu sebagai Sarjana Tehnik, harus melanjutkan kuliah S2 ke negara Paman Sam. Sementara Bella terpaksa kembali ke Jakarta demi mengurus ibunda yang sedang menderita penyakit jantung kronis. Kemungkinan besar akan bekerja di sana. “Kita menikah aja, yuk,” ajak Juna menatap bola mata bening itu dengan gusar. Bella yang sedang memainkan ujung-ujung jemari tangan panjang Juna, menoleh cepat ke arah cowok muda itu. Lalu tertawa lagi. Tentu saja membuat Juna tersinggung berat. Ia meminta hal sakral itu dari lubuk hati dan niat suci. Tapi wanita yang dua kali tadi ia hempaskan dengan gelombang kenikmatan justru tertawa. Ia merasa diremehkan! Walaupun baru lulus kuliah, dan akan melanjutkan ke tingkat selanjutnya, bukan berarti ia tidak sanggup membiayai hidupnya dan Bella. Ia punya uang. Lebih dari cukup untuk membiayai hidup, bahkan jika punya anak tiga, empat atau sepuluh nanti. Apartement yang ia tempati pun sanggup dibelinya, bukan menyewa seperti Bella. “Merry me, Bel. And you’ll go with me. Untuk ibu kamu, kita sewa suster, biar aku yang bayar.” Juna tak puas hanya mendengar Bela tertawa tanpa menjawab ajakannya hingga ia merasa wajib mengulangi permintaannya lagi. Kali ini lebih serius. Agar wanita cantik ini tahu bahwa ia tak pernah main-main dengan hubungan mereka selama ini. Lagi-lagi Bella menggeleng. Lalu melingkarkan lengan di bahu yang sudah berbentuk bidang itu dan menatap wajah lelakinya dengan sendu. “Bukannya aku nggak mau merried sama kamu, Arjunaku Handsome. Mau banget! Tapi aku belum siap. Tanggung jawabku besar pada bundaku. Nggak mungkin aku ninggalin bunda dalam keadaan sakit begitu, Juna. Please understand me, Baby,” ungkapnya dengan suara selembut mungkin. Ia sangat berharap Juna memahami situasi sulit yang ia hadapi. Ibunya memang sudah lama menderita penyakit jantung, sejak ayahnya meninggal delapan tahun lalu. tapi keadaan ibu semakin parah sejak enam bulan belakangan ini. Menurut Om Adrian, adik dari ayahnya yang sudi mengasuh ibunya hingga saat ini, Ibunya itu sudah dua kali masuk rumah sakit dalam satu bulan terakhir. Sementara ia masih terpaksa menahan kepulangannya dari Kota Kembang ini karena harus mengurus prosedur pemberhentian kerjanya dalam satu minggu ini. Tanpa diduga, Juna menepis lengan Bela dari dadanya. Lalu cowok itu beranjak dari ranjang dengan sedikit hentakan dan terdengar decakan sebal dari bibirnya. Pria muda dengan wajah tertekuk kesal itu mengenakan pakaiannya satu per satu tanpa memedulikan kekasihnya yang menatapnya dengan perasaan menyesal. “Juna .... “ Bela melirihkan namanya. “Aku balik dulu ke unit. Hari apa kamu kembali ke Jakarta?” tanya Juna dingin setelah mengenakan t-shirt putihnya. “Selasa.” “Oke, hari Minggu aku kembali dan nginap disini.” Bela beranjak lekas, menghampiri cowok yang sudah membalikkan badan ke arah pintu kamar tanpa permisi padanya. “Berarti tiga hari lagi kamu balik ke sini? Kok lama?” Bela meraih lengan Juna, menggenggamnya begitu posesif, seakan tak rela Juna pergi. “Aku butuh waktu untuk menata hati yang barusan dihantam Tsunami.” Juna menjawab asal. Memaksa Bela mengernyitkan dahi, tak mengerti. “Disini nih ...” Juna menunjuk tengah dadanya sambil menatap kesal pada wajah gadisnya, “hancur lebur. Gara-gara kamu nggak mau diajak nikah!” “Baby....” Bela mendesah dengan hati tak nyaman melihat sang kekasih merajuk sedemikian rupa. “Jangan panggil aku ‘baby’! Aku bukan anak kecil!” omel Juna dengan suara datar namun menyiratkan kekesalan yang mendalam. Tanpa mengecupnya lebih dulu, seperti yang biasa dilakukan sebelum pergi, Juna menarik tangan dari genggamannya kemudian berbalik badan lalu pergi keluar kamar, meninggalkannya yang hanya bisa menatapi punggung lebar itu hingga menghilang di balik pintu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD