Yasmin Dan Lily

2541 Words
POV Yasmin. "Aku merindukan mu. Selalu merindukanmu, setiap waktu, setiap detik dan setiap hembusan nafasku. Rindu ini tidak pernah berkurang meski engkau sedang berada di dekap ku!" Bisik Faiz saat memeluk punggung Lily dari arah belakang saat Lily sedang berdiri di pagar pembatas balkon, menikmati kilau emas dari hangatnya sang surya. Lily tampak tersenyum sangat manis sambil membelai rahang Faiz, suaminya. Tak ada jawaban dari bibir Lily tapi Faiz tidak hentinya mendarat kecupan di pipi hangat Lily. "Tidak bisakah kau lebih lama lagi di sini. Mungkin dua atau tiga hari lagi. Aku masih belum puas memelukmu!" Lirih Faiz lagi dan detik yang sama Lily langsung berbalik menghadap suaminya. "Penerbangan ku kali ini tidak lama Mas, tidak lebih dari satu bulan, dan aku pastikan bulan depan aku sudah kembali pulang!" Jawab Lily lembut sambil mengurung kedua pipi Faiz dengan tangan cantiknya. "Percayalah, aku juga selalu merindukanmu, Mas. Di setiap penerbangan ku, di setiap negara yang aku singgahi, selalu ku ukir kan nama mu, agar aku selalu ingat jika ada laki-laki gila yang selalu menunggu kepulangan, laki-laki gila yang begitu mencintai ku dan aku cintai, laki-laki gila yang dengannya aku bisa mendapatkan cinta yang sempurna, dan laki-laki gila itu juga yang membuatku tersenyum saat mengingat namanya. Aku juga sama seperti mu, Mas. Aku sangat mencintaimu, sangat mencintaimu lebih dari yang kau tau!" Balas Lily dan Faiz langsung meraih belah bibirnya untuk dia cium karena dia benar-benar mencintai Lily, istrinya. Aku menahan nafas dalam diam, bersandar di sisi dinding pembatas balkon agar tidak terlihat oleh mereka, Faiz dan Lily. Ku usap perut besar ku dari atas kebawah berkali-kali sebagai isyarat untuk menenangkan janin dalam perutku, tak lupa ku lafaz kan doa dan surat Ar-Rahmah agar calon anakku di beri kelapangan hati dan memiliki jiwa yang penyabar, dengan harapan kelak dia akan tumbuh menjadi anak yang berbakti dan berakhlak baik, karena ternyata aku tidak hanya ingin dia menjadi anak yang kaya ilmu, tapi juga ingin dia menjadi anak yang memiliki akhlak dan tutur kata yang baik. Ku hapus benih air mata di pipiku, mendongak untuk menahan air itu agar tidak jatuh, dengan tetap mengelus perut besar ku agar aku bisa sedikit tenang. Faiz Al-Ghazali namanya, laki-laki tampan dengan sagala kedermawanannya, laki-laki tampan dengan segala kelembutan cinta dan kasih nya, laki-laki tampan yang dengannya kau akan merasa menjadi wanita sempurna karena cinta dan ketulusannya yang begitu besar, laki-laki tampan yang membuatku jatuh cinta sedalam ini, laki-laki tampan yang sempat membuat duniaku sedikit berwarna namun laki-laki itu pula yang membuat duniaku serasa dalam kegelapan. Faiz adalah tipe laki-laki sempurna di mata semua wanita, kau akan merasa cemburu pada wanita yang berhasil memiliki hatinya dan menjadi istrinya karena sikap siaga dan penuh cintanya, tapi itu tidak berlaku untuk ku, meskipun aku juga wanita yang sudah menjadi istri dari laki-laki itu , bahkan sudah akan memberinya dua orang anak. Aku adalah Yasmin, istri kedua Faiz Al-Ghazali, tapi aku bukanlah wanita yang beruntung bisa mendapatkan hati dan cinta dari seorang Faiz Al-Ghazali, karena meskipun aku akan memberinya dua orang anak, nyatanya cinta dan seluruh yang ada pada Faiz hanya akan menjadi milik Lily, istri pertamanya. Menjadi istri kedua bukanlah tujuan hidupku, tapi menjadi istri seorang Faiz Al-Ghazali adalah doa yang pernah aku langit kan di antara sujudku di sepertiga malam, tapi mungkin itu dulu, dulu sebelum Mas Faiz memutuskan untuk menikah dengan Lily, dan entah harus ku terima sebagai berkah ataukah karma saat tiba-tiba Lily menawarkan pernikahan padaku dan menjadi istri kedua Mas Faiz, suami Lily sendiri. Aku adalah wanita yang terpaksa Mas Faiz nikahi karena permintaan istri pertamanya, Lily, dan keinginan Lily tersebut di dukung penuh oleh kedua orang tua Mas Faiz yang mendambakan seorang cucu. Kembali aku menghela nafas dalam diam sambil menghembuskan dengan sangat pelan berharap rasa sesak ini bisa berkurang, meskipun itu juga rasanya percuma untuk aku lakukan. Lily adalah wanita yang sangat Mas Faiz cintai dan aku yakin jika Lily juga sangat mencintai Mas Faiz. Entah apa alasannya saat Lily datang membawa lamaran untuk suaminya ke rumahku dan memintaku untuk menikah dengan suaminya dalam artian menjadi adik madu Lily. "Aku akan pulang saat Yasmin melahirkan dan akan ku usahakan untuk lebih lama di Indonesia agar aku bisa membantunya pasca lahiran." Ucap Lily dan aku bisa mendengar itu dengan sangat jelas karena kamar aku dan kamar yang Lily dan Mas Faiz tempati memang hanya berjarak satu dinding, hingga tak jarang aku juga ikut mendengarkan setiap desahan penuh cinta yang tercipta dari percintaan mereka dan percayalah aku semakin merasa hina karena telah lancang menaruh perasaan indah itu pada laki-laki yang bahkan melihat ku saja dia tidak sudi. Aku dan Mas Faiz sudah menikah lebih dari empat tahun, anak pertama kami bulan lalu genap dua tahun dan sekarang aku sedang mengandung anak kedua Mas Faiz dan sekarang kandungan ku sudah memasuki bulan ke delapan, dan kemungkinan bulan depan aku akan melahirkan anak laki-laki untuk Mas Faiz. Percayalah. Empat tahun lebih aku menjadi istri seorang Faiz Al-Ghazali, tapi selama empat tahun itu pula Mas Faiz tidak pernah menyentuhnya. Oh, tidak, dia pernah menyentuhku, tapi dalam keadaan tidak sadar, atau terpengaruh obat laknat yang membuat sistem kerja otaknya jadi tidak waras hingga malam itu Mas Faiz berakhir menyetubuhiku, hingga akhirnya aku hamil dan melahirkan seorang putri untuknya dan dari kejadian itu Mas Faiz berpikir jika akulah yang melakukan perbuatan kotor itu, mencampur minumannya dengan obat perangsang, dan sejak malam itu Mas Faiz tidak pernah lagi mau menemui ku, bahkan Mas Faiz tidak ingin mengakui putri yang aku lahirkan sebagai anaknya , atau darah dagingnya, dan menganggap Naima, putriku sebagai anak hina karena terlahir dengan cara yang tidak dia inginkan. Kembali ku hapus benih air mata yang jatuh di pipi, dan dengan langkah beratku aku menyisir dinding kamarku untuk kembali masuk ke dalam kamar agar aku tidak melihat dan mendengar percakapan manis antara Mas Faiz dan Lily yang ternyata selalu sukses menciptakan luka di hatiku. Niat ku untuk berjemur dan b******u dengan sang Surya seketika hilang. Kaki bengkak ku, dan kulit pucat ku yang butuh kehangatan tak lagi merindu pada sang Surya, karena hati dan otakku ini lah yang harus lebih aku jaga agar terap waras. Anggap saja aku egois dan tidak tau diri karena selalu cemburu dengan keberuntungan yang Lily dapatkan karena bisa di cintai sehebat itu oleh suaminya, sementara aku, meskipun aku juga istri Mas Faiz, tapi akulah istri yang tidak di inginkan oleh Mas Faiz, lalu bagaimana aku bisa mengandung anak kedua Mas Faiz jika Mas Faiz tidak pernah menyentuhnya? Ya. Aku bersedia mengandung anak kedua Mas Faiz, tapi Mas Faiz tetap menolak untuk menyentuhku, hingga Mas Faiz memilih cara lain untuk memasukkan benihnya ke dalam rahimku. Ya, sehina itulah aku di hadapan Mas Faiz hingga untuk menjalani satu tanggung jawabnya padaku saja dia tidak pernah sudi. Aku mendaratkan bokongku di sisi ranjang sambil memeluk perutku, kembali ku tahan air mata ini agar tidak jatuh kerena aku tidak ingin rasa sakit ini juga menyakiti janin di rahimku. Perlahan ku baringkan tubuhku di atas ranjang, dengan posisi miring, ku pejamkan mata untuk menahan rasa pedih karena mencinta berharap aku akan mendapatkan kedamaian dalam rehatku meskipun aku tau itu juga percuma aku lakukan karena rasa sakit itu tetap bisa aku rasakan. Aku kembali mendengar tawa dan canda keduanya, Mas Faiz dan Lily dari arah balkon ,dan perlahan suara itu menghilang dan aku yakin mereka sudah masuk ke dalam kamar. Ku tarik bantal di sebelah ku, lalu ku pakai menutup kepalaku saat mendengar tawa garing keduanya karena aku yakin mereka sedang saling merayu. "Yasmin, kau masih tidur sayang?" Suara Ambu memecahkan kegaduhan hatiku. Paruh baya yang merupakan bibik, atau saudara dari almarhum ayahku itu mematahkan segala belenggu yang sedang aku rasakan. Aku kembali menghapus benih air mataku, lalu menarik nafas sebanyak yang bisa di tampung paru-paru ku , kembali melakukan hal yang sama untuk menormalkan degup jantung yang semakin bergemuruh. Ku paksakan untuk menarik kedua sudut bibirku saat berusaha menarik tubuh ku untuk bangkit dari rebah ku tapi ternyata aku tetap kesulitan untuk sekedar mengangkat tubuh ku sendiri hingga Ambu pun dengan cepat membantuku untuk bangkit dari rebah ku. "Yasmin bisa Ambu!" Lirihku berusaha kuat tapi Ambu tetap membantu dan menahan punggung dan pinggang ku untuk duduk dengan tegap juga membuka kedua pahaku agar duduk dengan baik karena perut besar ku kerap membuatku tidak nyaman dari dudukku. "Jangan memaksa kan diri, Nak, Ambu tau bagaimana beratnya hamil, karena Ambu pernah mengalami nya, meskipun Ambu juga tidak sempat melihat anak Ambu tumbuh karena kecelakaan itu, jadi jangan sungkan untuk meminta tolong karena Ambu akan selalu ada untuk mu. Kau adalah satu-satunya keluarga yang masih Ambu miliki dan Ambu sudah berjanji pada mendiang ayah dan ibumu untuk selalu menjaga mu, di saat kau membutuhkan Ambu, jadi jangan pernah berpikir jika kau bisa melewati ini sendiri Yasmin. Ada kalanya seorang wanita akan menjadi kuat tapi ada kalanya pula wanita itu akan menjadi lemah." Ucap Ambu saat membantu merapikan rambutku dan meletakkan dua bantal di belakang punggungku untuk menahan tubuhku agar lebih santai. "Iya!" Jawabku dengan membagi senyum padanya, dan paruh baya itu kembali menggenggam kedua punggung tanganku. "Ayo. Kau harus sarapan dulu, baru setelah itu kau bisa keluar untuk berjemur." Ucap Ambu lembut dan aku langsung mengangguk, kemudian menurunkan kakiku di bibir ranjang untuk kembali memasang sendal bulu yang biasa aku gunakan selama berada di dalam kamar. "Ambu membuatkan bubur beras seperti yang kau inginkan, ada abon daging yang juga sengaja Ambu buatkan agar kau lebih nikmat ketika menghabiskan bubur mu karena kau butuh lebih banyak asupan makanan untuk menjaga stamina tubuhmu sampai hari H persalinan mu!" Sambung Ambu dan aku kembali tersenyum menanggapi ucapan Ambu yang nyaris seperti ibuku saat menasehati dulu. Semalam aku memang sengaja meminta Ambu untuk membuat bubur agar mudah aku telan karena beberapa hari ini aku memang kesulitan untuk menelan makananku, lebih tepatnya lagi dari dua minggu yang lalu sejak Lily kembali dari dinasnya, aku memang semakin kesulitan untuk menelan makananku karena perasaan cemburu dan iri yang terus menggerogoti sisi manusiaku. Ya, se egois itulah aku pada Lily yang merupakan sahabat kental ku itu, bahkan dengan kemurahan hatinya aku bisa menjadi istri dari Faiz Al Ghazali laki-laki yang memang sudah lama aku cinta dalam diam. Aku sakit hati setiap kali melihat kebahagiaan dia dan Mas Faiz di depan mataku, karena sikap Mas Faiz padaku berbanding terbalik dengan sikap dia saat bersama Lily. "Iya Ambu!" Jawabku dan Ambu langsung membantuku, mengangkat nampan untuk dia letakkan di atas pangkuanku agar aku bisa segera menikmati bubur itu dengan baik. Aku menyendok nya dengan sedikit menambahkan abon agar bubur itu tidak terasa hambar, mengunyahnya sebentar dan menelannya. Pagi itu, setelah menyelesaikan sarapan ku, aku menolak untuk keluar dari kamarku, meskipun sebelumnya aku berniat untuk berjemur tapi tentu saja aku tidak mau ambil resiko jika kembali melihat kemesraan Lily dan Mas Faiz. Kembali ku buka layar laptopnya ku dan menyelesaikan sisa pekerjaan aku yang tidak selesai dari kemarin karena kemarin aku sudah berjanji untuk menyelesaikan desain grafis itu hari ini. Hingga hari beranjak siang, aku tetap menolak untuk keluar dari kamarku meskipun dari tadi Ambu mengatakan jika dari pagi Lily terus menanyakan keberadaan ku, tapi aku tetap punya alasan untuk menghindar karena aku memang menghindari untuk bertemu dengan Mas Faiz. Aku baru saja menutup layar laptopku, saat mendengar pintu kamarku di buka dari arah luar dan suara lembut itu menyapa indera pendengaran ku. "Yasmin,,, apa aku boleh masuk?" Sapanya, itu adalah suara Lily. Aku berusaha menarik kedua sudut bibirku untuk membentuk senyuman saat menyapa dia yang juga tengah membagi senyum lalu duduk di ujung ranjang ku karena aku sedang duduk dengan kaki berselonjor setelah lebih dari tiga jam duduk bersila dengan meja kecil di depan ku. "Bagaimana perasaan mu, apa kandunganmu baik-baik saja?" Tanya dia seolah ingin memastikan jika aku dan janin di perut ku baik-baik saja dan aku yakin jika sikapnya itu memang tulus. "Iya, kami baik-baik saja!" Aku tersenyum menanggapi pertanyaan Lily. "Bagaimana kabar putraku? Apa dia baik-baik saja? Apa dia tidak membuatmu risih atau tidak enak?" Tanya Lily dan aku kembali tersenyum. "Dia baik-baik saja, kau tidak perlu khawatir!" Jawab ku tulus dan Lily langsung berjongkok di sisiku sembari meraba perut besar ku, berbicara dengan perutku seolah cara itulah yang bisa dia lakukan untuk berinteraksi dengan janin di kandungan ku karena sama seperti saat aku mengandung Naima, Lily juga sangat memperhatikan kandungan keduaku meskipun Lily juga jarang berada di rumah karena Lily adalah seorang pramugari dan Lily lebih sering melakukan penerbangan keberadaan negara dari pada berada di rumah dan itu adalah satu diantara sekian alasan kenapa Lily menolak untuk mengandung dan lebih memilih merelakan suaminya untuk menikahi wanita lain yang dia pilih untuk suaminya dan itu adalah aku. Aku pikir seiring berjalannya waktu, Mas Faiz perlahan akan melembut padaku, tapi ternyata dugaan ku salah, karena sampai detik ini perasaan Mas Faiz tidak pernah berubah pada ku, juga pada Lily. Dia tetap memegang teguh satu cinta dan itu adalah cintanya bersama Lily, sementara padaku, dia tetap menyimpan benci padaku karena berpikir aku telah menjebaknya dalam status pernikahan ini juga kebenciannya pada malam itu, malam saat dia menyentuhnya dan itu adalah awal mula kegelapan yang aku rasakan dalam hubungan ini. "Oh,,, syukurlah." Jawabnya lega dengan senyum yang tidak pernah surut dari bingkai wajah cantiknya dan kali ini aku yang kembali mengelus perut besar ku, lalu balas tersenyum. "Aku akan kembali ke maskapai. Ada penerbangan ke tiga negara selama sebulan ini, tapi aku janji akan kembali sebelum kau melahirkan." Ucapnya sambil menggenggam kedua tangan ku tapi lagi-lagi aku merasa tersakiti dengan tutur kata manisnya. Dia begitu baik tapi egoisnya aku justru merasa terluka. "Tetap jaga dirimu baik-baik untuk kami, dan kami akan selalu menunggu kau kembali pulang!" Jawab ku tidak kalah lembutnya dan Lily langsung memelukku. "Terima kasih sudah menjadi istri yang baik untuk Mas Faiz, terima kasih sudah menjaga Mas Faiz selama aku tidak bisa bersamanya, terima kasih sudah menjadi pelengkap kebahagiaan kami dengan melahirkan keturunan Mas Faiz." Lirih Lily di pundakku tapi percayalah kata-kata Lily tadi seolah menjadi belati beracun di hati dan pikiran ku. Aku tidak pernah menjadi istri yang cukup baik untuk Mas Faiz karena jika iya, tidak mungkin Mas Faiz membenci ku sedahsyat ini. Tapi tentu Lily tidak tau hal ini, karena Mas Faiz memang menyembunyikan rapat-rapat hubungan tidak sehat yang tercipta di antara kami, dan setelah itu, Lily mengatakan akan berangkat karena Mas Faiz sudah menunggunya di bawah dengan seorang sopir untuk mengantarnya. Ku pandangi kedua pasangan suami istri yang tengah saling memeluk itu, Mas Faiz merangkul punggung Lily sementara Lily memeluk pinggang Mas Faiz saat seorang sopir memasukan koper milik Lily. Lily menoleh ke arah balkon kamarku sembari melambaikan tangannya lalu mengudarakan satu ciuman di udara padaku, aku pun melakukan hal yang sama pada Lily, tapi Mas Faiz sama sekali tidak peduli dengan keberadaan aku yang sedang memperhatikan dia dari arah atas. Dia tetap acuh dan terkesan dingin, bahkan lebih bisa di katakan masa bodoh, dan menarik pinggang Lily untuk segera masuk mobil dan mobil mereka berlalu pergi meninggalkan halaman rumah itu. Kembali aku terpaku dalam kesendirian ku, ku pandangi sore itu yang terlihat mulai jingga. Ku hela nafas ku dalam diam sebelum rasa nyeri di kepalaku kembali terasa dan ini adalah kali kesekian aku merasakan rasa nyeri yang sama dan aku buru-buru bergegas kembali masuk ke kamar sebelum kesadaran ku menghilang seperti beberapa hari yang lalu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD