Keputusan

1949 Words
Dua Minggu setelah Lily pergi. Yasmin membuka laci nakas sebelah tempat tidurnya. Mengeluarkan pigura di mana di sana ada senyum teduh ibu dan ayahnya, memandangi lamat-lamat gambar itu setiap kali rindu menyeruak dengan sangat halus tapi menyakitkan. Rindu yang hanya sebatas Alfatihah, dan rindu yang tidak akan mendapatkan penawarnya meski kau benar-benar ingin bertemu dan berbagi cerita. "Tuhan, aku merindukan mereka, orang yang telah kau panggil lebih dulu dariku. Aku ingin menceritakan apa saja yang telah aku lalui selama ini tanpa kehadiran mereka. Aku ingin mengadu padanya dan menumpukan kepalaku di atas pangkuannya, karena rasa ini lebih berat dari dilema hati yang tengah aku rasakan." Lirih Yasmin saat mengukir wajah di pigura yang saat ini dia pandang. "Suruh Yasmin menemui ku di ruang kerjaku!" Ucap Faiz pada pada salah satu asisten rumah tangganya saat Faiz kembali dari luar kota setelah tiga hari tidak pulang. Bukan kali pertama Faiz tidak pulang, Faiz nyaris lebih banyak menghabiskan waktunya di luar rumah, entah itu untuk urusan pekerjaan atau hanya sekedar menghindari Yasmin dan sekalipun Faiz berada di rumah, Yasmin juga tidak pernah punya keberanian untuk menemui atau sekedar bertemu dengan Faiz maka saat Faiz berada di rumah maka Yasmin tidak akan keluar dari kamarnya. Bukan tanpa sebab Yasmin menutup diri pada laki-laki yang berstatus suaminya itu, tapi Faiz sendiri yang memaksa Yasmin untuk menjaga jarak dari Faiz, hingga mau tidak mau Yasmin menahan perasaannya meskipun dia begitu ingin untuk mendekatkan diri pada suaminya, dan itu semua berawal dari malam terkutuk itu. Tanpa menjawab, asisten rumah tangga itu langsung mengangguk, bergegas keluar dan berjalan ke arah timur lantai dua rumah besar itu karena kamar Yasmin memang ada di sana, bersebelahan dengan kamar yang di tempati Lily dan Faiz, sementara ruang kerja Faiz ada di bagian barat. Yasmin sedang duduk di balkon kamarnya dengan menatap semburan senja sore itu karena hanya itu lah hiburan yang bisa Yasmin dapatkan secara gratis dan alami selama berada di rumahnya. Naima sedang bersama Yasmin saat seseorang mengetuk pintu kamarnya dan masuk. "Maaf Nyonya, Tuan meminta Nyonya untuk menemuinya di ruang kerjanya sekarang!" Ucap asisten rumah tangga itu saat membuka pintu, setelah sebelumnya dia juga mengetuk pintu kamar itu dan menghampiri Yasmin di balkon. "Tuan?" Kutip Yasmin tidak percaya jika Faiz memintanya untuk menemuinya karena selama ini Faiz memang tidak pernah mau bertemu dengannya. "Iya Nyonya. Tuan baru pulang dan sekarang ada di ruang kerjanya." Jawab asisten rumah tangga itu dan Yasmin diam sejenak memikirkan apa yang ingin Faiz bicarakan sampai harus meminta Yasmin menemuinya. Pikir Yasmin mungkin kah ini menyangkut kandungannya yang semakin mendekati hari H, dan saat pikiran itu memenuhi otak Yasmin, ada senyum yang ikut terbit dari sudut bibir Yasmin meskipun itu sangat tipis dan hanya sepersekian detik karena Faiz memang tidak bisa di prediksikan. Saat Yasmin berpikir sesuatu yang baik akan terjadi padanya, kadang kala Yasmin harus kembali menelan pil pahit jika kebaikan itu bukanlah untuk dirinya. "Pergilah Nak, temui dia. Jangan membuatnya menunggu!" Timpal Ambu Fatimah saat membantu Yasmin bangkit dari duduknya karena perut Yasmin memang semakin besar dan berat. Yasmin mengagguk, Yasmin membenarkan penampilannya, Ambu membantu merapikan rambut kusut Yasmin karena tadi Yasmin bersandar di punggung kursi dan setelah itu Yasmin menatap Ambu sesaat dan Ambu langsung mengangguk memenangkan perasaan lain yang turut Yasmin rasakan. Tentu Ambu adalah orang yang paling tahu bagaimana hubungan Yasmin dan Faiz selama ini, namun sama seperti Yasmin dan Faiz, Ambu juga menutup ketidakselarasan dan ketidak adilan Faiz pada Yasmin yang terjadi dari hubungan keduanya karena Yasmin tidak ingin siapapun tahu tentang ketidakberuntungan yang dia alami dari pernikahannya bersama Faiz termasuk pada Lily ataupun kedua orang tua Faiz sendiri. "Jujur, Yasmin takut Ambu!" Lirihnya dengan sangat pelan namun cukup untuk Ambu dengar dengan sangat jelas dan Ambu menggenggam sebelah tangan Yasmin sambil tersenyum. "Bismillah saja Yasmin, dan yakin ini adalah awal yang baik untukmu!" Jawab Ambu sama lirihnya dengan Yasmin dan Yasmin langsung terlihat menghela nafas dalam diam, lalu mengangguk, baru setelah itu asisten rumah tangga tadi membantu Yasmin untuk keluar dan berjalan menuju ruang kerja Faiz dengan hanya mengikuti langkah Yasmin dari arah belakang. Waspada pada ibu hamil. Mengetuk pintu itu beberapa kali sebagai isyarat jika dia akan masuk. "Masuk." Suara bereton itu mengintruksikan dan baru setelah itu asisten rumah tangga itu membuka pintu dan Yasmin masuk ke dalam seorang diri. "Tutup pintunya!" Perintah Faiz dingin dan detik yang sama pintu itu juga langsung tertutup dan percayalah, Yasmin semakin gugup sekarang. Yasmin masih berdiri di tengah ruangan itu, sementara Faiz sedang berdiri menghadap jendela dengan pandangan yang fokus pada tanaman anggrek kesukaan Lily, dia tak sekalipun berbalik untuk melihat kedatangan Yasmin yang menemuinya , meskipun itu atas perintahnya. "Duduk dan bacalah map yang aku letakkan di atas meja sofa!" Ucapnya dingin dan Yasmin langsung melihat ke arah meja sofa di mana di sana ada map biru yang tergeletak rapi. Yasmin patuh dengan mengambil tempat duduk di sofa tersebut setelah meraih map yang Faiz maksud, kemudian membukanya, lalu membaca kop dari beberapa lembar kertas di dalamnya. Ada surat pernyataan jual beli tanah dan rumah di dalam map tersebut, juga surat pengalihan hak milik rumah beserta tanah dari berkas sebelumnya. Yasmin juga membuka satu buku berwarna kuning dengan tulisan sertifikat dan di sana tertera nama Yasmin sebagai pemilik sertifikat tersebut. "Itu adalah surat kepemilikan tanah dan rumah atas mana kamu Yasmin. Aku sengaja membelikannnya untukmu." Ucap Faiz dengan suara yang cenderung datar, masih dengan menatap ke arah jendela dan tanaman anggrek, dia bahkan tidak berbalik ketika berbicara dengan Yasmin. Deek. Jantung Yasmin berdegup lebih kencang dari biasanya karena ini benar-benar di luar prediksi Yasmin sendiri. 'Apa ini? Kenapa Mas Faiz membeli kan tanah dan rumah atas namaku? Oh apakah Mas Faiz ingin memberikan ku hadiah kejutan, karena sebelumnya aku juga mendengar kabar jika Mas Faiz baru saja membeli satu panthous mewah di kawasan elit untuk Lily dan apakah Mas Faiz juga akan melakukan hal yang sama padaku, membelikan rumah?' Pikir Yasmin mencoba tetap berpikir positif, dan saat pikiran itu memenuhi otaknya , ada senyum yang turut terbit dari kedua sudut bibir Yasmin namun senyum itu tidak berlangsung lama karena menit berikutnya Faiz berbalik dan berjalan menuju arah duduk Yasmin. Jantung Yasmin masih berdegup kencang, tapi sebisa mungkin Yasmin menahan diri agar tidak terlihat gugup. "Itu akan menjadi milikmu!" Ucap Faiz masih sambil berdiri di belakang Yasmin dan Yasmin kembali menghela nafas lega karena meskipun Faiz berisikap dingin padanya ternyata Faiz juga masih memiliki toleransi padanya dengan bersikap adil meskipun sampai sekarang keadilan itu nyaris tidak pernah Yasmin dapatkan dari hubungan itu. "Aku tidak ingin menambah dosa ku terlalu besar dengan sikap aku yang tidak pernah bisa adil pada kau dan Lily. Seperti yang pernah aku ucapkan di awal pernikahan kita, jangan pernah berharap lebih padaku atau menaruh rasa padaku agar kau tidak merasa terluka dengan hubungan ini, karena sampai kapanpun aku tidak akan pernah bisa memberikan hati dan perasaan itu padamu. Aku mencintai Lily dan aku tidak tau apa yang membuat Lily merelakan pernikahan ini, tapi maaf, kali ini aku harus tegas, aku sudah tidak bisa lagi terus seperti ini. Aku sudah tidak lagi bisa menahan rasa sakit yang ikut tercipta dari status kita ini!" Ucap Faiz yang kembali berjalan ke arah jendela dan kembali mengalihkan pandangannya ke arah luar jendela. Yasmin terdiam, tak sekalipun dia berani menoleh ke arah Faiz, tapi degup jantungnya seakan berlomba dan berdegup lebih kencang dari sebelumnya. Dadanya kembali terasa sesak dan panas , meski begitu Yasmin tetap bersikap tenang seolah dia memang sudah terbiasa melakukan itu. Menundukkan wajah karena tanpa di beri tahu pun Yasmin sudah tau bagaimana perasaan Faiz padanya juga pada Lily. "Aku ingin mengakhiri hubungan ini. Aku akan menceraikan kamu setelah kau melahirkan putraku. Dan rumah itu akan menjadi tempat tinggal mu setelahnya. Kau boleh membawa putrimu ikut bersama mu, tapi aku akan mengambil hak asuh putraku untuk aku besarkan sendiri." Ucap Faiz lagi dan seketika nafas Yasmin terasa tercekal di tenggorokan karena dia memang tidak pernah menyangka jika kata-kata itu akhirnya lepas dari mulut seorang Faiz Al-Ghazali. "Kau tenang saja, aku akan tetap memberi mu kompensasi, selain rumah dan tanah itu. Aku juga akan memberikan mu sejumlah uang agar kau bisa memulai hidupmu yang baru bersama putrimu, dan aku harap kau bisa bekerja sama dalam masalah ini." Ucap Faiz lagi panjang lebar tapi Yasmin tak sekalipun menjawab sepatah katapun untuk menyanggahi pernyataan Faiz tadi. Dia hanya terus menunduk sambil mengusap perut besarnya, air matanya sesekali jatuh tanpa bisa dia tahan. Yasmin menghela nafas dalam diam lalu menghembuskan nya dengan sangat pelan untuk meringankan rasa sesak di dadanya. Bahkan untuk mengakui Naima sebagai putrinya pun Faiz tak ingin. Dia tetap menolak keberadaan putrinya yang bahkan menjadi cucu pertama di keluarganya juga menjadi cucu kesayangan orang tuanya , dan apa tadi? Faiz bahkan lebih memilih menggunakan bahasa putrimu dalam penggalan kalimatnya seolah-olah Naima hanya berstatus putri Yasmin seorang, tapi ajaibnya Yasmin malah mengagguk menanggapi pernyataan Faiz. "Jika aku juga membawa Naima bersamaku, lalu bagaimana Mas akan mengatakan ini pada Mama dan Papa? Apa aku juga harus ,,,?" "Itu akan menjadi urusan ku nanti. Kau cukup tutup mulut dan tetap tenang. Jangan katakan apapun pada mereka tentang pembicaraan kita hari ini. Aku yang akan mengatakan ini semua pada mereka tapi itu setelah kita resmi bercerai!" Jawab Faiz memotong kata yang Yasmin ucapkan dengan sangat cepat dan Yasmin langsung terdiam, menelan kembali rasa sakitnya karena pada akhirnya dia benar-benar terlempar sebelum sempat mendapat balasan rasa atas doa yang selama ini dia lirihkan dalam setiap sujudnya. "Lalu bagaimana dengan Lily?" "Kau juga tidak perlu memikirkan Lily. Aku yang akan mengatakan ini pada Lily." Jawab Faiz dengan sangat dingin dan Yasmin kembali terdiam. Kembali Yasmin mengusap perut bulatnya, memeluknya dengan sagala luka di hati, luka tak berdarah namun cukup membuat rasa sakit yang luar biasa. Setelah mengatakan itu, Faiz juga meminta Yasmin untuk kembali, keluar dari ruangan itu dan tanpa berkata atau menolak sedikitpun, dengan segala kesulitannya, Yasmin berusaha bangkit dari duduknya lalu berjalan keluar meninggalkan ruangan itu, sementara Faiz tetap tak bergeming dari berdirinya, bersidekap d**a dan setelah terdengar suara pintu terbuka lalu kembali tertutup, barulah Faiz menghela nafas kemudian menghembuskannya dengan sangat kasar . Tangannya bertumpu pada meja, menunduk , lalu menarik tubuhnya untuk duduk di kursi meja kerjanya. Keputusan dia sudah final. Dia memang sudah tidak lagi bisa bertahan dalam kemelut hati saat harus memaksakan hati untuk berbagi. Tidak. Dia tidak bisa, nuraninya menolak untuk melakukan itu, cintanya pada Lily benar-benar menahannya untuk berbagi. Yasmin memang bukan wanita yang buruk, dia cantik dan berpendidikan. Meskipun terlahir dari keluarga sederhana, tapi kecerdasan Yasmin memang tergolong di atas rata-rata, namun itu saja tidak cukup untuk membuat seorang Faiz Al-Ghazali merasa simpati, atau malah jatuh hati, dia tetap memegang teguh kesetiaan dan cintanya pada Lily meskipun Lily tidak selalu ada di sampingnya, menemaninya dalam segala hal atau sekedar menghangatkan ranjangnya saat malam dingin menyapa. Yasmin kembali ke kamarnya, tubuhnya langsung luluh ke lantai saat pintu kamarnya dia tutup. "Oh apa yang terjadi, Nak?" Ambu langsung bergegas menyamai berdirinya Yasmin yang sudah luluh ke lantai, karena Ambu baru selesai memakaikan Naima pakaiannya. Naima memang menempati kamar yang sama dengan kamar yang Yasmin tempati karena Yasmin menginginkan demikian, meskipun dari sejak Naima lahir , Lily sudah menyiapkan kamar khusus untuk putri pertama Faiz itu. Yasmin terduduk lemas, tubuhnya serasa tak bertulang, nafasnya terputus-putus di tenggorokannya, air matanya mengalir tanpa bisa dia tahan. "Ada apa denganmu, Yasmin? Ayo bangun!" Ambu mencoba membantu Yasmin bangkit dari duduknya, tapi Yasmin tetap tak bergeming lalu menggeleng. Ambu Fatimah bisa menebak jika saat ini Yasmin sedang kecewa, hanya saja kekecewaan apa lagi yang Faiz berikan untuk Yasmin, Ambu sendiri tidak tau jika Yasmin tidak menceritakannya dan Ambu yakin , kali ini Yasmin juga pasti tidak akan mengatakan apa yang membuat hatinya kecewa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD