Lima

1076 Words
"Nicho ikut saya" Sharon sengaja memanggil Nicho ke ruangannya. Bukankah ini juga urusannya? Wanita itu guru Nicho dan berhak menasehatinya. "Ada apa ?" sahut Nicho dingin, meski mengijinkan Sharon bersama ayahnya, tapi ia masih tak suka dengan Sharon. "Ayahmu bilang kau ingin keluar dari sini?" "Hhaah... apa ia akan selalu cerita semua hal padamu?" ledeknya "Nic..." Sharon jadi malas karena sikap jutek Nicho. "Aku bicara seperti ini sebagai guru BK mu. Aku hanya ingin kamu tahu. Jika kamu keluar karena perundungan itu artinya sama saja kamu menghindar dari masalah, kamu harus berani menghadapinya Nic. Kamu tak akan bisa selamanya kabur, lawan! kamu punya hak... jadikan kamu bisa menang dari mereka, perse-tan dengan apa yang mereka lakukan dan katakan, tak ada yang bisa menjatuhkanmu kecuali atas seijinmu! aku tahu kamu bisa, masalah Sera, hhaaah... kalau gadis itu tak mencintaimu, lebih baik kau menyerah. Karena sebuah cinta yang dipaksakan tak akan pernah berakhir baik. Ada saatnya kamu berhenti, mencintai tanpa ada sebuah harapan untuk dibalas memang meyakitkan Nic" ucap Sharon berusaha menasehati Nic sebaik mungkin ia berharap Nic dapat mengerti. "Bagaimana bisa kau memintaku menyerah? Sera adalah alasan ku satu-satunya untuk bahagia! hanya ia yang aku inginkan!" pekik Nicho marah, ia pikir semua yang dikatakan Sharon hanya bualan semata, karena wanita itu tak pernah ada di posisinya. Sharon membiarkan Nicho pergi, wajar sebagai anak muda jika ia masih diliputi rasa ego dan pantang menyerah. Sharon berfikir suatu saat Nicho akan mengerti bahwa melepaskan jauh lebih baik dibanding memaksakan kehendak. Tapi nyatanya harapan Sharon masih begitu jauh dari angan, sampai usianya yang menginjak 27 tahun Nic tak pernah sekalipun melupakan Sera, ia hanya merasa Seralah yang pantas untuknya. Flashback Off "Aaaaggghhhkkkk....." Nic membuang semua benda yang ada di meja kerjanya, hatinya begitu panas melihat Sera dan Ben berciuman mesra, apapun... apapun akan ia lakukan asal Sera mau memilihnya. Nic memukul-mukul meja kerjanya seraya melampiaskan amarahnya, setelah lelah, ia mengambil minum yang memang tersedia di mejanya. Sruuppp... "hhuueeeekkk...." Ia memuntahkan teh hijaunya. Perasaannya yang tengah kalut semakin marah, matanya memerah menahan gejolak rasa. Diteleponnya Rere sekertaris pribadinya. "Rere... keruangan saya!" titah Nic dingin. Rere yang mendengar suara teriakan Nic sejak tadi jadi merasa begitu takut luar biasa. Tubuhnya bergetar, mulutnya merapal doa secara spontan demi masuk ke ruangan bos arogantnya. "Rere..." panggil Nic geram. Tatapan nyalangnya sungguh membuat Rere semakin gugup, apalagi kondisi ruangan Nic yang berantakkan "I-iyah...Pak..." sahut Rere takut. "Kamu bisa kerja gak?" sarkas laki-laki itu. Tentu saja menambah serangan jantung bagi Rere, beruntung ia masih muda. Jadi hal itu tak akan mungkin terjadi. "Maksud Bapak?!" jawabnya ragu. "Saya sudah bilang! untuk jangan memasukkan gula pada teh hijau saya! minum ini rasanya manis!" pekik Nic seraya memberikan gelas bekasnya, Rere semakin takut air matanya ingin turun, ia tak menyangka dirinya dibentak sekeras ini hanya karena teh mengandung gula. Rere mendekat ia perlahan meminum teh itu dengan gugup, rasa manis yang Nic bilang hanyalah secuil bagi Rere, atau mungkin wanita itu jadi tak merasa karena terlalu gugup. "Ma-maaf pak" Rere sendiri tak paham, kenapa hanya karena gula Nic begitu marah sekarang, satu yang tak diketahui Rere. Nic sangat takut gendut lagi, susah payah ia merawat tubuhnya supaya ideal, agar bisa menyamai Ben. "siapa yang buat?!" pertanyaan yang seakan berdengung di telinga Rere, wanita ini merasa seperti memakan buah simalakama, jika ia tak jujur bisa dipastikan Nic semakin geram, tapi kalau ia jujur, ia takut Lastri akan dibentak juga sama sepertinya. Bagaimanapun juga Rere begitu menghormati bu Lastri yang sudah lebih dulu bekerja disini. "Eeehh..." wanita itu hanya bergumam "Jawab!!" spontan Rere menciutkan tubuhnya, akhirnya ia terpaksa jujur! Ia sudah bagai pencuri yang di intrograsi polisi. "Bu... Bu Lastri..." kini airmatanya jatuh, perasaan bersalah menyelimuti hatinya, tapi ia juga tak bisa membantu Bu Lastri. "Pecat dia!" titah Nic tak berperasaan. Rere jadi mendongak demi mendengar perintah Nic. 'Apa pecat? apa laki-laki ini gila? tak mengertikah kata sebuah toleransi?" "Tapi pak..." sekuat tenaga ia ingin membantu Bu Lastri. "Kamu gak punya telinga, saya bilang pecat!" Ia bicara dengan santainya seolah mencari karyawan yang berdedikasi tinggi seperti Lastri adalah hal yang mudah. Rere pergi dari ruangan bos gilanya, kakinya lunglai, ia tak akan sanggup mengatakan hal ini ke Lastri. Ia dulu pernah dengan Lastri bekerja karena ia ingin menghidupi ketiga anaknya, karena Lastri yang seorang janda. Setelah di tinggal pergi selamanya oleh suaminya. Dengan lemah ia menelpon team HRD, karena memecat seseorang bukanlah kewenangannya, Winny manager HRD sampai bergetar mendengar cerita Rere. Dikantor ini sudah menjadi lumrah membicarakan Nic dari belakang. Dan Winny tahu Rere tak berbohong. Mau tak mau ia memanggil Lastri, wanita berusia 40 tahun itu dengan senang hati menghadirkan rapat khususnya. "Maafin saya, saya ndak sengaja.. saya cuma tambahin setengah sendok gula, takut pak Nic ngrasa pahit banget" ia memohon ke Winny, tapi wanita itu juga tak bisa apa-apa, ia hanya memegangi tangan Lastri, memang terkadang niat baik seseorang tak selalu dipandang baik oleh orang lain. Tapi apa mau dikata, bicara sampai mulut berbusapun tetap saja Nic sang penguasalah yang selamanya benar. --- Setelah kepergian Lastri, perusahaan kini tengah mencari pengganti wanita itu, meski mungkin akan sulit karena Nic terkenal pemilih. "Udah dapet pelamarnya?" tanya Rere saat bertemu Winny di kantin kantor. "Udah tapi gue gak yakin bakal ada yang tahan lama, secara bos lo itu kan sok perfect banget" kesalnya "Bos gue, bos lo juga.." sahut Rere sama kesalnya --- Sementara seorang gadis yang baru saja mendapat panggilan interview terlihat begitu bahagia. "Bu... Bu... Naya dapet kerja bu! Yeyeyee....." cerianya sambil menari-nari di atas kasurnya. "Iyah nak?!" si Ibu yang diceritakan malah balik bertanya, pasalnya Naya sudah sangat jarang mendapat panggilan interview, semua orang bilang semua itu karena Naya yang tak menarik. Ia hanya seorang gadis yang cupu. "Iyah Bu, Naya bakalan kerja, kali ini Naya yakin pasti Naya diterima!" pekik Naya setelah mendekat ke Ratna, ibunya. Ia bahkan mengoyang-goyangkan tangan Ratna bahagia. Naya adalah wanita chubby dengan penampilan super apa adanya, hanya rambut panjang hitam yang selalu digulung serta beberapa setel pakaian yang tak pernah ia upgrade sejak 3 tahun yang lalu. Bukannya Naya tidak modis ataupun mengerti kekurangannya, ia tahu bahkan terlalu tahu! karena sejak di sekolah ia selalu jadi bahan olok-olok temannya. Tak ada yang bisa Naya lakukan selain Ikhlas. --- Pagi ini Naya datang dengan kemeja terbaiknya, ia bahkan menggunakan minyak rambut agar membuat sanggulan rambutnya tak berantakan. bibirnya mengulum senyum karena di otaknya sedang menguntai harapan besar atas panggilan kerja kali ini. Ia tak ingin selamanya jadi beban ibunya yang sudah sakit-sakitan itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD