Empat

1252 Words
Terkadang seseorang bukan tak mungkin menang. Hanya saja ia takut untuk berusaha. Mereka tak ingin lelah setelah tahu hanya akan ada kegagalan disana. Padahal yang memiliki kepastian akan hal esok hanya sang pencipta. Manusia hanya perlu berusaha. Tapi kenapa seperti itu saja kita keburu malas bahkan takut, dan lebih suka menjadi paranormal dadakan. Sama halnya dengan Nicho. Satu yang lelaki itu pikirkan, hanya menunggu Sera membalas cintanya. Jika itu terjadi mati sekarangpun ia rela. "Cukupp...cukuupp, Ben !" ucap Sera penuh penekanan, perlahan pukulan Ben melemah seiring dengan pegangannya yang mengendur di kerah baju Nicho. Nicho terhuyung setelah tubuhnya dihajar habis-habisan. "Plaakkkk..!! 'haaahh.. Apa?! Sera menamparku?' panik Nicho tak percaya, bukan rasa iba atau ucapan yang menenangkan yang Nicho dapat. Justru hanya sebuah tamparan yang Sera layangkan di pipi kirinya. "Dan lo, tahu diri dong! Seenaknya ajah suka sama gue!" pekik Sera begitu memekakkan telinga, Nicho yakin semua orang yang lewat bisa mendengar semuanya dengan jelas. Malu, rapuh, patah hati dan kecewa, semua tercampur jadi satu. Tak bisakah wanita itu sedikit saja menghargai perasaannya. Seumur hidupnya Nicho tak pernah merasa sepecundang ini. Hatinya begitu perih meski tak ada setetes air mata yang turun dari kelopak matanya. Setelahnya Ben dan Sera berjalan dengan tangan Ben di bahu Sera, dan Sera merangkul pinggul lelaki itu. Seakan tak pernah terjadi apapun antara mereka bertiga. "Woooii...wwooii... denger gak si cupu ditolak Sera" suara nyaring Thom seolah mengajak orang lain menertawakan Nicho. Nicho menatap sekitar, semua orang seakan berubah menjadi mahluk paling mengerikan di mata Nicho, ia pergi dari kerumunan dengan perasaan marah, ia berharap bisa pergi sejauh mungkin bahkan rasanya ia ingin menghilang dari bumi ini. "Tunggu dong!.. mau kemana?" cegat Vino yang telah menunggu Nicho di depan pintu kelas. "Minggir Vin, gue mau lewat!" Patah hati membuat Nicho sedikit berani. "Gak bisa gitu dong! gue mau kasih tahu lo. Jangan pernah mimpi lo, buat deketin Sera, lo cuma kacung, loser, cupu, gak ada pantes-pantesnya" ucap Vino, seraya mendorong bahu Nicho. "tidak pantas? Tuhan tak pernah menciptakan diri kita berbeda. Jadi bagaimana kau sebut aku tak pantas untuk Sera?" Nicho masih percaya selama ia berusaha, suatu hari ia akan mendapatkan cinta Sera, kali ini mungkin ia belum beruntung, tapi bukankah masih bisa lain waktu, dipercobaan berikutnya. "Hahahaa... lo mikir apa sih Nicho sampe bisa bilang gitu?! Semua orangpun tahu sampai kapanpun lo gak bakal ngdapetin Sera, mau lo ngemis bahkan sujudpun lo gak ada pernah itu terjadi" balas Vino nyalang. Menekankan setiap perkataannya. Nicho yang diliputi amarah besar segera mendorong Vino, dan pergi dari sana. Niatnya untuk kembali ke kelas sudah ia lupakan, kali ini laki-laki itu hanya ingin menyepi seorang diri. Merasakan betapa sakitnya patah hati. Nicho kemudian berlari dari kerumanan seolah ingin menjauh dari kenyataan hidup. Ia baru berhenti pada sebuah pohon besar didekat taman. Nicho tersujud dibawah kaki bangku taman yang ada dibawah pohon, ia menumpahkan semua rasa sesak dihatinya yang tadi belum sempat ia utarakan. "Kenapa... kenapa..?!" gumamnya yang sudah menitikan air mata, rasa perih atas penghinaan Ben, Sera maupun Vino serta Thom sudah membuat perasaan Nicho terasa tercabik-cabik, ia juga manusia tapi mengapa perlakuan mereka seakan Nicho mahluk yang hina. Dan yang paling menyakitkan sekarang Nicho tak lagi punya alasan 'bahagia' di sekolah. Sekarang semua telah jelas, Sera bahkan membencinya, kepastian cintanya yang semula terasa abu-abu kini telah terang benderang. Tapi mengapa justru Nicho merindukan saat-saat kemarin, saat-saat dimana ia masih dengan bahagia mencintai Sera dalam diam. Tapi kini, mengingat Sera saja sudah membuat jantung Nicho sakit. ---- Cukup lama lelaki itu termanggu di taman seorang diri, sampai suara jangkrik menghampiri, pertanda malam telah tiba, Nicho pulang saat hari begitu larut, ia berjalan lemas seraya membuka pintu rumahnya, tapi tunggu.. Nicho mendengar ada suara desahan dari balik pintunya, ia yang semula langsung ingin tidur jadi merasa degdegan. Suara siapa yang tadi ia dengar, samar-samar Nicho dapat mengenali suara ayahnya tapi siapa suara satunya lagi, suara wanita yang sepertinya tidak asing ditelinga Nicho. Perlahan matanya menangkap dua orang yang ia kenali saling b******u mesra, sungguh Nicho merasa jijik dengan apa yang ia lihat, Ms. Sharon dan ayahnya tengah berpelukkan dan berciuman mesra, Nicho merasa sekali lagi ia terhianati, ayah yang begitu ia hormati dan ia sayangi ternyata mempunyai tingkah layaknya hewan buas dimatanya. ayah yang selama ini Nicho pikir... belum bisa move on dari ibunya justru terlibat affair dengan guru sekolahnya. "Ayah..." panggil Nicho mengagetkan Edward dan Sharon, dari matanya tersimpan kemarahan yang begitu dalam, dan itu sudah dapat terbaca oleh keduanya "Ka-kami... bisa jelaskan ini semua Nicho, tapi tolong dengarkan kami dulu" ucap Sharon berusaha mengejar Nicho dengan keadaannya yang masih berantakan bahkan kancing baju atasnya terlihat sedikit terbuka. Dengan sigap wanita itu membenarkan tampilannya kembali. Sementara Edward hanya mendesah pasrah sambil tangannya menutup wajahnya. Nampaknya lelaki itu malu dengan kelakuannya sendiri. Nicho terus berjalan tanpa memperdulikan panggilan Sharon, Sharon masih terus mengejar ia merasa semua ini karena salahnya, yang bisa mengakibatkan kedua orang ayah dan anak bisa jadi saling bertengkar. Nicho berhenti dibelakang rumahnya, terduduk sendiri disana. Sharon duduk di sebelah anak didiknya itu yang sebentar lagi mungkin menjadi anak tirinya. "Malau kamu mau marah. Silahkan salahkan aku, aku yang sudah masuk kedalam kehidupan ayahmu. Dia lelaki yang sangat baik, walau sekarang ia bersamaku. Tapi ia masih sangat mencintai ibumu, aku tahu itu, dan aku tidak marah, biarkan kenangan tentang ibumu terus berada direlung hatinya, dan aku. Aku hanya berniat menemaninya disisa umurnya tanpa pernah berharap menyingkirkan siapapun" ucap Sharon membela Edward. Wajahnya terpancar senyum tulus meyakini jika semua yang ia katakan berasal dari lubuk hatinya. Nicho sesaat tertegun setahunya setiap orang yang sudah sangat cinta biasanya berubah menjadi lebih posesif dan berharap bisa memiliki seutuhnya tanpa diganggu kenangan masa lalu. Tapi Nicho tak mungkin memuji Sharon tulus, mungkin saja kini wanita itu tengah bersandiwara agar mendapat simpatiknya. "Aku tahu apa yang terjadi padamu tadi siang disekolah ?" tambah Sharon ketika Nicho belum juga membalas obrolannya. Nicho jadi menatap nyalang ke wanita itu. ‘Tunggu.. apa kini ia tengah mengancam Nicho agar rahasianya tadi siang tidak dibongkar wanita itu?’ pikir Nicho dalam hati. "Apa kau berniat memberitahukan ini ke ayah?!" sarkasnya. Sharon hanya tersenyum. Sayangnya ia bukan wanita konyol seperti itu, alasannya bersama dengan Edward juga karena Nicho yang sudah ia anggap seperti anaknya sendiri, tapi sayangnya Nicho tidak pernah tahu hal itu. "Aku bersumpah tak akan pernah memaafkanmu jika sampai melakukan hal itu...!" Bagi Nicho, ia bisa terlihat menyedihkan di sekolah tapi ia tidak suka mengakuinya di depan ayahnya. Nicho berdiri ia berniat pergi dan sebelum itu Sharon mengenggam tangannya demi menahan langkahnya "Aku pastikan itu tak akan terjadi, tapi ijinkan aku membantumu!" ucapnya dengan pandangan yang serius. Tanpa peduli Nicho melanjutkan langkahnya, bantuan apa yang wanita itu tawarkan. Semua terdengar omong kosong baginya. Lagipula Nicho juga tidak ingin melanjutkan sekolahnya lagi. Esok hari ia akan bicara dengan Edward untuk keluar dari sana. Karena tak ada lagi yang tersisa baginya selain rasa sakit. Pagi hari... Pagi ini Nicho sudah menunggu Edward di meja makan, meski rasanya marah dan kecewa masih menyelimuti hatinya, tapi Nicho juga tak ingin masalah pribadinya menjadi berlarut-larut "Aku mau pindah sekolah!" ucapnya dengan pandangan yang kosong. Edward sesaat terdiam. Bagaimana mungkin anak ketua yayasan justru tidak bersekolah disana? Lagipula memang kenapa? Apa ini karena hubungan rahasianya dengan Sharon. "Tunggu.. apa kau terganggu dengan kejadian semalam?!" tanya Edward ragu. "Tidak.. aku hanya tidak suka pergi sekolah!" putus Nicho cepat. Setelahnya ia masih ke kamar karena ia harus tetap berangkat, tak ada yang bisa Nicho lakukan dipagi hari selain bersekolah. Dan ia tak berniat menjadi pengangguran dini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD