Tujuh

1086 Words
Meski tidak mengerti tapi Naya tetap mengangguk, ia tak mau dianggap tidak sopan sama seniornya. "Ya udah gue balik dulu,ya. Lo kalau udah rapi balik juga aja! gak usah nunggu pak Nic pulang. Dia mah gak ada kerjaan jadi sukanya di kantor sampe malem." Tambah Rere sebelum benar-benar pergi. biarpun sudah diberitahu tapi Naya merasa tidak enak. Ini hari pertamanya bekerja, tapi ia sudah membuat Nic marah. Perasaannya begitu tak tenang sebelum ia bisa minta maaf dengan pria itu. Naya hanya takut ia dipecat dan tak punya pekerjaan lagi. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Semua orang yang di kantor pun sudah pulang. Kantor sendiri sudah dikunci, hanya ada Naya yang duduk di pelataran depan kantor. Info sang security biasanya Pak Nic selalu kembali ke kantor, maka dari itu ia yakin menunggu bos barunya itu. "Pak..." panggil Naya saat melihat Nic berjalan berniat masuk. Ia sedang sibuk membuka kembali pintu kantor. "Kamu?" jawabnya tak suka, ia tak mengerti mengapa Naya masih ada di sini. "Sa-sayaa.., mau minta maaf, karena saya tadi sudah membuat anda kesal, mulai sekarang saya tak akan mengulanginya lagi." Nic hanya menyeritkan alisnya. Ia tak yakin Naya menunggunya hanya untuk itu, rasa mindernya membuat ia tak bisa percaya orang lain dengan mudah. "Masuk!" ajaknya, Naya hanya menurut ia ikut masuk dengan Nic. "Jelaskan pada saya. Apa maksudmu sebenarnya?!" tanyanya dengan mata yang memandang curiga. "Saya?! saya cuma mau minta maaf sama Bapak." Jujur Naya begitu kaku. "Hhaah.., ingat saya tidak suka dengan orang yang suka cari muka, sekarang pulanglah!" "Tunggu, cari muka gimana maksud Bapak? saya gak ada niat cari muka, lagi juga saya udah punya muka kok!" "Hahaa... gak usah pura-pura, sudah terlalu banyak orang seperti anda," ucap Nic seraya menunjuk Naya, Naya yang salah paham mengira terlalu banyak orang yang kriterianya sama dengan kualitas dirinya. "Maksudnya Bapak mau cari ganti saya? sayakan baru kerja, Pak. Lagi juga, kan saya udah minta maaf!" kesalnya seraya cemberut. "Hhah... " desah Nic. Tadinya ia ingin membuat Naya takut padanya, tapi justru gadis itu berani cemberut di depannya. "Buatin saya kopi!" titah Nic seraya duduk. "Kopi? tadi katanya disuruh pulang?" Nic semakin geram. Ia sudah berbaik hati mengijinkan Naya tetap bekerja, tapi justru tingkahnya membuat ia makin kesal. "Kamu office girl di sini, kan? dan saya bos disini, emangnya salah kalau saya minta dibuatkan kopi?!" sahutnya mengijabarkan posisinya. "Gak salah. Tapi ini, kan sudah malam, jam kerja saya juga udah selesai 3 jam yang lalu." Nic hanya menggeleng tak percaya, kalau memang Naya berniat cari muka seharusnya ia langsung sigap saat disuruh tadi. Kali ini Nic yakin ia tadi sudah salah kaprah. "Kalau begitu ini bukan perintah, tapi saya sedang minta tolong sama kamu." Entah mengapa malam ini ia begitu ingin meminum kopi hangat tapi ia terlalu malas turun ke pantry. Naya segera keluar dari ruang bosnya, sejak dulu ia selalu lemah dengan kata tolong, jiwa super women-nya seakan terpanggil tiap kali ada yang minta bantuan. "Bentar,ya Pak, jangan kemana-mana," pinta Naya. Nic tak menjawab justru berbalik badan ia ingin memulai melanjutkan pekerjaannya. Setelah selesai Naya mengetuk pintu ruangan Nic "Masuk." Naya kembali masuk dengan secangkir kopi panas. "Ngapain pake ngetok, kita berdua doang di sini." kesal Nic karena kelakuan Naya. "Tetep aja gak sopan kalau saya masuk gitu aja, kalau Bapak lagi ngapa-ngapain gimana?" "Hhaahh.., ya sudah taroh kopinya disitu." Tunjuk Nic kearah mejanya melalui matanya. "Langsung diminum,ya Pak, itu saya buat dengan tingkat kepanasan yang pas, gak kepanasan juga gak kedinginan." Cerita Naya bangga, ia sudah terbiasa membuat kopi, dulu di sekolah ia sempat membantu ibu kantin demi mendapatkan tambahan uang jajan. "Emang kamu tahu tingkat panas yang pas?" tanya Nic penasaran, ia sudah mendekatkan cangkir itu ke mulutnya. "Taulah... 78° kayak iklan, Pak." Jawab Naya polos, Nic mau tertawa tapi ia tahan, ia malah berpura-pura meniup kopinya. "Minuman panas jangan ditiup Pak, gak boleh sama Rasullah." Nic yang dinasehati jadi malu sendiri, mengikuti kata Naya. Nic tak lagi meniupnya, lagipula kopinya sudah tak begitu panas. 'Enak...' bathin Nic berucap. Ia tak menyangka bisa meminum kopi senikmat ini di kantornya, bahkan rasanya lebih sedap dibandingkan kopi kekinian yang dijajakan dipinggir jalan. "Gimana, Pak?" tanya Naya yang masih setia menatap Nic. "Lumayan..." puji pria itu datar. "Iyah, kan Pak. Saya kasih kopinya itu agak banyak, tapi gak pahit, kan Pak. Bapak tahu gak kenapa?" tebak Naya. "Kenapa?" Nic jadi penasaran. Karena ia memang tak merasakan pahit sama sekali saat meminum tadi. "Itu karena kadang kehidupan jauh lebih pahit dari kopi itu," sahut Naya seolah bijak, mendengarnya membuat Nic tertegun. Ia kembali mengingat masa sekolahnya dulu, satu memori yang tak akan ia lupakan... kejadian yang selalu berhasil menyesakkan rongga dadanya ketika mengingatnya kembali. "Sok tahu!" jawab pria itu asal. Ia berbalik badan agar Naya tak melihat kesedihan di wajahnya. "Iih bener, Pak!" balas Naya tak terima. Nic hanya tersenyum. Ia yakin kehidupan Naya tak akan mungkin semenyedihkan yang ia alami dulu. Setelahnya Nic meminta Naya pulang. Nic tak ingin diganggu dengan celotehan karyawan barunya itu. Naya pulang dengan mengendarai sepeda bututnya, suasana malam yang mulai sepi membuat ia nyaman mengayuh sepedanya pelan, matanya menatap kedepan tapi hatinya kembali menerawang kisah masa lalunya. Flashback On. "Duuh.. kacung kok lama siih!!" panggil Siska teman sekelas Naya. "Kalau bikinin mie gue yang cepet dong!" tambahnya saat melihat Naya menyodorkan mangkuk mie di depannya, Naya memang sedang membantu bibik Nisa, pemilik kantin sekolah. "Ini juga udah cepet kok!" jawab Naya rada kesal. "Iiih... pesuruh aja nglawan gue lagi lo." "Daripada kamu, katanya anak orang kaya, tapi gak ngerti sopan santun." Itu suara bik Nisa yang geram luar biasa mendengar Naya selalu diledek oleh teman-temannya. "Gak usah diladenin Bik, yang ada makin kesenengan anaknya," sahut Naya langsung pergi dari hadapan Siska. "Gimana Bibik gak ladenin, dia tuh suka banget ngatain kamu, lagi emang kenapa kalau kamu bantu Bibik, kamu anak baik kok," sahut Bibik Nisa membela. Jika saat di kantin Naya mendapat bantuan tapi tidak di dalam kelas. Ia selalu saja dikerjai oleh teman sekelasnya. Bahkan mereka tak ada yang mau satu grup dengan Naya. "Bu... Naya bau! gak ganti-ganti baju, gak mau ahk duduk sebelah dia!" teriak Nita keras, membuat semua siswa tertawa terbahak-bahak. Naya hanya mampu tertunduk sambil mengepal tangannya kuat, ia sudah terbiasa mendengar penghinaan-penghinaaan seperti itu, seharusnya hatinya kuat. Tapi ia selalu saja merasa sakit saat mendengarnya lagi. "Nita jangan kayak gitu, lagi Naya gak bau kok," bela Bu Risma. "Iyah tapi gak pernah ganti baju," tambahnya. Naya memang tak mengganti seragamnya sejak kelas satu, itu semua karena Naya tak ingin merepotkan kedua orangtuanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD