Delapan

1176 Words
Entah berapa banyak cemoohan yang diterima Naya, mungkin bagi mereka hal itu hanyalah lelucon tapi bagi Naya, justru hal itu terpatri erat di benaknya. Flasback Off "Bu... aku pulang!" ucap Naya, wanita yang sejak tiga tahun terakhir menggunakan kursi roda itu keluar seraya tersenyum senang. "Kok sampai larut malam gini sini, Nak pulangnya?!" tanya Ratna "Iyah Bu... tadi aku nungguin bos aku dulu, terus diminta buatin kopi" cerita Naya. Ratna hanya mengangguk ia senang karena itu artinya Naya sudah dipercaya oleh bosnya. Setelahnya, Naya pergi ke kamarnya berniat merebahkan tubuhnya. Naya sudah tertidur di kasur dipannya memandangi langit-langit kamar yang terlihat begitu rendah. Ia kembali membayangkan wajah sang ayah yang sudah tiada. Kejadian yang tak pernah Naya lupakan saat sebuah mobil menabrak warung kecil orangtuanya membuat ayahnya itu harus meregang nyawa sedang ibunya kini harus selalu bergantung pada kursi rodanya. Naya sendiri tak tahu siapa yang telah menabrak warung yang menjadi mata pencarian orangtuanya, karena semua saksi saat itu diam. Satu persatu dari mereka tak ada yang ingin bersaksi. hanya karena keluarga Naya miskin dan tak mampu membayar kesaksian mereka. Pengadilan dunia memang tak bisa diharapkan berlaku adil, kadang mereka hanya memihak pada siapapun yang paling banyak memiliki harta. Naya merentangkan tangannya ke atas, ia berjanji suatu hari nanti dengan kedua tangannya ini, ia akan menuntut keadilan untuk ayah dan ibunya. Mungkin ia hanyalah gadis miskin biasa, tapi perlu kalian tahu jika tekadnya begitu besar mengungkap semua yang telah berlaku pada kedua orangtuanya, bahkan Naya rela melakukan apapun untuk itu. Naya terlihat menghapus airmatanya, seraya berjalan ke meja belajarnya, ia mengambil selembar kertas dan mulai menuliskan puisi bertajuk AYAH... hal yang selalu ia lakukan saat hatinya tengah dilanda rindu. Ayah... Hai ayah... hari ini adalah hari pertamaku bekerja, aku bukan lagi gadis kecilmu yang selalu merengek saat melihat gulali. Aku sekarang sudah mampu menghasilkan uang dari keringatku sendiri. ayah... memang tak banyak uang yang ku hasilkan saat ini, dan tak akan mungkin sebanding dengan semua jasa-jasamu, tapi ijinkan aku menggunakan uang itu untuk membahagiakan ibu, wanita yang begitu kau cintai... Ayah... aku tak akan lagi menangis, perlahan akupun bisa menerima jika yang telah terkubur di tanah adalah jasadmu, tapi aku yakin cintamu akan selalu ada untukku. Salam sayang ... anakmu yang selalu merindukanmu. Naya menutup buku diarynya, ia sedikit mendesah karena rasa kecewa yang perlahan muncul lagi, tak ingin terbawa suasana Naya memutuskan melakukan sholat isya agar hatinya jauh lebih tenang. --- Seperti biasa Naya datang lebih awal dibandingkan karyawan lainnya. Jabatannya yang hanya seorang office girl memaksanya untuk lebih rajin lagi. "Ya Allah... Pak Nic" pekik Naya karena melihat Nic masih berada di ruangannya. Tadinya Naya mau membersihkan disana lebih dulu, tapi nyatanya ia menemukan Nic yang masih memakai setelan jasnya yang kemarin. "Pak... bangun Pak..." Naya mengguncang lengan Nic pelan, ia tak tega melihat Nic hanya tertidur di sofa yang berukuran kecil. Memaksa tubuh lelaki itu untuk menciut sesuai space "Sera..." gumam Nic. Naya menyeritkan alisnya. Ia hampir tak mendengar nama siapa yang digumamkan Nic. Tiba-tiba saja Nic memeluknya erat seraya menangis sendu "Jangan tinggalkan aku!" pintanya, Naya tidak tahu ucapan Nic untuk siapa, tapi ia juga tak tega jika harus mengusir Nic dari tubuhnya. "Sabaryah Pak... saya tahu kok Bapak pasti sayang bangetyah sama orang itu, awal Ayah saya gak ada juga saya kayak gitu kok, gak rela ditinggalkan... tapi perlahan saya mencoba ikhlas." ucap Naya mencoba menasehati, ia bahkan dengan berani membelai surai Nic. "Haaaahh... kenapa kamu?!" kaget Nic, ia tak menyangka dirinya sekarang kini tengah bersandar di bahu Naya. "Bapak tadi yang meluk saya!" sahut Naya tak terima, ia tak mau dianggap wanita ganjen karena telah mendekati Nic. "Tapi ngapain tangan kamu sentuh kepala saya?!" balasnya tak terima ia sudah mengganti posisinya menjadi duduk tegap. "Abis tadi bapak nangis, ya udah saya cuma niat nenangin bapak doang kok!" mendengarnya membuat Nic tertegun, jadi tadi ia menangis saat memimpikan Sera, dan parahnya Naya mendengarnya. "Terus kamu denger saya ngomong apa?!" tanyanya sinis. "Enggak...! soalnya pelan banget suara bapak" Nic jadi mendesah lega, setidaknya Naya tidak tahu rahasianya yang paling terdalam. "Ya udah keluar sana!" "Laah... saya mau bersih-bersih Pak, bapak dong yang keluar!" "Kamu berani!" Marah Nic sambil berdecak pinggang dan matanya yang melotot. "Hehhee... maaf Pak kelepasan. Inikan kantor bapak,yah. Gak mungkinkan bapak yang keluar. Berarti harusnya saya yang keluaryah. Kalo gitu saya ajah deh yang keluar" Naya sudah membawa kembali sapu, pel dan embernya berniat keluar. "Mau kemana?!" "Keluar Pak" sahutnya polos. "Gak jadi bersih-bersih,yah?" "Ooiyaah... jadi pak.. jadi... " Naya ingat saran Rere untuk tidak mencari masalah dengan Nic. Sebentar saja Naya sudah sigap untuk membersihkan ruangan Nic "Pak... kakinya naikin dong! mau dipel nih" ucap Naya dengan nada memerintah, dan entah mengapa Nic tak bisa marah meski ia kesal dengan gadis itu, tetap saja ia menaikan kakinya ke atas meja. Setelah beberapa lama "Udah belom... kaki saya pegel ini?!" "Eeh... kaki Bapak masih nangkring disitu ajah! orang saya udah rapi kok!" "Hhhuuh... bilang dong daritadi..." "Laah... Bapak baru nanya" "Udaah.. bikinin saya kopi kayak semalem lagi" "Kopi muluk Pak, gak takut kulitnya jadi hitam apa?" "Emang bisa, minum kopi terus kulit jadi menghitam?" tanya Nic penasaran. "Bisa ajah Pak, kalau minumnya sambil dilumurin di badan" jawab Naya enteng, Nic hanya menaikkan sebelah alisnya ia terlalu sering mendengar gurauan macam itu. Biasanya ia akan marah bilang 'gak lucu' tapi dengan Naya ia malas bilang seperti itu. "Kopinya jadi, Pak?!" tanya Naya karena Nic yang membuang mukanya. "Jadilah..." sahutnya kembali menghadap Naya. "Ya udah tunggu bentar yah Pak, saya mau lap kaca bentar lagi..." suruh Naya "Enggak bisa! saya mintanya sekarang, berarti sekarang!" "Aduuuh... si bapak gak sabaran banget" "Yang bosnya saya apa kamu?!" Kembali Nic mengingatkan posisi Naya. "Yah Bapak... kan yang duduk di kursi itu Bapak, yang namanya ada diatas meja nama Bapak, yah.. kalau Bapak kepengennya saya yang jadi bosnya... atuh.. diganti tulisan disitu" tunjuk Naya ke sebuah papan nama yang berada di meja kerja Nic. "Naya... cukup! buat kopi se-ka-rang!!" tekannya. Cukup kesabaran Nic menghadapi celotehan Naya. Biasanya ia akan badmood seharian setelah dibuat kesal dengan seseorang, tapi dengan Naya, Nic justru sedikit merasa terhibur. "Iiih... dasar Kertarajasa... Pake nanya bosnya siapa, muda ganteng tapi pikun... ckckckck..." gumam Naya. "Eeh... lo tuh kopi buat siapa?" tanya Rere yang baru sampai. "Buat tuan Kertarajasa..." ucap Naya sambil menunjuk ruangan Nic dengan bibir manyunnya "Buuupphh... hahahaaa... Apa Kertarajasa?!" sahut Rere girang. "Heemmm..." Naya hanya mencibirkan bibirnya sambil mengangguk. "Bener banget... dia tuh mirip sama Kertarajasa. Kok gue gak kepikirannya kemarin-marin manggil gitu, pokoknya entar gue mau bilang Winny buat ganti nama pak Nic jadi Kertarejasa". "Loh... kata mbak, Bapak gak suka dipanggil nama lain selain Nic?" "Yeellaah.. ini cuma panggilan di grup chat kita ajah..." "Jadi mbak punya grup chat buat ngomongin Pak Nic?" seru Naya matanya melotot "Heheee... punya" Sahut Rere malu-malu. "Iiih.... gak boleh Mbak ngomongin orang. Dosa!" sahut Naya, jarinya menunjuk kearah Rere membuatnya semakin malu. "Tapi boleh gak nomor saya di masukin juga?" yang tadinya Rere malu jadi mendelik karena nyatanya Naya juga tertarik masuk kegrup absurd yang isinya umpatan kebencian ke sang atasan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD