1. Malam Pertama

1705 Words
Menikah Dengan Botol (1) #MalamPertama °°° “Menikah dengan botol?” tanya Pak Aswin. Bapak mengangguk. Bapak memang sesepuh yang dituakan di kampung. Sering kali orang-orang datang sekadar meminta solusi ataupun meminta didoakan. Bapak tidak pernah meminta imbalan kepada siapa pun. Akan tetapi, tidak jarang para tetamu Bapak meninggalkan amplop berisi uang, nominalnya pun beragam. Malam ini yang datang adalah teman lama bapak, yakni Pak Aswin dan Mak Esih. Mereka berkeluh mengenai putri mereka satu-satunya, Murayya. Kini, usia Murayya sudah hampir menginjak seperempat abad, usianya hampir dua puluh lima tahun. Namun, anak semata wayang Pak Aswin dan Mak Esih itu seperti tidak tertarik untuk berumah tangga. Keruan, hal ini membuat Pak Aswin dan Mak Esih gelisah setengah mati. Selain itu, mereka lelah dengan gunjingan dan pertanyaan tetangga yang terus bertanya kapan Mura akan berumah tangga. Menurut penuturan Bapak, ada orang yang mungkin sakit hati oleh Mura, sehingga orang itu menikahkan Mura dengan botol. Menikahkan seseorang dengan botol, semacam ilmu hitam terlarang di daerah sini. Konon, orang yang dinikahkan dengan botol selamanya tidak akan pernah mau menikah, kecuali tutup botol dibuka. Masalahnya, tidak ada yang tahu botol itu ada di mana. Bisa dikubur, bisa juga dibuang ke laut. Walau demikian, masih ada satu lagi jalan alternatif untuk menolong anak gadis yang ditenung—dinikahkan dengan botol. Jalan alternatif itu tidak lain adalah dengan menikahkannya secara diam-diam dengan lelaki tulen, manusia asli. “Anakku laki-laki, tapi usianya sudah tiga puluh enam tahun, selisih sebelas tahun sama putrimu. Dia juga belum menikah. Gusti Allah telah memanggil calon istrinya tiga hari sebelum pernikahan. Sampai sekarang, dia belum bisa melupakan calon istrinya itu. Kalau kamu setuju ....” Bapak menggantung ucapan dan melirikku sekilas. Pak Aswin dan Mak Esih saling bertukar pandang, sejenak mereka termenung. Lantas, sejurus kemudian keduanya melirikku beberapa kejap. “Kalau Ali setuju ... Bapak bersedia menyerahkan Mura pada Nak Ali,” kata Pak Aswin sungguh-sungguh sembari menatapku. Seketika aku menelan ludah, mulut mendadak terasa kecut kering. Aku lantas menatap Bapak, memelas. Tentu saja aku tidak menginginkan perjodohan ini, sebab hatiku masih terikat pada Kamalia. Bapak balas menatapku lembut. “Ali, Aswin ini teman Bapak. Dulu, dia sering membantu kita. Saat kamu hendak dilahirkan, Ibumu mengalami pendarahan. Aswin inilah yang ke sana kemari mencari mobil untuk membawa Ibumu ke rumah sakit. Saat Ibumu meninggal, usia kamu baru tiga tahun, Esih inilah yang merawat kamu.” Aku menunduk. Memang benar semua yang dikatakan Bapak, Mak Esih-lah yang merawatku hingga umurku sepuluh tahun. Setelah itu Mak Esih dan Pak Aswin pindah karena ayah Mak Esih meninggal. Pak Aswin dan Mak Esih kemudian tinggal di sana. “Gimana Ali? Kamu bersedia kan menolong Mura?” tanya Bapak. Aku menunduk semakin dalam. Ingin sekali menolak, tetapi tidak enak hati. Diamku ini dapat dipastikan sebagai sebuah persetujuan. *** Mengembuskan napas kuat-kuat, aku menatap diri di cermin, berpakaian rapi dan mengenakan kopiah. Pagi ini aku akan menikahi Mura. Entah seperti apa sosok wanita itu, aku sama sekali tidak tahu. Pintu terbuka, Bapak muncul dari balik pintu. Dia duduk di sampingku, mengusap punggungku. “Pak ...,” lirihku. “Kenapa?” Bapak menatap pantulan diriku di cermin. “Pernikahan ini apa sah? Mura tidak diberitahu sama sekali?” Bapak menghela napas. “InsyaAllah, sah, Nak. Syarat nikah kan ada lima, yaitu ada pengantin perempuan—Mura, ada pengantin laki-laki—kamu, ada wali bagi mempelai perempuan—Aswin, ada dua orang saksi laki-laki, dan ijab qabul. Di sini kan sudah ada kerelaan, penyerahan dari wali yang sah, yaitu Aswin. Lagi pula, tujuannya kan untuk menolong Mura.” Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi, agaknya pernikahan ini memang tidak bisa dihindari. *** Penikahan berlangsung di ruang tengah dengan saksi seperlunya. Untuk meyakinkanku, Bapak juga telah memanggil ustad setempat bahwa pernikahan ini sah, tentu saja dengan harapan pernikahan ini akan membawa kebaikan. Niatnya pun demi menolong, bukan untuk main-main. Seterusnya, aku diharuskan menjadi suami yang baik bagi Mura. Menjelang siang, aku pamit pada Bapak, sebab harus ikut Pak Aswin dan Mak Esih. Sebelum berangkat, Bapak memberiku satu pesan, bahwasanya tenung atau santet ‘Menikah Dengan Botol’ akan patah jika terjadi suatu hubungan suami-istri antara aku dan Mura. Hal ini dikemukakan pula di depan Pak Aswin dan Mak Esih. Mereka bertiga pun katanya telah menyiapkan suatu rencana agar hubungan itu dapat terlaksana. Entah rencana apa, aku tidak diberitahu. *** Setelah melakukan perjalanan hampir seharian, aku akhirnya tiba di sebuah rumah besar. Badanku rasanya pegal semua, linu juga kebas. Maklum, sebelumnya belum pernah melakukan perjalanan sejauh ini. Ketika pintu utama dibuka, ternyata yang membuka pintu adalah seorang perempuan, perempuan muda berwajah lucu. Dan harus aku akui juga, cantik. Kulitnya bersih, rambutnya panjang dan sedikit bergelombang digerai begitu saja, matanya cokelat jernih, pipinya lumayan gembil, tubuhnya padat berisi tetapi tidak gendut. Mungkinkah gadis ini Murayya? Tapi kenapa penampilannya seperti gadis lima belas tahunan? Dia mengenakan celana kain panjang berpita di pinggang, kaus lebar bergambar kartun yang juga berpita di pergelangan tangannya, pun memakai bando lucu. Kalau begini sih, dia lebih cocok jadi anakku daripada istriku. Dia menatapku dengan sinis, kemudian menatap Pak Aswin dan Mak Esih. “Pak, Mak, dia siapa?” tanyanya, sembari menatapku. Pak Aswin dan Mak Esih tidak langsung menjawab. Mereka mengajakku masuk dan duduk berkumpul di ruang tengah. Lantas, dengan lembut dan hati-hati Pak Aswin menerangkan semuanya. Bahwasanya, Mura sekarang sudah menjadi seorang istri dan akulah suaminya. Tentu saja gadis itu tidak terima dan mencak-mencak. Namun, dengan lembut Mak Esih memberi pengertian. Mak Esih lantas membawa Mura ke kamar, setelah beberapa kejap, mereka kembali, ternyata Mura sudah tenang. Namun, tatapan Mura tetap dingin dan sinis. Pak Aswin menyuruhku mandi agar segar. Dan memang benar, setelah mandi air dingin, badanku terasa lebih segar. Pegal-pegal, linu, serta kebas sudah banyak menghilang. Usai shalat Maghrib, kami semua makan malam. Aku makan sedikit, soalnya masih canggung. Setelah makan, aku lebih kikuk lagi. Untunglah, Pak Aswin menemaiku mengobrol sampai menjelang isya, dia juga memberiku segelas minuman, katanya jamu. Kami kebali melakukan shalat Isya berjamaah. Jadi, di rumah ini ada ruangan khusus tempat shalat berjamaah. Setelah shalat, Pak Aswin memintaku menemaninya main catur. Dari tiga ronde, aku kalah dua kali. Entah kenapa semakin ke sini, aku semakin tidak bisa fokus. Mandi keringat malah. Rasanya tubuhku sangat aneh, gerah tidak keruan. Selintas, malah terbayang-bayang wajah Mura yang ketus tetapi cantik. Tepat pukul sepuluh, Pak Aswin memintaku menemui Mura di kamarnya. Otomatis jantungku berdebar-debar. Bukan apa, Mura tidak menyukaiku, berada satu kamarnya dengan pasti akan canggung dan tidak mengenakan. “Kenapa diam saja? Ayo, temui Mura!” seru Pak Aswin. Terpaksa aku melangkah, mengikuti Pak Aswin yang merangkul bahuku—lebih tepatnya menyeretku secara halus. Aku menelan ludah saat tiba di depan pintu bercat putih dengan ornamen sepasang kucing imut lucu menggantung. Kamar Mura. Meski Pak Aswin belum memberi tahu, aku yakin ini memang kamar Mura. “Mura menunggu di dalam,” kata Pak Aswin. Tubuhku segera terhuyung ke depan saat Pak Aswin mendorong punggungku. Berat banget. Ini sama saja seperti aku memasuki kandang harimau, di mana di dalam kandang ada harimau betina galak. Apa nanti yang harus aku kerjakan di dalam? Pasalnya, Mura sudah menunjukkan ketidaksukaannya padaku dengan terang benderang. “Ayo, masuk!” seru Pak Aswin lagi. Mengusap tengkuk, aku memaksakan senyuman, pun dengan terpaksa memegang kenop. Pintu terbuka perlahan, ternyata suasana di dalam remang-remang, hanya mendapat penerangan dari lampu tidur. Di saat aku masih ragu, Pak Aswin kembali mendorong punggungku cukup keras, sehingga aku terhuyung, terdorong masuk. Setelah itu, terdengar pintu dirapatkan. Kemudian, hening. Hanya ada suara napasku dan Mura. Mura duduk di sisi ranjang, begitu aku masuk dia langsung menatapku. Di bawah sinar remang-remang, wajahnya kelihatan lebih cantik dan lucu menggoda. Seharusnya aku segera berbalik dan keluar. Namun, kenyataannya aku malah berdiri tertegun. Entah terkesima, entah terpesona. Dalam keremangan, baru aku ketahui kalau punggung tangan Mura berkeringat, wajahnya juga. Tatapan matanya juga sangat aneh, dia terus menatapku tanpa berkedip. Wajahnya masih menampilkan ekspresi dingin dan ketus. Namun, matanya justru menampilkan hal berbeda, mirip orang kehausan berhari-hari dan tiba-tiba melihat sebotol air dingin. Badanku juga semakin tidak keruan, panas dingin nggak jelas. Entah sudah berapa kali aku menelan ludah. Aku mengusap keringat yang semakin deras hingga masuk ke mata. Rasanya aku tidak kuat. Harus segera keluar. Kalau tidak, aku bisa jadi gila. Biar aku meminta pengertian dari Pak Aswin. Mengatur napas yang entah kenapa menjadi berat dan sesak, aku bersiap untuk berbalik. Namun, mendadak Mura meraih lenganku, menarikku jatuh. Aku tidak sanggup lagi untuk pergi. *** Nyenyak. Rasanya aku seperti tidur di awan, begitu nyaman. Seperti seseorang yang telah melakukan pekerjaan berat dan melelahkan, kemudian tidur siang di kasur empuk. Rasanya begitu nyaman, begitu nyenyak. Namun, segala kenikmatan dan rasa nyaman itu hancur dalam sekejap ketika sebuah teriakan melengking menggema memenuhi gendang telinga. Duk! Tendangan keras mengenai perutku. Seketika pula tubuhku jatuh ke lantai. Brrrrr! Dingin. Butuh beberapa kejap bagiku untuk memahami apa yang terjadi. Pun butuh beberapa waktu untuk menyadari kondisiku, bahwasanya saat ini aku tidak berpakaian. Sehelai pun tidak. Panik, segera aku menarik selimut untuk menutupi bagian pinggang ke bawah. Namun, seketika wajahku terasa panas, malu, dan entahlah. Jika diriku memiliki satu bagian terlarang, Mura justru memiliki dua bagian. Dan lantaran aku menarik selimut, otomatis badan Mura kelihatan seluruhnya. Hening. Aku dan Mura sama-sama terkesima. Tampaknya, Mura pun membutuhkan waktu beberapa kejap untuk menyadari kondisinya sendiri. Begitu sadar, segera dia menarik selimut dengan kasar. Refleks aku berjongkok. Entah sudah seperti apa ekspresi kami saat ini. “Kamu jahat! Kamu sudah menodaiku!” teriak Mura, marah. Aku menggeleng keras. “Kamu yang menarik saya duluan ....” Mura meremas selimut dengan kuat, dia menggigit bibirnya. Mungkin dia ingat, memang dialah yang menarikku duluan. Tidak ada pemaksaan di sini, aku tidak menodai siapa pun. Tidak ada siapa menodai siapa. “Keluar! Keluar! Keluar!” Mura menunjuk pintu. Pada saat itu, sudah kutemukan di mana posisi pakaianku. Secepat kilat aku menyambarnya. Untunglah celana yang aku pakai dari bahan kain, tidak ada ritsletingnya. Jadi, lebih mudah dikenakan. Setelah selesai mengenakan kaus, aku lekas menuju ke pintu. Namun, segera aku tertegun, keringat dingin pun membasahi telapak tangan. Kaku, aku menoleh ke arah Mura yang sedang menatapku galak. Dengan terpaksa aku menyengir, mungkin lebih tepatnya meringis. “P-pintunya dikunci dari luar,” lirihku, seperti berbisik. . . . Bersambung ….
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD