2. Si Kecil di Kaki Meja

1267 Words
Menikah Dengan Botol (2) °°° Keringat dingin membasahi telapak tanganku. Kaku, aku menoleh pada Mura yang sedang menatapku tajam. Aku memaksakan diri tersenyum, mungkin senyumanku ini akan lebih mirip terlihat sebagai ringisan. “P-pintunya terkunci dari luar,” lirihku, menyesalkan. Mura melotot ke arahku. “Beneran, saya nggak bohong.” Aku menggerak-gerakkan kenop, pintu tidak mau terbuka. Mura mendengkus, kemudian melengoskan wajahnya. Hening. Suasana sangat canggung dan kaku. Aku sendiri mati kutu. Kikuk, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Lama-lama pegal juga berdiri terus, aku pun lantas duduk, punggung menyandar ke pintu. Keadaanku tak ubahnya pengemis di pinggir jalan yang kedinginan, mengenaskan. Lagi pula cuaca di sini kenapa dingin banget. Apa karena daerah pegunungan, ya. Hening lagi. Canggung lagi. Tiba-tiba Mura beranjak bangun, selimut meliliti tubuhnya. Namun, saat berdiri dan coba melangkah, tubuhnya seperti terhuyung hendak jatuh. Refleks aku menghambur ke arahnya, maksudnya ingin membantunya. Namun, mendadak sebuah benda keras malah melayang menimpuk jidatku. “Arghhh ....” Aku mengeluh tertahan. Benda yang dilemparkan Mura ternyata botol parfum dari kaca tebal, untung nggak pecah. Jidatku berdenyut-denyut, fix pasti benjut inimah. “Saya cuma mau bantu kamu, kenapa malah dilempar?” protesku, mengelus jidat yang sakit. “Aku nggak butuh bantuan kamu! Sana jauh-jauh!” bentak Mura. Mura melangkah ke sana, langkahnya seperti setengah diseret. Aku hanya diam mematung, memegangi kening yang berdenyut-denyut—sakit. Entah kenapa, aku merasa aku ini seperti kuman, kuman yang harus dijauhi sejauh-jauhnya. Nelangsa amat diriku ini. Tak berapa lama terdengar suara air turun dari shower, diikuti isakan lirih. Mura menangis? Gusti Allah, apa aku sudah berbuat salah? Tapi kan, Mura sendiri yang mau. Aku tidak memaksanya. Aneh juga sebenarnya, kenapa aku pun mau, seharusnya aku tidak melakukannya. Aku sudah mengkhianati cinta suci Kamalia. Padahal aku sudah bertahun-tahun tetap menjaga hati untuk Kamalia yang sudah lebih dulu dipanggil Ilahi Rabbi. Kamalia sudah pergi, tetapi Mura masih ada. Bagaimanapun, aku harus bertanggung jawab. Namun, bertanggung jawab seperti apa. Masalahnya Mura tidak menyukaiku, bahkan cenderung membenci. Dalam waktu singkat saja Mura sudah menendang perutku dan membuat benjut keningku. Tanpa sadar, ternyata aku melangkah ke pintu kamar mandi. Berdiri tercenung dengan pikiran macam-macam, takut Mura bertindak nekat. Soalnya, suara isakan sudah tidak terdengar lagi. Aku mengangkat tangan—hendak mengetuk pintu—tetapi diturunkan lagi, takut Mura tambah marah. Akhirnya aku malah berdiri termangu memandangi pintu seperti orang dungu. Malah lama sekali dungunya. Kreeet! Pintu terbuka. Mura muncul dengan selimut masih meliliti tubuhnya. Sepertinya tadi dia lupa membawa handuk. Untung masih ada selimut, coba kalau nggak ada, nanti dia keluar nggak pakai apa-apa. Eh! Astagfirullahaladzim. Mura mendelik mendapatiku ada di depan pintu. Sorot dingin matanya seolah bilang, ngapain kamu berdiri di sana, mau ngintip, huh. Impulsif, aku menggeleng. “Saya ... tadi ... saya anu, mendengar suara isakan. Saya cuma khawatir ....” Entah kenapa aku menjadi sangat gugup. Ekspresi wajah Mura bener-bener dingin kaku, sorot matanya menampilkan kecurigaan dan sepertinya sedikit pun tidak mempercayai ucapanku. Mendengkus, dia beranjak. Namun, tiba-tiba tubuhnya limbung. Menginjak ujung selimut sepertinya. Melihatnya hendak jatuh, sigap aku berusaha menangkapnya. Siapa tahu aku malah menginjak lantai yang tertetesi air dari rambut panjang Mura yang habis keramas. Jadi, meski aku berhasil menangkap tubuh Mura, aku sendiri malah oleng, kehilangan keseimbangan dan jatuh. Begitu pinggul, punggung, dan kepala belakang berdebum ke lantai, segera aku mengerang kesakitan. Jauh lebih sakit ketimbang ditendang Mura dan jatuh ke lantai seperti sebelumnya. Ditambah lagi sekarang ada Mura yang menimpaku. Gusti Allah, sakitnya bukan main. Sudah jatuh, tertimpa Mura pula. Kedua tanganku memeluk punggung Mura, sementara kedua telapak tangan Mura ada di kedua pundakku. Kami saling bertatapan, linglung. Sepertinya sama-sama terkejut dengan apa yang terjadi barusan. Aku bisa merasakan detak jantung Mura, dia pun pasti bisa merasakan detak jantungku yang berdegup keras. Kemudian .... Plak! Mura menampar keras pipiku. Maksudnya apa coba? Aku sudah mengorbankan tubuh sendiri menggantikannya jatuh. Tapi, inikah balasannya. Inikah yang dinamakan air s**u dibalas air sisa kuah mi? “Saya sudah tolong kamu, kenapa kamu malah tampar saya?” protesku. Mura tidak menjawab, dia buru-buru bangkit. Namun, buru-buru pula kembali menelungkup di atas tubuhku. Masalahnya, saat dia bangun, selimut tidak terbawa. Ya, begitulah. Kali kedua dia bangkit, kedua tangannya memegangi erat selimut agar tidak lepas dari tubuhnya. Setelah Mura bangkit, aku pun bangkit duduk. Punggung serasa linu, pinggang serasa mau copot sendi-sendinya. “Aku mau pake baju, kamu ngadep sana!” ketus Mura. Patuh, aku berbalik menghadap dinding. “Merem!” seru Mura. Padahal sudah menghadap dinding, mau melotot sebesar biji jengkol juga sebenarnya kan nggak mungkin kelihatan. Nggak bakal bisa lihat dia berpakaian. “Merem!” ulang Mura, suaranya menggeram tertahan penuh ancaman. “Iya,” sahutku dengan penuh kesabaran. Aku benar-benar memejamkan mata. Terdengar Mura melangkah, terdengar juga suara lemari dibuka. Setelah beberapa lama, terdengar pula suara orang naik ke atas ranjang. Setelah itu, hening. Tidak terdengar apa-apa lagi. “Sudah selesai?” tanyaku. Tidak ada jawaban, hanya terdengar suara dengkusan. Hati-hati aku berbalik, takutnya ada sesuatu melayang lagi dan membuat benjut di wajahku bertambah. Ternyata kali ini tidak ada. Mura sudah kembali ke atas kasur, rambutnya dililiti handuk, dia tidur sembari memeluk guling. Aku termenung, melongo. Dalam keremangan, tampak jam weker bentuk kepala kucing di sudut sana menunjukkan waktu pukul 02.55. Masih dini hari, masih hampir dua jam-an lagi sampai waktu subuh datang. Apa yang harus aku lakukan selama dua jam. Masa harus duduk bengong saja. Mana dingin banget, nggak kuat. Aku juga cuma pakai kaus doang. Pelan-pelan aku melangkah menuju ranjang. Mata Mura yang memejam segera mendelik melihatku mendekati ranjang. Sebelum kena omel, aku buru-buru berkata menyampaikan maksud. “Emm, kamu kan sudah berpakaian, saya boleh nggak pinjem selimutnya.” “Nggak boleh!” Tajam, menusuk, dan mutlak. Mura memeluki semua bantal dan guling, katanya mengancam, “Jangan coba-coba naik ke sini!” Lemas, aku berbalik, melangkah gontai ke dekat pintu. Aku duduk memeluk lutut di sana. Mana dingin, mana jidat benjut, pinggang serasa encok akibat jatuh. Sudah jatuh tertimpa Mura pula. Lengkap sudah penderitaanku. Oh, Bapak! Betapa teganya menumbalkan anak sendiri. Pasrah, aku akhirnya meringkuk di lantai, menggigil kedinginan. Mata mengantuk, tetapi nggak bisa tidur karena dingin. Ujung-ujungnya kepala sakit dan wajah terasa panas, sepertinya aku demam. Setelah tersiksa selama kurang lebih dua jam, lamat-lamat terdengar suara Shalawat Tarhim. Ah, syukurlah. Akhirnya penderitaanku akan segera berakhir. Segara aku bangkit duduk, hidung terasa nggak keruan, bersin-bersin. Mura juga sudah bangun, tapi dia hanya duduk diam di kasur sana. Tiba-tiba pintu didorong dari luar, segera aku menyingkir. Tentu saja yang datang Mak Esih dan Pak Aswin. Clik! Pak Aswin menekan saklar, seketika ruangan menjadi terang benderang. Pak Aswin menatap Mura dan kemudian menatapku, senyumannya sangat aneh. “Eh, kalian sudah bangun? Emm, atau kalian nggak tidur semalaman jangan-jangan?” Pak Aswin terus menampilkan senyuman aneh. Senyuman aneh yang membuat perasaanku tidak enak. Aku hanya menyengir saja, menyengir paksa karena mati gaya. “Sudah mandi belum?” tanya Pak Aswin dengan suara dibuat sedikit berbisik. Aku gelagapan dan tidak mampu menjawab. Ya malu, ya kikuk. “Ehmm ...,” Pak Aswin berdehem dan melirik Mak Esih, “sepertinya kita nggak bisa shalat Subuh berjamaah.” Tiba-tiba senyuman Pak Aswin berubah menjadi lebih aneh lagi. Sangat aneh, membuat perasaanku semakin tidak enak, nggak keruan. Pak Aswin menepuk pundakku, dia terkekeh pelan. “Ali, mandi dulu sana. Jangan lupa itu dipungut.” Pak Aswin menggerakkan dagunya. Aku mengikuti arah dagu Pak Aswin, seketika itu juga wajahku serasa diguyur sepanci air mendidih. Di dekat kaki meja, di atas lantai, teronggok kain berbentuk mirip pempers (diapers) milikku. Saking buru-burunya semalam aku berpakaian, sampai lupa pada kain mungil itu. Gusti Allah, cobaan macam apa lagi ini?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD