Menikah Dengan Botol (3)
°°°
“Apa kita kebanyakan, ya, Pa kasih jamunya?”
“Enggak tau, Ma. Emang Bapak lebihkan sih dari takaran seharusnya.”
“Ihh, ai Bapak. Pantes itu si Ali pinggangnya kaya kelihatan encok gitu.”
“Ah, masa. Apa semalam dia terlalu bekerja keras, ya, Ma, sampai pinggangnya encok begitu.”
“Kayaknya sih gitu, Pa.”
“Duh, Bapak jadi merasa bersalah.”
“Yaudahlah, udah telanjur juga. Biar nanti kita panggil tukang pijat ajah.”
“Nah, iya. Kita panggil tukang pijat ajah. Lagian si Ali badan ajah perkasa, baru gitu doang sudah keok, encok segala macem pula. Masa kalah sama Mura, ya, Ma.”
“Mura itu kan walau badannya kecil, tenaganya besar, Pa.”
“Wah! Berarti harapan kita mendapat cucu sudah semakin dekat, ya, Ma.”
“Iya, Pa. Mama udah enggak sabar pengen dengar suara bayi.”
“Iya, Bapak juga nggak sabar. Semoga mereka berdua rajin ikhtiar, ya, Ma.”
“Aamiin, Pa, Aamiin. Hihihihi ....”
~
Angin berembus dingin.
Suara percakapan Pak Aswin dan Mak Esih sudah tidak terdengar lagi. Tawa mereka juga sudah menghilang terbawa angin. Namun, aku masih tetap berdiri mematung—melongo tanpa tahu apa yang mesti dilakukan. Rasanya seluruh tubuhku menjadi beku, kaku.
Cukup lama aku berdiri melongo, sampai-sampai kaki terasa pegal. Suara adzan sudah senyap beberapa kejap lalu.
Menghirup udara banyak-banyak, aku coba mengendalikan diri. Betapa pun aku merasa amat malu, aku tetap harus segera mandi. Sebab, waktu untuk shalat Subuh sangat singkat. Kalau aku terus-terusan mematung, bisa-bisa waktu subuh keburu terlewat.
Menabahkan diri, aku menoleh pada Mura. Cantik. Jujur harus aku akui wajah Mura memang cantik juga lucu. Terlebih sekarang, kedua pipinya terlihat kemerah-merahan, rambut lebatnya mengembang acak-acakan—handuk yang meliliti kepalanya sudah copot.
“Emm, saya ... saya boleh menumpang mandi di sana?” kataku, hati-hati.
Mura diam saja, dia hanya berdehem kecil—ketus.
Deheman bisa beragam maknanya. Dan aku tahu, deheman Mura barusan bisa diartikan iya atau boleh.
Walau berat, mataku terpaksa melirik ke kaki meja, di mana kain mungil teronggok bisu di sana. Sembari menahan napas, diam-diam aku melirik Mura. Ternyata dia juga sedang menatap si mungil tempat burung bersangkar itu.
Wajah Mura berubah merah seluruhnya, kemudian dia buru-buru menarik selimut. Kini, seluruh tubuhnya tenggelam di bawah selimut, sedikit pun tidak kelihatan. Sepertinya dia pun merasa sangat malu.
Menabahkan diri, buru-buru aku memburu ke sana, menyambar si mungil dan memasukannya ke dalam kantung celana.
Dasar segitiga bermuda tukang ulah!
Gara-gara dia aku jadi malu, malu setengah mati.
Menghirup lagi udara banyak-banyak untuk menenangkan diri, aku buru-buru melangkah ke kamar mandi. Semoga air bisa menenangkan dan menyegarkan tubuhku. Setelah itu, biar aku mengadu pada Rabb, betapa aku merasa malam ini amat luar biasa.
Gusti Allah, sungguh spektakuler garis takdirmu.
***
Setelah selesai mandi, ternyata tas berisi pakaian yang aku bawa dari kampung sudah berada di sini. Mura malah tidak ada, entah ke mana.
Usai berganti pakaian, lekas aku menunaikan shalat Subuh. Tak lupa, aku tumpahkan semua perasaanku pada Gusti Allah. Bagaimanapun, malam ini menjadi malam yang begitu luar bisa. Aku bersyukur, Gusti Allah mengizinkanku menikmati malam yang indah melalui Murayya. Aku pun bersyukur, Gusti Allah memberiku kekuatan melewati segala derita. Setelah berkasih-kasih mesra, tak apalah tidur di lantai, kening benjut, dan pinggan encok. Aku pun selalu berdoa, semoga Kamalia dan Ibu ditempatkan di tempat yang indah, di surga yang penuh dengan bunga. Semoga Bapak, Mura, Pak Aswin, Mak Esih, dan aku, senantiasa berada dalam pelukan dan perlindungan Gusti Allah. Aku lantas mengakhiri semua doa-doa dengan ucapan aamiin allahuma aamiin.
Doa serta keluh kesah yang cukup panjang.
Usai berdoa, aku berzikir, kemudian bersalawat.
Entah bagaimana, mendadak aku merasa bahwa kemesraan saat berkasih dengan Mura terasa begitu manis, begitu indah. Tiba-tiba pula, muncul rasa sayangku padanya.
Selama ini, aku selalu menutup hati. Tidak dibiarkan seorang wanita pun menggantikan posisi Kamalia di tempat yang istimewa. Namun sekarang, Mura menyelinap begitu saja. Terbayang wajah dinginnya yang tak mampu menutupi paras cantik dan lucunya.
Aku tidak tahu, apakah perasaan sayangku timbul karena wajah cantik dan lucu Mura atau karena kemesraan saat berkasih semalam. Yang jelas, mendadak timbul keinginan di hatiku untuk melunakkan hati Mura. Bahkan, timbul pula keinginanku untuk berkasih mesra lagi dengannya. Aku benar-benar tidak tahu, tetapi perasaan hangat ini, perasaan sayang ini, timbul begitu saja—seperti bibit yang mendadak timbul begitu saja dari dalam tanah.
Secepat inikah aku terbius oleh pesona Mura?
Kamalia, maafkan saya.
Di saat itu, aku rasakan sebuah tangan menepuk lembut pundakku. Seketika itu juga hatiku dipenuhi kehangatan, kehangatan yang lembut, kehangatan yang syahdu. Rasanya begitu indah dan manis.
Mungkin, kalau aku peluk mesra Mura, hatinya akan sedikit lunak, akan sedikit tersentuh. Namun, aku harus memeluknya secara serentak. Sebab, kalau aku minta baik-baik, pasti akan ditolak mentah-mentah. Siapa tahu sehabis dipeluk, sikap Mura akan sedikit lebih baik.
Mengumpulkan segenap tenaga, aku langsung berdiri secara tiba-tiba dan berbalik secara serentak. Aku peluk kuat-kuat orang yang berdiri di belakang.
Namun tunggu, sepertinya ada yang salah.
“Ali, apaan ai kamu?”
Loh, Pak Aswin!