4. Aing Maung!

2204 Words
“Ali, apa-apaan ai kamu?” protes suara pria. Loh, Pak Aswin! Cepat-cepat aku melepaskan pelukan dan mundur dua langkah. Gusti Allah, kenapa Engkau berikan cobaan yang begitu bertubi-tubi terhadap hamba-Mu ini. Pak Aswin kelihatan sedikit sesak napas. Mungkin, aku terlalu kuat memeluk Pak Aswin. “Kamu teh kenapa?” tanya Pak Aswin. “Aing maung! Grrrrrrrr ....” Udah kadung malu, aku pura-pura kesurupan ajahlah. Pletak! Pak Aswin mengeplak wajahku dengan kelima jarinya. “Gelo sugan kamu teh!” Loh, Pak Aswin nggak memercayai akting kesurupanku? Sebegitu buruknyakah!? “Bapak tunggu di ruang tengah, kita riung kumpul. Mau ada beberapa hal yang mesti dibahas dan dirundingkan.” Selesai mengucap, Pak Aswin langsung mengeluyur tanpa menoleh lagi ke arahku. Aku mengedip, melongo untuk ke sekian kalinya. Gusti Allah, sungguh awal hari yang luar biasa. *** Malu. Aku bersyukur masih memiliki perasaan malu di dalam diriku. Semalu apa pun, aku toh tetap harus mengikuti Pak Aswin. Semalu apa pun, toh tetap harus aku hadapi. Aku percaya, setiap manusia pasti memiliki momen-momen memalukannya sendiri. Tak apa, namanya juga manusia. Selagi aku masih memiliki rasa malu, berarti aku masih manusia. Jujur, aku belum hafal seluk beluk rumah. Maklum, kemarin aku tiba sore hari. Jadi, belum memiliki kesempatan menelusuri setiap sudut rumah. Pak Aswin membawaku ke ruangan di mana terhampar tikar di lantai. Mak Esih dan Mura duduk di sana. Di tengah tikar, terdapat aneka kudapan, ada pisang goreng cokelat, perkedel jagung udang, bakwan, dan bangkerok sambal oncom. Pak Aswin duduk di depan segelas kopi hitam dalam mug besar. Aku duduk di samping Mura, Pak Aswin yang menyuruhku duduk di sana. Ekspresi Mura masih tetap dingin kaku. “Ma, nanti tolong suruh Didit ambilkan kelapa hijau muda, ya,” kata Pak Aswin. “Kelapa muda buat apa Pa?” tanya Mak Esih. “Ya, buat si Ali. Kayaknya efek jamunya belum ilang, Ma. Masa tadi Bapak ujuk-ujuk dipeluk sama dia. Untung Bapak yang dipeluk, coba kalau kamu yang dipeluk, bisa Bapak perkedel ni mantu aleman.” Pak Aswin melahap perkedel dan mengunyahnya kasar. “Bapak, sih! Maen lebihkan ajah takarannya.” Mak Esih mengerling jahil. Pas Aswin tertawa ngakak. Aku tidak tahu sudah seperti apa wajahku saat ini. Rasanya panas banget, panas karena malu nggak kepalang tanggung. “Ehmmm,” Pak Aswin berdeham sesudah berhenti tertawa, “Ali, Mura, kalian berdua Bapak panggil ke sini tidak lain untuk membicarakan beberapa hal tentang kalian.” Aku menunduk mendengarkan. Mura juga menunduk bisu. “Jadi begini, kalian kan sudah sah menjadi suami-istri, sudah ehm-ehm juga. Bagaimanapun, kalian harus menjalani rumah tangga. Sekarang mungkin belum ada perasaan saling suka di antara kalian. Emmm, tapi kayaknya Ali mah sudah, ya,” Pak Aswin melirikku usil, kemudian melanjutkan lagi perkataannya, “Bapak harap, pernikahan kalian bisa langgeng, sakinah mawaddah, warahmah. Nah, rencananya Bapak mau mengadakan resepsi, biar orang-orang tahu kalau kalian sudah menikah. Tapi, sebelum acara resepsi dimulai, kalian harus menjalankan suatu ritual dulu.” Pak Aswin berhenti bicara dan menyeruput kopi. Aku ingin bertanya ritual apa, tapi malu. Jadi, sabar saja menunggu Pak Aswin meneruskan ucapannya. “Kalian harus tinggal berdua selama sebelas hari di rumah lumbung, bukan lumbung padi. Ritual ini sudah turun-temurun, Bapak dulu juga melakukannya. Kalian jangan kuatir, di sana sudah disiapkan pangan yang cukup untuk hidup selama sebelas hari,” lanjut Pak Aswin. Ritual yang sangat aneh! Aku diam. Mura juga diam. Biasanya diam akan diartikan sebagai persetujuan. Aku tidak tahu apa yang sudah Mak Esih katakan pada Mura sebelum ini. Sebab, melihat perangainya yang judes suka mencak-mencak, seharusnya dia menolak hidup bersamaku selama sebelas hari. Namun, kenyataannya kini dia tidak memprotes sepatah kata pun. “Selama sebelas hari, kalian harus saling kerja sama, saling membantu.” Pak Aswin kemudian menatap putri semata wayangnya dengan sayang. “Mura, sebagai istri kamu harus membantu suami. Membantu mencucikan pakaiannya misalnya, termasuk mencucikan si mungil tempat suamimu menyimpan alat tempurnya itu.” Mak Esih tertawa besar, Pak Aswin pun ngakak. Tapi aku tidak tertawa, Mura juga tidak. Lebih tepatnya aku dan Mura tidak bisa lagi tertawa saking malunya. *** Menjelang siang, Pak Aswin benar-benar menyuruhku meminum air kepala muda, dua sekaligus malah. Bukan untuk menghilangkan efek jamu segala macam, melainkan agar kondisi tubuhku menjadi fit kembali. Entah Pak Aswin dapat teori ini dari mana. Yang pasti aku yakin, Pak Aswin pun sebenarnya tahu kalau sakit pinggangku bukan karena aneh-aneh, melainkan murni jatuh kejengkang. Kami pun bicara empat. Pak Aswin memberiku banyak nasihat, terutama agar aku lebih banyak sabar menghadapi Mura. Memang benar, tenung “Menikah Dengan Botol” sudah patah. Namun, orang yang menenung tentu masih ada, masih berkeliaran. Pak Aswin curiga, orang yang menenung adalah salah satu dari pekerjanya, bukan orang luar. Pak Aswin memiliki budi daya arbei (stroberi) dan budi daya udang. Dia pun memiliki peternakan sapi, kebun lobak, ladang jagung, dan sawah. Tentu saja, setiap budi daya dipegang oleh orang-orang kepercayaannya, dia hanya mengawasi saja. Pun harus diakui, Mura memang memiliki wajah molek, cantik lucu yang tidak membosankan untuk dipandang. Ini saja sudah lebih dari cukup untuk menjerat para pria ke dalam pesonanya. Lantas, ditambah pula orang tuanya memiliki harta kekayaan. Pemuda mana yang tidak terpincut dan ingin memilikinya. “Tapi, kalau orang itu menyukai Mura, kenapa dia menenung Mura? Kan Mura jadi nggak mau menikah dengan siapa-siapa?” Jelas aku merasa heran. “Justru karena itu, maka orang ini dapat dikatakan pintar. Kalau Mura tidak ditenung, boleh jadi dia sudah jatuh hati kepada seseorang dan orang itu bukan si penenung. Kalau Mura jatuh hati kepada seseorang kemudian menikah, hilanglah kesempatan si penenung itu. Namun, kalau Mura tidak mau menikah dengan siapa-siapa, Bapak pasti tidak akan tinggal diam. Bapak pasti akan mencarikan jodoh untuk Mura, sebab Bapak membutuhkan dan menginginkan cucu. Nah, boleh jadi orang itu ada di sekitar Bapak, mencari kesempatan untuk ditunjuk agar mau menjadi suami Mura.” Wajah Pak Aswin sedikit menegang dan diliputi emosi. Setelah menjeda beberapa kejap, Pak Aswin kemudian melanjutkan, “Sebenarnya, Bapak sudah memiliki beberapa kandidat sebagai calon suami Mura. Mereka pemuda-pemuda yang bekerja pada Bapak, pemuda-pemuda yang baik, berprestasi, dan pekerja keras. Namun, Bapak takut. Takut salah memilih. Di antara para pemuda yang Bapak anggap baik itu, mana tahu salah satunya adalah si penenung. Bapak tidak mau ambil risiko. Karena itu Bapak pilih kamu. Setelah Bapak mendengar cerita kamu yang begitu setia kepada calon istrimu, saat itu Bapak tahu, kamu pria baik-baik, pria yang bertanggung jawab. Maka Bapak dapat tenang menyerahkan Mura sama kamu.” Aku menunduk, terharu—hampir saja meneteskan air mata. “Sekarang, orang itu pasti tidak akan tinggal diam. Boleh jadi, malah akan tambah nekat. Jadi, Bapak minta kamu harus hati-hati. Ritual tinggal di lumbung itu pun sebenarnya hanya mengada-ada. Bapak hanya ingin memancing orang itu keluar.” Ternyata benar, ritual itu memang mengada-ada. Dari awal pun aku sudah merasa janggal, mana ada ritual macam begitu. Ternyata aku dan Mura dijadikan umpan. Pak Aswin tersenyum, seolah bisa menyelami isi hatiku. “Kamu jangan kuatir, Bapak akan tempatkan beberapa orang untuk mengawasi kalian. Betul, kalian memang dijadikan umpan. Namun, tak nanti Bapak biarkan anak dan mantu kesayangan Bapak celaka. Kendati begitu, kamu tetap harus hati-hati dan waspada. Mana tahu, orang yang Bapak percayai itu justru pengkhianat.” Aku mengangguk paham. Pak Aswin merogoh saku dan menyodorkan peles kaca berukuran kecil. Isi peles bubuk berwarna oranye, mirip tumbukan kunyit yang dikeringkan. “Sebelas hari, kamu pakailah kesempatan itu untuk memenangkan hati Mura. Cinta toh timbul karena kebersamaan. Peles ini berisi ramuan jamu yang akan membuat Mura tidak bisa menolak kamu. Dosisnya satu sendok makan, nggak boleh dilebihkan. Gunakan dengan bijak. Bapak percaya sama kamu.” Mengangguk, aku menerima peles itu dan memasukannya ke dalam saku. Selanjutnya, Pak Aswin juga menceritakan apa-apa yang disukai Mura dan apa-apa yang tidak disukainya, kebiasaannya, serta hal-hal yang membuatnya takut. Sekarang, semangatku untuk mendapatkan hati Mura semakin berlipat—semakin kuat. Pak Aswin sudah sangat memercayaiku, aku tidak boleh mengecewakannya. Aku harus memenangkan hati Mura sekaligus menjaga dan menyayanginya dengan setulus serta sepenuh hati. Aku akan berjuang. Gusti Allah, ridailah keputusanku ini. *** Cahaya matahari sudah menguning. Selepas ashar, Pak Aswin dan Mak Esih mengantarku ke rumah lumbung. Rumah yang di maksud adalah rumah panggung kecil di sisi sungai dangkal. Ketika tiba di sana, matahari semakin doyong ke Barat. Mak Esih memeluk Mura dan menciuminya sebelum meninggalkannya pergi. Mata keduanya pun basah. Maklum, hati wanita memang lembut dan rapuh. Namun, betapa hati keduanya sama berat untuk berpisah. Pada akhirnya, mereka tetap harus berpisah untuk sementara. Pak Aswin menepuk bahuku sebelum pergi. Jaga Mura, hanya dua kata inilah yang dititipkan Pak Aswin padaku. Dua kata biasa. Namun, dalam dua kata biasa ini terkandung tanggung jawab yang luar biasa, luar biasa berat. Dan aku, aku harus mengembannya. Aku dan Mura menatap mobil yang ditumpangi Pak Aswin dan Mak Esih hingga menghilang. Lantas, kami diam-diam sama-sama menghela napas. Canggung. “Emm, di luar dingin kita masuk ke dalam yuk.” Aku melirik Mura. Tiba-tiba Mura menatapku, membuat jantungku berdebar. Meski ekspresi Mura dingin kaku, dia tetap kelihatan cantik lucu. Ah, sedang ketus begini pun wajahnya tetap enak dipandang. Tanpa mengatakan apa pun, Mura melangkah masuk ke dalam rumah. Aku membuntutinya dari belakang. Rumah panggung ini berukuran kecil. Hanya ada satu kamar, ruangan utama, dan dapur. Di dapur telah tersedia beras, kentang, minyak, peralatan masak, bumbu masak, juga daging kering—dendeng daging sapi. Benar kata Pak Aswin, kebutuhan pangan memang terjamin. Sumur ada di luar. Di dapur ada kamar mandi, tanpa WC. Aku bolak-balik mengangkut air dari sumur ke belanga di kamar mandi. Biar kalau nanti Mura mau pipis atau wudu, enggak harus ke sumur, terutama kalau malam. Sampai maghrib, Mura tidak bicara sepatah kata pun. Dia hanya duduk diam di sisi jendela kamar, matanya menerawang, memandangi pegunungan sana. Entah sedang sedih, entah sedang meratapi hidupnya yang mendadak harus berdampingan denganku. Aku tidak tahu juga tidak ingin mengganggunya. Walau samar, suara adzan terdengar sampai ke sini. Kami shalat Maghrib berjamaah. Meski dengan ekspresi seperti terpaksa, Mura mencium tanganku usai shalat. Kecanggungan terus berlangsung hingga isya, Mura pun tetap diam seribu kata. Kalau aku memancingnya bicara, dia hanya menjawab seperlunya. Benar-benar tipe perempuan yang dingin seperti es. Pun setelah shalat Isya, dia langsung ke kasur, memeluk guling menghadap dinding. Aku hanya bisa menyengir melihat semua tingkahnya. Antara menggemaskan dan menyebalkan. Namun, apa pun juga, kalau sudah timbul perasaan sayang di hati, sama sekali aku tidak merasa marah. Bagaimanapun, pernikahan ini memang bukan atas kehendaknya. Jadi, segala apa pun sikapnya tetap wajar. Dengan tidak adanya larangan yang keluar dari mulut Mura, sebenarnya bisa disimpulkan bahwa aku dibolehkan tidur seranjang dengannya. Dan, posisi guling satu lagi yang berada di tengah itu adalah batas. Namun, aku justru lebih memilih keluar kamar. Ya, aku tidak ingin membuat Mura tidak nyaman dengan kehadiranku di ranjang. Biarlah malam ini dia tidur nyenyak tanpa terganggu oleh kehadiranku. Di ruang utama ada kursi dan meja. Di kursi itulah aku duduk sembari memandangi cahaya lampu minyak. Tidak ada listrik di rumah ini. Bagaimana cara melunakkan hati Mura? Siapa orang yang menenung Mura? Aih, banyak juga PR-ku. Di saat aku sedang termenung memikirkan segala sesuatunya, tiba-tiba terdengar suara cekikikkan seram, persis suara tawa kuntilanak di film-film horor. Terdengar pula suara orang terperanjat bangun dari tempat tidur. Hampir saja Mura menubruk pintu dan menghampiriku. Suara cekikkan hanya terdengar sebentar, sekarang sudah menghilang. Mura berdiri sembari menggigit bibir, dia kelihatan gelisah. Kata Pak Aswin, Mura ini meski kelihatan dingin kaku, tapi sebenarnya penakut. Seumur hidup belum pernah nonton film horor, tidur pun harus ditemani Mak Esih sampai berusia enam belas tahun. “Tadi ... tadi ... ada suara ketawa.” Mata Mura melihat ke sana kemari dengan tak tenang. “Nggak ada. Kamu salah dengar mungkin.” Aku coba menenangkannya. Wajah Mura tampak seperti ingin menangis. Ternyata dia benar-benar penakut. Bahkan ekspresi dinginnya sudah menguap entah ke mana. Kini yang menghiasi paras cantiknya hanyalah kegelisahan. “Kita ... kita pulang ajah ....” Aku tertawa, tertawa secara refleks. Mura merengut, otomatis potongan wajahnya yang memang lucu berubah menjadi menggemaskan. Ingin sekali aku mencium pipi gembilnya. Aku segera berhenti tertawa karena memang tidak ada sedikit pun maksud menertawakannya. “Emm, jarak dari sini ke rumah kan jauh banget. Apa lagi sekarang sudah malam. Bahaya. Lagian, kalau jalan kaki, bisa-bisa nanti subuh baru sampai.” “Tapi ... tapi kalau di sini ada ... ada hantunya gimana?” “Mana ada hantu, hantu tuh nggak ad—” Belum selesai aku mengucap, mendadak terdengar lagi suara cekikikkan seram diiringi suara-suara angker yang aneh. Sontak Mura memekik dan melompat, memelukku erat. Fix, suara cekikikan dan suara aneh-aneh lainnya berasal dari ponsel. Suara cekikikkan itu sudah sering aku dengar di film horor, suara-suara angker anehnya juga. Aku memang suka nonton film horor. Jadi, hafal. Mungkin ini inisiatif Pak Aswin. Dia tahu Mura penakut. Dengan menyuruh orang-orang menakuti Mura, otomatis Mura tidak akan mau jauh-jauh dariku. Sebab, di rumah ini memang hanya ada aku, tidak ada orang lain. Rasa takut biasanya bisa mengalahkan rasa tak suka. Terbukti sekarang Mura memelukku dengan eratnya. Ya, walaupun misal cekikikan seram dan suara-suara aneh itu memang berasal dari hantu gentayangan sekalipun, aku tidak takut. Malah aku berterima kasih. Sebab, berkat suara-suara aneh dan cekikikan seram itu, aku akhirnya bisa memeluk Mura. Benar-benar Mura, Mura tulen, bukan Pak Aswin.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD