Bab 5. Dijemput Calon Suami

1660 Words
Bella terperangah dengan keputusan dua wanita paruh baya. Baru kali ini ada orang menikah hanya butuh waktu dua minggu. ‘Mami pasti udah nyusun semua rencana ini nih. Gila aja gua nikah 2 minggu lagi sama si papan gilesan.’ Melihat reaksi Bella, perasaan Miranda sempat meredup. “Kamu enggak setuju, Ella?” Tanya Miranda dengan perubahan raut wajah dari sumringah menjadi sayu. Bagaimana mungkin Bella berkata tidak setuju dan mengecewakan seorang ibu di hadapannya sekarang. “Eng.. Enggak, Mi. Bukan begitu. Aku cuma kaget aja, memang bisa yah ngatur nikahan dalam 2 minggu saja.” Sintia segera menjawab agar Miranda tidak larut dalam kekecewaan karena ucapan putrinya tadi. “Kamu yang minta ngak pake pesta kan, Ella. Yah 2 minggu cuma ngurus pemberkatan aja bisa dong.” “Oh, gitu. Aku terserah sama Mami aja.” Raut wajah Miranda ceria kembali, bagai cuaca yang tidak menentu, sebentar cerah, sebentar mendung lalu cerah lagi. Miranda memegang punggung tangan Bella. “Ella, terima kasih. Karena kamu, Mami punya anak perempuan dan dua cucu sekaligus. Mami cuma mau kamu tahu, kalau Mami tidak akan memaksa kamu untuk mempunyai anak dengan Ivan, tapi juga tidak menyangkalnya kalau Tuhan sudah menitipkannya untuk kalian. Jadi kamu jangan merasa terbebani mengenai garis keturunan. Kamu mau jadi menantu di keluarga Danayaksa saja, Mami udah bersyukur sekali. Akhirnya, janji Papi Ivan dan Papi kamu bisa terlaksana.” Mata Bella berkaca-kaca mendengar ketulusan calon ibu mertuanya. Apalagi yang harus ia keluhkan. Penerimaan Miranda terhadap dirinya sangat berbalik jauh dengan perlakuan Lina, maminya Jackson. Sejak awal dikenalkan saat dirinya masih berpacaran dengan Jackson, Lina tidak pernah menampakkan senyum tulus kepadanya, apalagi waktu Jackson meninggal. Bagi Lina, dirinya hanya pembawa sial dikeluarganya. “Ella, design untuk kamar baru sudah di kirim ke emailku. Coba kamu lihat deh.” Ivan membawa laptopnya ke taman, meletakkannya di hadapan Bella agar Bella dapat memilih design untuk kamar mereka dan kamar anak-anak nanti. Miranda sudah menyiapkan design kamar untuknya dan untuk Sintia tanpa sepengetahuan Sintia. “Harus pilih sekarang?” “Iyah. Kamar Mami Sin sudah kukirim designnya, tinggal punya anak-anak dan kamar kita. Aku mau kamu yang memilihnya sendiri.” “Tapi, aku ngak ngerti soal design.” Ivan membungkukkan tubuhnya sedikit, pipi Ivan hampir menyentuh pipi Bella saat akan membuka sebuah file di komputernya. Gerakan sederhana ini, membuat wajah Bella merona dan sedikit menjauhkan wajahnya. “Designernya sudah buatkan beberapa pilihan. Kamu tinggal pilih mau yang mana di file ini. Oke.” Kemudian Ivan menoleh, tatapan mata keduanya melekat, ujung hidung mereka bersentuhan, menambah kadar kemerahan pipi Bella, dan kali ini pipi Ivan mulai merona. “Hem. Iyah, aku pilih sekarang.” Jawab Bella kikuk sambil menunduk. Setelah memandu Bella dalam pilihan design, Ivan berjalan menuju kolam renang untuk melepaskan rasa malunya sambil membuka kaosnya membelakangi Bella. Membuat pandangan Bella teralihkan dari laptop, menatap tubuh Ivan sesuai dengan julukkan yang diberikannya. Tubuh Ivan setegap papan, lebar membusung, dengan perut berbelah-belah kokoh seperti papan gilasan. Kelakuan Bella tentu saja tertangkap oleh dua ibu-ibu yang saat ini saling menyikut lengan mereka kegirangan sambil berbisik. “Yaelah, Sin. Kalau mereka begini terus, ngak usah nonton drakor deh. Liatin mereka aja aku udah kembang kempis dibuatnya.” Lamunan Bella buyar karena percikkan air bersemburan dari kolam renang karenana ulah Ivan yang melompat ke dalam kolam renang. “Astaga, ini anak! Umur sudah 33 tahun, kelakuan masih kayak bocah.” Seru Miranda sambil terkekeh. Ketiga wanita itu sedang melihat sebuah pemandangan yang menyejukkan hati siapapun yang melihatnya. Ivan bermain dan bercanda dengan Josh dan Jess. Bella terus tersenyum terkadang tertawa geli saat melihat kelucuan yang dibuat dua bocah dan seorang bocah dewasa calon suaminya itu. Mata Bella berkaca-kaca kembali sambil menatap ke kolam renang. Ia seakan berbicara dengan Jackson dalam hatinya. ‘Lihatlah sayang, sukacita Josh dan Jess terlihat lagi, setelah sekian lama mereka bersedih karena kehilanganmu. Bagaimana bisa aku merusak kebahagiaan mereka dengan menolak pernikahan ini. Yah, semua aku lakukan demi mereka, demi anak-anak kita, Sayang.’ Setelah anak-anak puas berenang, Miranda sudah memesan makanan bertema Korean grill and barbeque. Mereka menikmati makan malam dengan mengobrol, Ivan justru tidak duduk dekat Bella, malah dirinya sibuk melayani dan berbagi makanan dengan dua bocah yang sudah merebut hatinya. Jess sangat manja sampai-sampai meminta Ivan menyuapi makan malam untuknya. Bella sendiri lebih banyak diam, sesekali ikut tertawa melihat tingkah laku Ivan dengan dua anaknya. Miranda dan Sintia asik mengobrol urusan pernikahan dua anaknya. Menyadari Bella yang terdiam, Miranda berbisik ke Sintia untuk mengajak cucunya bermain di dalam supaya Ivan dan Bella bisa berduaan untuk saling mengenal. Desiran angin malam membuat tubuh Bella sedikit menggigil. Ia berniat menyeduh teh jahe sachet yang memang sengaja di siapkan di atas meja mereka. “Kamu mau buat apa?” “Aduh! Ah..! Panas..!” Bella mengibaskan kaos bagian bawahnya sambil melompat kecil menahan perih karena terkena air panas. “Ella, kamu kenapa!” Ivan merubah posisinya dari yang tadinya menegur di belakang Bella menjadi ke sampingnya setelah mendengar teriakan. “Kamu nih, kalau manggil pake aba-aba! Kaget akunya, jadi ketumpahan air panas!” Suara Bella seperti menahan tangis, karena rasa perih. Ia terus mengibaskan ujung kaosnya. “Kok aku yang disalahin. Aku cuma nanya, itu juga pake suara pelan, enggak pake teriak juga. Kamunya saja yang bengong ngak tau mikirin apa.” Ivan mengambil beberapa lembar tissue untuk mengelap tumpahan air di dekat perut Bella. “Kamu punya gel aloe vera ngak? Biar perihnya hilang dulu. Sakit nih..” Menyadari dirinya sedang merengek manja ke Ivan, Bella menutup mulutnya dengan telapak tangan. “Maaf, maaf. Aku enggak berniat nyu-ruh” Belum selesai bicara, Ivan malah meninggalkan Bella berlari masuk ke dalam. ‘Ish ini cowok, enggak peka banget sih. Orang perih gara-gara dia malah main kabur aja. Huh!’ Bella masih mengibaskan kaosnya, menahanair matanya turun. Tidak lama kemudian Ivan datang kembali membawa sebuah krim putih. Tanpa basa basi, Ivan membuka ujung kaos Bella ke atas, kemudian mengolesi perut Bella yang terbakar dengan krim di tangannya. ‘Eh..eh.. Apa-apaan ini cowok main buka baju gua aja. Aduh, bener-bener malu banget, muka gua mau di taro di mana ini. Enak banget dia main megang-megang ngak pake ijin. Tapi.. Perihnya mulai mendingan, wah dia pakein krim apa? Manjur juga. Ya Tuhan, kenapa aku enggak bisa protes sih, dia masih megang-megang perut aku.’ Posisi Ivan masih berlutut di hadapan Bella, tangannya kanannya masih mengusap pelan perut Bella dengan wajah serius. “Masih perih, enggak?” Bella hanya menggeleng, tanpa berani menunduk melihat Ivan. Wajahnya memerah menahan rasa malu akibat perbuatan usapan tangan Ivan di perutnya. Ivan mendongak dan menyadari tingkah Bella menahan malu, Ivan segera melepas sentuhan tangannya dari perut Bella dan berdiri dengan rasa tidak enak hati. “Maaf, aku…Aku enggak bermaksud kurang ajar, ehh.. Tadi cuma reflek panik saja. Maaf yah.” “Iy.. Iya.. Enggak apa-apa. Terima kasih, yah.” “Kamu yakin sudah enggak perih, atau kita ke dokter saja sekarang? Jangan malu kalau memang masih perih, harus diobatin biar enggak jadi luka bakar. Takutnya melepuh trus berair, itu pasti perih banget deh.” Mata Bella melotot, gemas bercampur kesal karena sikap Ivan ternyata bisa berlebihan seperti sekarang. “Enggak usah lebay deh! Tadi cuma kesiram dikit saja, bukan keguyur air panas. Krim ini juga dingin, aku yang ngerasain udah mendingan juga.” ‘Lah, kenapa dia balik sewot begini. Diperhatiin salah, dicuekin tambah parah. Sabar, Ivan. Sabar. Ternyata lebih manjaan maminya daripada anaknya. Tapi, tadi rengekan Ella gemesin juga.’ Ivan menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal sambil menunjukkan cengiran di bibirnya. Wacana renang sore dan pulang setelah makan malam berubah. Anak-anak kelelahan dan tertidur . Miranda memaksa agar mereka menginap saja, dengan alasan kasihan kalau harus membangunkan calon cucunya. Sintia mendukung keinginan sahabatnya itu. “Kamu tidur di kamar ini saja, Ella. Mami kamu biar tidur di kamar Mami saja.” “Iy, iyah. Mi.” Ucap Bella pasrah. Ingin rasanya ia pulang sendiri kalau tidak memikirkan anak-anaknya. Bella kembali ke ruang tamu, duduk di sana sambil memegang gelas berisi air jahe yang tadi di seduhnya. Ivan menghampirinya setelah memastikan kamar tamu sudah rapi dan memindahkan dua bocah yang sudah terlelap ke sana. Miranda dan Sintia sudah masuk kamar bernostalgia. Ivan mengulurkan tangannya di depan wajah Bella yang terlihat melamun lagi. “Apa!!” “Ya ampun, Ella. Kenapa sih kamu galak begitu. Nanya jangan pake urat, yang lembut gitu ngomongnya sama calon suami. Nanti dikutuk jadi cinta mati loh sama aku. Amin ya Tuhan.” Ledek Ivan sambil menjulurkan tangannya membuat sikap berddoa. “Jangan becanda deh.” Ivan duduk di sebelah Bella sambil terkekeh seperti anak kecil. Kemudian mengulurkan tangannya kembali seperti meminta sesuatu. Mata Bella melirik tajam, menahan emosinya dan bertanya dengan nada yang lebih lembut. “Apa calon suami?” “Nah, gitu dong, Calon istri. Aku minta nomor ponsel kamu. Biar kita bisa komunikasi, atau kalau kamu perlu sesuatu bisa langsung hubungin aku.” Merasa permintaannya tidak ditanggapi, Ivan memintanya kembali. “Mana ponsel kamu.” “Nih.” Ivan memberikan ponsel keluaran terbaru, dengan lambang gigitan buah apel di belakangnya. Bella mengetik nomor ponselnya di situ lalu menyerahkan kembali ke tangan Ivan. Ponsel Bella bordering, ia hanya menatap sekilas lalu bersandar kembali. “Itu nomorku. Di simpan di kontak kamu.” “Iya, nanti saja.” Ivan yang tidak percaya kalau Bella akan menyimpan nomor kontaknya, malah merebut ponsel Bella kembali kemudian mengetik sesuatu lalu mengembalikannya lagi. “Sudah aku simpan.” Tanpa melihat lagi, Bella meletakkan ponselnya di atas meja. Ivan berniat mengusili Bella lagi. Kali ini, ia mengetikkan sesuatu kemudian mengirim pesan ke ponsel Bella. Mendengar bunyi tanda pesan masuk, Bella mengambil ponselnya. ‘Suamimu? Siapa lagi?’ Matanya melotot ke Ivan yang saat ini sedang memberikan senyum jahil, sudah pasti cowok disampingnya yang menyimpan nomor kontaknya sendiri dengan nama 'suamimu'. ‘Astaga! Main ngaku suami di ponsel gua. Bener-bener pede tingkat tinggi ini cowok.’ Bella membuka pesan masuk dan membacanya. Aku bahagia dan tidak sabar menunggu kamu menjadi istriku. Good night, Hunny. I love you.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD